C7 - POV Harumi

1097 Words
Selesai sarapan aku berpamitan pada ibu dan ayah, segera turun dari tangga rumah, menghidupkan motorku untuk segera ke perusahaan. Butuh 25 menit perjalanan dengan menggunakan motor untuk sampai ke perusahaan. Aku bekerja di salah satu perusahaan swasta sebagai staf biasa. Mengingat pekerjaanku, aku jadi ingat dengan laki-laki bernama Yusuf itu, calon suamiku, yang juga bekerja di perusahaan swasta, jabatannya aku tidak tau, juga tak mau tau. "Pagi Harumi!" Kak Dirga tersenyum hangat penuh kasih sayang padaku. Aku tau dia menyukaiku, walaupun tak pernah ia ungkapkan langsung, tapi aku tau betul, bukan karena rasa percaya diriku yang terlalu tinggi. Tapi ini fakta, bahwa aku adalah orang yang peka namun memilih untuk tidak peduli. "Pagi Pak." Aku balas tersenyum tipis, sekedar sopan santun pada kak Dirga yang notabenenya adalah atasan merangkap seniorku di perusahaan. Kalau di jam kerja akan memanggil 'pak' di luar jam kerja aku disuruh kak Dirga untuk memanggil 'kak' jangan 'pak' lagi. Pernah saat di luar jam kerja aku keceplosan memanggil kak Dirga dengan 'pak' kak Dirga langsung cemberut saat itu, dia tidak marah, hanya cemberut. Aku langsung duduk di mejaku, mengeluarkan laptop dari tas. Karena pekerjaan di sini mengejar target, terkadang aku sering melanjutkan pekerjaan di rumah, lembur. Makanya setiap karyawan diwajibkan punya laptop masing-masing. Toh tidak masalah, 3 bulan lagi masa kontrakku di perusahaan ini habis. Aku akan bebas dari deadline pekerjaan, dan mungkin aku bisa membuka toko bunga. "Hei Harumi! Kenapa bengong begitu!?" Seru perempuan dengan suara melengking ini memekikkan telingaku. Dia Kris, nama lengkapnya Krisdamayanti, perempuan bar-bar dengan tampilan syar'i, punya mulut tapi gak ada rem, tukang nambah dosa orang melalui ghibah, dan masih banyak keburukan lainnya yang tak bisa dirangkai dengan kata-kata. Kebaikannya? Sama sekali tidak ada. Ah, mungkin ada. Dia rajin shalat dan berdoa agar punya jodoh yang baik pada Allah SWT. Masyaa Allah. Aku tidak bisa menghiraukan Kris, itu hanya akan menambah masalah. Aku masih sayang dengan gendang telingaku. Aku melirik malas pada Kris. Memasang sorot mata yang secara tidak langsung berkata 'jangan ganggu aku! Urusi pekerjaanmu!' Kursi putar kudorong kebelakang. Karena semalam aku lupa baca niat puasa sunah sebab terlalu memikirkan perjodohan, jadi aku tidak melaksanakan puasa Senin-Kamis, aku beranjak ke dapur perusahaan, membuat kopi hitam yang hangat. Agar urat-urat mataku regang dan selalu terbuka. 5 menit kemudian aku sudah kembali ke mejaku. Melirik Kris yang sudah mulai sibuk dengan pekerjaannya. Aku lanjut mengejar ketertinggalanku di hari kerja sebelumnya. Memikirkan perjodohan saat hari libur, membuatku lupa menyelesaikan tugas lemburku. Karena banyaknya pekerjaan, tak terasa waktu berlalu dengan cepat. Aku menghela nafas lega, menghempaskan tubuh ke punggung kursi. "Ayo makan siang di kantin, Harumi!" Kris tersenyum lebar, mengajakku makan siang bersama. Aku langsung mengangguk. Menutup laptop. Teman makan siangku memang hanya dia, Kris. Sekali-sekali rekan setim ikut makan siang bersama, tapi itu jika ada pembagian nasi bungkus setelah rapat saja. Di hari lain yang sudah masuk usia 35 ke atas, membawa bekal dari rumah, usia 35 ke bawah, pergi bersama pasangannya masing-masing, memanfaatkan waktu istirahat yang 1 jam itu untuk bersama. Aku dan Kris yang menjomblo hanya bisa diam. Menikmati makan siang kami setiap saat seperti ini. Yah, walau statusku sekarang sudah jadi calon istri orang. Tapi itu tidak menutup kemungkinan bahwa statusku masih jomblo-- single. Sebab, kata orang, jomblo itu karena tak laku, single itu prinsip. Walau masih banyak yang membantah kalimat itu, aku memilih jalan aman saja. Aku single. Ini prinsipku untuk tidak berpacaran sebelum menikah. Aku tak ingin menambah dosa dengan hal yang berbau pacaran yang tidak sehat itu. Aku dan Kris sama-sama memesan menu langganan kami, ayam geprek dan teh es. "HAAAAH..." Kris menghela nafas terberatnya siang ini. "Ada apa?" tanyaku heran, bukan penasaran. "Wewe dari tim 3, yang baru berusia 21 tahun akan menikah Minggu depan. Sedangkan aku sudah 25 tahun, kenapa masih belum menikah!?" Kris menepuk kedua pipinya. Memasang ekspresi menjijikkan-- cemberut. "Ya sudah jelas bukan? Karena kamu tak laku." Aku menjawab apa adanya, jujur. Kris menatapku masam. Tak berkomentar. Dia kalah telak, karena omonganku apa adanya, jujur, sesuai fakta yang ada. "Lagian kenapa sih mau buru-buru nikah? Calonnya aja kamu belum punya. Lebih baik lama kan, asal menemukan calon yang tepat?" Sebagai sahabat yang baik, aku hanya bisa menghibur dengan cara ini. "Menyegerakan sesuatu yang baik itu, baik Harumi! Kamu sih santai, sebab Dirga yang baik hati dan tidak sombong itu jelas suka padamu. Aku mah boro-boro." Kris bersungut-sungut, kesal akan keadaannya sendiri. "Ya kamu ambil aja kak Dirga, aku gak mau sama dia kok." "Ambil palamu! Mana mau Dirga sama aku. Lagian kenapa kamu gak suka Dirga sih? Dia udah baik, tampan, pintar, sixpack, di usianya yang masih 25 tahun udah jadi wakil direktur. Calon pewaris perusahaan kita lagi. Kamu yakin gak suka sama dia?" "Ya jelaslah, orang itu perusahaan punya bapaknya, jabatan yang dia inginkan pasti bisa dia dapatkan dengan mudah. Lagian dia bukan tipeku." "Aduh Harumi, tipe kamu yang kayak apa lagi sih!? Emang ada laki-laki yang lebih baik dari Dirga? Yang suka sama kamu!?" Sekali pancing lagi, Kris akan mencapai tingkat tertinggi dari kebar-barannya. "Banyak," jawabku cuek. "Aku gak paham sama kamu, Harumi." Kris menggeleng-gelengkan kepala, menepuk jidatnya. Dia tak lagi membacot sebab ibuk kantin sudah menyodorkan pesanan kami, ayam geprek dan teh es. Karena aku sudah sering mengingatkan pada Kris, setiap makan tidak boleh berbicara, jadi Kris benar-benar tenang, seperti kucing jinak, dia tak lagi menggeong saat makan. 20 menit untuk makan siang, aku kembali ke ruangan, mengambil mukenah dalam tas. Sedangkan Kris langsung ke Mushalla perusahaan, menunaikan shalat zhuhur duluan. Aku baru ingat bulan ini aku belum datang bulan, situasi diharamkannya shalat yang kata anak-anak remaja adalah fase kejayaan perempuan yang datang hanya sekali dalam sebulan. Sekali yang artiannya seminggu berjaya. Sekembalinya dari Mushalla perusahaan, aku melanjutkan pekerjaan hari ini yang syukurnya tidak seberapa, akan selesai 10 menit sebelum jam pulang kerja jika aku kerjakan dari sekarang. Aku harus cepat, agar bisa berisitirahat setelah pulang, mempersiapkan diri bertemu dengan calon suami, Yusuf esok hari. Mengajukan janji perceraian. Tak ada gunanya membangun rumah tangga atas dasar perjodohan yang tak kami inginkan. Atas dasar tak saling suka. Aku juga tak ingin membangun rumah tangga dengan laki-laki penuh drama seperti dirinya. Aku sangat yakin Yusuf akan menerima ajakan janji untuk bercerai, karena itu aku sudah memikirkan konsekuensi perceraian ini, yang akan lebih memberatkan bagiku. Karena setelah bercerai nanti, statusku adalah janda, pasti akan lebih sulit bagiku menemukan pasangan yang baik, sedangkan permasalahan Yusuf yang menjadi duda, rasanya itu bukan masalah untuk setiap laki-laki. Aku tak tau apa ini karena pemikiran egoisku. Sudahlah, malam nanti aku bisa lebih tenang memikirkan semuanya. Sekarang fokus mengerjakan apa yang ada di hadapanku dulu!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD