1. Tamu Dadakan

3256 Words
Seminggu sebelum pernikahan. Hari Minggu maka itu berarti it’s time for Seje to leha-leha di rumah sambil gedein badan. Biasanya, di hari libur kaya gini yang free tugas sama sekali, Seje akan mendedikasikan seluruh waktunya untuk rebahan di atas kasur sambil scroll timeline atau paling mentok baca komik dan nonton netfliks. Cuma gak tahu kenapa, di hari yang masih pagi ini, Seje merasa moodnya sedang tidak oke. Dia sudah mencoba mengutak-atik ponsel bermata tiganya, membongkari koleksi komik yang penuh satu lemari, hingga duduk manis di depan tv seraya memenceti remote yang menggeser layar berulang kali. Tapi hasilnya, tak ada satu pun yang membuatnya benar-benar merasa betah. Seje akhirnya beranjak meninggalkan kamarnya dan berjalan menuju ruang tengah. “Mbak! Minggir! Ada lava panas!” Namun baru juga Seje menuruni satu anak tangga, secara tiba-tiba Chandra yang berlari menaiki tangga sembari membawa sebuah panci dengan bagian atas yang mengepul sukses bikin Seje syok. Spontan saja gadis itu menghindar lantas membuntuti sang adik yang setengah berlari mendekati pintu kamarnya. “Lava panas jidat lo tepos!” semprot Seje sebal kala dilihatnya mi instan rebus adalah apa yang dibawa Chandra dengan dramatis barusan. Chandra yang berdiri mematung di depan pintu kamarnya seraya mendengarkan sungutan kakaknya cuma bisa nyengir tipis. Seje nyaris melayangkan sebuah bogem ke kepala adiknya itu tapi Chandra telah lebih dulu bersuara nyaring. “Emak! Mbak Seje mau pukul Echan!”—well, Chandra memang biasa dipanggil Echan kalau di rumah atau oleh teman-teman dekatnya. Katanya, dia gak suka dipanggil Chandra yang terkesan kaya bapak-bapak pos satpam. Ya memang sih, satpam di komplek mereka ada tiga orang yang bernama Chandra. Mana tua-tua semua. “Cepu banget lo sumpah! Udah! Mending lo sekarang pergi, beliin gue permen thammarin.” “Thammarin terus yang lo cemilin, gak asem tuh mulut! Ogah ah! Gue mau makan dulu!” “Makannya entar aja, lo beliin gue dulu. Di depan doang noh. Sekalian beliin gue mi instan dua bungkus. Lo pasti masak punya gue kan ini?!” Chandra yang tadinya sempat lupa dengan benda panas yang ia pegang, kontan berjengit. “Heh kan lupa! Ini panas anjir!” lalu cepat-cepat anak itu mendobrak pintu kamarnya dengan sebelah kaki dan berlari ke dalam. Seje yang tak putus asa lantas mengekori adik bungsunya tersebut. Menyimak Chandra yang telah meletakkan panci sedang ke atas meja belajarnya lalu menggosok-gosok tangannya yang agak panas sambil meniupnya pelan. “Gara-gara lo nih! Tangan gue jadi kebakar kaya gini,” ucap cowok berusia 21 tahun itu kesal dengan mulut yang dimanyun-manyunkan. “Ya salah sendiri siapa suruh megangin panci panas pake baju seuprit gitu?” “Ya namanya gue gak tahu kain lapnya ada di mana!” “Ya cari lah ogeb!” “Emak! Mbak Seje bilang Echan bego!” “Enggak ya! Gue bilang lo ogeb, g****k!” “Emak! Sejenong ngejekin Echan g****k!” “HEH! MULUT LU!” Sejeong lantas murka. Diangkatnya sebelah tangannya yang hendak melayangkan sebuah geplakan maut ke mulut Chandra yang malah cengar-cengir mengejek, tapi niat tulusnya tersebut tak terealisasi karena Chandra yang menyadari kehadiran Ilman di ambang pintu, lekas-lekas berlari ke balik punggung kakaknya itu. “Mas Il! Mbak Seje tuh terlalu hewani!” Mendengar rengekan absurd adiknya itu, tentu saja Ilman cuma bisa mengerutkan dahi heran. Lain cerita dengan Seje yang sudah seperti kuda liar dengan hidung berasap—siap menendang Chandra yang lihai berlindung di balik badan sang kakak tertua. “Mas il! Denger! Tuh anak bilangin Seje hewan!” Sekarang giliran Seje yang mengadu. “Enggak ya! Gue bilangnya lo terlalu hewani, main kekerasan. Gak ada manusiawi-manusiawinya!” “Bodoh amat! Sini lo! Mau gue cekek!” “Ogah ah entar rambut gue lagi sasarannya!” “Sini gak lo?!” “Ogah!” “Astaghfirullah Seje! Chandra!” Ilman yang tak bisa marah hanya mampu menegur dua adiknya itu dengan suara yang sedikit lebih tinggi dari biasanya. Tapi biar begitu, baik Seje maupun Chandra langsung diam. Mereka sudah cukup kicep hanya dengan teguran semacam itu, karena memang Ilman jarang sekali bahkan nyaris tidak pernah bersuara besar di dalam rumah. 180 derajat berbeda dengan dua adiknya yang bak petasan. “Ini kalian kenapa sih ribut terus, masih pagi loh.” Ilman lalu menoleh pada adik bungsunya yang masih berlindung di balik tubuhnya. “Kamu, Chandra. Jangan bandel sama mbak…” Chandra yang pertama kena semprot lantas memanyunkan bibir tak terima. Ia kemudian berkomentar, tapi dengan wajah tertunduk yang tak berani menatap Ilman langsung. “Mba Seje tuh duluan, masa Echan mau makan mi malah disuruh pergi ke warung. Padahal warung Mbak Ina cuma di depan situ tapi bisa-bisanya masih nyuruh-nyuruh Echan.” Ilman baru saja hendak membuka bibirnya tapi terinterupsi oleh suara Chandra yang rupanya belum selesai bicara. “Ah iya! Terus mas… panggil Echan, Echan loh jangan Chandra. Udah lama juga Echan bilangin masih aja suka lupa.” Mendengus pelan, Ilman yang telah rapi dengan setelan santainya berupa celana chino mocca dan kemeja putih liris cokelat akhirnya hanya mengangguk pasrah. “Ya sudah, mas minta maaf karena lupa. Iya deh iya, Echan…” Chandra yang mendengarnya lantas melebarkan senyum dan membiarkan sebelah tangan Ilman mengusak rambutnya gemas. Terkadang bagi orang lain, hal-hal semacam itu tergolong langka untuk ditemui pada hubungan antar saudara di usia mereka. Tapi bagi Ilman, memeperlakukan adiknya dengan baik—salah satunya lewat afeksi sarat skinship—adalah apa yang penting dan sudah biasa ia lakukan terhadap dua adiknya sejak kecil. “Nah, kamu Seje. Mau beli apa ke warung? Lain kali minta tolong ke Echannya baik-baik. Jangan diburu-buru.” “Iya, tadi udah baik-baik loh mas. Dianya aja yang ngeselin!” “Ya sudah gak usah dilanjutin ributnya. Sini mas yang beli aja. Kamu mau beli apa?” “Biasalah mas!” Echan nyantol. “Thammarin?” Seje tidak langsung mengiyakan tapi malah rolling eyes dan menatap horror Chandra yang masih pasang muka mengesalkan di balik punggung Ilman. “Gak usah deh mas, aku beli sendiri aja.” Seje lantas bergegas keluar kamar. Tapi Ilman mengekorinya—meninggalkan kamar Chandra yang langsung bocah itu tutup pintunya perlahan-lahan. Sepertinya anak itu sudah tidak tahan dengan perutnya yang keroncongan. “Mas serius loh, je. Bisa mas beliin sebelum pergi.” “Mas mau ke mana?” “Ada acara sih sama orang-orang kantor. Makan bareng doang.” “Jam segini?” Seje melirik jam dinding di ruang tamu yang telah mereka pijaki kini. “Eiiiii, mau makan bareng orang kantor apa bareng orang spesial?” ledek Seje lalu cengingiran tidak jelas. “Dih, mas serius loh.” “Pagi banget loh ini mas.” “Jam sepuluh lewat kamu bilang pagi?” Seje cuma mesem-mesem. Gadis itu selanjutnya bergegas berlari ke teras rumah setelah menampilkan jejeran giginya pada Ilman yang cuma bisa geleng-geleng kepala. Sebenarnya, Seje bisa saja membiarkan kakaknya itu yang pergi membeli. Tapi Seje merasa tak tega. Selama ini dia terlalu manja dan sering meminta tolong masnya itu. Ilman bukan tipikal yang akan menolak dan akan senantiasa menuruti kemauan adik-adiknya. Jadi, kali ini biarkan Seje sedikit tahu diri. **** Seje sama sekali tidak menyisir rambutnya dan hanya mengikat cepol rambut sepinggangnya asal. Ia kemudian bangkit dari kursi teras dan bergegas ke dekat pagar, hendak menghampiri warung Mba Ina yang berada tepat di seberang jalan. Akan tetapi, belum juga ia sampai ke dekat pagar, atensinya terinterupsi oleh kehadiran Supermi yang tampak linglung—habis berlari dari pagar samping rumahnya. Gadis itu pun berjongkok, menjulurkan tangannya ke arah kucing satu-satunya itu yang masih tampak ngos-ngosan. “Supermi, kamu kenapa?” tanyanya heran sembari mengangkat tubuh kucing gembul itu naik ke pangkuannya. “Kamu dikejar siapa lagi kali ini? Atau kamu yang gagal ngejar cewek?” Kucing yang dielus-elusnya itu tak bereaksi apa-apa selain keenakan dengan elusan lembut sang “pembantu”. “Kan mbak udah bilang, kucing Pakde Lono itu udah ada suaminya. Kamu cari yang single aja jangan ngambil isteri orang. Nanti kejadian kaya yang ribut minggu lalu sama si Garry baru tahu. Kamu tuh berani banget jadi kucing, udah tahu dia tuh preman di komplek sini, kamu malah berani dekatin ceweknya—si ahjumma.” Seje masih terus berceloteh ria sembari bermain-main dengan kucingnya tersebut sampai-sampai tak menyadari pagar besi rumahnya telah dibuka oleh seseorang. Aroma s**u seketika menguar, mengusik indera penciuman Seje yang mendadak tajam—setajam silet—eh bukan, setajam penciumannya Guguk—anjing peliharaan sebelah rumah. Ngomong-ngomong sebelah rumah, feeling Seje mendadak gak enak. “Lo ngapain di sini?!” Kan bener, Seje auto ngamok begitu mendapati Sean Solihun alias tetangga sebelah alias anak Tante Paniem dan Om Nasution alias kunyuk setan titisan dedemit yang paling menyebalkan seantero jagat raya—telah berdiri aesthetic di depan pintu pagar rumahnya. Sean yang pasang muka songong, cuma mengerdikkan bahu ogah-ogahan. Diangkatnya sebelah tangannya yang menenteng rantang lantas menatap ke arah pintu rumah Seje dengan malas. “Bisu lo?” kesal Seje yang merasa tak diacuhkan. “Enggak, nih bisa ngomong.” “Ya makanya kalau orang tanya tuh dijawab baik-baik!” “Yang nanyanya aja gak baik-baik.” “Ya serah gue dong! Kan lo yang main masuk ke rumah gue!” Sean cuma mengerdikkan bahu acuh tak acuh dan memilih untuk nyelonong masuk pekarangan rumah Seje begitu saja. Merasa diabaikan, Seje pun refleks melayangkan sandal swallow yang dipakainya ke arah punggung bidang Sean. Otomatis, laki-laki itu pun menoleh dengan tampang suram super mengerikan. “Lo!” Seje yang puas dengan reaksinya lantas cepat-cepat berbalik. Ingin lekas pergi tapi ia sadar, sandal yang dikenakannya hanya tinggal sebelah. Jadi mau tak mau dia berbalik lagi. Menatap rada horror pada Sean yang juga sedang memandangnya dalam mode mematikan. Tapi bukan Seje namanya kalau gadis itu takut begitu saja. Apalagi ini Sean—rival abadinya yang tentu saja haram untuk ditakuti. “Siniin sandal gue!” Berkecak pinggang, Seje bertitah tanpa rasa takut. Oh tentu saja, haram pula bagi seorang Sean untuk mematuhi perintah tak mendasar itu. Alhasil, menunduklah laki-laki itu untuk mengambil sandal Seje yang tadinya sempat menimpuk punggungnya itu lalu mengamitnya erat. “Lo mau ngapain?” perasaan Seje mulai gak enak. Dan… “WOY! GILA LO?!” Seje cuma bisa memekik syok kala dilihatnya Sean dengan entengnya melempar sebelah sandal tersebut ke pekarangan samping rumahnya yang merupakan areal kandang cocoy—anjing peliharaan Sean. “Heh mau ke mana lo?!” melihat Sean yang tak jua menunjukkan rasa bersalah dan justru memutar kembali tubuhnya—hendak melanjutkan derapnya ke dalam rumah. Seje sontak berjalan cepat dan menghadang tubuh laki-laki yang jauh lebih tinggi darinya itu. Tanpa ba-bi-bu, Seje langsung menendang sebelah kaki Sean hingga laki-laki itu mengaduh kesakitan. “s**t! What the heck you just doing?!” Dua mata Sean yang agak sipit kini membola sempurna. “What the heck you just doing?!” Seje malah meniru ucapan Sean barusan dengan tampang mengejek berpadu emosi. “Ya lo mikir lah bingsit! Itu sandal gue ngapa seenak kurap lo main asal buang?!” “What? Kurap? Gue gak kurapan in case lo lupa gue mandi sehari minimal tiga kali.” “Sumpah demi Pak Haji Tuman gue gak peduli lo mau mandi sepuluh kali sehari ye Sean Solihun! Tapi tanggung jawab! Lo ambil tuh sandal gue!” “Udah digigit cocoy.” “Ya bodo amat lah! Tanggung jawab! Gue gak mau tahu!” “Lo gak punya sandal lain?” “Lo ambil gak?!” “Gak mau.” Seje nyaris naik pitam tapi ia mencoba untuk meredam segala emosinya dengan menarik napas dalam-dalam lalu membuangnya dalam satu hembusan bar-bar. “Lo kalau mau pergi sikat gigi dulu kek.” Sehun yang mendapati tiupan sepoi-sepoi dari hembusan naga Seje akhirnya berkomentar apa adanya. Well, bukan Sean namanya kalau ngomong pakai difilter dulu. “BODO AMAT! NAH RASAIN HA! HA! HA!” Seje malah semakin melancarkan serangan karbondioksida berbahayanya ke depan wajah Sean. Saking bersemangatnya ia bahkan sampai berjinjit ria, sukses bikin Sean kelimpungan. Lalu tanpa lagi memberi laki-laki itu kesempatan. Sebuah ide cemerlang mendadak muncul di kepala Seje. Gadis itu pun menendang kaki Sean yang belum ia tendang tadi yang berakhir dengan mengaduhnya Sean untuk kedua kali. “LO SUMPAH!—“ Emosi Sean yang seharusnya tertumpahkan dengan begitu semarak justru tertahan di ujung bibir kala dilihatnya Seje telah mencuri sepasang sendalnya dengan paksa dan bersiap-siap untuk kabur. Namun, belum sempat gadis itu bergerak pergi. Cepat-cepat Sean menarik tudung hoodie yang Seje kenakan hingga tubuhnya tertarik ke belakang. “Balikin!” titah Sean dengan tampang sangar bak preman. “Ogah!” Sesuai dugaan, Seje si kepala batu mana mau kalah. Tapi, jangan kira Sean seperti laki-laki kebanyakan di luar sana yang akan memilih untuk menyudahi keributan di antara mereka dengan mengalah dan membiarkan Seje pergi. Sean justru semakin meninggikan topi hoodie yang diamitnya hingga membuat Seje kesusahan dan mau tak mau ikut berjinjit. Lalu, laki-laki itu memutar paksa tubuh Seje yang mungil—membuat gadis itu mau tak mau harus berpapasan dengan wajah Sean yang telah ditekuk dalam. Jangan lupakan pula bagaimana dua alis simetrisnya yang lebat itu kini menukik naik—mirip kartun angry bird yang sering ditonton Chandra. “Lo mau ke mana?” Seje kira, Sean akan memaki-makinya atau minimal mengeluarkan sebait kalimat super pedas yang sebenarnya sudah siap untuk ia dengar. Tapi, apa ini? Randomly, laki-laki itu justru menanyakan perihal ia akan ke mana like, all of sudden? Why? “Lepas gak!?” Tapi alih-alih pusing memikirkannya, situasi Seje sekarang justru lebih memusingkan. Lehernya lama-lama mulai sakit karena tercekik bagian penutup kepala hoodienya yang ditarik. Mau memukul Sean, tapi dua tangannya terlalu pendek dan tak sampai untuk menjangkau wajah Sean yang begitu sigap menghindar-hindar. “Jawab gue.” Sean rupanya masih keukeuh dengan pertanyaannya. “Bukan urusan lo gue mau ke mana.” “Of course.” “Ya terus ngapain tanya?!” “Jawab aja, gak usah banyak bacot.” “Kalau gue gak mau gimana?!” “Ya gak gimana-gimana sih cuma paling entar elo yang nyesal.” Mendengarnya, sontak dua alis Seje berkerut. “Gue? Nyesal? Kenapa?” “Gak kenapa-kenapa.” Sean menjawab seolah jawabannya adalah sesuatu yang memang seharusnya menjadi sebuah jawaban. Padahal bagi Seje, kalimat tersebut sudah sukses memantik emosinya. Ah Seje lupa, memangnya kapan ia pernah tidak emosi dengan species satu ini? Jadi, dari pada perbincangan unfaedahnya dengan Sean terus berlanjut. Seje pun memutuskan untuk menggoyang-goyangkan tubuhnya sekuat mungkin. Berusaha melepaskan diri dari Sean yang agaknya justru mengencangkan pegangannya pada pakaian Seje. “Lo bener-bener mau gue bogem ya?! Lepas gak! Gue teriak nih!” Seje mengancam dengan muka yang mulai merah karena gerah dan juga sesak. Tapi agaknya Sean tak terpancing. Laki-laki itu sama sekali tak menggubris kata-kata Seje dan justru semakin berani memandang Seje dengan dua mata datarnya. “Lo benar-benar ya! Demit sialan! Mas Ilman masih di dalam, gue aduin nih! Mas—“ “Bagus. Gue emang mau ketemu Ilman.” Dalam situasi begini, Seje cuma bisa mengerang kesal sendiri karena telah lupa dengan salah satu fakta paling mengesalkan di dunia. Fakta bahwa kakaknya bersahabat baik dengan titisan setan di depannya ini. Fakta bahwa memang hanya dirinya seorang dari keluarganya yang tak bisa akur dengan dedemit mengesalkan itu. Demi Bikini Bottom dan rumah nanasnya Spongebob yang dikolonisasi segerombolan ubur-ubur buat dugem, Seje capek. “TURUNIN GUE SETAN GUE SESAK NAPAS!” Agaknya teriakan memekakkan tersebut cukup untuk membuat Sean cepat-cepat melepaskan pegangannya pada hoodie Seje. Gadis itu berdehem beberapa kali sembari memegangi lehernya sementara Sean mengamatinya dengan lamat. “Apa lo lihat-lihat?! Seneng abis nyekek gue?” Seje tentu saja masih emosi. “Enggak,” jawab Sean santai. “Idih. Ngaku aja loh gak usah acting!” “Gimana ceritanya gue senang kalau-kalau lo tadi mati terus gue ditangkap atas tuduhan pembunuhan?” Ingin rasanya Seje menggeplak kepala laki-laki yang berdiri di hadapannya ini tapi apalah daya, Sean yang telah lebih dulu mendorong dua bahunya membuatnya nyaris limbung ke belakang. Tepatnya ke halaman rumah yang lebih rendah dari areal teras—tempat mereka sekarang. Tapi syukur, adegan Seje jatuh telentang tak pernah terjadi karena nyatanya Sean masihlah umat manusia beradab yang tak benar-benar tega mendorong seorang perempuan hingga terjatuh. Ia hanya menolaknya lalu sigap menarik sebelah tangan gadis itu untuk menahannya. Sean memang begitu, doyan bercanda tapi candaannya suka garing dan cenderung ekstrim. “Astaghfirullahhal Adzim! Masih pagi loh ini, mas mbak sekalian!” Entah datang dari mana dan entah dengan kesimpulan seperti apa, Chandra yang muncul dari dalam sontak memandang terkejut pada Seje dan Sean yang masih dalam posisi berhadapan dengan tangan saling berpegangan. “Ya kalau mau mesra-mesraan tuh dilihat dulu kek tempatnya, sikonnya, jamnya juga. Kan bahaya kalau tertangkap tangan? Mana yang ngelihat Echan lagi. Poor my eyes. Mata suci ini sudah ternodai oleh hal-hal yang tidak baik. Maafkan Echan ya Allah!” penuh drama, Chandra berceloteh ria dengan ekspresi berlebihannya yang sungguh ingin Seje siram air comberan. “Diem gak lu, Chan! Gak usah lebay!” Masih misuh-misuh, Seje menepis tangan Sean dan mendorong laki-laki itu mundur dengan satu tolakan bar-bar. “Gimana gak panik gua mah, lo berdua ngapain begitu di situ?!” “Begitu apaan?! Mata lo ya! Gak usah ngadi-ngadi!” “Gue jelas-jelas lihat lo sama Mas Sean pegangan tang—“ “DIEM!” “OGAH!” Astaghfirullah ya ukhti dan akhi. Sungguh menulis ini pun membuat beban mental dan kesabaran saya diuji. –suara hati jagga-nim- Begitu pula Sean yang kini gantian capek menontoni dua adik-beradik di depannya ini yang kini saling adu gede-gedean mata. Mana keduanya sama-sama berkecak pinggang dengan mulut nyinyir-able yang agaknya sudah siap untuk melepaslandakan segala sambat dan mungkin cacian. “Balikin dulu sandal gue, baru lo ribut lagi.” Bukannya melerai, Sean justru mengamit ujung pakaian Seje dan menggiring gadis itu untuk pelan-pelan beranjak dari sendalnya. Tapi bukan Seje namanya kalau gadis itu langsung menurut. Ia justru mengarahkan tatapan horornya pada Sean lantas menahan sepasang sandal hitam di kakinya lalu kembali mendorong Sean, mundur. “Lo, Chan. Tunggu gue balik, kita selesaikan secara adat!” ancamnya pada sang adik sebelum akhirnya gadis itu berbalik dan bergegas berjalan cepat ke arah pagar.  Namun again and again, entah mengapa rasanya di pagi yang cerah ini, warung Mpok Ina yang hanya berjarak beberapa langkah dari rumahnya seolah menjadi sebuah tempat yang begitu sulit ia datangi. Sedari tadi ada saja yang menghalangi niatnya tersebut. Padahal mulut Seje sudah pahit sekali. Ibarat kata, sudah terbayang-bayang asemnya Thammarin tapi yang kini datang justru bau asem Chandra yang belum mandi pagi dan bisa-bisanya bergelayutan di sebelah lengannya untuk pelan-pelan ditarik kembali ke atas teras. “Dih! Apaan lo?!” Seje yang masih dalam mode sambat, tentu saja gak ada baik-baiknya. Chandra tak menanggapi kakaknya dengan keributan kali ini. Anak laki-laki berusia 21 tahun itu justru mendekatkan mulutnya ke telinga Seje. Berusaha menahan tangan Seje yang sempat menahannya lantas mengatakan sebaris kalimat yang seketika sukses membuat gadis itu membeku di tempat. “Dua tiga tok dalang ngecor, btw bego belakang lo bocor!” Begitu saja, Chandra berteriak di ujung kalimatnya lantas lari terbirit-b***t ke dalam rumah. Jangan pikirkan apa yang terjadi pada Seje dan terutama ketika Sean masih berada di sana dengan dua mata yang tak lekang melihat ke arahnya. Sungguh, Seje ingin marah. Ia ingin mengamuk tapi juga malu. Jadi, setelah memastikan dua tangannya menutupi bagian belakang celananya dengan benar, Seje berjalan hati-hati melewati Sean yang agaknya sedang menahan tawa. Dan benar saja, ketika Seje telah masuk ke dalam rumah. Sean tertawa terbahak-bahak. Padahal diam-diam ia sudah tahu soal itu sejak beberapa waktu yang lalu. ****  -To Be Continued-          
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD