Prolog

439 Words
"Di kapan kamu mau kawin? Bunda punya anak perempuan cuma kamu doang Di! Bunda pengen juga dapat cucu dari kamu. Umur kamu itu udah mau expired Di!" omelan pagi hari yang seperti vitamin C wajib buatku. Bunda selalu mempertanyakan dan mengomel tentang hal yang sama. Aku sama sekali tidak menjawab omelan Bunda. Aku lebih memilih menyantap sarapan pagi berupa nasi goreng. Hari ini aku akan ke butik, usaha milik kakak iparku yang aku bantu jalankan untuk manajemennya. Saat bunda mengomel seperti ini aku jadi ingat pertemuanku minggu kemarin dengan Arghani. Kesan pertamaku dia pria aneh, matang nan menggoda tapi masih single. Bayangan dia punya penyimpangan orientasi seksual melayang begitu saja. "Besok Eyang kemari. Katanya dia mau kenalin kamu sama anak temennya," ujar bunda yang memberikan kabar berbahaya. "Ya Allah Bun! Anak temennya Eyang? Seumuran Bunda dong, ogah!" tolakku tidak mau. Tiba-tiba suara tawa menyebalkan terdengar. Siapa lagi kalau bukan abangku tercinta, Abraham. Makhluk yang paling suka membullyku. Umurnya boleh tua tapi congornya kalah anak muda. "Udah telpon aja langsung itu fotografer langsung," ujarnya terdengar sangat menyebalkan. Sungguh aku menyesal merekomendasikan Arghani pada Kak Milly. Suami istri sama gak warasnya ya begini, dalam sekejap kilat mereka berdua langsung tahu bahwa Arghani incaranku. Aku menatap Bang Abraham sebal, sementara Kak Milly cuma tersenyum geli sambil menggendong Kafi. "Tau deh ah! Ilang napsu makan. Gue duluan Mbak Mil," aku bangun dari dudukku, membiarkan nasi gorengku yang tinggal setengah. Saat aku masih membereskan ponselku ke dalam tas tangan, suara ibu menyela dengan berkata, "Satu bulan dari sekarang ya Di. Kalau satu bulan lagi gak punya calon juga, Bunda yang bakal cariin dan kamu harus mau." Aku tidak menggubris bunda. Bang Abraham dan Kak Milly hanya diam saja dan membiarkan aku berlalu tanpa salam. Jujur saja aku kesal saat masalah percintaanku terus diungkit. Jika saja bunda memberi izin untuk aku tinggal sendiri atau merantau ke luar kota, pasti aku tidak akan sekurang ajar sekarang. Sebenarnya pikiran gila mengenai menghubungi Arghani sudah berseliweran di benakku. Terkadang aku penasaran juga kenapa beberapa pria takut dengan perempuan matang sepertiku. Saat kencan buta dan menanyakan pekerjaanku, awalnya aku hanya berkata bahwa aku pegawai Kak Milly. Namun, ketika pembicaraan mulai serius dan semua pria bercerita soal investasi dan saham, aku akan nyambung. Aku Diomira, lebih suka memposisikan diri sebagai investor. Sebenarnya dulu waktu ayah meninggal, kami dapat warisan dan aku menggunakan harta warisan itu untuk investasi di beberapa bisnis dan membeli beberapa property. Jadi ya, aku salah satu perempuan yang duitnya lumayan, dan ini menjadikan alasan pria untuk menjauhiku bertambah. "Oke. Satu bulan? Aku pasti bisa!" ujarku saat aku sudah duduk di balik kemudi mobil, bersiap untuk menuju butik.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD