Right is Right

1403 Words
Seorang lelaki tinggi sedang berdiam, duduk pada sebuah kursi mewah nan elegan. Tatapan matanya kosong, menghadap keluar jendela. Jari telunjuk dan tengahnya, mengapit sebatang rokok yang telah menyala. Ia sesekali menyesapnya, menciptakan kepulan asap sesaat. Namanya Arras. Ia bisa dikatakan adalah orang paling berada di desanya. Rumahnya besar bak istana, jejeran mobil mewahnya ada belasan, dan juga jumlah tabungan yang jika dihitung, digitnya melebihi jumlah jari di tangan. Sayang, dengan semua kekayaan yang ia miliki, Arras ternyata bukan orang yang bahagia. Hidupnya sepi. Muram. Arras sudah berkeluarga. Ia memiliki seorang putri yang kini berusia remaja. Istrinya adalah seorang sosialita yang aktif. Arras terlihat bahagia di mata orang lain. Namun tidak dengan kenyataannya. "Mas, aku berangkat dulu!" pamit Rena, sang Istri. Arras memutar kursi mewahnya, menghadap sang Istri. Ia kemudian beranjak, memghampiri Rena, mengecup kening wanita itu singkat. "Hati - hati di jalan!" "Oke, Mas!" Rena lalu cemberut. "Padahal Mas bisa mastiin keamanan aku, kalau Mas nganter aku sendiri!" Arras tersenyum tipis. "Kapan - kapan, Sayang. Aku banyak kerjaan." "Selalu aja begitu sejak dulu! Kapan dianterin beneran?" Rena yang awalnya hanya pura - pura kesal, kini beralih benar - benar terbawa perasaan. Karena Arras memang selalu sibuk, sehingga jarang memiliki waktu untuk keluarga. Bahkan, sampai sekarang mereka belum memiliki momongan lagi. Meskipun sebenarnya Rena sangat ingin. Itu semua karena Arras yang selalu sangat sibuk dengan segudang pekerjaannya. "Nanti, ya, Sayang!" Arras lagi - lagi memberi kecupan pada Rena. Kali ini di bibirnya. "Aish, Mas, tuh, nyebelin. Selalu kayak gini kalo aku lagi ngambek!" Rena menghentakkan kaki beberapa kali ke lantai. Seperti anak ABG yang ngambek karena kemauannya tidak dituruti oleh sang Pacar. Arras terkikik karena kelakuan istrinya itu. "Nanti kamu malu sendiri kalau ketahuan Yaya, lho!" ancam Arras di sela tawanya. Yaya -- putri mereka -- memang senjata ampuh Arras, agar Rena mengurangi sikap kekanakannya -- yang sebenarnya sungguh menggemaskan -- namun tidak pantas saja jika terlalu sering dilakukan oleh wanita seusianya. Tidak apa - apa sih, tapi jika dilakukan di dalam kamar. Saat mereka sedang berdua saja, tidak ada orang lain yang melihat. "Yaya udah berangkat sekolah, Mas!" "Iya, udah berangkat sekolah emang." "Aish, Mas beneran ngeselin!" Rena kembali cemberut. "Lagi, Mas!" rengek Rena. "Apanya yang lagi?" Rena tersenyum malu - malu, kemudian mengetuk bibirnya dengan telunjuk beberapa kali. Sudah Arras duga sebenarnya. Tentu saja. Ia sudah hapal dengan sikap sang Istri yang seperti ini. Jika tidak karena sebuah keterpaksaan, mungkin seperti keinginan Rena, mereka bisa menambah momongan semaunya. Bahkan sampai selusin sekali pun. Namun Arras tidak bisa. Dan itu sering membuat hatinya sakit. Bukan masalah biaya. Soal biaya ... jangankan selusin ... dua lusin pun ia dan Rena masih bisa memberi makan. Arras segera menyondongkan wajahnya mendekati Rena, kemudian mulai melumat bibir ranum sang Istri. *** Abimanyu dan Banyu sudah sampai di rumah Leandra. Banyu dengan Jingga di gendongannya, melangkah tegas tanpa keraguan. Berbeda dengan Abimanyu yang masih menyimpan sejuta keraguan. Namun Abimanyu tetap berusaha mempertimbangkan kemungkinan terbaik yang bisa dilakukan, untuk dijadikan solusi atas segala kejadian ini. "Assalamualaikum, Bulek, Paklek!" salam Banyu lantang. "Waalauikum salam!" jawab seseorang dari dalam, yang ternyata adalah Ibuk. Wanita itu terlihat tergopoh - gopoh. Sepertinya beliau terkejut karena lantangnya salam Banyu, yang terkesan sedang memberikan sirine bahaya. Abimanyu merasa tak enak pada Ibuk karena kelakuan si Banyu ini. "Ealah, Banyu ternyata!" Ibuk terlihat lega. "Assalamualaikum!" salam Abimanyu sekarang. "Waalaikum salam, Nak Abi! Mari masuk!" Abimanyu dan Banyu mengikuti Ibuk. Mereka segera duduk setelah dipersilakan. Mereka melihat Bapak yang masih duduk di meja makan, sudah siap berangkat ke sawah. Sementara Leandra belum kelihatan batang hidungnya. "Sebentar, ya!" ucap Bapak sembari mengambil sebuah tusuk gigi. "Santai aja, Pak. Lanjutin dulu!" kata Abimanyu. "Buruan, Paklek! Kita mau ngomong penting." Banyu kali ini. Abimanyu tampaknya agak kesal dengan sikap Banyu yang semena - mena. Ia sedikit menyenggol tubuh kecil Banyu untuk memperingatkannya. Awal - awal ia masih bisa sabar. Tapi lama - lama kesal juga dengan kelakuan Banyu yang suka pecicilan. "Kenapa, sih, Bi? Jingga lagi bobok ini!" protes lelaki itu segera. Sama sekali tak merasa bahwa senggolan Abimanyu tadi adalah sebuah peringatan kecil. Abimanyu terlihat agak menyesal karena sudah mengganggu tidur si Kecil Jingga. Tapi ia benar - benar kesal pada ayahnya Jingga. "Bapak masih baru sarapan, Pak Banyu! Jangan diburu - buru seperti itu!" "Tapi, kan, urusan kita beneran penting." "Iya, tapi jangan seperti itu!" Abimanyu sedikit nge - gas. Tujuannya supaya Banyu cepat merasa. Semoga saja berhasil usaha Abimanyu itu. Banyu hanya mencebik, melengos ke arah lain. Kebetulan, saat melengos itu, ia melihat Leandra yang sedang keluar dari kamarnya, sudah siap berangkat, dengan seragam PNS, dan hijabnya yang menjuntai menutup d**a. "Le!" seru Banyu, layaknya sudah tak bertemu Leandra ratusan tahun. Leandra hanya menatap Banyu jengah. Bosan karena kini, hampir setiap hari Banyu main ke sini. Leandra lanjut berjalan ke ruang tamu. Mengabaikan keberadaan Banyu, hanya menyapa Abimanyu dengan senyuman. Abimanyu membalasnya dengan hal serupa. "Ciye, Abi disenyumin, ciye! Ciye, senyum - senyuman, ciye!" goda Banyu. Seketika, ia mendapat tatapan tajam. Baik dari Abimanyu ataupun Leandra. Sayangnya, Banyu tetap cuek, seakan tak terjadi apa pun. *** Bapak, Ibuk, Leandra, Abimanyu, Banyu -- dan Jingga, yang kini sudah bangun -- akhirnya telah berkumpul di ruang tamu. Banyu yang sedari tadi semangat empat lima untuk mengutarakan maksudnya, kini melempem, meminta Abimanyu saja yang menjelaskan semuanya. Terang saja Abimanyu kesal. Padahal Banyu - lah yang menggagaskan ide ini. Untungnya Abimanyu adalah orang yang selalu siap menghadapi kenyataan sepahit apa pun. "Kedatangan kami ke sini, untuk memohon izin," jelas Abimanyu. "Izin untuk apa, Nak Abi?" Abimanyu dan Banyu saling berpandangan. Sebelum Abimanyu lanjut menjelaskan. "Untuk menyurutkan semua rumor yang ada, Pak Banyu dan saya berencana melakukan sesuatu." Abimanyu memberi penekanan khusus saat menyebutkan nama Banyu. "Rencana apa itu, Nak Abi?" "Begini, Pak. Pak Banyu menggagaskan agar saya membuat semacam majelis. Intinya majelis itu adalah untuk menjelaskan pada masyarakat, bahwa rumor yang menimpa Leandra tidaklah benar. Karena ... karena Romza bukan seorang Genderuwo, seperti apa yang mereka katakan." Abimanyu menunggu reaksi dari Bapak. Lelaki itu terlihat berpikir. Leandra hanya menunduk dalam. Dan raut Ibuk terlihat begitu sedih. Abimanyu merasa tak enak. Namun rencana ini memang lebih baik dilaksanakan, demi kebenaran, meski pun itu akan sulit bagi semua pihak. Tentu saja sulit. Tak akan ada yang bersedia secara suka rela mendapatkan cobaan seperti ini. Biar bagaimana pun, entah seberapa sulitnya, sebuah kebenaran harus tetap dipegang teguh, dan ditegakkan. "Bukankah hal ini akan sangat sulit, Nak Abi?" ungkap Bapak kemudian. "Ya, Pak. Memang semua akan sulit. Tapi sesuai janji saya sejak awal, saya akan berusaha membantu, apa pun yang terjadi." "Bagaimana jika warga serta merta menduga - duga, bahkan sebelum mereka mengerti penjelasan Nak Abi, maka fitnah yang dilayangkan pada anak Bapak, akan semakin ...." "Saya akan menjalankan majelis, menerangkan pada mereka, dengan cara saya, Pak. Saya akan berusaha menjelaskan sebaik mungkin, agar mereka segera mengerti. Saya akan berusaha sebaik mungkin, Pak. Saya janji." Abimanyu mengatakan segalanya dengan tegas, demi meyakinkan Leandra sekeluarga. Bapak lagi-lagi tak langsung nenanggapi. Beliau menghela napas dalam setelah memikirkan segalanya. "Saya -- kami -- percaya pada Nak Abi. Jadi ... lakukan lah rencana itu, jika itu memang solusi terbaik untuk putri kami saat ini." Abimanyu tersenyum, lega serta bersyukur. "Terima kasih, Pak. Saya benar - benar akan berusaha sebaik mungkin." "Saya juga berterima kasih, Nak Abi. Nak Abi sudah sangat baik pada keluarga kami sejauh ini. Terima kasih." "Tuh, kan, Bi. Gagasan itu beneran bagus. Dibilangin juga, pakek takut - takut segala!" Banyu mulai menyombongkan diri lagi -- setelah semuanya diselesaikan secara rapi -- oleh Abimanyu. Abimanyu hanya bisa mengelus d**a karena kelakuan Banyu. Ia juga senantiasa beristighfar agar tidak terbawa emosi. Abimanyu beralih pada Leandra. "Le!" "Iya, Mas?" "Kamu bilang waktu itu, Romza datang ke balai desa untuk mengurus surat pindah?" "Iya, Mas Abi." Leandra memberi jeda sejenak. "Memangnya kenapa?" Abimanyu menghela napas sebelum menjelaskan. "Sebelum menjalankan majelis itu, saya perlu beberapa informasi tentang Romza. Tapi sejauh ini dia menolak berinteraksi dengan saya. Jadi, saya pikir dengan informasi dari surat pindahnya, saya bisa mencari dan bertanya pada keluarganya. Leandra terlihat berpikir. "Datanya saya simpan di balai desa, Mas. Nanti biar saya fotokan." Leandra sebenarnya tidak boleh melakukan hal itu -- menyebarkan informasi pribadi masyarakat -- tapi ia rasa untuk yang satu ini tidak apa - apa. Toh ia tidak menyebarkan pada khalayak ramai, hanya pada Abimanyu seorang. Abimanyu menghela napas lega kali ini, kemudian tersenyum kembali. "Oke, saya tunggu, Le." ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD