LAMARAN YANG TIDAK TERDUGA

1096 Words
Beberapa tahun kemudian ....      Gamma tengah menutup wajah Mama dari istrinya dengan perasaan haru, sudah beberapa tahun wanita itu sudah dia anggap sebagai mamanya sendiri.     Gamma menghela napasnya setelah menutup wajah papa mertuanya dengan kain putih. Dia terdiam sebentar air matanya sebentar lagi akan keluar dari pelupuk matanya, namun belum sempat air mata pria itu keluar panggilan dari kamar sebelah membuat pria itu tersadar lalu berlari ke kamar sebelah, kamar tepat di mana istrinya yang sedari tadi belum tersadar.      Suara gebrakan pintu terdengar dengan begitu kencang, tatapan Gamma terkunci begitu melihat istrinya yang tersadar, Gamma mendekatinya dan langsung menggengam tangan sang istri memberi kekuatan di sana, berharap sang istri kuat menghadapi kesakitan yang menimpanya.      "Kamu harus kuat ya, Sayang. Aku akan melakukan semua yang terbaik untuk kamu. Kamu tahan sebentar ya, aku dan tim medis akan segera melakukan tindakan secepatnya," ucap Gamma sambil mempersiapkan alat-alat yang dibutuhkan.      Gamma selaku dokter di rumah sakit ini sangat ingin melakukan tindakan yang terbaik untuk pasiennya apalagi saat ini yang menjadi pasiennya adalah istrinya sendiri.      Namun, sang istri mendengar itu m dengan lemah dia menolak ucapan Gamma barusan. "Ga ... mm a ... ku ud ... ah enggak ku ... at. Sakit Ga ... m sak ... it," ucapnya dengan tersendat-sendat.      Gamma semakin erat menggenggam tangan sang istri. "Aku mohon, kamu harus kuat. Kali ini aja, aku mohon."      Sang istri kembali menggelengkan kepala lagi. "To ... lo ... ng jaga Al ... farin," ucap sang istri dan seketika layar di sebelah wanita itu menampilkan garis lurus.      Gamma yang melihat itu langsung mengeratkan jas kedokterannya dan langsung melakukan segala cara agar detak jantung sang istri kembali berdetak. Namun, sia-sia Allah tidak mengijinkan.      Gamma menyuruh semua suster untuk keluar karena memang usaha mereka semua tidak berhasil. Gamma terduduk tepat di sebelah sang istri yang sudah tidak bernapas lagi. Gamma mengusap wajahnya dengan kasar, dia merasa gagal sekarang percuma dia menjadi dokter kalau dia tidak bisa menyelamatkan beberapa orang yang sangat dia sayangi.     Gamma berdiri dari duduknya, dia menatap sang istri dengan tatapan dalam. Gamma mendekatkan wajahnya ke wajah sang istri lalu mencium kening sang istri dengan air mata yang terus berjatuhan. Biarkanlah Gamma seperti itu, biarkanlah Gamma menangis di wajah istrinya, dan biarkanlah Gamma mencium kening istrinya karena mungkin ini adalah yang terakhir. .      Gamma keluar dari ruangannya lalu berjalan menuju ruang inap pasiennya. Gamma membuka pintu ruangan itu dengan perlahan, pintu terbuka lalu Gamma berjalan mendekati pasiennya yang masih tertidur pulas dengan keadaan tidak begitu mengenaskan dibandingkan dengan keluarganya. Ya, kalian benar pasien yang satu ini adalah Alfarin.      Gamma terdiam menatap wajah Alfarin. Rasa kasian terbesit di dalam hatinya, saat ini wanita yang tengah berada di hadapannya sudah tidak mempunyai siapa-siapa lagi. Penderitaan yang dia alami memang tidak sebanding dengan umur wanita itu, umurnya masih tujuh belas tahun, tetapi dia harus merasakan kepedihan yang sangat dalam.      Rasa tanggung jawab tiba-tiba muncul di dalam hati Gamma. Bagaimanapun juga dia adalah adik dari sang  istri, dia harus menjaganya karena dia merasa itu adalah suatu tanggung jawabnya dan juga untuk mewujudkan permintaan terakhir dari istrinya.      Mulai detik ini, Gamma berjanji dia akan selalu menjaga Alfarin dengan penuh rasa tanggung jawab. Dia berharap, istrinya melihat dirinya di atas sana dengan penuh rasa bangga dan melihat adiknya dengan penuh rasa tenang.      "Mama ... Papa ... Louren ... pergilah dengan tenang," ucap Gamma dalam hati. -00- Dua bulan telah berlalu dengan begitu cepatnya, dua bulan Alfarin masih berada di dalam rumah sakit, dan dua bulan Alfarin masih belum mengetahui berita tentang keadaan keluarganya. "Kak Gamma, ceritakan sekarang Kak," ucap Alfarin yang sedari tadi mendesak Gamma agar menceritakan tentang keadaan kelurganya. Gamma ingin sekali menceritakan yang sejujurnya, tetapi mengingat Alfarin yang baru saja tersadar dari komanya membuat Gamma mengurungkan niatnya. Gamma lagi-lagi menggeleng. "Tidak ada yang perlu dikhawatirkan Fa, mereka semua baik-baik saja," jawab Gamma yang akhirnya berbohong. Dia rela berbohong demi kebaikan Alfarin. "BOHONG! Kakak pasti bohong," ucap Alfarin dengan intonasi yang lebih tinggi. Alfarin dapat mengetahui bahwa Gamma yang berada tepat di sampingnya tengah berbohong, dia dapat melihat semuanya dari gerak-gerik pria itu. "Bagaimana keadaan mereka semua Kak? Alfa mohon, kasih tahu Alfa,"ucap Alfarin kembali memohon. Membayangkan kalau keluarganya sedang dalam keadaan tidak baik membuat air mata Alfarin terjatuh seketika, isakan tangis wanita itu semakin pecah bahkan dia tidak peduli walau ada Gamma di sebelahnya. "Kak aku mohon, Kak." Gamma menghela napasnya, dia tidak bisa berbohong lagi kalau keadaan sudah seperti ini. Sekuat apapun dia menyembunyikan, fakta ini akan terbongkar juga. "Keluarga kamu, semuanya meninggal." Satu kalimat yang sangat cukup membuat hati Alfarin mencelos. Tatapan wanita itu seketika kosong antara tidak yakin dan tidak menerima keadaannya. Alfarin menatap Gamma dalam. "Kakak bohongkan?" tanyanya dengan suara serak. Air mata sudah berlinang di pelupuk matanya dan sudah ada beberapa air mata yang turun ke pipinya. Gamma menggeleng lalu memandang Alfarin dengan tatapan sendu. "Saya tidak bohong." Mendengar itu membuat tangan wanita itu mencengkram bantal di atasnya melimpahkan segala kesedihannya di sana. "Jangan menangis Alfarin," Gamma menghela nafasnya, "saya mohon." Lanjutnya. . Kondisi Alfarin saat ini sudah semakin membaik, sekitar dua bulan dia tersadar dari komanya, dan terus mendapatkan perawatan di rumah sakit ini. Saat ini, Alfarin tengah terduduk sambil menatap dinding putih di hadapannya dengan tatapan kosong. Dia harus sadar bahwa dia tidak mempunyai siapa-siapa lagi di dunia ini selain Marina. Marina tinggal di luar negeri dan sangat tidak mungkin dia menyusul Marina dan tinggal di rumah wanita itu, mengingat Marina sekarang sudah mempunyai suami. Suara pintu terbuka membuat lamunan Alfarin buyar. Seorang suster dan dokter tidak lain adalah Gamma masuk ke dalam ruang inapnya. Suster memberikan senyuman lalu segera melakukan tensi darah kepada Alfarin dan Gamma hanya terdiam di sebelah suster itu. "Mbak Alfarin udah boleh pulang, selamat ya,"ucap suster itu sambil menatap Alfarin dengan gembira. Alfarin yang mendengar ucapan suster itu hanya tersenyum kecut antara senang dan sedih. "Sus, boleh ga saya tetap di sini? Saya ga punya siapa-siapa lagi," tanya Alfarin sambil menatap suster itu dengan tatapan memohon. Suster itu langsung menatap Gamma yang berada di sebelahnya, Gamma melirik pintu seolah mengasih kode agar suster itu segera keluar. Suster itu mengangguk lalu menatap singkat ke Alfarin. "Maaf, Mbak saya permisi," ucap suster itu lalu bergegas pergi keluar. Di sini menyisakan Alfarin dan Gamma yang masih saja terdiam. Alfarin masih saja memikirkan kehidupan masa depannya dan Gamma masih memikirkan kata-kata yang tepat untuk dia ucapkan saat ini. "Kak Gamma, aku di sini aja ya. Aku takut tinggal sendirian di rumah," ucap Alfarin sambil menatap Gamma sendu berharap agar Gamma memberikan dia pengertian. "Kamu tinggal di rumah saya." "Apa?" "Menikahlah dengan saya, maka kamu akan tinggal di rumah saya bersama saya." "HAH?" "Saya serius." "Tapi Kak-" "Ini demi kebaikan kamu." 
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD