Suami Ngidam

1140 Words
Sudah hampir dua bulan suamiku pulang dari umroh. Kesehatannya mulai pulih, tinggal batuk dan pilek sesekali. Namun anehnya suamiku sakit pinggang. "Dik tumben sakit pinggang abang kok tidak hilang-hilang ya." katanya padaku saat nonton TV selepas sholat Maghrib. "Mau di kerok lagi bang, kalau masih masuk angin, itu yang menyebabkan pinggang sakit dan badan pegel-pegel." jawabku. "Boleh." jawabnya singkat sambil membuka kausnya. Aku berdiri untuk mengambil balsem cap Lang aroma terapi dan uang koin seratus rupiah gambar gunungan wayang jaman dulu yang ku minta dari emak ku ketika aku pulang kampung lima tahun yang lalu. Suamiku pun menelungkup dan ku kerok, garis merah keunguan timbul dari bekas kerokan, mengikuti alur tulang belakang di kiri dan kanan memanjang ke bawah dan alur ke samping mengikuti tulang piano. Selesai ku kerok punggungnya, ia bangun dan mengenakan kausnya kembali. "Besok pagi jangan di bawa mandi ya bang." kataku pada suamiku. "Iya, badan abang juga rasanya meriang, mandinya agak siangan saja." jawabnya. Berjalan ke dapur menuang air putih ke dalam gelas dan meminumnya, lalu bertanya "Mana kunci sepeda motor, abang mau jalan dulu." tanyanya padaku. "Itu di atas bufet, pulangnya jangan terlalu malam. Cepat pulang, cepat beristirahat, jadi besok badanmu terasa bugar." jawabku panjang lebar. "Iya, kaki abang ini rasanya tak tentu, rasa capek gatal tak tentu ingin jalan, atau berkeliling sebentar jadilah, baru hilang rasa capeknya." katanya sambil sedikit bersungut-sungut. Setelah mengambil kunci sepeda motor, sampai di depan pintu, memakai sandal lalu berjalan beberapa langkah, berbalik lagi masuk rumah, mengambil kismis dalam toples, sambil bilang "Dik, besok pesankan kismis lagi, ini sudah hampir habis." katanya padaku. "Iya bang, besok adik pesankan, tiga hari sudah sampai kok." jawabku. seingat aku, belum ada sepuluh hari sudah habis kismis satu kilo, kataku dalam hati sambil geleng-geleng kepala sendirian. Keesokkan paginya kami bangun seperti biasa, jam lima kurang, dimana bunyi toa masjid terdengar mengumandangkan qiraat penanda datangnya waktu Subuh. Kami bergegas bangun untuk melaksanakan ibadah sholat Subuh. Setelah itu aku mengajak suamiku untuk berjalan pagi sambil membeli sarapan. "Jalan pagi yuk bang, sambil cari sarapan tempat pak Usman." ajak ku pada suamiku. " Ya, mana kunci sepeda motornya?" tanyanya padaku. "Lihat saja di bufet atau di depan TV." jawabku sambil membuka pintu depan dan keluar terlebih dulu untuk menghirup udara pagi yang masih benar-benar fresh. Tak lama kemudian suamiku menyusul keluar sambil mengendarai sepeda motornya dan berhenti tepat di sampingku. "Yuk, naik." ajaknya padaku. Aku pun bergegas naik ke boncengan dan berkendara untuk membeli sarapan. Sampai di tempat pak Usman berjualan sarapan, aku turun dan masuk untuk memesan. "Soto, Ta."pintaku pada anak perempuan pak Usman. "Baik bu, minumnya apa Bu?"tanyanya padaku. "Teh manis saja."jawabku singkat. "Aku mau teh manis juga." kata suamiku pada Ita. "Makannya apa pak?" tanya Ita pada suamiku. "Nanti dulu, belum ada yang selera." jawab suamiku. "An, teh manis dua." kata Ita pada adiknya yang baru keluar dari belakang sambil menyiapkan Soto untukku. Soto pun tersaji, aku makan dengan tenang. Suamiku asyik melihat aku makan, mungkin jadi berselera juga. "Ta, mau Soto jugalah." kata suamiku pada Ita. Selesai sarapan, aku minta Soto dibungkus untuk dibawa pulang, untuk Kasih, sedang untuk mamak aku beli nasi lemak dan beberapa kue yang lembut, maklumlah namanya orang tua sudah tak bergigi suka makanan yang lembut. Setelah membayar semua kamipun pulang. Tiba di rumah langsung aku ambil peralatan mandi, selesai mandi langsung bersiap-siap untuk berangkat bekerja. "Bang, antar adik ke tempat kerja ya."pintaku pada suamiku. "Iya. Cepatlah nanti terlambat." kata suamiku. "Ini sudah siap." jawabku sambil berjalan keluar. Diantarnya aku sampai di tempat kerja, suamiku sempat berbasa-basi dengan beberapa rekan kerjaku yang berpapasan dengannya. Suamiku rencananya mau pergi ke kebun, mau menebas rumput sekalian untuk kegiatan mengeluarkan keringat basi kata penduduk kampung sini, biar badan bugar. Aku pun bekerja seperti biasanya, jam dua pulang. Pulangnya pun aku nebeng sama Aprin, singgah bersama teman-teman di warung Tek-wan. Aku, Eli dan Aprin makan Tek-wan, Ima pesan mpek-mpek. Kami masih menunggu pesanan di sajikan ketika Marta dan Ria datang dan kami pun makan ramai-ramai. Jam tiga lewat kamipun pulang ke rumah masing-masing. Tiba di rumah, suamiku belum pulang dari kebun. Ashar pun tiba. Aku cepat-cepat mengambil peralatan mandi, karena petuah orang tua, tak boleh mandi senja nanti mudah di hinggapi mahluk halus, apalagi wanita yang sedang hamil baunya harum tujuh tanjung masih tercium. Percaya tak percaya, tapi itu bisa terjadi, maklum di pedalaman Riau, di pemukiman yang masih dekat dengan hutan belantara, masih banyak pemuja pohon besar, kuburan keramat dan lain-lain. Meski zaman sudah modern namun masih ada masyarakat primitif yang masih suka berobat ke dukun, meski jelas-jelas penyakitnya adalah penyakit medis. Menjelang Maghrib suamiku tiba di rumah. Setelah sholat Maghrib kami duduk nonton TV sambil minum teh dan singkong goreng. "Dik, tadi abang mau makan mi goreng, tak sabar lagi nunggu Kasih beli mi dan masakkan, abang pergi ke kedai makan Ajo, minta masak mi goreng sama kak Asnah. Eennnaaknya..."ceritanya padaku. "Iya kah? Tumben, biasanya tak suka mi goreng." kataku sambil sedikit mengernyitkan dahi. "Iya, abang juga heran, ngapa pula kayak gini. Tak sabar-sabar lagi sama apa yang mau di makan." katanya menerangkan. "Iya, bapak tak sabar-sabar lagi. Ku tawari mi rebus rasa ayam bawang kesukaannya malah bergidik geli." serobot Kasih memperjelas padaku. "Ngapa abang kayak gini ya?" tanyanya pada dirinya sendiri juga kami bertiga. "Kau yang ngidam kalau Ci." kata mak pada suamiku. "Iya juga Mak ya. Tak biasanya kayak gini. Kadang kaki juga gatal mau berjalan lah, sudah di bawa berkeliling sebentar baru hilang gatal kaki." katanya menambahkan. "Bapak ini, ntah siapa yang hamil, siapa pula yang ngidam. Kismis di kantung celana levis, kalau pas mencuci ada saja yang jatuh. Belum lagi di laci dekat sepeda motor tu, ada juga kismisnya." serobot Kasih sambil memanyunkan bibirnya. "Itulah nak, bapak saja jadi bingung, hidung bapak sekarang sensitif. Bapak kadang kalau duduk-duduk di kedai kopi dekat kawan-kawan bapak, mana bau keringat mana bau asap rokok, mana bau minyak wangi, pening bapak." katanya menjelaskan panjang lebar. "Dik, tak adakah adik pingin makan sesuatu?" tanya suamiku. "Adik pingin makan bubur pakai kuah gula juruh, sudah adik bikin." jawabku. "Tak adakah pingin yang lain lagi?" tanyanya padaku lagi. "Adik pingin agar-agar santan coklat buatan Bu Vera, sudah adik beli kemarin. Ini belum ada kepingin yang lainnya."jawabku menjelaskan. "Adik yang hamil, kok abang yang ngidam ya."kata suamiku. "Memang biasanya suami yang ngidam duluan, nanti baru gantian istri yang ngidam."kata Mak menimpali. "Jangan-jangan seperti kata mbak Mini, nanti abang juga yang merasakan sakit perut waktu melahirkan. Hayoo!"jawabku sambil bercanda. "Biar adil, jadi abang juga merasakan ngidam juga." katanya sambil tertawa. Mungkin bagi kebanyakan orang Suami Ngidam memang aneh. Karena jarang ada terjadi di kampung kami. Tapi ini kenyataan yang dialami oleh suamiku. Aku yang hamil tidak ngidam berlebihan, tapi suamiku apa yang diinginkan kalau tak dapat rasa mau menangis katanya. Yah, memang aneh tapi nyata. Inikah yang dinamakan sindrom Cauvade dalam istilah medis? Sindrom suami ngidam.

Great novels start here

Download by scanning the QR code to get countless free stories and daily updated books

Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD