Bukan Penyakit Menular

930 Words
Kisah ini adalah sebuah kejadian nyata yang aku alami. Aku seorang wanita suku Jawa dan menikah dengan seorang pria suku Banjar. Namun begitu suamiku adalah suku Banjar yang lahir di Riau. Panggil saja aku Elis dan suamiku Aci. Kami menikah pada 8 Juli 2002. Setelah menikah aku ikut suami tinggal di sebuah desa di pedalaman Riau. Sudah lebih dari lima belas tahun sejak pernikahan kami, kami belum juga di karuniai anak. Setelah sebelumnya keguguran di usia pernikahan berjalan tujuh bulan. Banyak sekali hal menyakitkan yang dilontarkan kepadaku. Entah itu cuma gurauan atau sengaja untuk mengejek dan mengolok-olok aku. Inilah ujian kesabaran terberat bagiku, kadang ketika kumpul-kumpul bergurau ada saja yang nyeletuk tentang anak. Kadang sepertinya mereka sengaja ingin menyingung dan melukai perasaanku, dan teman yang senasib denganku. Mungkin mereka tidak sengaja untuk bercerita, atau mungkin juga mereka lupa dan bosan menjaga hati dan perasaan kami karena sudah lama. Sehingga apa yang dilontarkan oleh teman dekat, teman kerja, tetangga maupun kenalan bahkan kerabat tak lagi jadi beban dosa buat mereka, dan aku pun mungkin tidak terlihat di mata mereka. Aku akui bahwa aku kadang mengutuk orang yang bicara tanpa melihat situasi, kenapa aku harus selalu menjaga perasaan mereka sedangkan mereka tak pernah menjaga perasaanku. Akhirnya aku hanya berdiam diri dan menjauh atau mengotak-atik HP, scroll tik-tok atau posting foto alam, main game Lollipop atau Hay day di jam istirahat kerjaku. Mungkin tidak cuma aku, itu juga yang dialami suamiku, namun ia tak pernah bercerita kepadaku. Ia menyimpannya sendiri. Belum lagi jika bertemu kerabat suami yang menanyakan anak kepada kami, akan kami jawab Tuhan belum memberikan rezeki pada kami. Tapi ada hal yang membuat aku sakit hati jika ada yang bertanya pada mertua (emak suami) dijawabnya tidak beranak, itu yang kadang membuat aku berkecil hati, karena ucapan itu doa, meski ia tidak bermaksud seperti itu tapi tetap membuat aku kecewa. Aku harus banyak bersabar dan menahan diri. Bahkan ada dari mereka yang meyakini jika berteman dekat dengan orang yang tidak punya anak nanti akan tertular tidak punya anak juga. Hal ini memicu bisik-bisik di belakangku, karena aku dekat dengan seorang teman yang sama-sama belum dikaruniai keturunan. Seandainya orang bisa memilih takdir hidup yang di jalani, tidak akan ada seorangpun yang mau hidup tanpa keturunan. Karena keyakinan yang melekat pada mereka, bahkan ada rekan sekantorku, sebut saja Reva yang bercerita tentang sepupu jauhnya yang tak punya anak dan disebutnya mandul. Saat Reva bercerita dia duduk di depan mejaku dan dengan sengaja meminta maaf, "Maaf ya Bu Elis, saya tak menyebutmu." Lalu ku jawab dengan ketus, "aku tidak mandul, aku haid teratur setiap bulan kok. "Bukan aku menyebut Bu Elis mandul, jangan tersinggung ya," ucapnya membela diri Hati siapa yang tak sakit, tapi aku hanya bisa diam dan berdoa, aku tak bisa mengelak dari suratan takdir hidup yang harus kujalani. Andai hal sepertiku menimpanya atau menimpa anak-anaknya bagaimana? Tidakkah terbersit dalam benaknya "JIKA", banyak tanya dengan jika untuk dirinya dan anak-anaknya kelak. Tak pernah kah terpikir oleh nya rasa sakit yang teramat sangat meski harus disembunyikan dalam-dalam. Mungkin hal lain yang memicu keyakinannya disebabkan aku dan teman karibku yang lebih muda sembilan tahun dari ku, yaitu Aprin yang juga sudah menikah selama lima tahun dan belum juga dikaruniai anak. Hingga setahun kemudian aku tidak sengaja mendengar kata-kata yang lebih menyakitkan yang dilontarkan Reva, ku dengar ia berbicara pada salah satu rekan kerjaku Neli yang baru saja menikah. "Neli, kamu jangan terlalu dekat berteman dengan Elis dan Aprin, nanti kamu ketularan tak beranak." kata Reva setengah berbisik. Sebenarnya hal itu aku anggap angin lalu dan aku tak pernah mendengarnya, kalau saja Neli tak menyampaikan kepada kami berdua. Karena aku sudah lama berteman dengan Reva, aku tahu sifatnya, baik kelebihan dan kekurangannya. Dia memang manis ucapannya di depan kita, namun menusuk dibelakang kita. Dia juga pandai cari muka ke atasan kami. "Bu, Bu...kesini sebentar." panggil Neli pada kami berdua. Lalu kami mendekat ke arahnya, "Ada apa?" jawab kami serentak. "Semalam Bu Reva bilang ke saya, jangan terlalu rapat berkawan dengan Bu Elis dan Bu Aprin nanti ketularan tak beranak" kata Neli pada kami. "Anak itu kan rezeki dari Tuhan Bu, tak ada seorangpun yang tahu." kujawab saja seperti itu Bu. Kata Neli dengan raut muka masih kesal dengan kejadian semalam. Sakit... betul-betul sakit sekali hati kami berdua, dibilang seperti itu. Apakah kami ini pembawa penyakit menular yang harus dikucilkan sehingga seperti itu anggapan orang tentang kami, para pejuang garis dua. "Coba dijaga kalau ngomong, iya memang dia cepat dapat punya anak, tapi bagaimana dengan kedua anaknya? Apakah juga mudah seperti dia?" Kata Aprin dengan kesal. "Macam tak berTuhan saja, memang bikin anak itu macam membuat kue, ambil tepung, telur dan lainnya, diadon, ditempa langsung jadi." timpal ku geram. Bagaimana bisa meredam hati yang benar-benar panas, kadang dengan spontan terlontar ucapan yang tak baik dari mulut kami. Hingga untuk meluapkan kekesalan di hati, aku menulis sebuah puisi yang ku ikutkan dalam program menulis puisi bersama. Bukan Penyakit Menular Ucapan mu sangat berapi-api Ketika kamu mengatai kami Bagai penyakit menular yang harus dihindari Kalau perlu malah harus dibasmi Coba tempatkan dirimu pada posisi ini Rasakan sakit yang kami alami Karena lidah-lidah yang tak tahu diksi Bisa melukai tak bisa mengobati Kamu kan tahu betapa sulitnya menahan diri Hingga hari ini kami memulai Waktu yang tepat untuk menimpali Sampai dirimu diam tak bisa berbunyi Kami bukan pembawa penyakit Yang harus dikucilkan sedikit demi sedikit Kami juga sama ingin di gamit Menikmati bahagia meskipun dimasa sulit Itulah cara untuk menghindari agar tidak terjadi kesalahpahaman sama teman-teman kerjaku. Derita yang aku alami tetap bisa aku luapkan meski harus tetap aku sembunyikan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD