Chapter 1

1962 Words
“Ini adalah keenam kalinya kita pindah sejak aku TK” Gumam seorang gadis berusia dua puluh tahun yang duduk di kursi tengah mobil sembari memeluk bantal kesayangannya dengan permen di dalam mulutnya seraya menatap keluar jendela.    Dialah Savannah Arletta Aster yang lebih akrab disapa ‘Ar’ atau ‘Arletta’ di keluarga maupun lingkungan pertemanannya.    “Maaf, sayang. Ini juga bukan keinginan Ayah. Bersabarlah sebentar lagi. Ayah janji, ini adalah terakhir kalinya kita pindah” Ucap Arya Bramasta –sang Ayah- yang tengah menyetir mobil menuju bandara.    “Iya, sayang. Bersabarlah sebentar lagi” Sahut Alia Fransisca –sang Ibu- dengan sedikit menolehkan kepalanya pada sang putri yang duduk di belakangnya.    “Memangnya kenapa kita harus pindah lagi, Bun?” Tanya seorang gadis lainnya dengan boneka dalam pelukannya. Lily Arisha Divya, adik Savannah yang masih berusia dua belas tahun.    “Kamu tahu tempat kerja lama Ayah? Di sana, Ayah bekerja dengan sangat baik, jadi atasan Ayah memutuskan untuk memindahkan Ayah ke tempat yang lebih besar lagi” Jawab Alia.    “Wah~ Benarkah?” Seru Lily antusias. Gadis kecil itu bahkan sampai memperlihatkan kedua gigi taringnya.    “Tentu saja” Jawab Alia yang disertai dengan senyuman di wajahnya. Sementara itu, Savannah yang hanya mendengarkan percakapan mereka hanya terdiam. Ia bukanlah gadis kecil seperti adiknya. Ia sudah cukup dewasa untuk memahami hal-hal seperti itu.    Ia tahu, Ayahnya baru saja dimutasi oleh perusahaannya. Jika sang Ayah dipindahtugaskan karena promosi jabatan, maka mereka tidak perlu pindah lagi sejak ia berusia sepuluh tahun, seperti yang diucapkan sang Ibu dulu.    Dan meski saat ini Savannah memiliki banyak keluhan atas kehidupan yang ia alami, ia sama sekali tak pernah mengeluh pada kedua orang tuanya atau siapapun itu. Karena ia tahu, kehidupan orang dewasa itu sulit. Ia paham dan ia mengerti itu. Jika ia mengeluh, maka itu hanya akan menambah beban orang lain.    “Lalu, kita akan pindah ke mana, Bun?” Tanya Lily. “Ke Jakarta” Jawab Alia. “Jakarta?” Tanya Lily. “Iya, sayang. Di sana ada banyak gedung tinggi. Kendaraannya juga lebih banyak dari pada di Surabaya” Ucap Alia.    “Benarkah, Bunda?” Tanya Lily antusias yang dijawab anggukan kepala oleh Alia. “Wah~ Lily sudah tidak sabar sampai di sana” Serunya membuat Alia dan Arya terkekeh dengan tingkah laku putri bungsu mereka itu.    ‘Jakarta, ya? Kota yang penuh persaingan dan... polusi” Batin Savannah. -------                          “Wah~ Ini rumah baru kita, Bunda?” Tanya Lily ketika mereka baru saja tiba di sebuah yang berada di kawasan perumahan yang cukup elit di Jakarta.    “Iya, sayang. Ini rumah baru kita” Jawab Alia sembari merangkul putri bungsunya itu. “Besar sekali” Gumam Lily. “Yey~” Serunya seraya melompat-lompat di tempat. “Bagaimana? Kamu suka, Nak?” Tanya Arya pada Savannah yang hanya berdiri memandangi rumah tersebut.    “Apa kali ini Ayah benar-benar mendapat promosi?” Tanya Savannah balik membuat Arya terdiam.    “Terima kasih, Nak” Ucap Arya membuat Savannah menoleh pada sang Ayah. “Terima kasih karena sudah mau bersama sampai sekarang. Ayah paham kalau selama ini kamu mencoba untuk tidak bertanya apapun setiap kali kita pindah. Tapi kali ini, Ayah benar-benar mendapatkan promosi itu” Lanjutnya serata menatap sang putri seraya tersenyum.    Senyum itu pun menular pada Savannah hingga membuat gadis berusia dua puluh tahun itu ikut tersenyum. Ternyata kali ini tebakannya salah. Ayahnya benar-benar mendapat promosi. Dan ia harap, ini adalah kali terakhir mereka harus pindah antar kota seperti ini.    “Nah, sekarang. Ayo, masuk~” Seru Arya yang disambut gembira oleh Lily dan Alia. Arya, Lily, serta Alia lantas segera masuk ke dalam rumah bertingkat dua tersebut dengan sedikit berlari mengikuti Lily yang berada di barisan depan. Sementara Savannah, gadis itu masih berdiri di tempatnya memandangi rumah bercat putih yang dimasuki oleh keluarganya.    Bukan karena ia mengagumi rumah itu. Bukan pula karena ia baru melihat rumah mewah seperti itu. Dan juga, bukan karena ia merasa bahwa akhirnya ia bisa tinggal di rumah seperti itu.    Meski rumah yang dulu mereka tempati juga lumayan besar, tapi rumah ini dua kali lebih besar dari rumah mereka sebelumnya. Dan ia harap, rumah ini akan menjadi rumah terakhir mereka.    Itulah yang ia pikirkan saat ini. Savannah lalu tersenyum. Saat ia hendak melangkahkan kakinya memasuki rumahnya, ekor matanya menangkap seseorang yang mengintip di sisi kanan. Ia lalu menolehkan kepalanya. Namun, ia sama sekali menemukan siapapun di sana.    “Apa aku salah lihat?” Tanya Savannah pada dirinya sendiri sembari mencari-cari keberadaan orang itu. “Sudahlah, mungkin aku benar-benar salah lihat” Gumam Savannah kemudian mulai melangkahkan kakinya masuk ke dalam rumah barunya tersebut.    Setelah Savannah masuk ke dalam, seorang pria keluar dari balik tembok putih dengan senyuman di wajah tampannya seraya memandangi pintu yang baru saja Savannah tutup. Cukup lama pria itu berdiri di sana memandangi rumah itu hingga ia berbalik dan masuk ke dalam rumahnya yang berada tepat di samping rumah Savannah.    -------                            “Ar bisa sendiri, Yah. Ar bukan anak kecil lagi” Ucap Savannah ketika sang Ayah bersikeras untuk menemaninya ke kampus barunya di hari pertama ia pindah universitas.    “Ayah yang tidak bisa. Ayah harus lihat kondisi kampusnya secara langsung. Bagaimana kalau ternyata di kampus itu terdapat para pem-bully yang suka mem-bully mahasiswi pindahan seperti kamu? Pokonya Ayah akan ikut” Ujar Arya.    “Ini abad ke dua puluh satu dan Ar sudah kuliah, Yah. Jadi mana ada yang seperti itu?” Tanya Savannah. “Mau ini abad dua puluh satu atau tiga puluh satu, kamu sudah kuliah atau sudah kerja, Ayah akan tetap menemanimu masuk” Ucap Arya.    “Tapi, Yah...” Rengek Savannah. “Tidak ada tapi-tapian Arletta” Tegas Arya. “Ikuti saja kemauan Ayah-mu, sayang. Kamu tahu ‘kan, Ayah-mu ini  tidak mengerti zaman modern seperti ini. Di mana semua pem-bully sudah musnah” Sindir Alia membuat Arya melirik kesal pada sang istri yang saat ini telah berdiri dari duduknya dan masuk ke dapur.    Bukannya Savannah tak suka jika Arya ikut masuk mengantarnya ke kelas seperti yang dulu pria itu lakukan. Ia hanya tak bisa membayangkan bagaimana pandangan orang-orang di kampus nanti saat melihatnya yang sudah sebesar ini tapi masih ditemani oleh sang Ayah.    “Ayo, nanti kamu telat” Ajak Arya seraya berdiri dari duduknya. “Iya, Ayah” Seru Lily yang sangat antusias karena hari ini ia akan bersekolah di sekolah yang baru.    Sementara Savannah hanya berdiri dari duduknya tanpa menjawab ucapan sang Ayah. Setelah memakai tasnya, ia lalu mengikuti Arya dan Lily yang telah berjalan lebih dulu.    “Ar” Panggil Alia yang baru datang dari dapur. “Ini bekalmu, sayang” Lanjutnya seraya memberikan sebuah paperbag pada Savannah yang diterima oleh gadis itu dengan senang hati.    Untuk yang satu ini, ia sama sekali tak memiliki keluhan apapun karena masakan sang Ibu sangat enak dari pada makanan kantin mana pun. Jadi ia lebih suka membawa bekal dari pada jajan di luar.    “Terima kasih, Bun. Ar pergi dulu” Pamit Savannah. “Iya. Hati-hati di jalan, sayang” Ujar Alia. Ketika Savannah telah melangkahkan kakinya keluar rumah, Arya kembali berjalan masuk lalu mengecup kening sang istri.    “Aku lupa” Ucap Arya dengan cengirannya. “Dasar” Gumam Alia merajuk pada Arya. Mood-nya hampir hilang hari ini karena Arya hampir pergi tanpa mengecup keningnya seperti biasa.    Savannah yang menyaksikan ke-uwu-an kedua orang tuanya hanya bisa menggelengkan kepalanya kemudian melanjutkan langkahnya menuju mobil.    -------                            “Lihat, ‘kan? Tidak ada pem-bully di sini. Jadi, sekarang Ayah boleh pergi” Bisik Savannah pada Arya yang kini tengah mengamati sekeliling di sepanjang langkah mereka menuju ruang dosen yang akan menjadi ketua jurusan Savannah.    “Ayah akan pergi setelah melihatmu masuk ke kelas” Ucap Arya membuat Savannah tak habis pikir dengan Ayahnya itu.    Savannah yang tak bisa mengalahkan kekeraskepalaan sang Ayah akhirnya hanya bisa menurut. Sepanjang perjalanan mereka, Savannah hanya menundukkan kepalanya karena malu. Orang-orang yang melihatnya ditemani sang Ayah pasti berpikir kalau ia adalah anak manja.    Setelah lumayan jauh berjalan, akhirnya mereka sampai di depan sebuah ruangan dengan pintu berwarna coklat. Arya mengetuk pintu yang langsung terdengar seruan ‘masuk’ dari dalam ruangan tersebut. Savannah dan Arya pun masuk ke dalam dan langsung disambut oleh seorang pria paruh baya dengan rambut yang keseluruhannya hampir memutih.    “Pak Arya, benar?” Tanya pria paruh baya tersebut sembari berdiri dari duduknya menghampiri Arya dan Savannah. Ia lalu mengulurkan tangannya pada Arya untuk berjabat tangan.    “Benar, Pak” Jawab Arya membalas uluran tangan pria paruh baya itu. “Perkenalkan, saya Thomas Liem. Kepala jurusan Sastra Inggris” Ucap pria bernama Thomas tersebut. “Senang bertemu dengan Anda, Pak” Ujar Arya. “Ini putri saya, Savannah Arletta Aster” Lanjutnya. Savannah lalu membungkukkan sedikit tubuhnya pada Thomas sebagai salam yang dibalas dengan anggukan kepala oleh pria itu.    “Silakan duduk” Pinta Thomas yang langsung dituruti oleh Arya dan Savannah. Thomas dan Arya lalu mulai berbincang, sementara Savannah hanya mengamati ruangan tersebut dengan sedikit bosan karena matanya sudah mengamati setiap benda yang ada di sana lebih dari lima kali sejak mereka duduk.    Tak lama kemudian, Thomas dan Arya berdiri yang membuat Savannah terkejut dan langsung ikut berdiri mengikuti kedua pria tersebut.    “Tolong jaga putri saya, Pak. Dia cukup keras kepala, jadi jangan ragu untuk menegurnya” Ucap Arya membuat Savannah merutuki sang Ayah yang terlalu jujur.    “Tidak masalah, Pak. Semua remaja juga seperti itu di usia mereka” Ujar Thomas seraya terkekeh. “Semoga kamu betah di sini Savannah” Lanjutnya. “Terima kasih, Pak” Ucap Savannah. Setelah mengetahui letak ruang kelas Savannah, Arya dan Savannah pun pamit dari ruangan Thomas menuju ruang kelas Savannah. “Ayah, dari sini Ar bisa ke kelas sendiri. Ayah berangkat ke kantor saja, nanti Ayah terlambat” Ucap Savannah mencoba peruntungannya untuk yang terakhir kali. “Ayah sudah izin akan terlambat hari ini, jadi jangan khawatir” Ujar Arya tersenyum. “Ayo” Ajaknya kemudian beranjak dari sana meninggalkan Savannah yang menunduk lesu lalu mengikuti sang Ayah dengan terpaksa. Setelah melewati tiga lantai, akhirnya Arya dan Savannah tiba di ruang kelas Savannah. Kelas SI-1. “Sudah sampai, Ayah bisa pergi sekarang” Ucap Savannah mengusir sang Ayah. “Tunggu sebentar” Ucap Arya kemudian mulai mengintip ke dalam kelas Savannah melalui jendela membuat Savannah memutar bola matanya. “Baiklah, kalau begitu Ayah pergi dulu” Lanjutnya setelah melihat tak ada yang mencurigakan di dalam kelas tersebut. “Belajar yang rajin, jaga sikap, dan pilihlah teman yang baik. Mengerti?” Ucap Arya. “Mengerti Ayah” Ujar Savannah. Arya lalu tersenyum kemudian mengecup kening Savannah lalu pergi dari sana. Setelah kepergian Arya, Savannah pun mengatur degup jantungnya yang mulai berdebar kencang. Ini adalah hari pertamanya di kampus tersebut. Dan ia sangat gugup sekarang. “Kamu siapa?” Tanya seorang wanita menghampiri Savannah. “Apa kamu mencari seseorang?” Tanya wanita tersebut. “Saya Savannah, Bu. Mahasiswi pindahan” Jawab Savannah. “Oh~ Savannah. Pak Thomas sudah memberi tahu saya” Ucap wanita tersebut. “Saya Lena Azkia, dosen kepariwisataan” Lanjutnya. “Iya, Bu” Ujar Savannah. “Kalau begitu, ayo masuk. Kelas sudah dimulai” Ajak Lena kemudian membawa Savannah masuk ke dalam kelas begitu saja membuat Savannah semakin gugup. “Selamat pagi” Sapa Lena. “Pagi, Bu~” Balas para mahasiswa dan mahasiswi. “Hari ini kita kedatangan mahasiswi pindahan dari Surabaya” Ucap Lena yang langsung mendapat sorakan dan siulan dari para mahasiswa. Meski mereka sudah mengenyam pendidikan di bangku kuliah, tapi tetap saja kelakuan mereka masih seperti anak SMA. “Ssstt... Semuanya diam!” Teriak Lena yang membuat semuanya diam. “Savannah, ayo perkenalkan dirimu” Pinta Lena yang diangguki oleh Savannah. “Namaku Savannah Arletta Aster. Kalian bisa memanggilku Ar atau Arletta. Aku pindahan dari Surabaya, semoga kita bisa berteman dengan baik” Ucap Savannah yang kembali mengundak sorakan dari para mahasiswa membuat jantung Savannah berdebar semakin kencang. ‘Apa aku mengatakan sesuatu yang salah? Kenapa mereka semua bersorak?’ Batin Savannah. “Ssstt...” Seru Lena sembari memukul-mukul meja. “Savannah, silakan duduk di bangku yang kosong” Pintanya. “Baik, Bu” Ucap Savannah kemudian berjalan menuju sebuah bangku kosong yang berada di belakang dengan pandangan semua pria yang mengikutinya. “Baiklah, semuanya tenang. Kita mulai kelas pagi ini” Seru Lena. Semuanya pun mulai bersiap-siap, begitu pula dengan Savannah. Saat ia hendak mengeluarkan buku dari dalam tas, kepalanya menoleh ke samping kirinya di mana seorang pria tersenyum seraya melihatnya. Pria itu berjarak tiga kursi darinya. Savannah yang dilihat seperti itu pun membalas dengan senyuman ramah kemudian kembali memalingkan kepalanya. ‘Sepertinya aku akan butuh waktu lama untuk menyesuaikan diri di sini’ Batin Savannah. Di saat semua orang mulai memperhatikan Lena yang tengah menjelaskan di depan, pria tadi justru terus memperhatikan Savannah tanpa gadis itu sadari. -------                            Love you guys~           
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD