PONGKY.

2464 Words
PONGKY. BRUCE sengaja membawa Eva dengan mobilnya sementara mobil wanita itu dibawa oleh kedua pengawalnya. Setelah malam ini, mungkin ia akan memiliki kesempatan lagi untuk bersama wanita itu. Selama sepuluh tahun terakhir, sudah berbagai macam cara ia lakukan untuk kembali bertemu dengan Eva. Namun tak satu pun membuahkan hasil. Eva selalu punya ribuan cara untuk menghindarinya. Harus diakui semua itu memang sepenuhnya salahnya. Dulu ia terlalu bodoh dan naïf, tapi sekarang seiring berjalannya waktu. Rasanya memang hanya Eva yang ia butuhkan. Tidak ada yang lain. Dan Bruce, sebagai seorang kesatria sejati, tidak akan berhenti berjuang sebelum- “Turunkan aku di sini!” seru wanita itu setelah mereka berkendara selama kurang lebih lima menit. Bruce menoleh, mendapati Eva yang sama sekali tidak mau menatapnya. Ia melihat ke sisi jalan dan mendapati sebuah gedung yang cukup tinggi dan menarik. Perlahan, Bruce menghentikan mobil yang mereka tumpangi ke sisi jalan. Ia berdeham singkat, “Kau yakin mau berhenti di sini?” tanyanya sembari mengamati gedung tersebut. “Ya.” Eva mencoba membuka pintu, tapi benda itu sama sekali tidak mau terbuka. Wanita itu mencoba beberapa kali, hingga saat ia mulai lelah, Eva menoleh dan menatap Bruce dengan tatapan geramnya. Seperti sebelumnya. “Buka pintunya!” Bruce mendengus, jika ia tidak tahu apa yang akan dilakukan Eva di sini, maka ia juga tidak akan membiarkan wanita itu keluar. Dengan sikap sok bijaknya, ia membuka mulut. Bersiap mengeluarkan sebuah ceramah khas laki-laki dewasa. “Tutup mulutmu, Bruce. Aku tidak membutuhkan sepatah kata pun keluar dari sana. Yang saat ini kuinginkan adalah, kau menggunakan salah satu tanganmu untuk menekan tombol di hadapanmu agar pintu sialan ini bisa terbuka dan aku bisa keluar dari sini secepatnya.” Ucap Eva sinis. Lagi-lagi tanpa melirik sedikit pun pada Bruce. “Tempat apa ini?” tanya Bruce dengan ekspresi polosnya. Bruce sadar, ia tidak mengenal kota ini seperti kebanyakan pria seusianya. Sepanjang hidupnya, selama nyaris 25 tahun, ia terlalu sering mengandalkan asisten pribadinya untuk mengurus semua keperluannya. Banyak hal yang telah ia lewatkan selama ini. Namun tidak ada satu hal pun yang ia lewatkan jika menyangkut tentang Eva. Setidaknya, itulah yang ia pikirkan. Saat tiba-tiba Eva menoleh untuk menatapnya, Bruce yakin ia melihat sesuatu dari sorot mata gadis itu. Sesuatu seperti rasa iba atau mungkin sejenisnya. Kilatan singkat itu tidak sengaja terekam dalam memorynya. Dan Bruce yakin ia tidak salah kali ini. “Kau belum menjawab pertanyaanku.” Katanya dengan suara rendah. Eva mengangkat sebelah alisnya. “Kau sedang menggodaku?” “Tidak.” Bruce menggeleng cepat. “Aku serius bertanya padamu.” “Oh,” Eva mengangguk-angguk sembari tersenyum tipis. “Ini adalah rumah teman Ava. Ava mengatakan dia akan menginap di sini. Dia menghubungiku dan memintaku untuk menemaninya tidur di sini. Jadi malam ini aku tidak akan pulang ke apartementku sendiri.” “Ava sendirian?” tanya Bruce dengan kening mengkerut. Ia kembali memandangi gedung itu sekilas lalu mengalihkan pandangannya dari sana. “Apa orangtua kalian tahu kalian menginap di sini?” “Astaga, Bruce,” Eva menyentuh lengan Bruce, “Kami sudah dewasa dan tahu betul apa yang harus kami lakukan. Dan kau tahu, ayahku possessive, bukan? Dia tidak akan membiarkan kami melakukan hal-hal bodoh. Tentu saja Daddy tahu aku dan Ava menginap di sini. Dia… punya banyak mata-mata.” Bisik Eva lirih seolah ayahnya ada di sana. Wanita itu segera menarik tangannya dari lengan Bruce sembari melempar senyuman. Skin to skin. Sesaat tetapi begitu menghanyutkan. Sentuhah itu mengingatkan Bruce pada setiap genggaman tangan yang pernah mereka miliki bersama. Bruce melirik tangan Eva yang terulur menjauhi lengannya. Satu-satunya yang ia syukuri dari pertemuan mereka malam ini adalah kemajuan mengenai hubungannya dengan Eva. Jika dulu wanita itu nyaris tidak pernah mau berhadapan dengannya, malam ini mereka bisa mengobrol bersama dan bahkan…. Eva mau menyentuhnya. “Bagaimana?” Eva menelengkan kepala. “Ava menungguku di dalam.” katanya dalam nada rendah yang memikat. Wanita itu memeriksa ponselnya sesaat lalu mengalihkan pandangannya pada sebuah gedung yang tidak terlalu megah di sisi jalanan. “Baiklah.” Bruce akhirnya menyerah. Ia tidak tega melihat Eva memohon dengan tatapan seperti itu. “Aku akan menurunkanmu di sini. Tapi, bisakah kita bertemu lagi besok? Atau mungkin lusa?” tanyanya lembut. Bruce benar-benar ingin kembali bertemu dengan Eva. Ia ingin memperbaiki hubungan mereka meskipun rasanya mustahil, tetapi apa salahnya mencoba? Mereka pernah bersama. Dulu, Eva selalu memanggilnya Pongky. Panggilan kesayangan untuknya. Kini, semua momen sepertinya bisa terulang lagi. Bruce sangat optimis dalam hal ini. Sama seperti ia optimis mengerjakan semua yang menjadi tanggung jawabnya. Eva tampak mengangguk, kemudian menggeleng. “Bukannya aku menolak permintaanmu. Tapi, sungguh aku harus menanyakan jadwalku pada asistenku sebelum mengambil keputusan apa-pun.” Katanya dengan nada yang lebih rendah dari sebelumnya. “Kau pasti sangat sibuk.” Timpal Bruce. Ujung bibir Eva terangkat sehingga membentuk sebuah senyuman yang manis. “Begitulah. Jadwalku lumayan padat akhir-akhir ini.” “Kalau kau punya waktu-“ “Aku akan menghubungimu.” Sela Eva dengan semangat. Bruce mengangguk. Ia tidak perlu lagi memohon mulai saat ini. Semua berjalan jauh dari ekspektasinya. Jauh lebih baik dari yang pernah ia bayangkan. “Sampai bertemu di lain waktu. Semoga malammu menyenangkan.” Bruce melempar senyuman untuk Eva. “Terima kasih, Bruce.” Eva membuka pintu mobil Bruce dan bergegas keluar. “Terima kasih atas tumpangannya dan akan kusampaikan salammu pada Ava.” Ucap wanita itu sambil lalu. Bruce menatap punggung Eva yang menghilang di balik sebuah pintu besar yang dijaga oleh dua orang di setiap sisinya. Ia menduga, kedua orang itu adalah penjaga keamananan. Ia menyandarkan punggungnya di kursi. Kembali teringat dengan dosa yang dulu pernah ia perbuaat hingga membuat Eva membencinya hingga detik ini. Dulu sekali, mereka berdua punya kehidupan yang sangat sempurna. Setiap tahun dilalui dengan mengunjungi satu sama lain saat musim liburan. Bruce masih ingat saat ia berusia lima tahun, ia tinggal sendirian di rumah Eva dan keluarganya selama dua minggu penuh. Saat itu liburan musim panas. Keluarganya sengaja berkunjung ke sana untuk berlibur. Dan saat ayah dan ibu serta keempat adiknya berniat untuk pulang, ia menolak mentah-mentah ajakan mereka sehingga Bruce bisa tinggal bersama keluarga Eva. Enam bulan kemudian, atau tepatnya saat Natal, Bruce kembali merengek meminta untuk diantarkan ke rumah Eva dan Ava. Ia kembali menghabiskan waktu dua minggu penuh untuk bermain dengan si kembar. Bagi Bruce yang masih anak-anak, yang kebetulan menyandang status anak pertama dari lima bersaudara, mengunjungi dan menginap di rumah Eva adalah sebuah liburan yang sangat menyenangkan. Di sana, ia tidak perlu memikirkan tingkah laku keempat adiknya dan sepupu jauhnya-Romeo yang sama nakalnya. Bukannya Bruce tidak suka dengan kelima anak itu. Ia hanya butuh waktu sejenak untuk menghindari mereka semua demi kesehatan mentalnya. Itu saja. Tidak lebih. Sekecil itu, Bruce sudah memikirkan kesehatan mentalnya. Rutinitas mengunjungi Eva dan Ava terjadi hingga mereka beranjak remaja. Bruce bahkan masih ingat Eva pernah mengunjungi keluarganya di rumahnya. Si kembar menginap di rumahnya hingga 2 minggu penuh. Sama seperti yang pernah ia lakukan dulu. Dan ketika ia dan keempat adiknya dikirim ke sebuah sekolahan yang jauh dari tempat tinggal mereka, RRT-island, rutinitas itu sama sekali tidak berubah. Bruce dan Eva masih tetap mengunjungi satu sama lain selama liburan sekolah dan Natal. Namun, semuanya berubah sejak Bruce berusia 15 tahun. Mereka tidak lagi bertemu dan bahkan menyapa satu sama lain. Hingga malam ini, ia baru memiliki kesempatan berbincang dengan wanita itu. Kenyataan itu menyesakkan, tetapi Bruce tidak ingin tinggal diam. Jika dulu ia selalu berusaha bangkit dan selalu gagal. Kali ini ia tidak mau membuang-buang waktu untuk bangkit dan melepaskan Eva. Sudah cukup ia menderita selama sepuluh tahun terakhir. Bruce ingin kembali membawa wanita ke dalam pelukannya. Tidak peduli seberapa sering Eva menolaknya nanti, ia akan menerima apa pun resikonya. Apa pun! ** Eva mengembuskan napas lega saat mendapati dirinya berada di dalam sebuah club malam ternama di kota itu. Salah satu club vvip yang tidak dimasuki oleh sembarang orang. Termasuk paparazzi. Ia butuh minuman, atau sejenisnya. Kepalanya mengalami overheating cukup parah malam ini setelah bertemu dengan Bruce. Ia sama sekali tidak menyangka akan bertemu pria itu di pesta tadi. Sepuluh tahun, seharusnya mereka sudah saling melupakan satu sama lain. Namun, sepertinya semua itu mustahil. Bahkan untuk dirinya sendiri, yang jelas-jelas menginginkan kepergian Bruce, masih belum bisa mengenyahkan pria itu dari benaknya. Dengan langkah gontai, ia berjalan seorang diri menuju bar. Sebelumnya ia berencana untuk langsung pulang ke apartemen dan tidur pulas di atas kasur empuk dan selimut tebalnya. Namun, karena Bruce mengikutinya, ia harus berimprovisasi untuk menghindari pria itu. Eva tidak mau kembali ke apartment bersama Bruce. Hal itu pasti akan mengundang gossip yang tidak enak didengar. Mengingat ia sedang berusaha mencari teman kencan dalam waktu dekat, Eva tidak mau mengambil resiko digosipkan dengan Bruce atau laki-laki yang sama sekali tidak diinginkannya. “Satu tequila dan tolong tambahkan sedikit es.” Katanya pada sang bartender setelah mendaratkan pantatnya di atas kursi. Eva melihat ke sekeliling, ia tidak menemukan seorang pun yang dikenalinya. Jika biasanya tempat itu selalu menjadi tempat berkumpulnya ia dan teman-temannya, sepertinya malam ini Eva harus terima hanya ada dirinya di sana. Tidak sampai dua menit, sang bartender mengulurkan minumannya pada Eva. Pria itu mengulas senyum ramah. “Sendirian?” tanya sang bartender. Eva mengedikkan bahu. “Begitulah. Aku tidak berniat kemari sebelumnya.” “Jadi, apa yang membuatmu nekat datang seroang diri kemari?” “Paparazzi.” Jawab Eva acuh. Eva tidak mungkin mengatakan kepada pria itu kalau ada laki-laki menyebalkan yang tengah membuntutinya. “Kau tahu mereka selalu memburu berita dan mengarang tentang ini dan itu.” Pria itu terkekeh. “Resiko publik figure.” Komentarnya seraya berbalik untuk membuat minuman untuk tamu lain yang baru saja datang. “Kalau kau tidak punya teman mengobrol, aku akan menemanimu.” Kekehan keci meluncur begitu saja dari mulut Eva. Untung saja ia memilih club yang tepat dan kebetulan dari tampilan luarnya juga tidak terlalu mencolok. Pilihan ini memberinya dua keuntungan sekaligus. Yang pertama, ia berhasil membohongi Bruce akan keberadaannya dan yang kedua ia akan punya teman mengobrol setelah ini. Dini hari seperti saat ini, semakin sedikit orang yang datang ke club. Yang artinya bartender itu hanya akan melayani beberapa tamu saja dan memiliki banyak waktu untuk mengobrol dengannya. “Cepat selesaikan pekerjaanmu. Aku menunggumu.” Serunya pada pria yang kini tengah meracik minuman beralkohol itu. Bruce. Nama itu kembali terlintas di benaknya. Ada kepuasan tersendiri saat ia berhasil mengelabuhi pria itu. Eva tidak menyangka, Bruce bisa dengan mudah percaya padanya. Apakah Bruce masih sama kunonya dengan Bruce yang dulu ia kenal? Apakah pria itu masih tinggal di pulau terpencil di RRT-Island hingga tidak tahu kalau tempat yang ia kunjungi adalah sebuah club malam. Memang, Eva tidak memberinya banyak pilihan untuk memperhatikan club itu, tetapi bukan berarti Bruce tidak mengetahuinya, bukan? Atau Bruce memang tidak tahu. Mereka sudah beranjak dewasa sekarang, seharusnya Bruce sudah tahu tentang club malam dan sejenisnya. Kecuali kalau pria itu terlalu sibuk mengurus perusahaan ayahnya dan keempat adiknya yang brutal dan hanya memiliki satu kekasih yang selalu setia menemaninya. Eva meringis. Apakah ia baru saja mengucapkan kata kekasih? Kenapa kata itu terasa sangat tidak cocok di lidahnya? Dari yang Eva dengar, gadis yang sepuluh tahun lalu berciuman dengan Bruce kini sudah menikah. Dan mungkin saat ini Bruce sudah memiliki penggantinya. Astaga, kenapa kepalanya dipenuhi tentang si bodoh Bruce? Ada apa dengan dirinya? “Sendirian?” Eva terlonjak dan bahkan nyaris terjungkal saat mendengar suara seorang laki-laki yang entah sejak kapan duduk di sisinya. Tadi, sebelum ia melamun, ia yakin tidak ada siapa pun di sana kecuali dirinya. Dan sekarang pria yang mengenakan- “Astaga, apa aku mengejutkanmu? Aku minta maaf, aku benar-benar tidak sengaja melakukannya.” Pria itu terdengar tidak enak hati. Ia menggaruk belakang kepalanya yang tidak gatal. “Maaf,” katanya sambil meringis. Eva menggeleng dan tersenyum lebar. “Bukan salahmu. Ini… salahku. Sepertinya aku melamun.” Akunya terang-terangan. “Aku sudah berada di sini sejak semenit yang lalu. Dan kulihat kau hanya diam memandangi minumanmu. Aku bahkan tidak yakin kau sudah mencicipinya.” Kepalanya menunduk untuk menantap gelas minumannya. Pria itu benar, ia belum minum sama sekali dan malah sibuk memikirkan di bodoh Bruce. Ingat, Eva. Jangan memikirkan pria bodoh itu. Kau membuat dirimu sendiri tampak bodoh. “Aku akan segera meminumnya.” Katanya lalu mengangkat gelas dan menyesap minumannya hingga tandas. “Wow…wow… tenang, kau tidak perlu terburu-buru menghabiskan minuman itu. Kau bisa tersedak.” Pria itu menerima minuman yang ia pesan dari sang bartender dan ikut meminumnya. Setelah gelasnya kosong tak tersisa, Eva kembali mendongak dan menatap pria yang kini duduk di sisinya. “Jangan terburu-buru.” Katanya pada laki-laki itu. “Kau bisa tersedak.” Keduanya lalu terkekeh. Mereka terdiam setelah beberapa saat dan memandangi satu sama lain. “Kau belum menjawab pertanyaanku.” Kata pria itu. “Pertanyaan?” ulang Eva masih tidak mengerti pertanyan mana yang ia lewatkan. “Sendirian?” tanya pria dengan rambut berwarna merah muda itu. Pria itu tampak… manis. Eva menduga kalau pria itu penyuka sesama jenis. “Sebentar,” kata pria itu. “Rambut merah muda bukan berarti aku penyuka sesama jenis. Aku… normal.” Katanya sambil melempar senyuman. Eva melongo, benar-benar tidak menyangka kalau pria yang kini berbincang dengannya bisa membaca apa yang sedang ia pikirkan. “Bagaimana-“ “Kau menatapku seolah aku bukan  pria sejati.” Potong pria itu. “Bagaimana kau bisa membaca pikiranku?” “Aku sudah menjawabnya.” “Oh, iya.” Eva melempar cengiran. “Aku tahu. Maaf atas kelancanganku.” “Tidak masalah. Anggap saja satu sama.” “Ha?” Pria itu memanggil bartender dan memintanya untuk mengisi gelasnya lagi. “Aku nyaris membuatmu terjungkal dan kau menganggapku bukan  pria normal. Anggap saja satu sama.” Kali ini Eva tidak bisa menahan tawanya lebih lama. Ia mengangkat kedua tangan, menyerah. “Baiklah, skor kita sama kalau begitu.” “Jadi, kau sendiri? Aku sudah bertanya untuk ketika kalinya dan apakah kali ini kau akan mengalihkan topik lagi?” Eva menggeleng tegas. “Tidak, aku sama sekali tidak berusaha mengalihkan topik apa pun. Ya aku sendirian. Dan kau?” “Bersama dua sepupuku. Tapi mereka meninggalkanmu sendiri setelah mendapat teman kencan. Jadi, di sinilah aku sekarang.” “Pria malang yang ditinggalkan sepupunya dan terdampar di meja bartender. Uh, sungguh kasihan.” “Hey, jaga bicaramu! Aku bukan pria malang seperti yang kaupikirkan!” pria itu memasang wajah tersinggung di sela cengirannya. “Akui saja.” “Tidak mau. Aku hanya… sedang tidak ingin bersama siapa pun saat ini.” “Terserah.” Ucap Eva sembari mendorong gelas dan meminta sang bartender mengisi gelasnya lagi. “Siapa namamu?” tanya pria itu tanpa mengalihkan tatapannya dari Eva. “Orang-orang memanggilku Eva. Dan kau?” tanya Eva membalas tatapan pria di sisinya. “Alex.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD