My Prince - 17

1518 Words
"Ehem!" William berdehem, membuat para putri kaget mendengarnya. "Jawab pertanyaan Ayah dengan jujur! Apa yang telah kalian lakukan pada Ratu Camila?" Mendengarnya, Agnes mengernyitkan dahinya, Laila menaikan alisnya, Emilia meneguk ludahnya, Victoria mengembungkan pipinya, sementara Charlotte menahan tawanya. Tidak ada yang menjawab, suasana hening, William melirik ekspresi lima putrinya yang kelihatannya tidak tahu menahu soal masalah ini, tapi ada yang aneh pada ekspresi Charlotte, gadis itu seperti sedang menahan tawanya, membuat William penasaran ingin menanyakannya. "Charlotte!" seru William dengan tegas, tubuhnya menghadap Charlotte. "Mengapa kau senyam-senyum begitu mendengar pertanyaan Ayah? Apa yang kau tertawakan? Kurasa tidak ada yang lucu di sini." Keempat putri yang lain secara serentak menoleh pada Charlotte, memandang gadis berambut pink itu yang masih sedang menampilkan senyuman sinisnya. Sadar dirinya menjadi pusat perhatian, Charlotte menyiapkan dirinya untuk berbicara. "Ayah, bukankah seharusnya kau yang bertanya pada dirimu sendiri mengapa kau begitu mempermasalahkan luka yang menimpa wanita buruk itu? Jujurlah pada dirimu sendiri, Ayah. Aku tahu, kok, kalau saat ini, sebagian dari diri Ayah sedang berbahagia karena mantan istrimu bisa pergi dari istanamu, bukan? Lagi pula, tidak ada gunanya dia ada di sini, wanita itu hanya ingin membentak-bentakmu sampai dia merasa puas melihatmu depresi, setelah itu, dia akan pergi. Karena itulah, daripada menunggu Ayah depresi, aku mempercepat jadwal kepergiannya dari istana ini dengan caraku yang sempurna." Terkejut, William mencengkram lengan kursi singgasananya dengan kuat, matanya melotot karena marah mendengar pengakuan yang diucapkan oleh Charlotte. Tidak bisa dipercaya, ini semua ternyata adalah ulah putri bungsunya sampai membuat mantan istrinya terluka parah. Ini benar-benar keterlaluan. Keempat kakaknya pun tidak menyangka kalau adik bungsunya adalah biang keladi dari permasalahan rumit ini yang membuat mereka terpaksa meninggalkan rutinitas hariannya. Sungguh, Agnes sampai tak tahan ingin mengutuk adik bungsunya itu menjadi bangkai sekarang juga, gadis keriting itu sampai menggigit-gigit bibirnya. Victoria mengembungkan pipinya semakin besar, sampai matanya memerah karena geram pada kelakuan adik bungsunya itu. Laila sedikit cemas pada nasib Charlotte, dia tidak ingin adik bungsunya dimusuhi oleh saudara-saudaranya yang lain hanya karena anak itu telah membuat ulah, sepertinya setelah ini, ia harus membujuknya untuk meminta maaf pada Ayah. Emilia menggeleng-gelengkan kepalanya, dia sudah hafal betul kebiasaan Charlotte yang suka seenaknya menyiksa manusia, dia sampai tak habis pikir adiknya bisa separah ini, mungkin hukuman adalah cara yang tepat agar adik bungsunya menyesal telah melakukan tindakan kriminal seperti ini. Sementara Charlotte kelihatannya tidak terlalu mempedulikan semua tatapan tajam dari kakak-kakaknya, dia malah lebih fokus pada mata ayahnya yang kini sedang menerjang wajahnya dengan kemarahan yang tak tertahankan. "Maafkan Ayah, Charlotte. Tapi sepertinya, untuk sementara waktu, kau tidak bisa lagi tinggal di istana ini. Ayah akan menyuruh kakak-kakakmu untuk mengemasi barang-barangmu, lalu memerintahkan prajurit untuk memberikanmu seekor kuda agar kau bisa pergi jauh dari sini. Ayah bukan bermaksud untuk mengusirmu, tapi ... ini adalah akibat dari dosa yang harus kau tebus, Charlotte. Kalau begitu, Emilia, Agnes, Laila, Victoria, pergilah ke kamarnya Charlotte, kemasilah semua barangnya ke dalam tas besar, lalu, kau, Charlotte, tetaplah di sini bersama Ayah." Mendengar keputusan ayahnya, Charlotte agak terkejut, baru kali ini dia dihukum oleh William. Tidak mungkin, dia kira ayahnya hanya akan memarahinya sebentar lalu memintanya untuk tidak melakukannya lagi, tapi, mengapa bisa lebih buruk dari itu!? Saat ini, senyuman Charlotte sudah lenyap, dia tidak punya alasan lagi untuk tersenyum. Sementara keempat kakaknya pergi meninggalkannya sendirian di ruang singgasana, Charlotte sedikit ketakutan. Dia ingin menahan mereka berempat untuk tidak mematuhi perintah ayahnya, tapi dia tidak bisa melakukan itu karena terlalu memalukan. Lalu, mengapa mereka berempat setuju-setuju saja pada kehendak ayahnya untuk mengemasi barang-barangnya! Apa yang harus kulakukan! Aku tidak mau pergi dari sini! Aku masih ingin tetap tinggal! Jika aku pergi, siapa yang akan memberi makan hewan-hewan peliharaanku! Persetan dengan segalanya! Dada Charlotte seketika sesak, perasaannya terombang-ambing tidak karuan. Suara langkah kaki keempat kakaknya yang menjauh terdengar begitu mengerikan di telinganya. Dan hari ini, dia benar-benar merasa menyesal atas tindakannya semalam. "A-Ayah--" "Charlotte, kemarilah," perkataan Charlotte terpotong oleh suara ayahnya. Mendengar dirinya dipanggil, Charlotte berjalan tegang menghampiri ayahnya. Ketika mereka sudah sangat dekat, William menyuruh Charlotte untuk duduk di pangkuannya dengan gaya menyamping, gadis itu menurut dengan sedikit terpaksa, setelah itu, William berkata, "Apa kau masih mau tinggal di istana ini, Charlotte?" Serius, bola mata Charlotte tiba-tiba basah mendengar pertanyaan itu, kesedihannya yang kini menyertainya sudah mengumpul pada matanya, sampai akhirnya, keluarlah air mata yang baru kali ini dia tunjukkan ke ayah kandungnya. Menetes-netes seperti air hujan, air mata itu membasahi gaun merahnya. Dengan suara yang bergetar, Charlotte menjawab, "Aku masih ingin tinggal di sini. Kumohon, Ayah. Aku hanya ingin menyelamatkanmu dari wanita itu, tapi mengapa kau--" "Apa yang sudah kau lakukan, sama sekali tidak menyelamatkan Ayah, Charlotte. Sebaliknya, kau telah mendorong Ayah ke jurang yang sangat gelap dan itu membuat Ayah menderita." Charlotte menundukkan kepalanya, apa yang Ayahnya katakan benar, secara tidak langsung, gadis itu telah membuat Ayahnya semakin menderita. Padahal niat awalnya hanya ingin menyingkirkan wanita sialan itu, tapi Charlotte malah menggunakan cara yang salah. Suara tangis Charlotte yang sesenggukkan menggema di ruangan ini, saat sadar kalau keempat kakaknya sudah tidak ada di sini, membuat gadis itu semakin sedih. Tidak ada satu pun dari mereka yang menolongnya, sungguh, Charlotte tidak percaya akan hal ini. Dia kira, salah satu dari kakaknya akan berteriak pada ayahnya untuk melindunginya dari pengusiran tersebut, tapi nyatanya, itu semua hanya terjadi dalam imajinasinya saja. "Jadi," kata William dengan mengelus-elus rambut pink Charlotte. "Apa kau telah menyesali perbuatanmu, Charlotte?" *** Tok! Tok! Tok! "ARGA! BUKA PINTUNYA!" Agnes berteriak sambil menggedor-gedor pintu kamar Arga dengan sangat keras, membuat Willy yang tertidur sampai terkaget sementara pemiliknya sudah berjalan menghampiri pintu. Cklek! Ketika pintu terbuka, bukan hanya Agnes yang berdiri di hadapannya, Laila, Emilia, dan Victoria pun ada di belakang gadis keriting itu. Dilihat-lihat, wajah empat putri itu seperti sudah menangis. "A-Ada apa kalian berempat kemari?" "Tidak ada waktu lagi! Tolonglah kami! Kami tidak ingin Ayah mengusir Charlotte! Bantulah kami agar Ayah membatalkan perintahnya itu! Arga!" Emilia sampai memasang wajah super khawatir ketika mengatakan itu. "Raja William mengusir Putri Charlotte? Yang benar saja?" Arga kaget mendengarnya, dia tidak menduga kalau seorang ayah mengusir putri kandungnya sendiri, apakah karena sesuatu sampai Raja William melakukan hal sekejam itu? "Hanya kau satu-satunya harapan kami, Arga. Kau pasti bisa mengubah keputusan Ayah. Aku percaya itu." kata Laila dengan serius, wajahnya yang sembab mencoba untuk meyakinkan Arga agar dia membantunya. "Kumohooooooon~ Argaaaa~" Bahkan Victoria sampai menampilkan wajah memohon yang sangat imut di mata Arga. "Baiklah-baiklah! Kalian tunggulah di luar, aku akan bersiap-siap dulu!" Kemudian, dengan buru-buru, Arga menutup pintu kamarnya untuk berganti pakaian dan mengubah penampilannya serapi mungkin karena dia akan mememui sang raja. Sementara Willy yang masih berbaring di atas kasur kebingungan melihat sahabatnya kocar-kacir ketika memakai pakaian. "Hey Arga? Ada apa? Kelihatannya di luar ada suara gadis-gadis, apa itu para putri? Lalu, mengapa kau jadi buru-buru begitu? Jelaskan padaku, apa yang terjadi, Sobat!" "Aku sedang sibuk, Willy. Bisakah kau simpan dulu pertanyaanmu itu?" Willy langsung memberengutkan mukanya karena kesal. Setelah itu, Arga bersama Agnes, Laila, Emilia, dan Victoria bergegas untuk pergi menuju ruang singgasana raja, meninggalkan Willy sendirian di kamar. *** "Permisi, Yang Mulia." Terdengar suara berat khas lelaki dari pintu masuk, membuat perhatian Charlotte dan William dialihkan ke sumber suara. Kemudian, masuklah seorang lelaki bertanduk yang mengenakan jaket hitam berbulu yang berjalan gagah dengan diekori oleh empat gadis di belakangnya. Arga Gelisto, itulah lelaki yang saat ini sedang memimpin empat gadis itu dalam berjalan di atas karpet merah mendekati kursi singgasana William. Charlotte terpesona melihat kedatangan Arga yang begitu keren, rasa senangnya bertambah saat tahu kalau keempat kakaknya kembali ke sini tanpa membawa tas berisi barang-barangnya, yang artinya, mereka tidak mengacak-acak kamarnya, melainkan menyusul Arga untuk membantu menyelesaikan masalah ini. Sungguh, Charlotte benar-benar bahagia. Rupanya kakak-kakaknya begitu peduli padanya, mereka masih memiliki kasih sayang untuknya, benar-benar mengharukan. "Seingatku aku belum memerintahkanmu untuk datang menghadapku, lalu, ada apa ini? Mengapa kau datang dengan didampingi keempat putriku? Dan, kalian, mengapa tidak membawa barang-barang milik Charlotte yang kuperintahkan tadi?" "Maafkan saya jika kedatangan saya mengejutkan Anda, Yang Mulia. Saya kemari hanya ingin memastikan, apakah benar kalau Anda telah memutuskan untuk mengusir Putri Charlotte dari istana ini? Bolehkah saya bertanya? Apa kesalahan yang telah Putri Charlotte lakukan sampai Anda mengusirnya, Yang Mulia?" Lalu, William menjelaskan semuanya dari awal masalah ini muncul hingga bagian akhir dan Arga mulai mengerti pada inti masalahnya. Lelaki pirang itu kembali menyiapkan suaranya untuk berbicara, sementara empat putri yang ada di belakangnya hanya bisa terdiam menunggu Arga bersuara. "Sebelumnya terima kasih karena Anda rela menceritakan semuanya pada saya. Setelah mendengar apa yang Anda jelaskan, saya pikir, mengusir Putri Charlotte sebagai hukuman atas perbuatannya adalah tindakan yang keliru, Yang Mulia." William menaikan sebelah alisnya, tanda kalau dia sedikit tidak setuju pada ucapan Arga. Ketika William akan menjawab pernyataan Arga, tiba-tiba, "KUMOHON AYAH!" Emilia menjerit. "BATALKAN NIATMU!" Agnes berteriak kencang. "KARENA!" Victoria berseru. "CHARLOTTE ADALAH ADIK KAMI!" Laila bersuara lantang. Melihat semua kakaknya memohon-mohon pada Ayahnya, membuat Charlotte terbelalak tidak percaya, dan Arga tersenyum. TO BE CONTINUED ...
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD