My Prince Season 2 - 23

2760 Words
Setelah Jiola bilang demikian, entah mengapa suasana yang hening dan sepi, jadi semakin sunyi dari sebelumnya, rasanya seperti tidak ada kehidupan di tempat itu, bahkan Arga hanya mematung mendengar hal itu. Dia bingung dan agak sedikit malas untuk berekspresi, jadi dia memutuskan untuk diam saja sembari kembali melangkahkan kakinya ke depan, meninggalkan Jiola yang merupakan perempuan berambut perak panjang yang selalu mengaku-ngaku sebagai kakaknya itu.  Sontak,  Jiola terkejut saat Arga sama sekali tidak menahannya atau kembali membawanya pergi bersamanya, Sang Adik benar-benar menampilkan sikap yang sudah tidak peduli lagi pada dirinya, seolah-olah apa pun yang perempuan itu lakukan tidak begitu penting. Tentu saja itu membuat perasaan Jiola jadi terasa sakit dan perih, dicampakkan oleh adik kesayangannya sendiri. Akhirnya, Jiola hanya bisa menundukkan kepalanya dan menghela napas, kemudian dia pun kembali mengangkat kakinya untuk berjalan pelan tepat di belakang Arga, perempuan itu tampak menggigit bibir bawahnya dengan kesal. “Apa kamu tahu, meninggalkan perempuan sendirian di tengah malam seperti ini, apalagi di tempat sepi, bisa mengundang marabahaya dan tindakan kriminalitas. Apa kamu mau kakakmu ini menjadi korban kriminalitas karena ditinggalkan olehmu?” tanya Jiola dengan nada yang rendah dan bibir yang cemberut. Tampaknya Jiola ingin kembali berbaikan dengan Arga meskipun rasa jengkel dan kesal masih ada di benaknya. “Justru seharusnya aku yang berbicara begitu,” timpal  Arga dengan terus melangkahkan dua kakinya, tanpa sedikit pun menolehkan kepalanya untuk memandang Jiola yang juga berjalan di belakangnya. “Membiarkan anak kecil sepertiku berjalan sendirian di tengah malam dan di tempat sepi seperti ini, bukankah akan mengundang marabahaya dan tindakan kriminalitas? Tapi meskipun begitu, itu tidak masalah, kau tidak perlu mengkhawatirkanku, toh lagipula aku bukan adikmu.” Singgung Arga dengan mendecih, menunjukkan raut muka yang benar-benar muak pada Jiola yang ada di belakangnya. “Dan juga, sebetulnya aku tidak terlalu suka pada kata  ‘mengundang’ yang kau sebut itu, mengapa harus menggunakan kalimat seperti itu? Seolah-olah korban yang disalahkan di sini? Bukankah setiap orang punya hak untuk berjalan sendirian di tengah malam tanpa mengalami tindakan kriminal apa pun dari orang lain. Dan itu juga bukan sebuah ‘pengundangan’ atau ‘menguundang sesuatu.” “Ya, ya, ya, aku tahu kau itu jenius, tapi bisakah kau mengerti sedikit perasaanku? Aku ini sedang kesal padamu, seharusnya kau jangan meninggalkanku sendirian, tapi menahanku atau semacamnya, tapi kau malah bersikap seperti itu, bukankah itu terlalu jahat? Apalagi aku ini seorang perempun.” Ucap Jiola dengan tidak kalah kesalnya pada Arga yang kedengarannya masih saja belum memahami maksud dari perkataannya. “Dari tadi kau bilang soal, ‘perempuan’ ‘perempuan, dan ‘perempuan, memangnya kenapa kalau kau seorang perempuan, hah? Apakah dengan menjadi seorang perempuan maka kau wajib dilindungi oleh seseorang dan tidak bisa melindungi dirimu sendiri? Apakah menjadi seorang perempuan membuatmu jadi sangat lemah dan tidak bisa membela dirimu sendiri? Dan apakah dengan menjadi seorang perempuan, maka derajatmu turun satu tingkat dari seorang laki-laki? Begitukah yang kau maksud?” Arga sangat muak mendengar segala celotehan yang diucapkan oleh Jiola, karena setiap kalimat yang dikatakan perempuan berambut perak itu hanya berisikan perendahan diri kedudukan seorang perempuan, dan itu sangat tidak masuk akal. Seketika Jiola terbungkam dalam sesaat karena saking kagetnya mendengar hal yang diucapkan oleh Arga sebelum akhirnya mulai memberanikan diri untuk menimpalinya. “Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya mengatakan hal yang biasa orang-orang pikirkan tentang sosok perempuan.” “Kalau begitu berhentilah mengatakan hal yang biasa orang-orang pikirkan tentang sosok perempuan, karena aku yakin perempuan tidak selemah dan serapuh itu, mungkin memang benar, kebanyakan seperti itu tapi tidak semuanya, kan? Pasti ada di luar sana sosok perempuan yang pemberani dan kuat, bahkan mampu untuk berperang dan melindungi para laki-laki.” Kata Arga dengan nada yang penuh penekanan, tapi setelah itu cepat-cepat ia mengganti topik pembicaraan karena ia merasa tidak nyaman membahas hal-hal demikian. “Ngomong-ngomong, aku lupa jalan menuju rumahmu, bisakah kau berjalan di depanku, aku tidak ingin kita tersesat ke jalan yang salah.” Tersenyum, Jiola mulai menganggukkan kepalanya dan menggerakan langkah kakinya lebih cepat untuk bisa berjalan di depan Arga untuk menjadi penuntun menuju rumahnya. Berjalan selama beberapa menit sampai akhirnya mereka sampai di kediaman Jiola, suasananya cukup hening karena tengah malam, dan juga udaranya sangat dingin, tapi mereka sangat menikmati perjalanan itu, apalagi dibumbui dengan pembicaraan-pembicaraan serius yang dibaluti dengan nada santai, itu cukup menyenangkan menghabiskan malam dengan melakukan hall-hal semacam itu, tidak terlalu buruk. Suara-suara kerusuhan di tengah kota tidak terlalu terdengar, tapi mereka masih bisa melihat cahaya merah yang menandakan di sana telah terjadi pemberontakan besar-besaran hingga melibatkan bara api yang menggelora besar di sana. Arga dan Jiola melihatnya di jendela kamar, kebetulan kamar yang mereka tempati berada di lantai atas. Kini, Jiola dan Arga di kamar yang sama, tapi berbeda ranjang. Semua kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh Arga yang memancing situasi sehingga Para Teriana berani memulai sebuah pemberontakan dan menyebabkan kehebohan besar terjadi. Tentu saja, karena semua ras yang sering mendiskriminasi dan melecehkan Ras Teriana, mulai terkaget-kaget dan ketakutan saat melihat para Teriana menunjukkan taringnya yang selalu disembunyikan. Banyak pertumpahan darah yang terjadi di sana, banyak juga jeritan dan teriakan yang memilukan, tapi itu semua tidak sebanding dari penderitaan yang dialami oleh Ras Teriana selama bertahun-tahun hidup di kerajaan yang tidak menyambutnya dengan ramah, bahkan rasanya seperti hidup di tengah-tengah duri. Tapi sekarang, sudah saatnya untuk bangkit dan membuat perubahan, jika Para Teriana ingin bisa hidup bebas dan punya derajat yang sama dengan ras-ras lainnya yang tinggal di Kota Vanterlock, maka momentum kerusuhan besar di tengah kota, bisa jadi langkah besar untuk menciptakan kemajuan yang lebih baik. Setelah Jiola bilang demikian, entah mengapa suasana yang hening dan sepi, jadi semakin sunyi dari sebelumnya, rasanya seperti tidak ada kehidupan di tempat itu, bahkan Arga hanya mematung mendengar hal itu. Dia bingung dan agak sedikit malas untuk berekspresi, jadi dia memutuskan untuk diam saja sembari kembali melangkahkan kakinya ke depan, meninggalkan Jiola yang merupakan perempuan berambut perak panjang yang selalu mengaku-ngaku sebagai kakaknya itu.  Sontak,  Jiola terkejut saat Arga sama sekali tidak menahannya atau kembali membawanya pergi bersamanya, Sang Adik benar-benar menampilkan sikap yang sudah tidak peduli lagi pada dirinya, seolah-olah apa pun yang perempuan itu lakukan tidak begitu penting. Tentu saja itu membuat perasaan Jiola jadi terasa sakit dan perih, dicampakkan oleh adik kesayangannya sendiri. Akhirnya, Jiola hanya bisa menundukkan kepalanya dan menghela napas, kemudian dia pun kembali mengangkat kakinya untuk berjalan pelan tepat di belakang Arga, perempuan itu tampak menggigit bibir bawahnya dengan kesal. “Apa kamu tahu, meninggalkan perempuan sendirian di tengah malam seperti ini, apalagi di tempat sepi, bisa mengundang marabahaya dan tindakan kriminalitas. Apa kamu mau kakakmu ini menjadi korban kriminalitas karena ditinggalkan olehmu?” tanya Jiola dengan nada yang rendah dan bibir yang cemberut. Tampaknya Jiola ingin kembali berbaikan dengan Arga meskipun rasa jengkel dan kesal masih ada di benaknya. “Justru seharusnya aku yang berbicara begitu,” timpal  Arga dengan terus melangkahkan dua kakinya, tanpa sedikit pun menolehkan kepalanya untuk memandang Jiola yang juga berjalan di belakangnya. “Membiarkan anak kecil sepertiku berjalan sendirian di tengah malam dan di tempat sepi seperti ini, bukankah akan mengundang marabahaya dan tindakan kriminalitas? Tapi meskipun begitu, itu tidak masalah, kau tidak perlu mengkhawatirkanku, toh lagipula aku bukan adikmu.” Singgung Arga dengan mendecih, menunjukkan raut muka yang benar-benar muak pada Jiola yang ada di belakangnya. “Dan juga, sebetulnya aku tidak terlalu suka pada kata  ‘mengundang’ yang kau sebut itu, mengapa harus menggunakan kalimat seperti itu? Seolah-olah korban yang disalahkan di sini? Bukankah setiap orang punya hak untuk berjalan sendirian di tengah malam tanpa mengalami tindakan kriminal apa pun dari orang lain. Dan itu juga bukan sebuah ‘pengundangan’ atau ‘menguundang sesuatu.” “Ya, ya, ya, aku tahu kau itu jenius, tapi bisakah kau mengerti sedikit perasaanku? Aku ini sedang kesal padamu, seharusnya kau jangan meninggalkanku sendirian, tapi menahanku atau semacamnya, tapi kau malah bersikap seperti itu, bukankah itu terlalu jahat? Apalagi aku ini seorang perempun.” Ucap Jiola dengan tidak kalah kesalnya pada Arga yang kedengarannya masih saja belum memahami maksud dari perkataannya. “Dari tadi kau bilang soal, ‘perempuan’ ‘perempuan, dan ‘perempuan, memangnya kenapa kalau kau seorang perempuan, hah? Apakah dengan menjadi seorang perempuan maka kau wajib dilindungi oleh seseorang dan tidak bisa melindungi dirimu sendiri? Apakah menjadi seorang perempuan membuatmu jadi sangat lemah dan tidak bisa membela dirimu sendiri? Dan apakah dengan menjadi seorang perempuan, maka derajatmu turun satu tingkat dari seorang laki-laki? Begitukah yang kau maksud?” Arga sangat muak mendengar segala celotehan yang diucapkan oleh Jiola, karena setiap kalimat yang dikatakan perempuan berambut perak itu hanya berisikan perendahan diri kedudukan seorang perempuan, dan itu sangat tidak masuk akal. Seketika Jiola terbungkam dalam sesaat karena saking kagetnya mendengar hal yang diucapkan oleh Arga sebelum akhirnya mulai memberanikan diri untuk menimpalinya. “Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya mengatakan hal yang biasa orang-orang pikirkan tentang sosok perempuan.” “Kalau begitu berhentilah mengatakan hal yang biasa orang-orang pikirkan tentang sosok perempuan, karena aku yakin perempuan tidak selemah dan serapuh itu, mungkin memang benar, kebanyakan seperti itu tapi tidak semuanya, kan? Pasti ada di luar sana sosok perempuan yang pemberani dan kuat, bahkan mampu untuk berperang dan melindungi para laki-laki.” Kata Arga dengan nada yang penuh penekanan, tapi setelah itu cepat-cepat ia mengganti topik pembicaraan karena ia merasa tidak nyaman membahas hal-hal demikian. “Ngomong-ngomong, aku lupa jalan menuju rumahmu, bisakah kau berjalan di depanku, aku tidak ingin kita tersesat ke jalan yang salah.” Tersenyum, Jiola mulai menganggukkan kepalanya dan menggerakan langkah kakinya lebih cepat untuk bisa berjalan di depan Arga untuk menjadi penuntun menuju rumahnya. Berjalan selama beberapa menit sampai akhirnya mereka sampai di kediaman Jiola, suasananya cukup hening karena tengah malam, dan juga udaranya sangat dingin, tapi mereka sangat menikmati perjalanan itu, apalagi dibumbui dengan pembicaraan-pembicaraan serius yang dibaluti dengan nada santai, itu cukup menyenangkan menghabiskan malam dengan melakukan hall-hal semacam itu, tidak terlalu buruk. Suara-suara kerusuhan di tengah kota tidak terlalu terdengar, tapi mereka masih bisa melihat cahaya merah yang menandakan di sana telah terjadi pemberontakan besar-besaran hingga melibatkan bara api yang menggelora besar di sana. Arga dan Jiola melihatnya di jendela kamar, kebetulan kamar yang mereka tempati berada di lantai atas. Kini, Jiola dan Arga di kamar yang sama, tapi berbeda ranjang. Semua kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh Arga yang memancing situasi sehingga Para Teriana berani memulai sebuah pemberontakan dan menyebabkan kehebohan besar terjadi. Tentu saja, karena semua ras yang sering mendiskriminasi dan melecehkan Ras Teriana, mulai terkaget-kaget dan ketakutan saat melihat para Teriana menunjukkan taringnya yang selalu disembunyikan. Banyak pertumpahan darah yang terjadi di sana, banyak juga jeritan dan teriakan yang memilukan, tapi itu semua tidak sebanding dari penderitaan yang dialami oleh Ras Teriana selama bertahun-tahun hidup di kerajaan yang tidak menyambutnya dengan ramah, bahkan rasanya seperti hidup di tengah-tengah duri. Tapi sekarang, sudah saatnya untuk bangkit dan membuat perubahan, jika Para Teriana ingin bisa hidup bebas dan punya derajat yang sama dengan ras-ras lainnya yang tinggal di Kota Vanterlock, maka momentum kerusuhan besar di tengah kota, bisa jadi langkah besar untuk menciptakan kemajuan yang lebih baik. Setelah Jiola bilang demikian, entah mengapa suasana yang hening dan sepi, jadi semakin sunyi dari sebelumnya, rasanya seperti tidak ada kehidupan di tempat itu, bahkan Arga hanya mematung mendengar hal itu. Dia bingung dan agak sedikit malas untuk berekspresi, jadi dia memutuskan untuk diam saja sembari kembali melangkahkan kakinya ke depan, meninggalkan Jiola yang merupakan perempuan berambut perak panjang yang selalu mengaku-ngaku sebagai kakaknya itu.  Sontak,  Jiola terkejut saat Arga sama sekali tidak menahannya atau kembali membawanya pergi bersamanya, Sang Adik benar-benar menampilkan sikap yang sudah tidak peduli lagi pada dirinya, seolah-olah apa pun yang perempuan itu lakukan tidak begitu penting. Tentu saja itu membuat perasaan Jiola jadi terasa sakit dan perih, dicampakkan oleh adik kesayangannya sendiri. Akhirnya, Jiola hanya bisa menundukkan kepalanya dan menghela napas, kemudian dia pun kembali mengangkat kakinya untuk berjalan pelan tepat di belakang Arga, perempuan itu tampak menggigit bibir bawahnya dengan kesal. “Apa kamu tahu, meninggalkan perempuan sendirian di tengah malam seperti ini, apalagi di tempat sepi, bisa mengundang marabahaya dan tindakan kriminalitas. Apa kamu mau kakakmu ini menjadi korban kriminalitas karena ditinggalkan olehmu?” tanya Jiola dengan nada yang rendah dan bibir yang cemberut. Tampaknya Jiola ingin kembali berbaikan dengan Arga meskipun rasa jengkel dan kesal masih ada di benaknya. “Justru seharusnya aku yang berbicara begitu,” timpal  Arga dengan terus melangkahkan dua kakinya, tanpa sedikit pun menolehkan kepalanya untuk memandang Jiola yang juga berjalan di belakangnya. “Membiarkan anak kecil sepertiku berjalan sendirian di tengah malam dan di tempat sepi seperti ini, bukankah akan mengundang marabahaya dan tindakan kriminalitas? Tapi meskipun begitu, itu tidak masalah, kau tidak perlu mengkhawatirkanku, toh lagipula aku bukan adikmu.” Singgung Arga dengan mendecih, menunjukkan raut muka yang benar-benar muak pada Jiola yang ada di belakangnya. “Dan juga, sebetulnya aku tidak terlalu suka pada kata  ‘mengundang’ yang kau sebut itu, mengapa harus menggunakan kalimat seperti itu? Seolah-olah korban yang disalahkan di sini? Bukankah setiap orang punya hak untuk berjalan sendirian di tengah malam tanpa mengalami tindakan kriminal apa pun dari orang lain. Dan itu juga bukan sebuah ‘pengundangan’ atau ‘menguundang sesuatu.” “Ya, ya, ya, aku tahu kau itu jenius, tapi bisakah kau mengerti sedikit perasaanku? Aku ini sedang kesal padamu, seharusnya kau jangan meninggalkanku sendirian, tapi menahanku atau semacamnya, tapi kau malah bersikap seperti itu, bukankah itu terlalu jahat? Apalagi aku ini seorang perempun.” Ucap Jiola dengan tidak kalah kesalnya pada Arga yang kedengarannya masih saja belum memahami maksud dari perkataannya. “Dari tadi kau bilang soal, ‘perempuan’ ‘perempuan, dan ‘perempuan, memangnya kenapa kalau kau seorang perempuan, hah? Apakah dengan menjadi seorang perempuan maka kau wajib dilindungi oleh seseorang dan tidak bisa melindungi dirimu sendiri? Apakah menjadi seorang perempuan membuatmu jadi sangat lemah dan tidak bisa membela dirimu sendiri? Dan apakah dengan menjadi seorang perempuan, maka derajatmu turun satu tingkat dari seorang laki-laki? Begitukah yang kau maksud?” Arga sangat muak mendengar segala celotehan yang diucapkan oleh Jiola, karena setiap kalimat yang dikatakan perempuan berambut perak itu hanya berisikan perendahan diri kedudukan seorang perempuan, dan itu sangat tidak masuk akal. Seketika Jiola terbungkam dalam sesaat karena saking kagetnya mendengar hal yang diucapkan oleh Arga sebelum akhirnya mulai memberanikan diri untuk menimpalinya. “Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya mengatakan hal yang biasa orang-orang pikirkan tentang sosok perempuan.” “Kalau begitu berhentilah mengatakan hal yang biasa orang-orang pikirkan tentang sosok perempuan, karena aku yakin perempuan tidak selemah dan serapuh itu, mungkin memang benar, kebanyakan seperti itu tapi tidak semuanya, kan? Pasti ada di luar sana sosok perempuan yang pemberani dan kuat, bahkan mampu untuk berperang dan melindungi para laki-laki.” Kata Arga dengan nada yang penuh penekanan, tapi setelah itu cepat-cepat ia mengganti topik pembicaraan karena ia merasa tidak nyaman membahas hal-hal demikian. “Ngomong-ngomong, aku lupa jalan menuju rumahmu, bisakah kau berjalan di depanku, aku tidak ingin kita tersesat ke jalan yang salah.” Tersenyum, Jiola mulai menganggukkan kepalanya dan menggerakan langkah kakinya lebih cepat untuk bisa berjalan di depan Arga untuk menjadi penuntun menuju rumahnya. Berjalan selama beberapa menit sampai akhirnya mereka sampai di kediaman Jiola, suasananya cukup hening karena tengah malam, dan juga udaranya sangat dingin, tapi mereka sangat menikmati perjalanan itu, apalagi dibumbui dengan pembicaraan-pembicaraan serius yang dibaluti dengan nada santai, itu cukup menyenangkan menghabiskan malam dengan melakukan hall-hal semacam itu, tidak terlalu buruk. Suara-suara kerusuhan di tengah kota tidak terlalu terdengar, tapi mereka masih bisa melihat cahaya merah yang menandakan di sana telah terjadi pemberontakan besar-besaran hingga melibatkan bara api yang menggelora besar di sana. Arga dan Jiola melihatnya di jendela kamar, kebetulan kamar yang mereka tempati berada di lantai atas. Kini, Jiola dan Arga di kamar yang sama, tapi berbeda ranjang. Semua kerusuhan yang terjadi disebabkan oleh Arga yang memancing situasi sehingga Para Teriana berani memulai sebuah pemberontakan dan menyebabkan kehebohan besar terjadi. Tentu saja, karena semua ras yang sering mendiskriminasi dan melecehkan Ras Teriana, mulai terkaget-kaget dan ketakutan saat melihat para Teriana menunjukkan taringnya yang selalu disembunyikan. Banyak pertumpahan darah yang terjadi di sana, banyak juga jeritan dan teriakan yang memilukan, tapi itu semua tidak sebanding dari penderitaan yang dialami oleh Ras Teriana selama bertahun-tahun hidup di kerajaan yang tidak menyambutnya dengan ramah, bahkan rasanya seperti hidup di tengah-tengah duri. Tapi sekarang, sudah saatnya untuk bangkit dan membuat perubahan, jika Para Teriana ingin bisa hidup bebas dan punya derajat yang sama dengan ras-ras lainnya yang tinggal di Kota Vanterlock, maka momentum kerusuhan besar di tengah kota, bisa jadi langkah besar untuk menciptakan kemajuan yang lebih baik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD