My Prince Season 2 - 73

2094 Words
Kini, Paul, Roswel, dan sepuluh pahlawan dari Madelta, tengah berjalan pelan di lorong istana yang memiliki banyak sekali jendela sehingga mereka bisa menikmati pemandangan pulau dari sana. Beberapa langkah di depan, sosok anak laki-laki kecil berjubah putih dan berkulit sangat putih yang merupakan perwujudan dari Sang Penguasa, memandu mereka untuk pergi menuju suatu tempat. Tentu saja, sepuluh pahlawan dan Paul tidak tahu tempat apa yang akan mereka kunjungi, sedangkan Roswel yang mengetahui lokasi tujuan dari ajakan Sang Penguasa, tidak sedikit pun membocorkannya pada mereka, sehingga tidak ada yang dapat mereka lakukan selain berjalan patuh mengikuti kemauan anak kecil yang sok berkuasa itu. “Kira-kira kita akan diajak ke mana, ya? Oleh Sang Penguasa?” Cherry melontarkan rasa penasarannya dengan bertanya riang pada teman-temannya yang berjalan di sekelilingnya. “Cherry yakin, sepertinya kita akan menuju suatu tempat yang menyenangkan, hihihi! Soalnya Sang Penguasa kelihatan baik sekali pada kita! Cherry benar, kan!?” “Ya, kau benar,” timpal Nico, mewakilkan teman-temannya yang lain untuk menjawab kegirangan dari Cherry yang terdengar menyebalkan itu. “Tapi banyak hal yang belum kita ketahui tentang anak itu. Aku bilang begini bukan bermaksud buruk, hanya saja kita harus berjaga-jaga kalau semisalnya sesuatu yang tidak kita sangka terjadi begitu saja. Jangan terlalu mudah percaya pada seseorang, kalian harus lebih waspada pada keberadaan orang yang baru kita temui. Meski kelihatannya dia baik, bisa saja ada niat buruk di antara segala yang dia katakan pada kita.” “Eeeeeeh!? Kok begitu, sih!?” Cherry terkejut dan mengembungkan dua pipinya, sedikit tak terima mendengar omongan Nico yang terkesan tidak percaya pada Sang Penguasa. “Padahal Cherry yakin Sang Penguasa adalah orang yang sangat baik, tapi setelah mendengar omongan Nico, Cherry jadi berprasangka buruk pada Sang Penguasa. Nico menyebalkan! Pokoknya kalian tidak boleh berpasangka buruk pada Sang Penguasa, ya! Cherry yakin seyakin-yakinnya bahwa Sang Penguasa adalah orang yang sangaaaaaaat baik! Hihihihihi!” “Aku juga percaya…. bahwa Sang Penguasa bukanlah orang yang jahat,” Koko ikut menyuarakan pendapatnya, memberanikan diri untuk bergabung ke dalam obrolan Cherry dan Nico. “Karena dari yang aku rasakan… Sang Penguasa memiliki aura yang sangat menyejukkan. Siapa pun pasti nyaman jika berada di dekatnya.” “Kalau aku sih, sepertinya lebih memilih waspada,” ungkap Colin yang sepertinya berada di kubu Nico, sebab pendapatnya terkesan menentang opini yang dikemukakan oleh Cherry dan Koko. “Soalnya aku tidak mau kita terjebak atau tertipu oleh seseorang yang kita kagumi, karena rasanya pasti sangat perih jika kita dikhianati oleh orang yang menurut kita mustahil mengkhianati. Kalian paham, kan?” “Ya ampun, kalian ini berisik sekali, ya?” Isabella mencoba bergabung ke dalam pembicaraan itu sembari sedikit mengggoda orang-orang yang baru saja berpendapat. “Sudahlah, tidak perlu diributkan seperti itu, mau apa pun yang akan terjadi selanjutnya, entah Sang Penguasa memang baik hati pada kita atau mungkin ternyata mempermainkan kita, itu hanya masalah sepele. Kita pasti akan bergerak bersama jika kemungkinan terburuk terjadi di depan kita, jadi untuk sekarang, mari kita ikuti alurnya. Bukankah lebih menyenangkan begitu? Iya, kan? Wahai teman-teman tampan dan cantikku?” Nico mendengus sebal, Colin mengernyitkan alisnya, Cherry mengembungkan pipinya semakin lebar, sedangkan Koko menundukkan kepalanya. Mereka berempat, yang sebelumnya menyuarakan opininya masing-masing, jadi terdiam dan mematung ketika Isabella Melvana mengeluarkan pemikirannya yang terkesan netral dan santai. Dan sebagian besar dari sepuluh pahlawan sepemikiran dengan Isabella, mereka tidak begitu peduli soal baik dan buruknya Sang Penguasa, karena apa pun yang akan terjadi, mereka tidak akan diam saja. Sebagai seorang mentor, Paul juga memilih bungkam ketika telinganya mendengar pembicaraan-pembicaraan dari pahlawan-pahlawannya yang terdengar membicarakan Sang Penguasa dari sisi positif hingga negatif, sebab itu bagus untuk melatih para pahlawannya saling berkomunikasi dan bermusyawarah, mendiskusikan sesuatu yang terasa tidak beres hingga memicu pertengkaran ringan dan solusi yang baik. Selain itu, Paul juga senang dan bangga saat mendengar ucapan Isabella yang kesannya tidak memihak ke kubu mana pun, malah sebaliknya, perempuan itu ingin menyadarkan rekan-rekannya untuk bersikap tenang dan santai. Menurut Paul, itu keputusan yang bijak dan tepat, karena mempermasalahkan hal yang sepele bisa membuang-buang waktu dan tentunya tidak bagus untuk dijadikan sebagai dasar melakukan suatu aksi, karena sebagai seorang pahlawan, mereka tidak boleh bertindak hanya karena didasarkan oleh prasangka-prasangka atau kekaguman-kekaguman yang hampa. Seketika, pergerakan Sang Penguasa terhenti di depan sebuah pintu besar yang daun pintunya ada dua, menyerupai sebuah pintu gerbang yang tinggi dan kokoh. Bahkan, di tiap sisi dari pintu itu, terdapat seorang penjaga berpakaian serba hitam dengan memakai baju dan helm yang terbuat dari besi. Dua penjaga itu juga memegang sebuah tongkat panjang di lengan kanannya sebagai penopang tangan mereka saat melakukan penjagaan di tiap sisi pintu. Sebelum memerintahkan para penjaganya untuk membukakan pintu, Sang Penguasa terlebih dahulu membalikkan badannya, menghadap ke arah orang-orang yang hadir di belakangnya, yang sedari tadi berjalan mengikuti langkahnya. Paul dan sepuluh pahlawannya berdiri diam di hadapan Sang Penguasa, memperhatikan anak kecil itu yang tampaknya hendak menyampaikan sesuatu pada mereka. Aromanya cukup harum, seperti mencium wangi dari parfum ruangan yang beraroma jeruk manis. Pintu itu benar-benar mengeluaran aroma yang sangat enak, membuat mereka jadi penasaran pada apa yang ada di dalamnya. “Kita sudah sampai,” ucap Sang Penguasa yang kecil dan mungil itu, memperlihatkan senyuman tipisnya yang membuat dua pipi gempalnya jadi seperti gelembung dan itu sangat menggemaskan. “Ini akan menjadi tantangan kedua yang akan kalian hadapi, tidak perlu tegang dan cemas, di sini kalian tidak akan mempertaruhkan nyawa, tidak ada yang akan terluka atau pun tewas di sini, selama kalian mampu melindungi harga diri kalian.” Entah kenapa, perkataan yang barusan Sang Penguasa katakan terkesan ambigu dan tidak mudah untuk dipahami karena ada dua perspektif yang bisa ditemukan dari ucapannya. Pertama, Sang Penguasa mengatakan bahwa ‘tidak perlu tegang dan cemas, di sini kalian tidak akan mempertaruhkan nyawa’ tentu ini terdengar sangat baik dan enak untuk didengar. Namun, pada kalimat berikutnya yang berbunyi ‘tidak ada yang akan terluka atau pun tewas di sini, selama kalian mampu melindungi harga diri kalian’ itu jelas-jelas terdengar cukup mencurigakan dan menyeramkan karena pastinya sesuatu yang akan mereka hadapi bukanlah sesuatu yang main-main, apalagi ini berkaitan dengan ‘harga diri manusia’. Sontak, menyimak perkataan dari Sang Penguasa, membuat beberapa pahlawan yang peka terhadap rangsangan ancaman lembut seperti Nico, Isabella, Abbas, dan Lizzie, hanya mematung dalam keheningan. Sedangkan sisanya, yang tidak begitu mengerti maksud ganda dari yang diucapkan Sang Penguasa, meliputi Cherry, Koko, Jeddy, Victor, Colin, dan Naomi, hanya kebingungan dan bertanya-tanya dalam diam. Paul tersenyum sambil melirik ke muka-muka sepuluh pahlawan di sampingnya, yang tampaknya beberapa di antara mereka ada yang sadar pada makna di balik perkataan Sang Penguasa, dan itu membuatnya senang sebab dengan sadarnya mereka dapat meningkatkan rasa seru pada tantangan yang akan mereka hadapi sekarang. “Buka pintunya, sekarang.” titah Sang Penguasa pada dua penjaga yang berdiri tegap di tiap sisi pintu. Mendengar perintah dari Sang Penguasa, dua penjaga itu berjalan gagah mendatangi pintu, dengan mengeluarkan suara besi yang berdencing ketika mereka berjalan, mungkin itu disebabkan pakaian yang mereka kenakan terbuat dari besi, tapi apa pun itu, membuat suasana jadi semakin menegangkan, terutama ketika pintu itu benar-benar didorong terbuka oleh para penjaga secara perlahan. Paul kelihatannya menyeringai senang, sedangkan pahlawan-pahlawannya hanya resah pada hal yang akan mereka hadapi, Naomi bahkan sampai berdoa berkali-kali pada Tuhannya agar diberi kemudahan dan keselamatan dalam menjalani ujian kedua ini, yang rasanya semakin mencekam dan mengerikan. Hingga akhirnya, pintu besar itu pun, telah benar-benar terbuka dengan sangat lebar, menampilkan sebuah gelanggang besar dan berbentuk bundar, yang dikelilingi oleh ribuan penonton, suasananya jadi mengingatkan Paul saat dirinya mengunjungi Kota Geranium bersama Nico, Jeddy, dan Koko untuk berhadapan dengan Victor Osvaldo, dan tempat pertama yang mereka kunjungi di kota itu adalah arena besar yang merupakan lokasi pertandingan gladiator yang saling bertarung terjadi. Dan gelanggang yang kini mereka saksikan, ketika masuk ke dalam pintu untuk menapaki ubin yang berasal dari bagian tempat duduk penonton, benar-benar persis seperti berada di Geranium, Victor saja bahkan sampai tertawa renyah. Setelah itu, mereka pun diajak dan dibawa oleh Sang Penguasa untuk menuju ke ruang khusus di mana para pahlawan yang akan beraksi di gelanggang berdiam diri, untuk menunggu giliran. Dan saat mereka sampai di ruangan kosong, Paul mulai memberanikan diri untuk bertanya pada Sang Penguasa, meski suaranya harus agak dinyaringkan sebab gemuruh para penonton sangat meriah sehingga siapa pun yang bersuara harus dikuatkan sedikit agar bisa terdengar. “Mengapa Anda membawa kami kemari?” tanya Paul, dengan menampilkan wajah sangarnya agar Sang Penguasa dapat menjelaskan maksud dari perilakunya membawa murid-muridnya ke ruangan kosong. “Bukankah seharusnya mereka langsung diterjunkan ke tengah arena untuk bertarung habis-habisan?” Sontak, mendengar omongan Paul yang terlalu brutal dan blak-blakan membuat sepuluh pahlawannya terbelalak dan kaget, tidak menyangka kalau ujian kedua yang akan mereka hadapi adalah pertarungan liar di tengah gelanggang yang juga disaksikan oleh ribuan penonton di sekeliling arena, wajah Colin langsung memucat pasi, rasanya ia ingin pulang saja ke Kota Swart untuk kembali bekerja di kedai daripada harus bertarung di tengah lapangan ramai seperti itu. Terlalu mengerikan. “Tidak mungkin aku menyuruh pahlawan-pahlawanmu untuk turun begitu saja ke tengah arena besar, sedangkan mereka masih tidak begitu mengerti dengan keadaan yang sedang dihadapinya. Jadi, aku akan menjelaskan dulu aturan- aturan dan sistem pertarungan dari ujian kedua ini, agar mereka bisa memahaminya dan mengerti caranya untuk bisa memenangkan pertandingan serta lolos dalam ujian kedua ini.” “Baiklah.” Angguk Paul, yang akhirnya mengerti maksud dari Sang Penguasa membawa mereka ke ruang kosong di dalam gedung mini di antara bangku para penonton di sebelah barat. “Silakan, Sang Penguasa.” Berdeham sejenak, Sang Penguasa pun mulai menghadapkan badannya ke depan para pahlawan, dengan tidak lupa menyisipkan senyuman hangat agar orang-orang yang ada di hadapannya merasa tenang dan nyaman. “Duduk saja di bangku panjang itu dan dengarkan apa yang akan disampaikan olehku, bisa?” Mematuhi perintah Sang Penguasa, satu-persatu dari pahlawan bimbingan Paul segera berjalan dan mendaratkan pantatnya di permukaan kursi panjang untuk duduk dan mendengarkan penjelasan yang akan dikemukakan oleh anak kecil itu. “Seperti yang kalian lihat barusan, ini adalah tempat ujian kedua kalian, di arena besar dan luas itu, kalian akan melalui berbagai pertandingan yang menegangkan dan bertanggung jawab atas tubuh kalian sendiri untuk melindunginya dari serangan-serangan lawan. Untuk memenangkan pertarungan, kalian setidaknya harus menguasai satu ilmu bela diri, kalau pun kalian tidak punya pengalaman apa pun, itu juga tidak apa-apa. Menangkanlah pertandingan dengan cara apa pun. Jadi, apakah kalian siap?” “Tunggu sebentar,” Nico mengangkat satu tangan kanannya, menginterupsi dan meminta diri untuk mengajukan pertanyaan terkait beberapa hal yang terkesan aneh dan membingungkan. “Anda tadi bilang bahwa ‘tidak akan ada yang terluka dan tewas di ujian kedua ini’ tapi mengapa sekarang Anda mengatakan bahwa kami bertanggung jawab atas tubuh kami sendiri untuk melindunginya dari serangan-serangan lawan, apa maksudnya itu? Bukankah itu artinya di ujian kedua ini kami akan terluka dan mungkin tewas? Tolong jelaskan mengapa perkataan Anda terdengar begitu rumit dan berlawanan.” Menyunggingkan senyuman tipisnya, Sang Penguasa senang mendengar ada salah satu pahlawan yang berani bertanya perihal ucapannya, itu benar-benar luar biasa melihat anak-anak seperti mereka tampak kebingungan dan ketakutan. “Untuk bagian itu, biarkan Roswel yang menjelaskannya, aku akan duduk di antara penonton untuk melihat aksi kalian. Semangat, ya. Jangan kalah pada setiap lawan yang akan kalian hadapi di tengah arena.” Selepas itu, dengan santainya, Sang Penguasa berjalan pergi dari hadapan mereka untuk keluar dari ruangan itu dan lenyap begitu saja, dengan bergabung ke dalam ribuan penonton untuk menyaksikan para pahlawan Madelta yang akan menghibur mereka semua. “APA MAKSUDNYA ITU!?” Lizzie langsung berteriak sesaat Sang Penguasa menutup pintu dan lenyap dari ruangan itu. Gadis tomboi itu melesat dan mencengkram kerah baju yang dikenakan oleh Paul dan Roswel secara bersamaan, dengan matanya yang melotot marah. “KATAKAN PADA KAMI, APA MAKSUDNYA ITU!?” “Jangan mencengkram kerah bajuku, b******k!” Tidak terima diperlakukan kasar oleh Lizzie, Paul melepaskan tangan gadis tomboi itu yang mencekik pakaiannya dan akhirnya dia berhasil bebas dari terkaman salah satu muridnya. “KALAU BEGITU CEPAT JELASKAN PADA KAMI!” teriak Lizze dengan suaranya yang begitu keras, membuat Cherry dan Koko menutup telinganya dengan dua tangan. Roswel hanya tersenyum meski kerah bajunya masih dicengkram oleh Lizzie, kelihatannya dia masih memilih diam saja, membuat gadis tomboi itu jadi makin kesal. “Dengar!” Ternyata bukan Roswel yang akan menjelaskannya pada mereka, melainkan Paul. “Aku juga tidak mengerti sistem pertandingannya, tapi yang jelas masing-masing dari kalian akan bertarung habis-habisan melawan sesuatu yang telah disiapkan oleh Sang Penguasa!” “Dan sesuatu yang disiapkan oleh Sang Penguasa untuk menjadi lawan kalian adalah,” Roswel mendadak bersuara, membuat sepuluh pahlawan dan juga Paul menoleh ke arah lelaki pucat itu yang kondisinya masih dicengkram oleh satu tangan Lizzie. “… Mentor kalian sendiri.” Paul terbelalak mendengarnya, sedangkan sepuluh pahlawannya langsung histeris secara bersamaan sembari memandangi sosok Sang Mentor.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD