Ceroboh

3785 Words
Good reading :* :* --lima tahun yang lalu-- "Ini siapa Nad?" Kiara yang baru meletakkan nampan berisi minuman untuk teman-teman Nadia, menoleh ke arah salah satu teman Nadia yang barusan bertanya. Kiara tahu bahwa teman-teman kuliah Nadia ini sering datang ke rumah untuk mengerjakan tugas kelompok mereka, tapi memang baru kali ini Ibu menyuruh Kiara menyuguhkan minuman untuk mereka. Karena itu, Kiara baru kali ini juga melihat wajah teman-teman Nadia secara langsung. "Dia anaknya nyokap tiri gue," jawab Nadia datar, bahkan tanpa menoleh pada Kiara yang tertegun menatapnya. "Kok gue baru liat?" "Baru pindah ke sini sebulan yang lalu." Teman Nadia yang tadi bertanya itu langsung berdiri dan menghampiri Kiara lalu mengulurkan tangannya, "Hai, adek kecil. Kenalin, gue Fabian. Panggil aja Bian." Kiara melirik Nadia yang tak acuh, kemudian gadis berusia lima belas tahun itu membalas jabatan tangan dari Fabian. "Kiara." Fabian tersenyum lebar kemudian tanpa diduga, tiba-tiba menarik kepang rambut Kiara dan memainkannya. "Lo lucu, imut. Kayak boneka apa itu namanya yang suka dimainin cewek itu?" "Barbie." salah satu teman perempuan Nadia menyahut. "Ah iya, Barbie." Fabian tertawa sambil mengacak-acak pelan poni rambut Kiara. Kiara yang diperlakukan seperti itu hanya bisa tersipu, sambil melirik takut-takut pada Nadia yang masih fokus pada layar laptop. Kiara berniat untuk segera meninggalkan ruang tamu ini, tapi urung karena teman-teman Nadia juga mengajaknya berkenalan seperti Fabian. Dan saat Kiara menatap teman terakhir Nadia yang hendak berkenalan dengannya, mata Kiara tidak berkedip sama sekali. Laki-laki berambut cepak itu sangat tampan. Kiara baru melihat laki-laki setampan ini, bahkan teman barunya yang dianggap paling tampan di sekolah pun kalah tampan. Alisnya tebal, bola matanya berwarna hitam pekat, dan hidungnya mancung. Apalagi ditambah kacamata yang bertengger manis di hidungnya itu. Itu sangat mengingatkan Kiara pada tokoh utama novel yang baru seminggu lalu dibacanya. Laki-laki di depannya ini seolah visualisasi dari karakter yang digambarkan penulis dalam novel itu. "Akbar." Kiara spontan menyebutkan nama tokoh utama itu. "Kok lo tau kalo nama dia Akbar?" tanya Fabian, sambil mengerutkan kening. Kiara melongo, tergeragap lalu menolehkan kepalanya pada Fabian. "Kakak ini mirip sama tokoh utama dari novel yang Kia baca. Namanya Akbar." ucapan polos itu keluar dari mulut Kiara, lengkap dengan telunjuknya yang menunjuk wajah laki-laki itu. Fabian dan teman-temannya --kecuali Nadia-- tertawa, "Tapi nama dia emang Akbar kok. Panji Akbar Pratama." Laki-laki berkacamata itu menaikkan sebelah alisnya menatap Kiara, kemudian berdiri tepat di depan gadis itu. Kiara mengerjap-ngerjapkan matanya saat laki-laki itu sedikit menundukkan wajahnya dan menatapnya lekat. "Jadi menurut kamu, saya mirip Akbar di novel yang kamu baca?" Kiara menggigit bibir dalamnya, lalu mengangguk pelan. Suara berat laki-laki itu entah kenapa membuat jantungnya terasa tidak nyaman. Seperti Kiara habis berlari kencang, padahal tadi Kiara sama sekali tidak melakukan olahraga yang berat. Atau ... membawa delapan gelas minuman dari dapur ke ruang tamu itu termasuk olahraga yang berat? "Sebenarnya, sebelum ini nggak ada yang panggil saya dengan nama 'Akbar'. Tapi untuk kamu, bolehlah untuk pengecualian." laki-laki itu tersenyum miring pada Kiara yang masih diam terpaku. "Si Barbie masih kecil loh Nji, mau jadiin dia korban baper lo juga? Ck ck parah lo!" Fabian menyeletuk, disambut sorakan teman-teman laki-lakinya. "Siapa yang anak kecil? Kia udah kelas satu SMA, tau!" sahut Kiara agak kesal pada Fabian. Enak saja Fabian mengatainya anak kecil padahal Kiara sudah kelas satu SMA. Dan apa tadi katanya? Korban baper? Apa itu baper? Bahasa orang Jakarta suka aneh-aneh tidak seperti bahasa kampungnya di Jogjakarta. "Unyu banget sih Barbie kalo kesal gitu," sahut Fabian sambil mencubit pipi Kiara. Teman-teman mereka hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah Fabian yang terlihat senang mengganggu Kiara, kecuali Nadia yang tampak tidak terganggu dan masih sibuk dengan tugas di laptopnya. Akbar menoleh pada Fabian sambil tersenyum miring, "Jangan bikin dia kesel, Bi. Gue adalah Akbarnya yang bakal lindungi dia." Kiara menatap bingung pada Akbar, merasa tidak mengerti dengan apa yang diucapkan Akbar. Kiara tidak bisa memendam rasa ingin tahunya, karena itu ia terbiasa menanyakan apa yang tidak dipahaminya. Tapi sebelum Kiara sempat bertanya, Akbar sudah berbicara kembali sambil mengerling jahil pada Kiara. "Ngomong-ngomong, Akbar di novel yang kamu baca itu cowok yang keren kan? Saya keren dong ya berarti?" pertanyaan itu membuat Kiara malah mengatupkan mulutnya. Ia tidak tahu apa yang terjadi, tapi ditatap seperti itu oleh Akbar yang baru beberapa menit dikenalnya itu entah kenapa membuat jantung Kiara terasa tidak nyaman. *** Kiara mengerjap-ngerjapkan matanya menatap langit-langit kamar yang berwarna putih kusam. Kenangan lima tahun lalu saat awal-awal bertemu dengan Akbar kembali melintas di benaknya, setelah hampir dua tahun ini berhasil ia usir dari pikirannya. Kiara mendesah, kemudian mengguling-gulingkan tubuhnya di atas ranjang dengan gelisah. Setelah empat tahun, ia tidak menyangka akan kembali bertemu dengan laki-laki itu lagi. Bahkan yang lebih parahnya, ternyata Akbar adalah kakak Dio. Itu adalah kebetulan yang sangat tidak disangka-sangka. Sejak dulu Kiara memang sudah tahu kalau nama abang Dio itu adalah 'Panji', tapi Kiara sama sekali tidak berpikir bahwa dia orang yang sama dengan 'Panji' teman Nadia sekaligus 'Akbarnya' Kiara. Akbar masih sama seperti dulu, meskipun sekarang sudah terlihat lebih dewasa. Tentu saja. Dulu saat Akbar berumur dua puluh saja sudah terlihat dewasa karena sifatnya yang pendiam dan tidak banyak bicara. Apalagi sekarang saat umurnya sudah dua puluh lima? Potongan rambut Akbar juga masih sama seperti saat mereka pertama kali bertemu, yaitu potongan rambut cepak. Akbar juga tetap berkacamata seperti dulu, yang membuat Kiara selalu terkagum-kagum pada laki-laki yang umurnya lima tahun di atasnya itu. Kiara menggeleng-gelengkan kepalanya sambil berdecak pelan. Bagaimana bisa usahanya melupakan dalam empat tahun, runtuh begitu saja hanya karena kembali bertemu Akbar? Kiara menggenggam telapak tangan kanannya. Sentuhan kulit Akbar saat mereka bersalaman tadi masih terasa membekas di tangannya. Untung tadi suara deheman Dio menyadarkan Kiara akan keterkejutannya, sehingga Kiara bisa menguasai diri dan mengenalkan diri seolah mereka memang belum pernah kenal sebelumnya. Dan itu disambut baik oleh Akbar, yang juga mengenalkan diri sebagai 'Panji' bukan 'Akbar'. Walaupun Kiara merasa sesuatu yang berat menikam dadanya saat Akbar benar-benar bersikap seperti orang asing, padahal Kiara sendiri yang memulainya. Ting! Kiara mengambil ponselnya yang berdenting tanda ada pesan w******p masuk. Dio Permana: jgn lp mimpiin bang Panji ya Ki! Kiara mencebikkan bibirnya, sedari tadi Dio terus saja meledeknya. Cuma karena Kiara menatap Akbar dengan lekat tanpa berkedip. Untung tadi Kiara segera pamit pulang dengan beralasan bahwa ia punya tugas kuliah yang harus segera diselesaikan malam ini juga. Dan itu artinya Kiara bisa lolos dari ledekan Dio secara langsung, walaupun Dio tetap akan meledeknya lewat pesan seperti ini. Dio tidak tahu saja kalau Kiara tadi bukan terpesona, tapi terkejut setengah mati. *** "Rah, ini mau ditaruh di mana?" Kiara yang tengah menggulung kasur di kamar, segera keluar dan menghampiri laki-laki yang sedang berdiri di dekat lemari plastik. Dia adalah Om Ari, teman dekat Tante Rahma. Hari ini Om Ari memang datang untuk membantu mereka mendekor ulang rumah baru mereka. Rumah itu memang sudah bertahun-tahun tak ditinggali, karena itu kondisinya cukup kacau. Cat pada dindingnya sudah berlumut dan mengelupas. Warna langit-langit juga sudah kusam, harus dilapisi batu kapur lagi agar cerah. Beberapa kenop pintu juga sudah rusak. Bahkan di kamar Kiara juga tidak ada lemari pakaian, makanya Kiara menggunakan lemari plastik yang dibawanya dari kontrakan. Kondisi rumah ini memang tidak bisa dikatakan baik, tapi Tante Rahma bersedia menyewa karena biaya sewa per bulannya cukup terjangkau. "Itu ditaruh di kamar Kia aja, Om. Di kamar Tante udah ada lemarinya," ucap Kiara. Tante Rahma sedang mengurus perabotan dapur, makanya tidak mendengar pertanyaan Om Ari. Om Ari mengangguk dan menunjuk kamar pertama dari arah ruang tamu, "Oke. Kamar kamu yang ini, kan?" "Iya, Om." Om Ari segera mengangkat lemari itu menuju kamar Kiara. "Kiara, kita datang!" teriakan melengking itu membuat Kiara yang baru akan mengikuti Om Ari, menoleh ke arah pintu depan. "Loh Agnes? Rasti? Kok kalian bisa datang bareng?" tanya Kiara, menghampiri Agnes dan Rasti yang sudah berdiri di depan rumah. Agnes dan Rasti memang sudah saling mengenal, tentu saja Kiara yang mengenalkannya. Itu karena Rasti sering datang ke kontrakan saat Dio dan Agnes juga datang. Oh iya, Agnes sudah tahu kalau sekarang Kiara adalah tetangga Dio. Dari siapa lagi kalau bukan dari Dio? Semalam Agnes meneleponnya dan mengatakan akan membantu Kiara dan Tante Rahma beres-beres. Sementara Dio ada kelas hari ini, jadi tidak bisa membantu. Sedangkan Rasti yang tahu Kiara sudah pindah, langsung meminta dikirimi alamat rumah Kiara yang baru. "Tadi nggak sengaja ngeliat si Rasti celingukan sendirian di pinggir jalan, ya udah gue ajak bareng deh. Dari pada dikira bocah ilang kan?" jawab Agnes, yang dihadiahi tepukan Rasti di lengannya. "Enak aja lo Nes! Nggak Ki, tadi mobil gue mogok di pinggir jalan." Kiara tertawa, kemudian menyuruh kedua sahabatnya itu agar masuk. "Loh ada Rasti sama Agnes juga?" tanya Tante Rahma yang baru keluar dari dapur. "Hai Tante Rahma. Ini aku bawain kue buatan aku sendiri," ucap Rasti sambil memberikan sekotak kue pada Tante Rahma. "Kok repot-repot sih, Rasti? Kamu udah datang aja Tante udah seneng kok," jawab Tante Rahma sambil menerima kue itu. "Nggak apa-apa, Tan." Rasti tertawa kemudian menoleh pada Kiara, "Kamar lo yang mana, Ki?" Kiara menunjuk kamar di sebelahnya, kemudian masuk diikuti Rasti dan Agnes. Di dalam kamar masih ada Om Ari yang tengah memeriksa beberapa bagian kamar yang mungkin harus diperbaiki. Ya, Kiara terpaksa mengosongkan kembali kamarnya karena Tante Rahma akan merenovasi kamarnya agar lebih cantik. Kiara sih nurut-nurut saja. "Kiara, ini temboknya Om kasih kertas dinding aja ya? Kayaknya kamar remaja lebih menarik kalau pake kertas dinding," ucap Om Ari dengan pandangan ke arah dinding yang catnya sudah mengelupas itu. Kiara mendekat pada Om Ari, "Oke deh, Om. Tapi yang warnanya cerah, ya. Kia nggak suka warna gelap." Om Ari tersenyum, "Oke." "Oh iya satu lagi, siapa bilang Kia masih remaja? Kia itu udah dua puluh, Om!" "Tapi cara ngomong kamu itu masih kayak anak SD, Ki." sahut Om Ari tertawa geli sambil mengacak-acak rambut Kiara. Kiara mendengus kesal. "Hei, kalian temannya Kiara ya?" Om Ari beralih menatap Rasti dan Agnes yang memandang Om Ari penuh rasa ingin tahu. "Kenalin saya calon Om-nya Kiara, panggil aja Om Ari." Om Ari mengulurkan tangannya sambil mengedipkan sebelah matanya pada Kiara. Rasti dan Agnes menyambut uluran tangan itu sambil menyebutkan nama mereka masing-masing. "Calon Om apaan? Om aja nggak berani nembak Tante," cibir Kiara yang dibalas tawa salah tingkah Om Ari. "Bukan nggak berani, Ki. Tapi nunggu waktu yang tepat aja," kilah Om Ari. "Sama aja, Om." Kiara tetap mencibir, membuat Om Ari tidak tahan untuk mengacak-acak rambutnya lagi. "Lagi pada ngomongin apa nih, kayaknya seru banget?" Tante Rahma masuk dan langsung bertanya. Om Ari mendekatkan telunjuk ke bibirnya, meminta mereka merahasiakannya. Kiara, Rasti dan Agnes jadi tertawa geli dibuatnya. "Lagi ini ngomongin apa aja yang harus aku beli lagi buat renov kamarnya si Kiara, ya kan Ki?" Kiara hanya mengangguk sambil tersenyum geli. "Iya Mas, kayaknya kamar Kia harus lebih banyak direnov biar Kia lebih nyaman aja nempatinnya." Tante Rahma menyahut. Kiara memeluk singkat tantenya itu, "Baik banget sih tantenya Kia ini." Tante Rahma tertawa. "Ya udah yuk Rah, kamu ikut aku ke toko bangunan buat nambah barang-barang yang harus kita beli sekalian ambil barang yang kemaren sudah kupesan," ajak Om Ari. "Oke, Mas. Kia, Rasti sama Agnes, Tante tinggal dulu ya." pamit Tante Rahma. Rasti dan Agnes mengacungkan jempol. "Om Ari kayaknya baik ya, Ki?" ucap Agnes sepeninggal Om Ari dan Tante Rahma. "Iya, jauh banget sama mantan Tante yang kerja di kantor bea cukai itu," sahut Kiara. "Eh Ki, lo bisa liat kamar Dio dong dari sini?" Rasti yang sudah berdiri di dekat jendela, lantas bertanya. "Iya dong. Kan kemaren Dio ngira aku hantu juga karena liat aku di sini," jawab Kiara sambil tertawa. Rasti dan Agnes juga ikut tertawa. "Besok-besok lo bisa tuh Ras nginep di sini buat ngeliatin Dio kalo malem-malem ngadem di balkon," celetuk Agnes. Kiara tertawa, "Iya bener, Rasti boleh kok nginep di sini. Sambil ngestalk Dio juga boleh." Rasti mengerucutkan bibirnya, "Apa sih?!" Kiara dan Agnes sontak tertawa melihat wajah merona Rasti. Mereka berdua memang sama-sama tahu kalau Rasti itu diam-diam menyukai Dio. "Kia!" Ketiga perempuan itu saling berpandangan. "Loh bukannya itu suara Dio?" tanya Kiara. "Iya, kayaknya. Wah baru diomongin udah nongol aja. Panjang umur tuh anak," ucap Agnes sambil tertawa, membuat Rasti tersenyum malu. "Tapi bukannya Dio ada kelas pagi, ya?" tanya Kiara. Agnes mengedikkan bahu, "Paling-paling bolos lagi dia." "Kia lo dimana?! Sahabat lo yang ganteng maksimal ini dateng!" Agnes bergidik geli mendengar teriakan Dio. Gadis itu segera mengajak Kiara dan Rasti keluar. Dan benar saja, sudah ada Dio di teras rumah. Laki-laki itu melambaikan tangannya begitu melihat ketiga temannya keluar. "Kok Dio di sini? Bukannya hari ini kuliah, ya?" tanya Kiara. "Dosennya nggak dateng. Lagian gue disuruh nyokap buat jadi tukang dadakan di sini," jawab Dio sambil menaik-turunkan alisnya, "Hai Rasti!" Rasti tersenyum pada Dio, "Hai juga, Yo!" Agnes pura-pura mau muntah, "Sumpah kalian kayak anak SD yang baru pedekate. Nggak banget!" Dio dan Rasti tertawa. "Suka-suka kita dong, Nes. Sirik aja lo!" sahut Dio. Agnes mencebikkan bibirnya, "Serah dah. O iya, lo ke sini mau bantuin Kiara? Lo mah bukan bantuin malah ngerecokin!" cibir Agnes. "Enak aja. Gini-gini gue tuh bantu-able ya! O iya, gue juga bawa bala bantuan kok." "Siapa?" "Tuh!" Kiara menoleh ke arah yang ditunjuk Dio, dan gadis itu langsung terpaku melihat laki-laki berkacamata yang muncul dari samping rumah. Kiara memejamkan mata sambil menghela napas berat. Tekadnya semalam untuk menghindar sebisa mungkin agar tak bertemu Akbar, sepertinya tidak direstui oleh semesta. "Tumben nggak kerja hari Sabtu, Bang?" tanya Agnes. Meskipun Agnes adalah anak dari kakak Tante Bintang, tapi Agnes tetap memanggil Akbar dengan sebutan 'Bang' karena umurnya lima tahun di bawah laki-laki itu. "Ada tugas dari nyonya besar," jawab Akbar sambil berjalan mendekat. Suara khas Akbar membuat Kiara hanya bisa diam menundukkan wajahnya. Kiara tahu tugas apa yang dimaksud, karena Tante Rahma tadi sempat bercerita bahwa Tante Bintang akan menyuruh kedua anaknya untuk membantu merenovasi rumah mereka. "Tante Rahma di mana, Ki?" tanya Dio. "Lagi ke toko bangunan sama Om Ari," jawab Kiara sambil menoleh ke arah Dio. Namun gadis itu langsung mengalihkan pandangannya karena tidak sengaja bertemu pandang dengan Akbar. "Oke. Sekarang kita mulai dari mana dulu?" Dio yang sudah berdiri, tampak bersemangat membantu. "Ehm, tadi kata Tante Rahma dari dapur dulu aja. Soalnya dapur paling parah," jawab Kiara kaku. Berada di dekat Akbar benar-benar membuat Kiara salah tingkah. "Gue liat dapurnya deh," Dio segera masuk, diikuti Agnes dan Rasti. Kiara yang tertinggal segera buru-buru menyusul, namun entah kenapa tiba-tiba kakinya oleng dan membuatnya hampir jatuh kalau saja tangannya tidak berpegangan pada pintu. "Ceroboh!" cibir Akbar yang langsung berjalan melewatinya. Kiara terdiam, menatap punggung Akbar sambil menghela napas panjang. Teringat akan sebuah kejadian yang membuat Akbar mengatainya ceroboh juga. --Lima tahun yang lalu-- Kiara berlari kecil menyusuri jalan setapak di taman kompleks tempat para warga sering joging saat akhir pekan. Dengan celana training dan kaos pendek berwarna putih, Kiara mulai berlari kecil. Kegiatan ini sangat Kiara sukai sejak kecil. Dulu saat Ayah masih hidup, Kiara sering sekali berlari pagi seperti ini bersama Ayah. Bedanya saat itu tempat untuk berlari adalah persawahan sehingga jalannya naik-turun, tidak datar seperti di kota. Kiara menghentikan larinya saat ia melihat seorang anak kecil menangis sendirian di sisi jalan yang lain. Segera dihampirinya anak itu. "Hei, Adek kenapa?" tanya Kiara sambil berjongkok menyejajarkan tinggi badan mereka. Anak kecil berumur tiga tahunan itu menatap Kiara sambil mengusap-usap kedua pipinya yang basah. "Mamanya mana? Kenapa Adek sendirian di sini?" tanya Kiara lagi, sambil membantu menghapus air mata anak perempuan di depannya. "Mama hiks lagi hiks beli minum. Andin hiks ditinggal cendilian. Es klim Andin jatuh hiks hiks ...," anak itu terisak kembali sambil menunjuk cup es krim yang sudah tergeletak di jalan dengan isinya yang sudah meleleh. Kiara menangkupkan kedua tangannya di pipi anak itu, "Cup cup anak baik nggak boleh nangis. Nanti beli lagi ya es krimnya." "Andin ndak punya uang hiks hiks ...," Kiara tersenyum sambil merogoh saku celananya dan mengeluarkan selembar uang, "Taraa Kak Kia punya uang. Yuk Kak Kia beliin Andin es krim sambil nunggu Mama datang." Andin mengangguk antusias, dan Kiara langsung menggandeng tangan Andin menuju penjual es krim yang tak jauh dari tempat mereka. Setelah membelikan es krim, Kiara mengajak Andin duduk di bangku taman. "Enak?" tanya Kiara sambil mengusap bibir Andin yang belepotan oleh es krim. Andin mengangguk senang sambil memakan es krimnya. "Rumah Andin dekat sini?" tanya Kiara. Andin mengangguk. "Andin cuka datang ke cini cama Mama. Tapi Andin ndak pelnah liat Kakak di cini deh." Kiara tertawa, "Iya, Kak Kia baru aja pindah. Dulu Kak Kia tinggal di Jogja." "Jogja itu di mana? Jauh ndak?" "Nggak jauh, tapi harus naik bis kalo mau ke sana. Andin udah pernah naik bis?" "Belum. Andin kalo pelgi cuka naik mobil Papa." Kiara tertawa kecil melihat tingkah dan cara bicara Andin yang lucu. Itu mengingatkannya pada Fabian yang sejak pertama kenal dengan Kiara, selalu menertawakan cara bicara Kiara. Beda dengan Akbar yang lebih pendiam, meskipun kadang suka jahil membuat Kiara salah tingkah. Ah, Kiara jadi ingin bertemu Akbar lagi. Meskipun baru beberapa kali bertemu dengan teman-teman Nadia itu, tapi Kiara sudah cukup akrab dengan mereka. Apalagi Fabian yang tiap kali datang ke rumah selalu menyempatkan diri untuk menghampiri Kiara, apalagi tujuannya jika bukan untuk mengganggu? Akbar juga sering menghampiri Kiara kalau Kiara sedang ada di depan rumah, tapi tidak melakukan apa-apa. Hanya duduk diam mengacak-acak rambut Kiara, kemudian kembali ke dalam lagi untuk mengerjakan tugas mereka. "Andin!" suara teriakan itu membuat Kiara tersadar dari lamunan dan langsung menoleh ke asal suara. "Mamaaa," Andin turun dari bangku dan langsung menghampiri wanita muda yang berlari tergesa-gesa ke arah mereka. Wanita itu langsung memeluk Andin erat. "Andin ke mana? Mama nyariin, tau..." ucap wanita itu masih terus menciumi pundak Andin. "Andin tadi nangis nunggu Mama, telus es klim Andin jatuh tapi Kak Kia udah beliin yang balu," jawab Andin sambil menunjuk Kiara yang sudah berdiri di dekat mereka. Wanita berusia dua puluh tujuh tahun itu langsung berdiri dan tersenyum pada Kiara. "Hai, kenalin saya Tiara." wanita itu menyalami Kiara dengan senyum ramah tersungging di bibirnya. "Kiara. Nama kita mirip ya," sahut Kiara sambil membalas uluran tangan Tiara. Tiara tertawa sambil mengangguk-angguk. "Makasih ya udah nolongin Andin. Kamu baik banget deh." "Sama-sama, Tante. Kia tuh nggak tega kalau ada anak kecil nangis. Apa lagi kalau anaknya lucu kayak Andin," jawab Kiara, mengusap pipi Andin. Tiara tertawa, "Oh iya es krimnya harganya berapa? Biar Tante ganti." "Eh nggak usah," Kiara menggeleng-gelengkan kepala, "Kia ikhlas kok. Nggak usah diganti. Anggap aja Kia traktir Andin." "Tapi Tante jadi nggak enak loh," "Nggak apa-apa Tante, Kia ikhlas kok." Tiara menghela napas, "Kalau gitu Tante pergi dulu ya soalnya udah ditungguin suami Tante. Makasih sekali lagi, ya." Kiara mengangguk dan tersenyum sambil melambai-lambaikan tangannya saat Tiara dan Andin pergi. Melihat Tiara yang menggandeng tangan Andin dengan lembut, membuat sesuatu dalam diri Kiara merasa rindu akan seseorang. Kiara ingin diperlakukan seperti Andin, tapi sayangnya ia tak pernah mendapatkannya. Kiara masih terus memperhatikan mereka, saat tiba-tiba seseorang menarik tangannya bersamaan dengan sebuah sepeda motor yang melaju dengan cepat tepat di tempatnya berdiri tadi. Kiara kaget setengah mati, sehingga ia hanya bisa memejamkan mata dengan tangan gemetar memegang tangan seseorang yang menariknya tadi. Tiba-tiba tubuhnya didorong pelan, membuatnya bisa mendongak dan menatap wajah laki-laki berkacamata di depannya. Akbar. "Kamu mau mati, hah?!" teriak Akbar tepat di wajah Kiara. Rahang Akbar tampak mengeras, dan kedua bola mata di balik kacamatanya itu tampak memerah, pertanda laki-laki itu benar-benar marah. Kiara tidak bisa berkata-kata, lidahnya kelu. Ia sangat syok dan melihat kemarahan Akbar untuk pertama kalinya, membuat Kiara hanya bisa diam. "Kamu itu emang ceroboh banget ya?! Gimana kalo tadi saya nggak narik tangan kamu dan kamu ketabrak motor tadi? Kalo ngelamun tuh jangan di pinggir jalan!" bentak Akbar, membuat Kiara makin bergetar ketakutan. "Maaf, Kia nggak tau kalo ada motor ...," ucap Kia lirih sambil menundukkan kepalanya. Akbar menghela napas kasar, lalu membawa Kiara menuju bangku taman dan mendudukkannya di sana. Kiara masih menunduk, dengan jemari yang bertautan. Ia masih syok karena kejadian tadi. Lamunannya tentang seseorang membuatnya ceroboh seperti ini, dan jika tadi Akbar tidak datang dan menolongnya, Kiara tidak tahu apa akan yang terjadi padanya. "Ini minum dulu." Kiara menerima air mineral yang sudah dibukakan tutupnya oleh Akbar, kemudian meminumnya. "Makasih Kak Akbar udah nolongin Kia," ucap Kiara tulus. Akbar hanya bergumam pelan menanggapinya. "Lain kali jangan kayak gitu lagi. Bahaya!" ucapan penuh penekanan dari Akbar membuat Kiara hanya bisa mengangguk lesu. Akbar berdiri dan mengulurkan sebelah tangannya pada Kiara, "Ayo saya antar kamu pulang." Kiara menatap tangan Akbar yang terulur padanya, merasa ragu untuk menyambut uluran tangan itu. Tapi Akbar yang tidak sabar langsung berdecak dan segera menarik tangan Kiara, membuat Kiara terpaksa ikut berdiri. Akbar langsung melepaskan tangannya kembali dan berjalan mendahului Kiara, membiarkan Kiara berjalan di belakangnya. Kiara menatap punggung tegap Akbar, salah satu sudut bibirnya terangkat. Hari ini Akbar jadi dewa penolongnya, membuat sesuatu dalam diri Kiara menghangat. Ucapan Akbar saat pertama berkenalan, yaitu saat Akbar mengatakan akan menjadi Akbarnya yang akan melindungi Kiara, ternyata bukan gurauan saja. Akbar membuktikan ucapannya. Karena terlalu asyik memandangi punggung Akbar, Kiara sampai tidak sadar jika kaki kirinya menginjak tali sepatu kanan yang terlepas dan... Brukk!!! Kiara meringis pelan saat kedua telapak tangan dan lututnya mencium tanah. Bunyi decakan keras keluar dari mulut Akbar, bersamaan dengan laki-laki itu yang membalikkan badan dan berkacak pinggang menatap tajam Kiara yang jatuh tersungkur. Tanpa aba-aba, Akbar langsung menarik kedua tangan Kiara dan memaksanya bangun. "Baru sepuluh menit kamu janji nggak ceroboh, tapi apa ini?!" tanya Akbar, lebih tepat disebut mengomel. "Kia nggak sengaja," jawab Kia sambil menarik tangannya saat Akbar masih memegang kedua tangannya. Akbar tetap tidak melepaskan tangan Kiara, namun malah membersihkan telapak tangan Kiara yang kotor oleh tanah dengan telapak tangannya. "Untung nggak lecet, gimana kalo luka? Ck!" Akbar terus mengomel, sambil membungkuk membersihkan lutut Kiara yang juga kotor oleh tanah. Albar kembali berdecak kesal saat melihat tali sepatu Kiara yang lepas, dan langsung berjongkok membenarkan tali sepatu gadis itu. Kiara terpaku menatap Akbar yang masih berjongkok, sementara Akbar tiba-tiba mendongak membuat keduanya bertemu pandang. Kiara menggigit bibirnya, merasa perutnya tergelitik saat bola mata hitam pekat di balik kacamata itu menembus matanya. Kiara merasa ada yang aneh dengan dirinya, namun ia tak tahu apa itu karena ini adalah pertama kalinya Kiara merasa aneh seperti ini. Namun Akbar segera mengalihkan pandangannya, dan berdiri kemudian berjalan kembali. Kiara yang berjalan di belakang Akbar, spontan menghentikan langkahnya sedetik setelah langkah Akbar tiba-tiba terhenti. Tanpa disangka, Akbar menggenggam tangan Kiara dan menariknya hingga mereka menjadi berjalan bersisian. "Saya jadi ragu kalo kamu udah SMA padahal jalan aja harus digandeng gini biar nggak jatuh karena selalu ceroboh," cibir Akbar tanpa melepaskan genggaman tangannya. Kiara mencebikkan bibirnya, sesekali menatap tangannya yang berada dalam genggaman hangat Akbar. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD