Prologue

627 Words
"Kak, aku mau ke rumah Angga, ya." Terdengar suara krasak-krusuk dari arah dapur. Kakakku ini menginap disini karena anaknya sedang liburan sekolah. Jadi, sebagai hadiah kenaikan kelas, kakak membawa keponakanku untuk menginap di rumah neneknya. "Kamu yang bener disana. Jangan macem-macem. Satu macem aja udah cukup. Masih ting-ting, kan?" tanya Kak Tati sambil mengedipkan sebelah matanya. Sumpah, nih orang kenapa gamblang banget ngomongnya? Mulut tuh nggak pernah disekolahin atau bagaimana, sih? Maafin adikmu ini, ya, kak. "Ya masih, lah," ketusku. Kalau nggak ingat Kak Tati adalah kakak-ku, udah aku tendang tuh manusia ke dunia lain. "Ya udah. Aku pergi dulu," pamitku sebelum Kak Tati masuk ke dapur lagi. * Oh iya, kenalin, namaku Tabitha Hardiwinata. Tadi itu adalah kakak-ku, Tatiana Hardiwinata. Kami hanya dua bersaudara dan terpaut 5 tahun. Papa adalah seorang pegawai swasta yang sering berpergian dinas ke luar kota. Sedangkan Mama adalah dokter gigi yang hanya membuka praktik-nya di beberapa rumah sakit. * Dengan langkah riang, aku masuk ke dalam apartemen Angga setelah menekan beberapa digit angka yang sudah kuhafal di luar kepala. Bentar, bentar. Kenapa bisa ada sepatu cewek? Warna merah nge-jreng lagi. Please, Bitha. Kamu nggak boleh negative thinking dulu. Mungkin aja itu punya mamanya atau punya saudaranya, batinku mengingatkan. Tapi sepengetahuanku, Angga adalah anak piatu. Sehingga nggak mungkin sepatu merah itu adalah milik ibunya. Samar-samar, terdengar suara rintihan dari arah kamar Angga. Apa mungkin pria itu sedang kesakitan? Tapi semakin lama kenapa seperti suara desahan? Dengan langkah perlahan, kakiku mendekat ke arah kamarnya untuk memastikan suara itu. Mataku terbelalak ketika melihat apa yang terjadi di depan mataku dari balik celah pintu yang nggak tertutup rapat. Segala macam nama hewan di kebun binatang sudah ingin kulontarkan. Sialan sekali pria ini! Ya Tuhan, pria ini bener-bener b******n. Selama hampir dua tahun bersama, dia anggap apa aku ini? Dia, b******n itu a.k.a Anggara Gumilar, sedang bergumul dengan wanita yang dapat kupastikan adalah pemilik sepatu bewarna merah tadi. Aku marah, tentu saja. Siapa yang nggak marah kalau pasangannya bergumul sama cewek lain? Bahkan kurasa orang yang setengah waras saja akan berteriak kesetanan melihat pertunjukkan mereka. Desahan mereka semakin terdengar menjijikan di telingaku. Apalagi desahan wanita itu, persis seperti suara kucing terjepit pintu. Dengan kewarasan yang kuyakini masih ada di dalam otakku, kubuka saja pintu yang nggak tertutup daritadi dengan sedikit kasar. Lebih tepatnya bantingan. "Angga!" pekikku dengan senang. Bagus, Tabitha. Piala Oscar akan menjadi miliku setelah ini. Semua bercampur dalam hatiku, marah, sedih, kecewa, semuanya. Angga dan wanita itu terkejut mendapatiku yang berdiri di ambang pintu. Pria itu segera bangkit dari atas wanita itu sedangkan wanita yang udah telajang bulat itu langsung menarik selimut untuk menutupi badannya yang datar, sedatar triplek. Muak dengan pemandangan itu, aku segera keluar. Menjijikan! Bahkan udara di kamar itu terasa menyesakkan. Bau asing menyeruak dalam indra penciumanku. Angga yang sudah berpakaian lengkap keluar dari kamarnya. Tangannya menahan pergelangan tanganku. "Lepasin tangan kamu! Jijik!" Akhirnya tangannya yang kotor 'bekas pegang sana-sini' terlepas. "Ta, ini nggak kayak yang kamu lihat." "Nggak kayak yang aku lihat? Jadi yang tadi aku lihat itu apa? Acara bokep live dari stasiun televisi mana?" tanyaku sarkatis. "Mulai sekarang, kita nggak ada hubungan lagi. Kamu bisa muasin p***s kamu itu dengan masukin ke v****a yang udah kendor. Jangan pernah nampakin muka kamu lagi di hadapanku, b******k!" Setelah memaki dengan kata-kata kasar, aku segera pergi tanpa mau menoleh ke belakang. Waktu satu tahun lebih tersia-siakan untuk b******n itu. Padahal ini pengalamanku dalam berhubungan dengan pria, tetapi udah se-mengenaskan ini? Kulajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Nggak jarang pengendara motor yang menyalip mobilku mendapat klakson panjang dariku. * Setibanya di rumah, aku langsung masuk ke kamar tanpa memberi salam pada orang rumah. Mood-ku hancur lebur. Ini adalah hari ulang tahun paling buruk selama 23 tahun hidupku. Pintu kamarku diketuk. Karena nggak kunjung mendapat respon dariku ketukan itu berubah menjadi gedoran. Pasti itu Kak Tati. "Kamu kenapa, Tabitha? Baru jebol?" Anjir.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD