Episode 2

1412 Words
Helen bergerak gelisah menanti kedatangan Kaisar rasanya ia tak sabar ingin menghabiskan waktu bersamanya. Bersama Kaisar ia merasa bahagia bisa sejenak melupakan segala masalah yang menimpa. Deru suara motor terdengar di depan rumah gegas Helen bangkit ingin membukakan pintu dan menyambutnya. ''Biar, aku aja Bi yang buka pintunya,'' pinta Helen saat melihat Bik Asih akan membukakan pintu. ''Baik Non.'' Helen pun melayangkan kaki membuka handel pintu. Ada Kaisar yang sedang membuka helm tersenyum hangat ke arahnya. ''Hay ... kita dah kaya zebra cross hitam putih gini,'' sapa Kaisar saat menatap penampilan Helen yang mengenakan kemeja oversize dipadu dengan hot pants menampakkan kaki jenjangnya yang putih bersih bak pualam. ''Bener juga, sih. Apa perlu aku ganti baju.'' ''Gak usah pakai itu, aja.'' ''Okelah kalau gitu.'' ''Tante ada?'' ''Ada.'' ''Oke, aku pamit dulu sama beliau tar dikira kabur bawa anak gadis orang lagi.'' ''Gak lah kan udah tau perginya sama kamu.'' ''Iya tetap aja harus ijin dulu.'' Kaisar melompat dari motornya menghampiri Helen. ''Panggil gih,'' sambung Kaisar. ''Hemm ....'' Helen pun masuk ke dalam rumah memanggil Lusi-Mamanya. ''Eh, Kai sini masuk,'' ucap Lusi yang kebetulan baru saja menuruni anak tangga. Kaisar berderap menghampiri Lusi lalu menyapanya dengan senyum hangat. ''Mau ajak jalan Helen, Tant kalau boleh? ''Gimana ya? Boleh gak ya?'' ucap Lusi pura-pura berpikir sebelum akhirnya memberikan izin. ''Iya boleh jangan pulang kemalaman, ya.'' ''Siap, Tant.'' Setelah berpamitan mereka pergi jalan-jalan berkeliling kota menikmati suasana malam yang indah bertabur bintang, menyusuri jalan tak tentu arah dan kini berakhir disebuah taman duduk di atas rerumputan sambil menikmati cemilan. ''Bang ....'' ''Heumm.'' ''Besok anterin casting model mau gak?'' ''Pengen banget jadi model?'' Helen mengangguk dengan semangat ada binar kebahagiaan dari sorot matanya. ''Ngapain jadi model, sih, Papa kamu kan dah kaya. Masih kurang uang dari beliau?'' ''Jadi model cita-citaku dari dulu, Bang. Mumpung ada kesempatan kenapa engga, lagian gak ganggu waktu kuliah kok. Cuma beberapa kali aja seminggu. sama kalau ada event tertentu.'' Kaisar mengangkat bahu mendengar penjelasan Helen. Kaisar kurang setuju jika Helen menjadi model, tapi ia bisa apa? Gak ada hak untuk melarang. ''Kamu tau gak, sih?'' ujar Kaisar dengan wajah serius. Membuat Helen menoleh ke arahnya dan menggeleng menatap lekat Kaisar yang tengah sibuk mengunyah kacang. ''Wajah kamu nyeremin bikin aku takut.'' ''Hah? Maka up berantakan, Bang? Cemong ketebalan atau apa?Kaya hantu atau apa? Kok gak ngomong dari tadi.'' Panik. Helen bergerak gelisah segera ia mencari cermin kecil di dalam tasnya yang biasa selalu dibawa ke mana pun ia pergi. Sedangkan Kaisar hanya terkikik geli melihat tingkah Helen, akhirnya ia menemukan cermin kecil itu dan memastikan penampilannya menatap bayangan wajahnya di cermin. ''Gak cemong, kok. Rapi minimalis gini lipstik juga.'' ''Yang bilang cemong siapa? Aku cuma bilang muka kamu bikin takut. Takut kehilangan kamu maksudnya.'' ''Abang ihgt ngeselin. Terima, nih hukuman dari aku. Dasar!'' Helen mencubit dan menggelitik perut Kaisar hingga merasa kegelian. ''Ampun, Len. Awh ....'' ucap Kaisar pura-pura mengaduh sampai tubuhnya membungkuk. ''Rasain emang enak. Rese, sih, jadi orang. Bikin panik, aja kalau beneran cemong, 'kan malu.'' ''Kamu selalu cantik kok.'' Kaisar memegang erat tangan Helen hingga tak berkutik, apalagi melihat tatapan Kaisar yang begitu intens ke arahnya hingga seperti menembus jantung. Mendadak Helen menjadi salah tingkah. Jantungnya berdegup kencang seperti tengah bermarathon ria. ''Gombal.'' Helen berusaha memalingkan wajah yang bersemu merah. ''Serius Helen.'' Kaisar menghela napas sejenak sebelum akhirnya kembali membuka suara, ia mengusap lembut punggung tangan Helen dengan menggunakan ibu jari. ''Ada yang mau aku omongin,'' ucap Kaisar serius tak ada gelagat usil di wajahnya membuat Helen susah payah menelan saliva. ''Kan udah ngomong, Bang dari tadi.'' ''Ya, kalau yang ini beda.'' Kaisar menghela napas dalam mencoba mengumpulkan keberanian yang ia takutkan hanya satu pertemanan renggang jika mengungkapkan perasaannya, karena di tolak atau diterima itu hal biasa. Katanya banyak orang telat menyatakan perasaan, nyatanya ada juga yang kehilangan setelah menyatakan perasaan. ''Dengerin baik-baik ucapanku, aku harap setelah mendengar pernyataan ini hubungan kita gak berubah, sebenarnya udah lama aku suka kamu. Mau gak jadi pacarku?'' Helen yang mendengar ucapan Kaisar mendadak salah tingkah tak tau harus menjawab apa. Rasanya seperti ada kupu-kupu yang bertebaran di dalam perut. ''Abang bercandanya gak lucu, issh ....'' ''Apa, aku terlihat becanda?'' Helen mengangkat wajah memberanikan diri menatap Kaisar yang menatap lekat ke arahnya tanpa kedip lalu menggeleng kan kepala. ''Jawab sekarang. Gak ada, ya, minta waktu atau pikir-pikir dulu,'' imbuh Kaisar yang kini sedang menatap Helen. Butuh banyak keberanian untuk mengungkapkan perasaannya, oleh karena itu Kaisar tidak ingin jawaban besok atau jalani aja. Jalan kaki itu sehat, jalani dulu itu sakit dan itu merupakan penolakan halus baginya. Kalau iya, iya kalau enggak, enggak. Bisa-bisa mati perasaan nanti. Helen mengangkat wajah sebelum akhirnya mengangguk dan tersenyum. ''Jadi, aku diterima, nih?'' tanya Kaisar meyakinkan. Untuk ke dua kalinya Helen mengangguk dan tersenyum kecil. ''Yeah ... yuhu aku punya pacar.'' Kaisar bersorak kegirangan mengatakan yes sambil meninju udara. Helen yang melihat hal itu hanya geleng-geleng kepala ada debar yang kini makin mengencang dalam dadaa. Baru kali ini ia melihat Kaisar seperti anak kecil yang diberi hadiah. Bahagia. Melihat orang yang kita sayangi bahagia ternyata jauh lebih membahagiakan dari apapun di dunia ini. ''Malu, ihgt bang diliatin banyak orang.'' ''Bodo amat emang aku peduli yang penting aku happy.'' Kaisar meraih tangan Helen mengajaknya berdiri. ''Makasih udah mau menerima cinta, aku. Kamu gak terpaksa,'kan menerimanya?'' Helen berdecak mendengar ucapan Kaisar. ''Aku sayang, Abang,'' ucap Helen sambil tertunduk malu. Tanpa banyak kata Kaisar memeluk Helen mengusap lembut punggung belakangnya. ''Pulang, yuk kalau gitu udah malam.'' ''Ayok.'' ''Eh, tapi jangan bilang-bilang Jeslyn ya kalau kita pacaran.'' Helen menoleh menatap Kaisar. ''Kenapa memang? Abang malu pacaran sama aku.'' ''Enggak males aja. Rese dia anaknya, tar minta PJ yang ada.'' ''Apa itu PJ?'' tanya Helen penasaran. ''Pajak jadian. Bisa habis uangku dikuras dia.'' ''Udah kaya negara aja, ya, ada pajaknya.'' Helen terkekeh mendengarnya. ''Gak boleh gitu abang sama adik sendiri, gak boleh pelit.'' ''Hahaha becanda.'' Kaisar menggenggam jemari Helen menuju parkiran motor pulang ke rumah menikmati malam yang terasa indah untuknya. Sesekali ia menatap Helen melewati kaca spion hal yang serupa dilakukan oleh Helen tertunduk malu saat ketahuan mencuri pandang ke arahnya. *** Suasana cukup terik siang ini Helen duduk di bawah pohon menanti Kaisar keluar kelas. Iya mereka janji untuk pulang bareng setelah jam kuliah selesai. Helen memanfaatkan waktunya dengan berselancar di dunia maya agar tidak bosan, saat ia sibuk dengan ponselnya seseorang datang menghampiri dan menyuruh Helen untuk mengikutinya menuju depan kampus. ''Papa,'' ucapnya lirih dengan wajah terkejut. Sekian lama tak bertemu kini sang Papa yang bernama Surya berdiri di depannya dengan kacamata hitam membingkai wajah. Rasanya Helen enggan bertemu Papanya lagi, karena beliau sudah banyak memberi kesakitan pada Mama. Hanya gara-gara tak bisa memberikan anak laki-laki Surya meninggalkan mamanya, memilih menikah dengan wanita lain dan mengusir dari rumah padahal saat itu masih berstatus menikah. Kisah pahit itu begitu melekat dalam ingatan Helen sampai sekarang. Namun sayangnya sampai detik ini pun Surya belum dipercaya memiliki anak laki-laki. Sempat Maya-mama tirinya di beri anak laki-laki dan alasan itu juga yang membuat Papa rela meninggalkan Mama saat masih berstatus menjadi suami sah. Tuhan memang adil belum sempat bayi itu menghirup udara di bumi anak itu meninggal keracunan air ketuban katanya, entahlah Helen sendiri tak tau dan tak ingin mencari tau. Berapa tahun berikutnya Maya kembali di percaya hamil membuat Surya merasa bahagia, tapi sayang kebahagiaan itu tak berlangsung lama anak yang dilahirkan bukan anak laki-laki seperti keinginannya tapi anak perempuan. Begitu juga anak ke tiga mereka semua perempuan. Surya berambisi memiliki anak laki-laki untuk melanjutkan garis keturunan dan warisan katanya. Mungkin itu karma, karena telah berbuat tidak baik pada sang Mama dan mengusir dari rumah hingga harus terlunta-lunta di jalan mengigil kedinginan berselimut angin malam dan hanya dengan membawa uang seadanya. ''Apa kabar, Kamu, Nak?'' ''Baik. Jauh lebih baik.'' ''Ada yang ingin Papa bicarakan. Bisa ikut Papa?'' ''Kita bicara di sini, aja,'' sinis Helen. ''Gak bisa kita harus nyari tempat yang lebih baik. Papa gak mau pembicaraan kita didengar oleh orang lain,'' tegas Surya tak ingin dibantah. ''Gak ada hal yang perlu kita bicarakan lagi, Pa. Semua sudah selesai dan kita juga tidak perlu bertemu lagi.'' ''Tolong, Papa sekali ini aja, Nak. Papa butuh bantuan kamu.'' ''Ck! Sekian lama Papa pergi sekarang tiba-tiba minta bantuan? Papa gak ingat bagaimana dulu mengusir kami,'' berang Helen. ''Oke, Papa salah dan minta maaf. Tolong Papa kali ini, Len. Cuma kamu yang bisa.'' ''Kalau aku gak mau?'' ''Kamu tau pasti apa yang akan Papa lakukan,'' gertak Surya. ''Jadi, selagi Papa minta baik-baik turuti ucapan Papa.'' ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD