CHAPTER DUA

1836 Words
Gadis itu melangkah kaki lebar- lebar ke barisan anak tangga yang ada di depannya. Sebelah tangannya membawa buku mata kuliah dan sebelah yang lainnya menyingsingkan rok panjang yang dikenakannya. Mulutnya tak berhenti meruntuk. Kakinya melangkah cepat hingga akhirnya ia jatuh tersungkur saat menabrak seseorang. “Aduh…” keluhnya sambil berusaha bangun dan mengusap- usap sikunya yang baru saja beradu dengan lantai. “Lo nggak apa- apa?” laki- laki yang ditabraknya mengambil buku- buku milik gadis itu dan memberikannya pada gadis yang sedang berusaha berdiri itu. “Eh, nggak apa- apa, maaf, makasih.” Katanya lalu menerima buku- buku dari tangan laki- laki di depannya dan berlalu dari tempat semula. Kamal masih melihat punggung gadis itu tergesa gesa menjauhinya hingga akhirnya masuk ke kelas Lara. Setelah beberapa saat mengamati pintu kelas itu dari kejuhan, ia melangkahkan kaki kembali ke fakultasnya. *** Bara menatap seorang perempuan dan laki- laki yang duduk tak jauh dari tempatnya. Kedua orang itu tampak akrab dengan obrolan dan sesekali tertawa. Mata tajam Bara menatap lurus ke si laki- laki. Ia mengertakkan giginya sebagai protes dan ketidaksukaannya. Berkali- kali ia berdecak saat melihat laki- laki itu mencoba membuat kontak fisik dengan gadis itu. Bara sudah berkali- kali bilang pada Ciara untuk tidak dekat dengan laki-laki manapun, juga pada Nugi untuk tidak mendekati Ciara. Tapi sekeras apapun ia melarangnya, kedua orang itu tak juga mau mendengarkannya. Mereka berdua bersikeras bahwa Bara tak punya hak melarang kedekatan mereka, dan memang iya. Bara tak punya hak sama sekali, ia hanya ingin menjaga Ciara untuk Mahesa. Karena ia yakin, suatu saat nanti, Mahesa akan kembali, entah untuk menemuinya atau menemui Ciara dan yang harus ia pastikan adalah…Ciara tidak dalam keadaan dekat dengan siapa- siapa. Tak ada yang bisa dilakukannya untuk Mahesa selain menajga gadis itu. Ia bisa mengerti jika Mahesa mungkin tidak akan menemuinya, tapi ia yakin suatau saat Mahesa akan menemui Ciara. Ia tahu sebesar apa perasaan laki- laki itu pada Ciara. Ia telah mengenalnya bertahun- tahun dan sadar bahwa perasaan yang dimiliki Mahesa pada Ciara tak seperti pacar- pacarnya terdahulu. Hanya gadis itu yang mampu mengendalikan Mahesa dan ia tahu Mahesa tak akan melepaskan gadis itu begitu saja. Setelah menghela napas kasar, Bara mengeluarkan satu buku dari tasnya lalu berdiri dan mendekati kedua orang itu. Bara menjatuhkan buku itu di atas meja yang di tempati Ciara dan Nugi hingga menimbulkan debuman keras. “Cia, private dong.” katanya sambil menunjuk buku itu dengan telunjuknya. Ciara menghela napas panjang lalu menatap Bara yang tampak tersenyum, dia mulai tahu akal- akalan laki- laki itu. Tapi ia tahu sekeras apapun ia menolak, laki- laki itu akan mau mendengarkannya. “Abis kelas aja, ya.” Usulnya. Bara langsung menggeleng. Seakan- akan memberitahu dengan jelas bahwa kedatangannya adalah untuk merusakan kebersamaan Ciara dan Nugi. “Nggak bisa. Gue maunya sekarang.” Bara menatap Nugi yang menunjukkan seraut wajah jengkel. Ia tersenyum sinis. Tak ingin menunjukkan sikap berpura- pura. Bara duduk di samping Ciara dan mulai membuka buku ilmu kedokteran dan forensik lalu mengajukan beberapa pertanyaan pada Ciara. Mereka bertukar pikiran dan pendapat sementara Nugi hanya memerhatikan dengan perasaan kesal. Dari awal, ia memang tidak menyukai Bara. Laki- laki itu terlihat jelas kalau berusaha menjauhkan dirinya dari Ciara. Ia tak mengerti dengan laki- laki itu. Keduanya tak memiliki hubungan apapun tapi laki- laki itu selalu mencampuri urusannya dengan Ciara. “Ra, gue ke kelas dulu ya.” Katanya sambil menggendong tas di bahu kanannya. Ciara menatapnya dengan tatapan bersalah lalu mengangguk pelan. “Nanti pulangnya gue antar, ya.” Kata Nugi sebelum pergi. “Nggak usah, nanti Ciara gue yang antar pulang.” Selak Bara langsung, membuat Nugi tersenyum sinis. “Lo mau balik bareng siapa, Ra?” kali ini tatapan Nugi tertumbuk sepenuhnya pada Ciara. “Gue. Gue yang bakal antar dia. Nggak usah nanya- nanya Ciara, deh.” kata Bara lagi tak mau kalah. Nugi melirik Bara sinis lalu menatap Ciara yang mengisyaratkan agar tidak memperpanjang masalah dengan Bara. Untuk ke sekian kalinya, Nugi mengalah. Setelah menatap Bara dengan raut wajah kesal yang tak bisa disembunyikan, ia meninggalkan keduanya kembali ke gedung fakultasnya. Sepeninggal Nugi, Bara menoleh ke arah Ciara, “Gimana skripsi?” tanyanya. “Udah sembilan puluh persen.” Jawab gadis itu. “Terus kenapa masih ke kampus?” tanya Bara lagi. Kini ia menopang dagunya dengan sebelah tangannya yang sakunya ia tempelkan di meja. “Ada beberapa buku yang harus gue pinjam di perpustakaan.” Bara tampak mengangguk sambil tersenyum, lalu menutup bukunya. “Gue selesai kelas jam tiga. Tunggu di sini, Oke.” Laki- laki itu berdiri lalu mengusap pucuk kepala Ciara sebelum menghilang dari pandangannya. Ciara mendesah melihat tingkah Bara. Laki- laki itu selalu saja begitu. Setelah berhasil membuat Nugi pergi, laki- laki itu juga akan pergi dan menyadarkannya bahwa apa yang dilakukannya hanyalah taktik untuk menjauhkannya dari Nugi. Ciara selalu meminta Nugi mengalah pada Bara. Mengenal Bara sejak SMA membuatnya tahu bagaimana watak laki- laki itu. Ia tak ingin Nugi dan Bara bertengkar hanya karena dirinya. Ia tahu bahwa Bara sanggup melakukan apapun. Termasuk masalah baku hantam bahkan pada orang yang lebih tua darinya. Ciara tahu bahwa Bara telah kehilangan rasa takutnya sepeninggal ibunya. Ia tahu bahwa Bara sanggup melawan siapa saja yang tak ia suka. *** Suasana kantin itu ramai. Meja- meja panjang dengan kursi yang seukuran panjang meja terisi oleh mahasiwa yang tengah mengisi perut mereka. Para penjual sibuk membuatkan pesanan untuk mahasiwa yang sudah kelaparan. Kamal dan Ayra sedang menmepati salah satu meja saat Lara berlari menghampirinya. Gadis itu duduk di samping Kamal lalu menyeruput es teh manis milik laki- laki itu tanpa permisi. “Pelan- pelan, Ra.” Kata Kamal saat melihat Lara menyeruput minuman itu dengan cepat seakan sudah lama tenggorokannya tak menyentuh air. “Haus banget nih, gue. Abis ceramah di depan kelas.” Jawabnya setelah berhasil menandaskan isi gelas Kamal. Kamal berdiri dari duduknya lalu mendekati penjual minuman dan kembali dengan dua buah air mineral di tangannya. “Nih,” ia memberikan satu botol pada Lara yang langsung membukanya dan kembali meneguk isinya. Ayra hanya geleng- geleng kepala melihat tingkah saudara kembarnya. Setelah melihat Lara puas membasahi tenggorokkannya, Kamal berkata, “Ra, cewek yang satu kelas sama lo, yang hari ini pakai rok, namanya siapa?” tanyanya pada Lara yang langsung menatapnya bingung. Lara menatap Ayra yang juga kebingungan. “Yang pakai rok? Banyak, yang rok seberapa? Selutut atau sepaha?” tanyanya meyakinkan. “Rok jeans panjang.” Jelas Kamal. Ia menatap Lara. Sangat menantikan jawaban gadis itu. Lara tampak berpikir sementara Ayra menatap Kamal penasaran, “Oh, Dila, yang rambutnya panjang di kuncir?” kata Lara seraya memastikan. Ia melihat Kamal mengangguk. “Dila namanya?” “Iya, Adila Safitri.” “Kenapa, Mal?” kali ini Ayra yang bertanya. Kamal tersenyum kecil. “Cantik.” jawab laki- laki itu singkat. “Jangan main- main sama dia. Dia cewek baik- baik.” Kata Lara sambil melotot pada Kamal. Dila adalah salah teman baiknya di kelas. Ia tidak akan membiarkan sahabatnya menyakiti gadis itu. “Kenalin gue dong. Gue suka sama dia.” Katanya dengan nada berbinar seakan- akan ia benar- benar sedang jatuh cinta. Ayra meneguk ludahnya dengan susah payah. Apa kali ini Kamal akan benar- benar melabuhkan hatinya. Pasalnya, Kamal tidak pernah secara terang- terangan berkata bahwa ia menyukai perempuan. Biasanya perempuan- perempuan itu yang mengejar- ngejar Kamal dan menyatakan cintanya. “Lo serius, Mal?” tanya Ayra seraya meyakinkan. Ia melihat laki- laki di depannya mengangguk dengan mantap. Hatinya mencelos. Ada guratan sakit yang menyayat hatinya. “Kalau lo nggak serius, jangan harap gue mau ngenalin lo.” Lara bersidekap sambil menatap Kamal tajam. “Nggak, kali ini gue serius. Pokoknya lo harus kenalin gue sama dia, ya.” pinta kamal dengan nada memohon. Satu yang tidak bisa Kamal lupakan dari perempuan yang ditemuinya di koridor fakultas sastra indonesia itu adalah bola mata cokelat bulat yang menatapnya. Membuatnya langsung terhipnotis, juga karena perempuan itu tidak menoleh lagi sesaat setelah meninggalkannya yang terpaku di tempat. Kamal yang terbiasa menjadi pusat perhatian merasa aneh karena gadis itu tak lagi menoleh padanya setelah menjauhinya. Kamal merasa bahwa gadis itu berbeda dengan gadis- gadis yang selama ini menjadi pacaranya. Kamal tak percaya cinta, namun ia tahu bahwa gadis itu mungkin gadis yang tepat untuknya. *** Sedan legam itu berhenti di sebuah rumah sederhana. Rumah yang sudah tak asing lagi bagi Bara. Ia menoleh, melihat Ciara tengah membuka safety belt lalu menoleh ke arahnya. “Makasih.” Kata gadis itu, “tapi lain kali lo nggak perlu kayak gini. Lo nggak bisa terus menerus mencoba menjauhkan gue dari Nugi.” lanjutnya. “Lo suka sama Nugi?” tanya Bara dengan nada tegas namun tenang. “Apapun perasaan gue sama dia. Itu nggak ada hubungannya sama lo.” balas Ciara sambil menatap mata Bara tanpa takut. Ia sudah harus menjelaskan pada laki- laki itu bahwa perasaannya adalah miliknya sepenuhnya. Laki- laki itu tak perlu bertanya bagaimana perasananya pada Nugi. “Berapa kali sih gue bilang sama lo. Lo nggak boleh punya hubungan sama siapa- siapa.” Bara memberi penekanan dalam kalimatnya. Ia menatap tajam pada Ciara yang menghela napas. Bahu gadis itu melemas. Seakan memberitahunya bahwa ia bosan berdebat mengenai ini. “Kenapa, Bar? Gue nggak berhak bahagia? Lo juga nggak punya hak atas diri gue.” kini Ciara melirih. Ia menatap Bara dengan tatapan lembut. “Bukannya gue udah sering bilang kalau lo harus nunggu Mahesa?” “Buat apa? Lo yakin dia bakal muncul lagi di hadapan kita? Kalau dia mau, dia seharusnya menunjukkan dirinya sejak dulu. Udah empat tahun, Bar, gue nggak bisa nunggu seseorang tanpa kepastian yang jelas.” Kata Ciara dengan nada putus asa. Bara melihat air muka gadis itu berubah. Ia tahu, bukan hanya dia yang nyaris putus asa menunggu kedatangan Mahesa, tapi juga gadis itu. Laki- laki itu berdehem keras lalu berujar, “Mahesa pasti datang. Cepat atau lambat.” Katanya. Ciara memilih untuk tidak menanggapi kata- kata Bara. Setelah mengucapkan terima kasih untuk kedua kalinya, ia keluar dari mobil dan masuk ke dalam rumahnya. Bara menatap punggung Ciara yang menjauhinya. Ia memukul setir mobilnya berkali- kali. Mengetahui bahwa tidak bisa terus menerus menyuruh Ciara mengikuti semua perkataannya. Ia tahu bahwa cepat atau lambat, gadis itu akan melabuhkan hatinya. Entah pada Nugi ataupun pria lain. Benar kata gadis itu. Ciara tak bisa terus menerus dipaksa menunggu Mahesa. Gadis itu tak bisa terus menerus menunggu seseorang yang tidak pasti kedatangannya. Gadis itu perlu membuka hatinya. Gadis itu perlu mengejar kebahagiaannya sendiri. Bara mengacak- acak rambutnya. Bahkan setelah empat tahun kepergian Mahesa, ia sama sekali tak bisa melepaskan pikirannya pada laki- laki itu. Ia masih kerap bermimpi buruk. Semua perlakuan buruknya pada Mahesa selama sekolah menangah atas kadang menghantui setiap malamnya. Ia tahu semua perbuatannya mungkin tak bisa di maafkan. Tapi ia hanya ingin bertemu dengan laki- laki itu. Ia ingin memastikan keadaan laki- laki itu baik- baik saja. Ia ingin meminta laki- laki itu kembali ke rumah dan memulai semuanya dari awal. Ia ingin meperbaiki semua yang pernah ia rusak dahulu. TBC LalunaKia
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD