My Prince Season 2 - 36

2829 Words
Makhluk yang ada di hadapannya karena mau bagaimana pun, hutan ini adalah tempat kekuasaannya. Orang asing tidak boleh mengambil tempatnya, Arga tetap bertahan di depan orang itu tidak lain tidak bukan untuk mempertahankan wilayahnya. Pemikirannya memang terkesan seperti hewan yang bertahan agar  wilayahnya tidak direbut oleh hewan lainnya, dan memang begitulah Arga. Mendengar perkataan dan ekspresi Arga yang terdengar dan tertampak begitu tegang, senyuman wanita itu jadi semakin mengembang dan dengan anggun, ia mulai menurunkan badannya untuk duduk di tanah, agar tinggi badannya bisa sejajar dengan Arga. Sedikit menghela napas, perempuan itu mulai berkata, “Tenanglah, aku bukan orang jahat,” kata wanita itu dengan tersenyum ramah pada Arga, meski usahanya masih gagal karena bocah pirang itu masih bersikap tegang dan waspada padanya. “Namaku Jiola, aku datang kemari untuk membawamu pulang.” “Pulang?” Seketika dua alis Arga terangkat, kelopak matanya jadi semakin terbuka lebar, dia kaget saat orang  itu mengatakan hal yang tidak masuk akal. “Tempat ini adalah rumahku, itu artinya tempat pulangku adalah di sini.” Menggelengkan kepalanya, gadis itu berusaha menenangkan Arga yang masih tetap teguh pada pendiriannya, dan mencoba untuk menjelaskannya dari awal agar anak itu bisa memahami situasi yang sebenarnya terjadi. “Aku minta maaf karena selama ini telah membuatmu tinggal di tempat ini, aku sangat minta maaf. Andaikan saja aku tahu dan bisa datang lebih awal, mungkin kamu tidak perlu bertahan hidup sendirian di tempat sepi seperti ini,” Tentu saja Arga semakin bingung pada ucapan wanita itu, tapi dia memilih diam sejenak, karena tampaknya orang itu belum selesai mengucapkan semua kata-katanya. “Sebenarnya, saat kamu masih bayi, kamu diculik oleh sekelompok Saura dan dimasukkan ke dalam tempat seperti ini untuk dijadikan sebagai mainan mereka.” “Hm? Diculik? Saura? Mainan mereka?” Kebingungan Arga semakin menggunung saat mendengar perkataan dari Jiola, wanita berambut perak berparas cantik itu yang mengenakan pakaian hitam super ketat. “Jangan membohongiku! Aku tinggal di sini dari kecil dan aku tidak pernah bertemu dengan sesuatu yang kamu sebut sebagai  Saura! Lagipula, Saura itu apa!? Aku tidak pernah melihat siapa pun selain diriku di sini! Dan ini kali pertamanya aku bertemu dengan makhluk selain diriku, dan itu adalah sosok dirimu!” Kembali menghela napasnya, Jiola menyibakkan helaian peraknya yang menutupi mata dengan jemarinya, kemudian matanya kembali fokus ke wajah Arga yang ada di depannya. Tampaknya bocah itu masih bersikeras tidak mau memahami apa yang dijelaskannya, tidak, mungkin lebih tepatnya dia tidak paham pada yang pembahasan ini, terdengar tidak masuk akal di telinga anak itu, dan itu sangat wajar. Oleh karena itulah, Jiola menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata. Arga begitu kaget saat menyadari ada suara seseorang di belakang punggungnya, padahal dia kini sedang berada di balik pohon untuk bersembunyi dari bunyi misterius yang menyerupai jejak kaki manusia, alhasil secara refleks ia membelokkan lehernya secara perlahan dan bola-bola matanya membulat saat menemukan ada seorang wanita tinggi berambut perak lurus yang panjang sepinggang, memiliki kelopak mata yang begitu cantik dan bola matanya berwarna biru, serta diberkahi wajah yang cukup cantik. Wanita asing itu juga mempunyai sepasang tanduk hitam di dahinya, sama seperti Arga, pakaian hitam ketat yang dikenakannya juga menunjukkan adanya ekor putih kelinci, juga sama seperti Arga. Sebelum membuka mulutnya, Arga terpaku  dengan kehadiran  wanita asing itu, dia tidak paham mengapa ada makhluk selain dirinya di dunia ini, karena dia mengira hanya dirinya lah satu-satunya makhluk yang hidup di alam ini. Arga tidak pernah menyangka bisa bertemu dengan makhluk yang punya bentuk badan seperti dirinya, apakah wanita asing ini adalah satu spesies dengan Arga? Tapi ada sedikit perbedaan dari lekukan badannya, orang itu tampak bertubuh langsing, berpayudara, dan punya bongkahan p****t yang besar. Sebenarnya siapa orang itu? Mengapa orang itu datang kemari dan berdiri di belakang Arga? Apa yang membuatnya datang kemari? Apakah orang itu punya niat jahat pada Arga? Sungguh, dari tadi pikiran Arga berputar-putar di  pertanyaan-pertanyaan yang semacam itu, dia cukup kebingungan sekaligus ketakutan menemukan makhluk yang sama seperti dirinya. Ini adalah momen pertama kalinya bagi Arga melihat makhluk yang punya bentuk sama seperti dirinya, tidak pernah dia duga sebelumnya. Mungkinkah ada makhluk-makhluk lain di luar sana yang juga punya kemiripan yang sama seperti Arga? Jika memang ada, itu artinya selama ini dia salah, dia tidak sendirian di alam ini. Arga benar-benar senang sejujurnya, tapi dia masih bersikap waspada, dia tidak boleh lengah karena mau bagaimana pun, orang itu adalah orang asing, dan orang asing harus diwaspadai. “Siapa kau!?” Dengan suara anak-anak yang melengking, Arga mencoba untuk bertanya pada sosok yang ada di depannya, yang kelihatannya mulai menyunggingkan senyuman tipis di bibir manisnya yang berwarna merah pekat. Angin berhembus, mengusap-usap seluruh kulit Arga yang kini tengah berkeringat dingin, dengan mata yang melotot tegang. Dua tungkai kakinya juga terlihat agak gemetar, ketakutannya sebagai anak kecil  pada sesuatu yang asing, meluap-luap di dadanya. Namun, Arga berusaha untuk tidak lari atau pun menangis, dia tidak dianggap lemah oleh makhluk yang ada di hadapannya karena mau bagaimana pun, hutan ini adalah tempat kekuasaannya. Orang asing tidak boleh mengambil tempatnya, Arga tetap bertahan di depan orang itu tidak lain tidak bukan untuk mempertahankan wilayahnya. Pemikirannya memang terkesan seperti hewan yang bertahan agar  wilayahnya tidak direbut oleh hewan lainnya, dan memang begitulah Arga. Mendengar perkataan dan ekspresi Arga yang terdengar dan tertampak begitu tegang, senyuman wanita itu jadi semakin mengembang dan dengan anggun, ia mulai menurunkan badannya untuk duduk di tanah, agar tinggi badannya bisa sejajar dengan Arga. Sedikit menghela napas, perempuan itu mulai berkata, “Tenanglah, aku bukan orang jahat,” kata wanita itu dengan tersenyum ramah pada Arga, meski usahanya masih gagal karena bocah pirang itu masih bersikap tegang dan waspada padanya. “Namaku Jiola, aku datang kemari untuk membawamu pulang.” “Pulang?” Seketika dua alis Arga terangkat, kelopak matanya jadi semakin terbuka lebar, dia kaget saat orang  itu mengatakan hal yang tidak masuk akal. “Tempat ini adalah rumahku, itu artinya tempat pulangku adalah di sini.” Menggelengkan kepalanya, gadis itu berusaha menenangkan Arga yang masih tetap teguh pada pendiriannya, dan mencoba untuk menjelaskannya dari awal agar anak itu bisa memahami situasi yang sebenarnya terjadi. “Aku minta maaf karena selama ini telah membuatmu tinggal di tempat ini, aku sangat minta maaf. Andaikan saja aku tahu dan bisa datang lebih awal, mungkin kamu tidak perlu bertahan hidup sendirian di tempat sepi seperti ini,” Tentu saja Arga semakin bingung pada ucapan wanita itu, tapi dia memilih diam sejenak, karena tampaknya orang itu belum selesai mengucapkan semua kata-katanya. “Sebenarnya, saat kamu masih bayi, kamu diculik oleh sekelompok Saura dan dimasukkan ke dalam tempat seperti ini untuk dijadikan sebagai mainan mereka.” “Hm? Diculik? Saura? Mainan mereka?” Kebingungan Arga semakin menggunung saat mendengar perkataan dari Jiola, wanita berambut perak berparas cantik itu yang mengenakan pakaian hitam super ketat. “Jangan membohongiku! Aku tinggal di sini dari kecil dan aku tidak pernah bertemu dengan sesuatu yang kamu sebut sebagai  Saura! Lagipula, Saura itu apa!? Aku tidak pernah melihat siapa pun selain diriku di sini! Dan ini kali pertamanya aku bertemu dengan makhluk selain diriku, dan itu adalah sosok dirimu!” Kembali menghela napasnya, Jiola menyibakkan helaian peraknya yang menutupi mata dengan jemarinya, kemudian matanya kembali fokus ke wajah Arga yang ada di depannya. Tampaknya bocah itu masih bersikeras tidak mau memahami apa yang dijelaskannya, tidak, mungkin lebih tepatnya dia tidak paham pada yang pembahasan ini, terdengar tidak masuk akal di telinga anak itu, dan itu sangat wajar. Oleh karena itulah, Jiola menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata. Pemikirannya memang terkesan seperti hewan yang bertahan agar  wilayahnya tidak direbut oleh hewan lainnya, dan memang begitulah Arga. Mendengar perkataan dan ekspresi Arga yang terdengar dan tertampak begitu tegang, senyuman wanita itu jadi semakin mengembang dan dengan anggun, ia mulai menurunkan badannya untuk duduk di tanah, agar tinggi badannya bisa sejajar dengan Arga. Sedikit menghela napas, perempuan itu mulai berkata, “Tenanglah, aku bukan orang jahat,” kata wanita itu dengan tersenyum ramah pada Arga, meski usahanya masih gagal karena bocah pirang itu masih bersikap tegang dan waspada padanya. “Namaku Jiola, aku datang kemari untuk membawamu pulang.” “Pulang?” Seketika dua alis Arga terangkat, kelopak matanya jadi semakin terbuka lebar, dia kaget saat orang  itu mengatakan hal yang tidak masuk akal. “Tempat ini adalah rumahku, itu artinya tempat pulangku adalah di sini.” Menggelengkan kepalanya, gadis itu berusaha menenangkan Arga yang masih tetap teguh pada pendiriannya, dan mencoba untuk menjelaskannya dari awal agar anak itu bisa memahami situasi yang sebenarnya terjadi. “Aku minta maaf karena selama ini telah membuatmu tinggal di tempat ini, aku sangat minta maaf. Andaikan saja aku tahu dan bisa datang lebih awal, mungkin kamu tidak perlu bertahan hidup sendirian di tempat sepi seperti ini,” Tentu saja Arga semakin bingung pada ucapan wanita itu, tapi dia memilih diam sejenak, karena tampaknya orang itu belum selesai mengucapkan semua kata-katanya. “Sebenarnya, saat kamu masih bayi, kamu diculik oleh sekelompok Saura dan dimasukkan ke dalam tempat seperti ini untuk dijadikan sebagai mainan mereka.” “Hm? Diculik? Saura? Mainan mereka?” Kebingungan Arga semakin menggunung saat mendengar perkataan dari Jiola, wanita berambut perak berparas cantik itu yang mengenakan pakaian hitam super ketat. “Jangan membohongiku! Aku tinggal di sini dari kecil dan aku tidak pernah bertemu dengan sesuatu yang kamu sebut sebagai  Saura! Lagipula, Saura itu apa!? Aku tidak pernah melihat siapa pun selain diriku di sini! Dan ini kali pertamanya aku bertemu dengan makhluk selain diriku, dan itu adalah sosok dirimu!” Kembali menghela napasnya, Jiola menyibakkan helaian peraknya yang menutupi mata dengan jemarinya, kemudian matanya kembali fokus ke wajah Arga yang ada di depannya. Tampaknya bocah itu masih bersikeras tidak mau memahami apa yang dijelaskannya, tidak, mungkin lebih tepatnya dia tidak paham pada yang pembahasan ini, terdengar tidak masuk akal di telinga anak itu, dan itu sangat wajar. Oleh karena itulah, Jiola menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata. Tampaknya bocah itu masih bersikeras tidak mau memahami apa yang dijelaskannya, tidak, mungkin lebih tepatnya dia tidak paham pada yang pembahasan ini, terdengar tidak masuk akal di telinga anak itu, dan itu sangat wajar. Oleh karena itulah, Jiola menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata. Pemikirannya memang terkesan seperti hewan yang bertahan agar  wilayahnya tidak direbut oleh hewan lainnya, dan memang begitulah Arga. Mendengar perkataan dan ekspresi Arga yang terdengar dan tertampak begitu tegang, senyuman wanita itu jadi semakin mengembang dan dengan anggun, ia mulai menurunkan badannya untuk duduk di tanah, agar tinggi badannya bisa sejajar dengan Arga. Sedikit menghela napas, perempuan itu mulai berkata, “Tenanglah, aku bukan orang jahat,” kata wanita itu dengan tersenyum ramah pada Arga, meski usahanya masih gagal karena bocah pirang itu masih bersikap tegang dan waspada padanya. “Namaku Jiola, aku datang kemari untuk membawamu pulang.” “Pulang?” Seketika dua alis Arga terangkat, kelopak matanya jadi semakin terbuka lebar, dia kaget saat orang  itu mengatakan hal yang tidak masuk akal. “Tempat ini adalah rumahku, itu artinya tempat pulangku adalah di sini.” Menggelengkan kepalanya, gadis itu berusaha menenangkan Arga yang masih tetap teguh pada pendiriannya, dan mencoba untuk menjelaskannya dari awal agar anak itu bisa memahami situasi yang sebenarnya terjadi. “Aku minta maaf karena selama ini telah membuatmu tinggal di tempat ini, aku sangat minta maaf. Andaikan saja aku tahu dan bisa datang lebih awal, mungkin kamu tidak perlu bertahan hidup sendirian di tempat sepi seperti ini,” Tentu saja Arga semakin bingung pada ucapan wanita itu, tapi dia memilih diam sejenak, karena tampaknya orang itu belum selesai mengucapkan semua kata-katanya. “Sebenarnya, saat kamu masih bayi, kamu diculik oleh sekelompok Saura dan dimasukkan ke dalam tempat seperti ini untuk dijadikan sebagai mainan mereka.” “Hm? Diculik? Saura? Mainan mereka?” Kebingungan Arga semakin menggunung saat mendengar perkataan dari Jiola, wanita berambut perak berparas cantik itu yang mengenakan pakaian hitam super ketat. “Jangan membohongiku! Aku tinggal di sini dari kecil dan aku tidak pernah bertemu dengan sesuatu yang kamu sebut sebagai  Saura! Lagipula, Saura itu apa!? Aku tidak pernah melihat siapa pun selain diriku di sini! Dan ini kali pertamanya aku bertemu dengan makhluk selain diriku, dan itu adalah sosok dirimu!” Kembali menghela napasnya, Jiola menyibakkan helaian peraknya yang menutupi mata dengan jemarinya, kemudian matanya kembali fokus ke wajah Arga yang ada di depannya. Tampaknya bocah itu masih bersikeras tidak mau memahami apa yang dijelaskannya, tidak, mungkin lebih tepatnya dia tidak paham pada pembahasan ini, terdengar tidak masuk akal di telinga anak itu, dan itu sangat wajar. Oleh karena itulah, Jiola menganggukkan kepalanya sebelum akhirnya kembali berkata. “A-Aku tidak percaya!” Meski bilang begitu setelah mendengar semua penjelasan yang dikemukakan oleh Jiola, wanita langsing berparas cantik berambut putih perak itu, Arga sebenarnya tercengang dengan semua itu tapi dia masih sedikit mengelaknya, jadi sikapnya masih menunjukkan penolakan. “Aku tidak percaya sedikit pun pada apa yang kau ucapkan! Semuanya hanya omong kosong!” Sungguh, Jiola hanya menggeleng-gelengkan kepalanya dengan perlahan sembari menyunggingkan senyuman tipisnya saat melihat reaksi negatif yang Arga tunjukkan padanya setelah menyimak segala yang ia katakan. Jiola tidak kesal apalagi marah, dia malah sebaliknya, merasa menyesal dan sedih melihat anak kecil seperti Arga harus hidup sebatang kara di tempat yang menyerupai hutan seperti ini. Seharusnya  anak-anak seusia Arga bisa hidup dengan nyaman dan menyenangkan di rumah keluarganya, tertawa dan bersenang-senang, menghabiskan waktu dengan orang tuanya serta bermain-main dengan mainan-mainan anak kecil adalah hal yang sepatutnya semua anak-anak punya di masa tersebut. Sedangkan Arga, dia terpaksa harus hidup dan bertahan di tengah hutan seperti ini sendirian dengan usianya yang masih tujuh tahun, tidak ada keluarga, tidak ada mainan, dan tidak ada seorang pun yang bisa dijadikan teman di tempat seperti ini. Jiola sangat tidak tega pada apa yang selama ini Arga alami di tempat yang menyerupai hutan belantara seperti ini, matanya jadi berkaca-kaca, air matanya tampak mau keluar tapi dia usahakan untuk menahannya karena dia tidak mau membuat anak itu salah paham saat melihat dirinya menangis. Sebelum kesedihannya semakin berlanjut, Jiola segera dengan cepat merespon seruan Arga dengan kata-kata yang bernada halus dan lembut. “Tidak apa-apa, aku mengerti. Aku tidak akan memaksamu untuk mempercayai perkataanku, aku hanya ingin kamu paham bahwa aku bukanlah orang jahat. Aku datang kemari untuk mengeluarkan dari tempat ini. Aku ingin menyelamatkanmu. Kamu tidak boleh terus tinggal sendirian di tempat seperti ini. Aku akan membawamu ke tempat kamu bisa mendapatkan kebahagiaan, kehangatan, dan juga banyak teman.” “OMONG KOSONG!” Arga memundurkan langkahnya, mengambil sikap untuk menjauhi Jiola, dia seakan-akan tidak ingin terlalu dekat dengan wanita asing itu. “Pergilah dari sini! Jangan ganggu aku! Aku sedang memanggang ikan! Perutku sangat lapar! Jika kau terus-terusan di sini, aku tidak bisa menyantapnya! Jadi pergilah dari sini! PERGILAH YANG JAUH!” Jiola menghela napasnya, ia mengedikkan bahu dan menggeleng-gelengkan kepalanya, rambut peraknya terombang-ambing ketika kepalanya bergoyang-goyang, dia pun kembali mengangkat badannya yang tengah berjongkok untuk berdiri tegak seperti sebelumnya. Jiola merasa sudah tidak perlu lagi menjelaskan apa pun pada Arga, karena tidak akan mempan. Sekarang, yang harus dia lakukan adalah harus membuat Arga nyaman berada di dekatnya, setidaknya dia harus mencoba untuk memulai suatu pendekatan sehingga anak itu bisa melihatnya tidak sebagai orang asing melainkan temannya. “Maafkan aku, sepertinya aku mengganggu acara makan siangmu. Silahkan, kau boleh kembali ke tempatmu, tidak perlu takut, aku tidak akan mennganggumu lagi. Aku akan pergi dari sini,” kata Jiola dengan senyuman hangatnya pada Arga sembari mengeluarkan sesuatu dari kantung celananya yang terletak di pinggangnya. “Tapi ambilah ini, masakanmu akan terasa nikmat jika ditaburkan dengan garam.” Arga mengernyitkan alis ketika matanya melihat sebuah botol mungil berisi bubuk putih yang baru saja dikeluarkan oleh Jiola dari kantung celananya, dia penasaran apa kegunaan dari bubuk putih itu sehingga bisa membuat masakannya jadi enak hanya dengan menaburkannya. “Garam? Apa itu? Apakah itu racun? Apakah kau mau meracuniku?” Tergelak, Jiola sedikit tertawa mendengar omongan polos Arga yang begitu penuh waspada, seolah-olah apa pun yang dilakukan oleh dirinya adalah sebuah kejahatan. Padahal kenyataannya sebaliknya, Jiola sangat mengkhawatirkan dan menyayangi Arga karena dia tahu anak itu telah hidup sendirian dan tinggal di tempat sepi seperti ini bertahun-tahun. “Bukan. Ini bukan racun,” jawab Jiola dengan santai. “Ini adalah garam yang dapat membuat masakanmu jadi terasa asin dan itu bisa menambah kelezatan pada masakanmu. Jika kamu tidak berani mencobanya, maka bisakah kamu izinkan aku untuk memakannya bersamamu? Aku akan menunjukkannya padamu bahwa garam bukanlah racun.” Mendengarnya, Arga terpaku dalam diam, dia bingung harus merespon apa karena di satu sisi dia masih terasa terganggu dengan kehadiran orang asing itu, tapi di sisi lain dia juga penasaran seperti apa rasa dari garam yang disebut-sebut orang itu, mungkinkah itu racun atau benar-benar pelezat makanan? Arga benar-benar kebingungan saat ini. “Baiklah,” Setelah berpikir cukup lama akhirnya Arga memutuskan untuk menerima tawaran itu karena dia sudah sangat penasaran pada benda yang disebut-sebut sebagai garam itu, yang katanya mampu membuat makanan menjadi terasa lezat dari biasanya, meskipun dia masih menjaga jarak dari Jiola karena sikap waspadanya yang belum hilang sepenuhnya. Tapi dibalik semua itu, dia mulai menerima kehadiran Jiola.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD