Hari ini kegiatan sekolah masih tentang OSPEK yang mengenalkan sekolah dan kegiatan-kegiatannya.
Untungnya dia tidak terlambat dan berterima kasih kepada senior yang tadi pagi menegurnya dari lamunan yang membuatnya hampir saja lupa kalau dia sudah berada di sekolah. Yang sayangnya dia tidak tahu siapa nama kakak seniornya itu.
Tapi cukuplah dia berterima kasih dalam hati saja. Karena mungkin saja seniornya itu juga belum tentu mau menerima ucapan terima kasihnya.
"Eh," kejutnya dengan tidak sengaja.
"Kamu tidak apa-apa?" salah satu senior bertanya,
"Tidak, Kak,” jawab lalu pergi.
"Eh, tunggu dulu," tahannya, tanpa sengaja memegang lengan Amor yang langsung ditepis begitu saja membuat si empunya terkaget. “Maaf.” Kemudian berlalu.
"Eh, i–iya. Maaf juga," ujarnya terbata.
"Siapa?" temannya bertanya.
"Gak tahu. Anak baru kali." Mengedikkan bahu tanda tak tahu.
Rega yang dari tadi terdiam berjalan mendekat lalu mengambil botol minum itu. Tumbler biasa dengan warna abu-abu yang sudah mulai kusam. Diberi nama 'Amor' dengan huruf kapital menggunakan spidol permanen. Terlihat jelas.
"Eh, apa itu, Ga?" tanya temannya.
Rega mengangkat kedua bahunya. “Botol minum,” ujarnya singkat. Lalu memasukkann dalam kantong celananya yang besar.
Teman-temannya hanya ber-oh ria tanpa mau memperpanjang lagi dan melanjutkan bermain basket. Karena mereka tahu seperti apa Rega. Tidak akan menjawab walaupun ditanya dengan paksa, justru semakin malas meladeni mereka.
Yang sahabat dekatnya hanya Fadel dan Tian. Fadillah Nur Muhammad dan Christian Orion Anezka. Yang lain hanya teman biasa atau kenal di sekolah. Cukup sampai sana.
Setelah kegiatan selesai, Amor mencoba bersantai menikmati kesendirian yang sudah , tapi ternyata tetap saja tidak bisa tenang ketika melihat ada bola menggelinding ke arahnya dan untung saja dia tidak kena. Dia lebih terkejut ketika seorang kakak senior menyapanya. Dia tidak nyaman apalagi melihat seorang kakak senior di belakangnya yang melihat dengan tatapan tajam. Setajam mata pisau menghunus. Dia pernah mendapatkan tatapan seperti itu. Bahkan, lebih pun pernah. Hanya saja dia tidak suka ada orang asing yang menatapnya lebih tajam, seakan dia sampah.
“Sampah tetaplah sampah!” Kata itu selalu terngiang hingga dia melukai diri sendiri. Selalu seperti itu.
Namun, sepertinya di sekolah ini dia memiliki pengendalian diri yang baik. Semestinya nanti jika ada pelajaran seni peran maka aktingnya adalah yang terbaik.
Dia masih haus. Mengambil botol minum. Tetapi, akhirnya dia ingat bahwa dia lupa membawanya tadi. Astaga, menepuk jidat, "Ketinggalan," gumamnya.
Botol minum itu adalah pemberian ayahnya. Walau sebenarnya itu pemberian karena terpaksa. Dia tidak pernah mendapatkan apa pun dengan instan. Beda dengan saudara tirinya.
Saat itu kakeknya masih hidup. Ya, kakek dari ayahnya. Walau terkesan kejam dan tidak menyukainya tapi kerap kali kakeknya selalu menyuruh ayahnya berlaku adil.
Pernah sekali, ketika mereka sedang berkumpul dan ibu tirinya tidak ada. Hanya kakek, ayahnya dan saudara tirinya. Yaitu Riana, adik tirinya yang berbeda beberapa hari dengannya. Juga kakak tirinya, Vicko, yang sedang berkumpul.
Sebenarnya tidak bisa disebut berkumpul sebab dia hanya mendengarkan karena di suruh menyajikan makanan. Ya, mereka menganggapnya pembantu di rumah. Tidak ada yang benar-benar menganggapnya. Menyedihkan! Tetapi dia tidak ingin orang lain mengasihaninya, sebab itu membuatnya muak.
Riana merengek kepada ayah mereka. Ah, masih bisakah lelaki yang hampir setengah abad itu disebut sebagai ayah? Kala tak pernah sedikit pun tangannya menyentuh dengan lembut juga mengusap kepalanya dengan penuh kasih sayang, sangat berbanding terbalik ketika ayahnya memperlakukan saudara tirinya.
Saat itu, kakeknya pria tua itu melihatnya. Dan mengatakan pada ayahnya dengan sindiran ataupun memang dari hati, bahwa dia harus adil.
Flashback On :
"Papa, teman-temanku sudah memakai tumbler yang bagus. Aku kapan dibelikan?" Pria itu tersenyum melihat anak perempuanya yang sangat manja.
"Nanti, Papa belikan," ujarnya lembut membuat si anak tersenyum.
"Papa, aku juga mau yang besar karena sudah mulai les. Pulangku sore. Dan aku butuh handphone," kata Vicko yang saat itu sudah kelas 6 SD.
"Iya, nanti ya," jawabnya sambil sengaja melirik ke arah seorang anak di sampingnya. Anak itu berharap dia juga ikut ditanya apakah menginginkan sesuatu atau tidak. Namun, dia tahu diri, tidaklah mungkin ayahnya memperlakukannya dengan sama.
"Kamu mau juga?" Tiba-tiba pria tua yang dari tadi memperhatikan tahu keinginan anak itu.
Dia yang ditanya tergagap, menggeleng, hanya itu yang dia bisa.
"Kalau mau membelikan anak, belikan semua biar adil," kata kakeknya lagi.
"Jangan yang satu diberi yang satu tidak. Nanti menimbulkan dendam bagi yang lain." Kakeknya melirik ayahnya lalu kembali kepadanya.
"Iya, Pa," jawab ayahnya sinis, sembari memandangnya tajam dan jauh. Bagai memandang masa lalu.
Kakeknya tersenyum mendengarnya. Memang kakeknya tak pernah menyapanya dengan benar. Hanya saja kakeknyalah yang tak pernah marah dan berteriak padanya.
Ah, memang sejak awal pun dia tak akan pernah bisa menjadi anak yang diakui ayahnya. Diharapkan kelahirannya saja tidak.
Beberapa hari berlalu, ayahnya membelikan semua pesanan saudaranya. Namun, tidak dengannya. Tapi ketika ayahnya melihatnya, dia memberikan botol minum yang ayahnya punya.
"Ini buatmu, pakailah! Itu bekasku,” ujarnya kemudian berlalu.
Saking senangnya dia tersenyum seharian. Dia tidak menyangka ayahnya mau memberikan apa yang dia punya. Ketika dia berbalik, kakeknya tersenyum. Pertama kalinya dia melihat lelaki tua itu tersenyum dan mengusap kepalanya penuh kasih sayang.
"Belajarlah dengan rajin. Kalau sudah besar harus lebih baik dari kedua orang tuamu. Dan jangan izinkan orang lain menginjakmu. Kamu harus lebih baik ketika dewasa." Itu kata-kata terakhir kakeknya yang membuatnya sadar bahwa kakek memang tidak menunjukkan rasa sayangnya dengan bebas seperti orang lain. Begitu pun pada saudaranya. Bedanya, karena mereka hidup dari kecil bersama kakek sedangkan dia tidak. Itu mengapa kakek lebih leluasa dengan mereka ketika berbicara.
Tapi lagi-lagi perkataan Riana membuatnya jatuh ke dasar. “Kamu hanya dapat bekas. Bekas papa yang tidak seberapa. Pantas sama saja dengan ibumu yang suka bekas orang lain," ujarnya berlalu.
Kata-kata itu menyayat hatinya. Sementara Vicko hanya melewatinya setelah adiknya membuat anak haram itu terdiam.
Flashback Off;
Tapi tak mengapa, dulu dia senang, sebab dia menerima bekas ayahnya. Sekarang, botol minum itu saja sudah hilang, tetapi masih ada harapan bisa ditemukan, pikirnya.
Terlalu lama dia melamun. Lagi-lagi melamun sampai akhirnya dia beranjak dan melihat ke tempat awal.
Tapi dia tidak menemukannya di bangku belakang sekolah ketika beberapa anak lelaki yang menjadi kakak seniornya bermain bola kaki tadi. Yang dia lihat justru bangku kosong tanpa ada apa pun di sana.
Dia berbalik, hendak kembali. Tapi, ... apa yang dia lihat membuatnya terkejut bukan main.