My Prince Season 2 - 52

2982 Words
Mendengar segala keluhan dan kekesalan yang Arga ucapkan barusan, membuat Jiola merasa sedikit jengah dan pusing, mengatur napasnya terlebih dahulu, dan menstabilkan badannya agar bisa berdiri dengan tegap, akhirnya Jiola, perempuan berambut perak panjang itu mulai menjawab apa yang dikatakan oleh adik semata wayangnya itu. “Aku tidak meremehkanmu! Aku tahu kamu mampu bertahan di keadaan ricuh seperti itu, aku juga tahu kamu telah bertahan hidup di hutan selama bertahun-tahun, dan tentu saja aku sebagai kakakmu sangat bangga mengetahui hal itu! Tapi aku tidak bisa membiarkan adikku berada di kericuhan seperti itu sendirian! Aku menyayangimu! Aku tidak mau melihatmu terluka! Aku ingin kamu tetap bersamaku! Aku bertindak seperti ini, itu karena aku sangat menyayangimu!” Mengerutkan dua alisnya dengan kesal, Arga tidak terima diberikan jawaban polos seperti itu, dia merasa Jiola memang benar-benar sedang meremehkannya dan itu telah membuatnya muak. “Aku tidak butuh rasa kasih sayangmu! Aku juga bukan adik kandungmu! Bukankah sudah kukatakan berkali-kali padamu!? Berhentilah menganggapku sebagai adikmu! Aku ini hanyalah orang asing yang kebetulan kau tolong! Tidak lebih dari itu! Dan aku tidak mau berterima kasih padamu karena aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu! Jadi BERHENTILAH BERSIKAP SEOLAH-OLAH KAU ADALAH KAKAKKU!” Tidak peduli pada perasaan Jiola yang tertusuk-tusuk setelah mendengar apa yang diucapkannya, Arga hanya memasang wajah cemberut dan memalingkan muka, kemudian berjalan pelan ke samping. Menyadari hal itu, Jiola hanya menundukkan kepalanya dalam hening, membuat rambut perak panjangnya berjatuhan helai demi helai dengan lembut, dia merasa sangat sakit hati mendengar apa yang diteriaki oleh Arga, setiap kata yang terlontar sungguh menyakitkan untuk didengar, sungguh Jiola tidak tahan lagi. Akhirnya dalam keheningan, Jiola meneteskan air matanya, sedikit sesenggukkan dan dengan tubuh yang gemetaran. Jiola sangat mengerti dibalik perasaan Arga karena dia sebetulnya sadar bahwa anak itu bukannya membencinya, ia hanya tidak ingin menerima kenyataan, tapi tetap saja mendengar perkataan kasar dan kejam yang dikeluarkan oleh mulut adik kesayanganmu sendiri yang selama ini kamu cari sepanjang tahun, sungguh menyakitkan. “Apa kau menangis?” tanya Arga saat mendengar suara tangisan seseorang di dekatnya setelah ia menengok dan sedikit melangkah untuk mendekati perempuan berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu. Tidak ada jawaban saat Arga bertanya demikian, yang artinya memang benar, Jiola memang sedang menangis sekarang. Baiklah, Arga tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, tapi yang jelas dia tidak mau ada orang yang menangis di kala situasi sedang genting seperti ini. Suara-suara kerusuhan di tengah kota terdengar bahkan dari lokasi yang cukup jauh di sini, dan dia tidak bisa terus-terusan membujuk perempuan ini untuk berhenti menangis. “Terserah, jika kau ingin menangis, menangis saja sepuasmu, tapi yang jelas aku tidak mau kau meremehkanku lagi. Sekarang jangan batasi pergerakanku, aku akan kembali ke tempat sebelumnya dan kau lebih baik tetap di sini karena perempuan cengeng sepertimu tidak akan mampu menghadapi situasi ricuh seperti itu.” Setelah mengatakan hal demikian, Arga segera melangkahkan kakinya untuk kembali ke tengah kota,  tetapnya ke tempat pengeksekusian mati seseorang. Namun, baru saja lima langkah Arga berjalan, meninggalkan perempuan berambut perak itu, dia terkejut saat Jiola tiba-tiba ada di hadapannya, berdiri sambil memasang muka sedih yang dipenuhi oleh air mata. “Maafkan aku karena aku telah membuatmu tidak nyaman, tapi ketahuilah, aku benar-benar menyayangimu. Aku tidak bisa membiarkan adik kesayanganku berada di sana, aku ingin kau tetap bersamaku di sini, di tempat yang aman. Aku tidak mau kehilanganmu lagi, aku tidak ingin kau menghilang. Tetaplah bersamaku di sini, aku akan memberikanmu segalanya, tapi kumohon, jangan pergi lagi ke sana.” Pinta Jiola dengan napas yang tersengal-sengal dan suara yang serak-serak basah, begitu pilu dan menyedihkan, memperlihatkan segala ketakutan dan kekhawatirannya pada Sang Adik yang hendak pergi darinya. Dari bola-bola matanya yang basah, tampak sangat jelas bahwa Jiola memang begitu serius tidak ingin membiarkan Arga kembali ke lokasi sebelumnya sendirian. Merasa muak dan kesal, Arga menggertakkan giginya dan mulai memelototkan bola-bola matanya dengan begitu lebar. “Jadi kau maunya apa!? Membiarkan aku diam di sini untuk menjadi seperti seorang pecundang bersamamu, begitu!? Berhentilah mengatur-atur hidupku! Kau bukan siapa-siapa di hidupku! Aku tidak peduli mau kau menangis, mau kau memohon, mau kau menjerit sekali pun, AKU TIDAK PEDULI! Jika kau masih tetap bersikap begitu, maka tidak ada cara lain selain bersikap kasar padamu secara fisik!” Dengan mengeluarkan urat-uratnya di leher, Arga langsung bersiaga, menyempurnakan kuda-kudanya untuk meemberikan pukulan kuat pada Jiola agar perempuan itu tidak lagi menghalang-halanginya. Sementara Jiola yang mengetahui bahwa Arga hendak memberikan serangan padanya agar dirinya tidak lagi menghentikan pergerakan anak itu, membuat perempuan berambut perak itu terkejut setengah mati. Sungguh, dia bingung harus bagaimana sekarang, karena dia tidak ingin dilukai oleh Arga, tapi di sisi lain dia juga tidak mau melukai adik kesayangannya. Apa yang harus Jiola lakukan sekarang sebelum sesuatu yang tidak diinginkan mulai terjadi pada dirinya. Memejamkan matanya erat-erat, Jiola mencoba berpikir sekeras mungkin, memikirkan cara agar Sang Adik yang begitu keras kepala bisa ditenangkan sejenak. Dan setelah berpikir selama lima detik, ia kembali membuka kelopak matanya karena akhirnya dia mendapatkan ide cemerlang agar bisa melalui situasi pelik ini. “Aku sangat menyayangimu. Aku tidak mau melukaimu, dan aku juga tidak ingin kamu melukaiku. Bisakah kita bicarakan ini secara baik-baik, aku tidak ingin kita bertarung hanya karena berbeda opini. Tenangkan dirimu dulu, kamu terlalu menyepelekan sebuah kericuhan, kamu harusnya tahu bahwa datang ke tempat yang sedang ricuh itu akan membuatmu dalam masalah besar. Apalagi kamu yang melemparkan api terlebih dahulu pada mereka. Itu bisa membuatmu menjadi seorang buronan di kota ini, atau bisa saja kita berdua telah resmi menjadi seorang buronan di kota ini. Bagaimana kalau itu benar-benar terjadi?” Mendengar segala keluhan dan kekesalan yang Arga ucapkan barusan, membuat Jiola merasa sedikit jengah dan pusing, mengatur napasnya terlebih dahulu, dan menstabilkan badannya agar bisa berdiri dengan tegap, akhirnya Jiola, perempuan berambut perak panjang itu mulai menjawab apa yang dikatakan oleh adik semata wayangnya itu. “Aku tidak meremehkanmu! Aku tahu kamu mampu bertahan di keadaan ricuh seperti itu, aku juga tahu kamu telah bertahan hidup di hutan selama bertahun-tahun, dan tentu saja aku sebagai kakakmu sangat bangga mengetahui hal itu! Tapi aku tidak bisa membiarkan adikku berada di kericuhan seperti itu sendirian! Aku menyayangimu! Aku tidak mau melihatmu terluka! Aku ingin kamu tetap bersamaku! Aku bertindak seperti ini, itu karena aku sangat menyayangimu!” Mengerutkan dua alisnya dengan kesal, Arga tidak terima diberikan jawaban polos seperti itu, dia merasa Jiola memang benar-benar sedang meremehkannya dan itu telah membuatnya muak. “Aku tidak butuh rasa kasih sayangmu! Aku juga bukan adik kandungmu! Bukankah sudah kukatakan berkali-kali padamu!? Berhentilah menganggapku sebagai adikmu! Aku ini hanyalah orang asing yang kebetulan kau tolong! Tidak lebih dari itu! Dan aku tidak mau berterima kasih padamu karena aku sama sekali tidak membutuhkan bantuanmu! Jadi BERHENTILAH BERSIKAP SEOLAH-OLAH KAU ADALAH KAKAKKU!” Tidak peduli pada perasaan Jiola yang tertusuk-tusuk setelah mendengar apa yang diucapkannya, Arga hanya memasang wajah cemberut dan memalingkan muka, kemudian berjalan pelan ke samping. Menyadari hal itu, Jiola hanya menundukkan kepalanya dalam hening, membuat rambut perak panjangnya berjatuhan helai demi helai dengan lembut, dia merasa sangat sakit hati mendengar apa yang diteriaki oleh Arga, setiap kata yang terlontar sungguh menyakitkan untuk didengar, sungguh Jiola tidak tahan lagi. Akhirnya dalam keheningan, Jiola meneteskan air matanya, sedikit sesenggukkan dan dengan tubuh yang gemetaran. Jiola sangat mengerti dibalik perasaan Arga karena dia sebetulnya sadar bahwa anak itu bukannya membencinya, ia hanya tidak ingin menerima kenyataan, tapi tetap saja mendengar perkataan kasar dan kejam yang dikeluarkan oleh mulut adik kesayanganmu sendiri yang selama ini kamu cari sepanjang tahun, sungguh menyakitkan. “Apa kau menangis?” tanya Arga saat mendengar suara tangisan seseorang di dekatnya setelah ia menengok dan sedikit melangkah untuk mendekati perempuan berambut perak yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya itu. Tidak ada jawaban saat Arga bertanya demikian, yang artinya memang benar, Jiola memang sedang menangis sekarang. Baiklah, Arga tidak tahu apa yang harus dia lakukan sekarang, tapi yang jelas dia tidak mau ada orang yang menangis di kala situasi sedang genting seperti ini. Suara-suara kerusuhan di tengah kota terdengar bahkan dari lokasi yang cukup jauh di sini, dan dia tidak bisa terus-terusan membujuk perempuan ini untuk berhenti menangis. “Terserah, jika kau ingin menangis, menangis saja sepuasmu, tapi yang jelas aku tidak mau kau meremehkanku lagi. Sekarang jangan batasi pergerakanku, aku akan kembali ke tempat sebelumnya dan kau lebih baik tetap di sini karena perempuan cengeng sepertimu tidak akan mampu menghadapi situasi ricuh seperti itu.” Setelah mengatakan hal demikian, Arga segera melangkahkan kakinya untuk kembali ke tengah kota,  tetapnya ke tempat pengeksekusian mati seseorang. Namun, baru saja lima langkah Arga berjalan, meninggalkan perempuan berambut perak itu, dia terkejut saat Jiola tiba-tiba ada di hadapannya, berdiri sambil memasang muka sedih yang dipenuhi oleh air mata. “Maafkan aku karena aku telah membuatmu tidak nyaman, tapi ketahuilah, aku benar-benar menyayangimu. Aku tidak bisa membiarkan adik kesayanganku berada di sana, aku ingin kau tetap bersamaku di sini, di tempat yang aman. Aku tidak mau kehilanganmu lagi, aku tidak ingin kau menghilang. Tetaplah bersamaku di sini, aku akan memberikanmu segalanya, tapi kumohon, jangan pergi lagi ke sana.” Pinta Jiola dengan napas yang tersengal-sengal dan suara yang serak-serak basah, begitu pilu dan menyedihkan, memperlihatkan segala ketakutan dan kekhawatirannya pada Sang Adik yang hendak pergi darinya. Dari bola-bola matanya yang basah, tampak sangat jelas bahwa Jiola memang begitu serius tidak ingin membiarkan Arga kembali ke lokasi sebelumnya sendirian. Merasa muak dan kesal, Arga menggertakkan giginya dan mulai memelototkan bola-bola matanya dengan begitu lebar. “Jadi kau maunya apa!? Membiarkan aku diam di sini untuk menjadi seperti seorang pecundang bersamamu, begitu!? Berhentilah mengatur-atur hidupku! Kau bukan siapa-siapa di hidupku! Aku tidak peduli mau kau menangis, mau kau memohon, mau kau menjerit sekali pun, AKU TIDAK PEDULI! Jika kau masih tetap bersikap begitu, maka tidak ada cara lain selain bersikap kasar padamu secara fisik!” Dengan mengeluarkan urat-uratnya di leher, Arga langsung bersiaga, menyempurnakan kuda-kudanya untuk meemberikan pukulan kuat pada Jiola agar perempuan itu tidak lagi menghalang-halanginya. Kini, Arga dan Jiola tengah saling berhadapan di sebuah gang sempit di antara himpitan dua bangunan tinggi yang ada di dekat pusat kota, mereka berdua sedang berdebat dan sedikit bertengkar mengenai suatu hal yang intinya Sang Kakak tidak ingin adiknya terlibat ke dalam masalah besar, sementara Sang Adik berupaya untuk menghindari kakaknya yang terus-terusan menghalangi jalannya. Tampaknya perseteruan antara kakak dan adik masih belum usai juga, malah sebaliknya suasananya jadi makin panas dari sebelumnya, apalagi melihat Arga yang kini mulai mempersiapkan kuda-kudanya seperti orang yang akan melancarkan pukulan kepada lawannya, sementara Jiola terlihat tidak ingin berkelahi dengan adiknya dan terus berusaha menenangkan adiknya dengan berbagai perkataan-perkataan dan nasihat-nasihat lembut. Namun, apa pun yang Jiola katakan sama sekali tidak berpengaruh sedikit pun pada Arga sebab anak itu tidak mau mendengarkan nasihat-nasihat itu, dia tetap bersikeras ingin pergi ke lokasi tempat pengeksekusian bagaimana pun caranya, bahkan jika itu harus menggunakan kekerasan pun, tampaknya dia bersedia melakukannya, meskipun orang yang dia hadapi saat ini adalah kakaknya sendiri, atau lebih tepatnya perempuan tinggi berambut perak panjang yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya, begitulah yang dipikirkannya tentang Jiola. Langit sudah sangat menghitam, lampu-lampu di setiap bangunan kota pun mulai dinyalakan satu-persatu, sementara Arga dan Jiola masih saja sibuk di dalam sebuah gang sempit, mengurusi perseturuannya yang tak kunjung selesai. “Menyingkirlah sekarang atau kau akan kubuat tidak bisa berdiri lagi!” ancam Arga dengan mengepalkan dua tangannya dan sedikit membungkukkan badannya, juga melebarkan dua kakinya, tampak seperti seorang petinju yang bersiap melancarkan serangannya. Mendengar dan melihat tingkah adiknya, Jiola menggelengkan kepalanya dan tetap saja berdiri di depan adiknya, berusaha untuk membuat adiknya menyerah untuk pergi ke tengah kota, kembali terlibat ke dalam kerusuhan sebelumnya. “Maafkan aku, tapi aku tidak bisa! Aku tidak peduli kau mau menganggapku orang asing atau apa pun terserah, tapi yang jelas, aku masih menganggapmu sebagai adik kesayanganku, dan aku tidak mengizinkanmu untuk kembali ke sana! Kamu harus tetap di sini bersamaku, di tempat yang aman!” seru Jiola yang juga tidak kalah nyaring dari Arga, menunjukkan keseriusannya dalam  berbicara yang artinya perempuan berambut perak panjang pun tidak main-main dalam mengatakannya. Arga tentu saja kesal mendengarnya, dia tidak suka dikekang seperti ini, rasanya menyebalkan. Dia yang biasanya bebas bepergian ke mana-mana saat masih tinggal di hutan, kini harus merasa diatur-atur hanya untuk bepergian. Itu benar-benar menyebalkan. “Kalau begitu, maka tidak ada cara lain selain membuatmu tidak bisa bergerak lagi!  Jangan remehkan aku! Meskipun aku hanyalah anak-anak berusia 7 tahun, tapi tenagaku tidak jauh berbeda dengan orang-orang dewasa!” Setelah berteriak begitu, Arga langsung berlari kencang menuju tempat Jiola berdiri tegap, sembari membawa tinjuan tangannya untuk didaratkan ke tubuh perempuan berambut perak panjang itu, berniat ingin menghancurkan salah satu badan perempuan itu agar tidak bisa bergerak lagi untuk menghalang-halanginya. Namun sayangnya, Jiola tidak selemah itu, karena saat jarak Arga sudah semakin dekat, perempuan itu langsung melompat dan menerjang kepala adiknya dengan dua pahanya yang membuat anak itu terjungkir ke belakang, jatuh ke permukaan menabrak tanah dengan hantaman yang cukup keras. Sungguh, Arga terpaku dengan mata terbelalak saat sadar kalau saat ini dia telah terbanting ke tanah oleh terjangan dua kaki kakaknya yang kini sedang berdiri tepat di  atasnya. Rambut perak panjangnya menari-nari terhembus angin, Jiola tersenyum tipis sebelum akhirnya menundukkan kepalanya untuk memandangi muka adiknya yang ada sedang berbaring di bawah pahanya. “Aku melakukan ini bukan untuk membela diri atau pun melukaimu, aku melakukan ini karena aku menyayangimu. Aku tahu kamu punya tenaga yang besar, tapi kamu tidak boleh menggunakan tenaga hebatmu untuk hal-hal seperti ituu, apalagi berhendak untuk menyerang kakakmu sendiri, itu tidak baik. Itulah kenapa, aku terpaksa melakukan ini, semata-mata hanya ingin menyadarkanmu bahwa kamu harus bersikap baik pada kakakmu sendiri, jika tidak kamu akan mendapatkan teguran dari tindakanmu sendiri, dan ini juga termasuk ke dalam sebuah teguran pertama.” Jelas Jiola dengan menyunggingkan senyuman tipis pada Arga, seperti seorang psikopat yang sedang cengengesan melihat mangsanya tengah lemah di depan matanya. Arga benar-benar tidak percaya hal ini bisa terjadi, padahal sebelumnya Jiola terlihat lemah dan sangat cengeng, tapi kenapa sekarang dia terlihat begitu kuat. Ini sangat aneh, tidak masuk akal, dan tentu saja menyebalkan. Karena hal ini, Arga jadi semakin sulit untuk pergi dari sini, mengingat himpitan dua kaki kakaknya cukup keras bahkan sampai ia hampir kehabisan napas. Entah apa yang ada di pikiran Jiola sampai tega melakukan hal sekejam ini pada adiknya sendiri, mengingat sebelumnya dia pernah mengatakan bahwa ia tidak ingin melukai adiknya. Tapi melakukan hal seperti itu bukankah tidak jauh berbeda dengan melukai adiknya sendiri? Bukankah berbahaya menerjang kepala adiknya dengan dua kaki bahkan sampai anak itu terbanting ke tanah dengan hantaman yang cukup keras, bagaimana kalau tulang belakang kepala Sang Adik cedera karena terbentur permukaan tanah? Itu sangat membahayakan, bukan? Sungguh, terkadang perilaku Jiola pun terkesan terbalik dan berlawanan dengan apa yang dia selalu katakan. Tapi pada akhirnya, tujuan Jiola melakukan itu memang bukan untuk melukai adik kesayangannya, melainkan untuk melindungi Sang Adik agar tidak terlibat ke dalam sebuah masalah yang besar di tengah kota Vanterlock. “Singkirkan kaki-kakimu dariku! Biarkan aku berdiri! Kau membuatku tidak bisa bergerak, Jiola!” teriak Arga dengan sangat kesal, dia benar-benar muak pada perempuan berambut perak itu, selain sering mengaku-ngaku sebagai kakaknya, dia juga bersikap sangat posesif dan menyebalkan, membuat anak itu tidak bisa bebas. Kini, Arga dan Jiola tengah saling berhadapan di sebuah gang sempit di antara himpitan dua bangunan tinggi yang ada di dekat pusat kota, mereka berdua sedang berdebat dan sedikit bertengkar mengenai suatu hal yang intinya Sang Kakak tidak ingin adiknya terlibat ke dalam masalah besar, sementara Sang Adik berupaya untuk menghindari kakaknya yang terus-terusan menghalangi jalannya. Tampaknya perseteruan antara kakak dan adik masih belum usai juga, malah sebaliknya suasananya jadi makin panas dari sebelumnya, apalagi melihat Arga yang kini mulai mempersiapkan kuda-kudanya seperti orang yang akan melancarkan pukulan kepada lawannya, sementara Jiola terlihat tidak ingin berkelahi dengan adiknya dan terus berusaha menenangkan adiknya dengan berbagai perkataan-perkataan dan nasihat-nasihat lembut. Namun, apa pun yang Jiola katakan sama sekali tidak berpengaruh sedikit pun pada Arga sebab anak itu tidak mau mendengarkan nasihat-nasihat itu, dia tetap bersikeras ingin pergi ke lokasi tempat pengeksekusian bagaimana pun caranya, bahkan jika itu harus menggunakan kekerasan pun, tampaknya dia bersedia melakukannya, meskipun orang yang dia hadapi saat ini adalah kakaknya sendiri, atau lebih tepatnya perempuan tinggi berambut perak panjang yang mengaku-ngaku sebagai kakak kandungnya, begitulah yang dipikirkannya tentang Jiola. Langit sudah sangat menghitam, lampu-lampu di setiap bangunan kota pun mulai dinyalakan satu-persatu, sementara Arga dan Jiola masih saja sibuk di dalam sebuah gang sempit, mengurusi perseturuannya yang tak kunjung selesai. “Menyingkirlah sekarang atau kau akan kubuat tidak bisa berdiri lagi!” ancam Arga dengan mengepalkan dua tangannya dan sedikit membungkukkan badannya, juga melebarkan dua kakinya, tampak seperti seorang petinju yang bersiap melancarkan serangannya. Mendengar dan melihat tingkah adiknya, Jiola menggelengkan kepalanya dan tetap saja berdiri di depan adiknya, berusaha untuk membuat adiknya menyerah untuk pergi ke tengah kota, kembali terlibat ke dalam kerusuhan sebelumnya. “Maafkan aku, tapi aku tidak bisa! Aku tidak peduli kau mau menganggapku orang asing atau apa pun terserah, tapi yang jelas, aku masih menganggapmu sebagai adik kesayanganku, dan aku tidak mengizinkanmu untuk kembali ke sana! Kamu harus tetap di sini bersamaku, di tempat yang aman!” seru Jiola yang juga tidak kalah nyaring dari Arga, menunjukkan keseriusannya dalam  berbicara yang artinya perempuan berambut perak panjang pun tidak main-main dalam mengatakannya. Arga tentu saja kesal mendengarnya, dia tidak suka dikekang seperti ini, rasanya menyebalkan. Dia yang biasanya bebas bepergian ke mana-mana saat masih tinggal di hutan, kini harus merasa diatur-atur hanya untuk bepergian. Itu benar-benar menyebalkan. “Kalau begitu, maka tidak ada cara lain selain membuatmu tidak bisa bergerak lagi!  Jangan remehkan aku! Meskipun aku hanyalah anak-anak berusia 7 tahun, tapi tenagaku tidak jauh berbeda dengan orang-orang dewasa!” Setelah berteriak begitu, Arga langsung berlari kencang menuju tempat Jiola berdiri tegap, sembari membawa tinjuan tangannya untuk didaratkan ke tubuh perempuan berambut perak panjang itu, berniat ingin menghancurkan salah satu badan perempuan itu agar tidak bisa bergerak lagi untuk menghalang-halanginya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD