Pil Penggugur Kandungan 1

1055 Words
Kalla Rei POV Sudah lewat beberapa tahun lamanya setelah kelulusanku dari kampus laknat yang sudah menjadi tempat bernaungku selama 3,5 tahun. Takdir itu membawaku kepada sebuah pekerjaan yang cukup membuatku merasa nyaman. Kampus itu adalah saksi di mana aku pernah menjatuhkan hatiku kepada seseorang yang salah. Kesalahan itu terus membayangiku hingga sekarang. Aku benci jika mengingatnya, dan bodohnya diriku yang selalu mengingatnya. Kalau bisa aku ingin amnesia, aku ingin melakukan berbagai cara untuk mendapatkan penyakit itu. Aku benci kampusku. Aku benci Romeo Evans. Aku benci semua yang berkaitan dengan masa laluku, kecuali satu hal. Anakku. Kalla Rei yang sekarang berbeda dengan Kalla Rei yang dulu. Tekanan hidup yang membuatku berubah, apalagi setelah ibuku meninggal karena serangan jantung. Ibu mana yang tidak akan kaget kalau putri tunggalnya hamil di luar nikah dan tidak jelas siapa ayahnya. Aku sendiri pun kaget mendapati diriku hamil. Aku tahu wanita dewasa yang hamil itu lumrah, tapi kalau tanpa ada yang mau bertanggung jawab ini tidak lumrah lagi, ini beban kehidupan, dan entah apa sebutan yang pas untuk menggambarkan keadaanku. Meskipun sekarang dunia semakin modern dan hamil duluan bukan hal yang tabu. Akan tetapi aku masih memiliki pemikiran kalau hal itu masih tidak sepantasnya terjadi. Selalu ada efek yang tidak mengenakkan yang akan timbul dari kondisiku yang hidup sendiri. Untuk wanita yang masih bernapas dan berpijak di bumi, jangan mau jadi korban cinta buta. Aku pernah mengalaminya dan itu menyakitkan sekaligus menyengsarakan. Hamil tanpa keluarga, tanpa suami, tanpa memiliki uang, itu sungguh berat. Kalau kalian tidak percaya, silakan bertanya kepadaku. Aku tahu benar bagaimana rasanya. Ini sungguh menyakitkan, kalau bunuh diri tidak berdosa, mungkin aku akan mendaftar menjadi peserta. Tidak perlu test-test-an segala, aku sudah siap mati. Aku tahu wanita itu makhluk yang selalu mengedepankan perasaan. Aku sendiripun tidak percaya kalau Romeo tega melakukannya kepadaku. Setelah aku memutuskan cinta tipuannya itu, aku meninggalkan kampus karena aku memang sudah lulus. Aku tidak peduli dengan Romeo yang gosipnya butuh waktu lama untuk menyelesaikan pendidikannya. Dia memang bodoh. Bahkan wanita baik sepertiku dia jadikan percobaan. Dia bodoh karena menyia-nyiakan diriku. Aku tidak bangga dengan predikat cumlaude yang kuperoleh, karena gara-gara diriku, ibuku meninggal. Dan dihari terakhir ibuku hidup, aku belum bisa membuatnya bangga. Aku menyesal. Belum mati saja aku sudah mendapat tiket gratis ke neraka dan tanpa diundi. Aku anak durhaka yang tidak berbakti kepada ibunya. Stella Rei sekarang sudah besar, sudah hampir empat tahun, dan aku sudah berumur 26 tahun dua bulan yang lalu. Menjadi ibu muda itu merepotkan apalagi kalau harus bekerja dan pontang-panting sendiri membesarkan anaknya. Aku pernah ingin menggugurkan Stella dengan meminta bantuan seorang dokter, tapi aku malah kabur ketika dokter hendak melakukan tugas mulianya itu. Aku menyebutnya tugas mulia, karena tindakannya bisa meringankan beban kehidupanku. Aku acungi jempol bagi seorang wanita yang tega membunuh anaknya sendiri, karena hal tersebut membutuhkan mental yang luar biasa kuat, dan aku tidak memilikinya. Aku tidak tega melakukannya, aku ini wanita lemah, tidak sekuat bayangan kalian. Aku bukan wonder woman yang pekerjaannya membunuh monster apalagi manusia. Aku hanya wanita biasa yang merana dalam hidupnya. Aku tertawa kalau mengingat betapa takutnya diriku kala itu. Masih mengenakan pakaian rumah sakit, bertelanjang kaki, dan berjalan tanpa arah. Aku berlari keluar seperti orang bingung. Menyetop taksi dan memutuskan untuk pulang ke rumah, setelah membuat seorang driver taksi kebingungan. Aku sudah seperti orang gila. Untung saja bapak-bapak yang membawaku pulang cukup baik, dia sama sekali tidak meminta uang kepadaku. Mungkin dia tahu kalau aku sedang depresi berat. Masa laluku memang suram, makanya aku mewanti-wanti kalian untuk tidak melakukan hal serupa. Kata orang mencintai sesuatu terlalu berlebihan akan membuatmu menangis karenanya. Aku mencintai Romeo teramat sangat hingga membuatku patah hati begitu dalam. Aku menyesal karena menyerahkan segalanya kepada laki-laki yang menurutku tidak layak disebut lelaki. Aku tidak melakukannya sekali atau dua kali dengan Romeo. Aku sering melakukannya dan ketika aku sadar, aku sudah hamil, dan aku sudah kehilangan Romeo untuk selamanya. Kalau sudah seperti ini, tidak ada jalan bagiku untuk bahagia. Pada kenyataannya aku harus berjuang sendirian untuk bisa hidup bersama anakku yang masih belia. Kalau waktu bisa diputar kembali, aku mana mau menyerahkan segalanya kepada lelaki yang bukan suamiku. Cinta kadang bisa membuat wanita cerdas sepertiku mendadak menjadi bodoh tak tertolong. Kalau kalian bertanya bagaimana perasaanku sekarang, aku akan mengatakan kalau aku sangat menyesal, dan penyesalan selalu tiba di akhir cerita. Ketika penyesalan itu datang sudah terlambat untuk memperbaikinya. Aku menerimanya dengan lapang d**a meski pada awalnya tidak ada keikhlasan sama sekali. Lama-lama aku terbiasa dan mengambil banyak pelajaran dari masa laluku yang kelam itu. Sejak saat itu aku mulai benci dengan lelaki tampan dan lelaki yang pura-pura baik. Tanpa seorang lelaki aku bisa hidup lebih baik. Aku sadar kalau tidak semua laki-laki itu b***t. Ada yang baik kepadaku dan dengan tulus membantuku. Aku tidak perlu menyebutkan namanya, karena orang itu bukan untuk dikonsumsi oleh publik. Dia sudah berkeluarga dan sudah memiliki anak juga. Kalian tenang saja, aku tidak ada niatan untuk menjalin hubungan percintaan dengan dewa penolongku itu. Aku sudah kapok untuk memulai hubungan yang baru. Aku belum siap sakit hati untuk kesekian kalinya. Keluarganya membuatku terus bertahan dalam kondisiku yang memburuk sejak melahirkan. Beban hidup yang berat dan tanpa pendamping hidup. Aku tidak mengerti cara merawat anak dan keluar dari perasaan sedihku yang berkepanjangan. Waktu yang mengajarkanku untuk bisa menerima kehidupanku. Awalnya aku menyalahkan Tuhan yang membuat garis kehidupan yang menyedihkan, tapi aku mengerti tanpa luka itu mana mungkin diriku menjadi wanita yang tegar seperti sekarang. Udara malam begitu menusuk kulit. Pakaianku sudah panjang, tapi masih bisa merasakan dingin. Aku memasuki pusat perbelanjaan, mengambil barang-barang yang kubutuhkan sebelum pulang ke rumah. Stella akan senang kalau dibelikan buah stroberi kesukaannya. Apapun yang berbau stroberi, Stella akan melahapnya dengan penuh suka cita. Anakku memang gadis kecil yang menggemaskan. Diumurnya yang masih sedikit, dia sudah pintar bermain piano. Sepertinya anakku itu berbakat menjadi seorang pianis. Apapun cita-citanya, aku akan terus mendukungnya. Menjadi seorang pianis memang belum tentu menghasilkan banyak uang, tapi aku ingin anakku bahagia. Dia satu-satunya yang sangat berharga, setelah aku kehilangan banyak hal tentunya. Dari sekian banyak rasa kehilangan, hanya Stella yang tersisa. Sejak Stella hadir aku menjadi tidak sendirian lagi, meskipun awalnya Stella lahir dari kesalahanku. Manusia pasti pernah melakukan kesalahan, begitu juga dengan diriku. Percuma jika terus terpuruk dengan penyesalan. Terus menjalani hidup adalah pilihan yang kupilih, aku yakin akan ada kebahagiaan untukku suatu hari nanti.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD