Davika tersenyum manis sambil duduk di tepi ranjangnya. Lama-kelamaan senyumannya itu berubah menjadi tawa yang menggelegak. Bahkan gadis cantik itu sampai sakit perut karena tertawa terpingkal-pingkal. Bagaimana tidak, rencananya mengerjai anak dari teman papanya yang hendak dijodohkan dengannya benar-benar sukses.
Davika masih ingat bagaimana wajah Aldo yang seketika memucat dan berkeringat dingin dengan begitu hebat tak lama setelah meminum jus buah yang telah dicampur dengan obat pencahar. Suara kentut yang terdengar keras dengan bau yang bisa membuat pingsan itu bahkan membuat Davika tertawa keras setiap kali mengingatnya. Bahkan baik sang mama-papa dan juga kedua orang tua Aldo begitu terkejut dengan hal itu. Tentu hal semacam itu cukup memalukan.
Dan akhirnya rencana perjodohan kali ini terhambat karena Aldo dan keluarganya segera pamit undur diri. Melihat kondisi Aldo tadi, bahkan Davika tidak yakin bahwa efek dari obat pencahar over dosis tadi cukup hanya diobati dengan obat sakit perut biasa. Davika yakin minimal Aldo akan opname di rumah sakit untuk beberapa hari. “makanya jangan pernah berani macam-macam sama gue,” ucap Davika sendirian. Setidaknya untuk malam ini berakhir melegakan baginya.
Tapi tentu papa Davika tidak tinggal diam begitu saja. Lelaki itu mempunyi watak keras kepala dan tidak mudah menyerah. Dari sanalah Davika mendapat sifat-sifat keras kepala tersebut. Sejak hari itu bahkan ada lebih dari tiga pemuda dari kalangan keluarga kaya yang berusaha papa kenalkan padanya. Tapi bukan Davika namanya jika tidak bisa mengatasi hal tersebut.
*
“Papa gak ngerti lagi mau kamu apa, kenapa dari semua pemuda yang berusaha papa kenalkan tidak ada satupun yang cocok sama kamu, Dav?” papanya mulai merasa lelah dan frustasi menghadapi anak gadis satu-satunya tersebut.
“Anak-anak temen papa aja yang gak berkualitas, jangan salahin aku dong kalo gak tertarik sama mereka. Mereka bukan selera aku, pa. Apalagi si culun tukang kentut itu, udah culun, m***m lagi.” Davika dengan santai menjawab papanya yang bahkan sudah sakit kepala.
“Kalau laki-laki dari keluarga terpandang saja bukan selera kamu, lalu selera kamu seperti apa? Seperti Fabio yang suka foya-foya dan urakan itu?” tanya papanya sambil memijit pelipisnya. “udah lah, pa gak usah sebut-sebut nama dia, bikin bete aja.” Davika bersungut. “lagian aku dah putus sama dia,” lanjutnya dengan lirih. Meski begitu papanya bisa mendengar ucapan sang putri. Terdengar helaan nafas kelegaan dan juga wajah sedikit tenang dari sang papa.
Kali ini papanya mulai sedikit tenang, mereka duduk dalam diam cukup lama di ruang keluarga tersebut saat tiba-tiba sang mama datang membawa minuman untuk suami dan juga sang putri. “Ma, apa tidak ada anak dari teman arisan mama atau siapapun yang bisa kita jadikan calon menantu?” tanya Arman setelah menyeruput kopi hitam dari cangkirnya. Sebelum mamanya membuka mulut untuk menjawab, Davika sudah terlebih dulu melotot dan menyela, “Udahlah, pa, sebenarnya kenapa sih papa ngotot banget pengen nikahin aku cepet-cepet?” raut wajah gadis manis itu berubah kusut bagai baju yang belum disetrika.
“Selama ini papa memantau pergaulan kamu, jadi papa tau seperti apa kamu di luar sana. Papa pikir kamu akan berubah dan mengerti dengan seiring berjalannya waktu karena kamu sudah dewasa, bukan anak kecil lagi.” Davika menelan ludah kasar, ada sedikit rasa bersalah pada kedua orang tuanya terlebih membayangkan bahwa papanya memata-matainya selama ini.
“Tapi kenyataannya kamu semakin menjadi-jadi. Apalagi semenjak kamu dekat dengan berandalan itu.” Sang papa melanjutkan lagi, Davika tahu betul siapa yang papa maksud dengan berandalan. Siapa lagi kalo bukan Fabio, dan kini Davika ikut mengamini ucapan sang papa meski dalam hati, bahwa Fabio memang bukan lelaki baik-baik.
Sang papa menghela nafas dalam, “Kamu anak perempuan papa satu-satunya, Davika. Papa tidak mau kamu terjerumus pada pergaulan yang salah, yang pada akhirnya membuat hidup kamu menderita. Dan lagi papa tidak ingin kamu sampai melakukan sesuatu yang membuat nama keluarga kita tercoreng.” Kali ini Davika masih terdiam, dalam hati dia tidak memungkiri bahwa bisa saja dirinya benar-benar akan membuat malu keluarga mereka andai saja hubungannya dengan Fabio masih berjalan. Fabio bukannya tidak pernah membujuk Davika untuk melakukan hubungan selayaknya suami istri, hanya saja Davika masih bisa menolak dan menahan diri selama ini. Tapi siapa yang bisa menjamin, terlebih melihat pergaulan mereka selama ini yang tidak jauh-jauh dari alkohol dan dunia malam.
“Itulah Dav, kenapa papa ingin kamu secepatnya menikah. Supaya ada yang menjaga kamu, membimbing kamu. Supaya papa dan mama tenang dan tidak terus menerus khawatir tentang kamu di luar sana.” Arman benar-benar menjelaskan semuanya dengan tenang, berharap Davika bisa mengerti pembicaraan ini dari hati ke hati.
Davika memutar bola matanya jengah, dirinya bisa mengerti kekhawatiran orangtuanya, tapi dirinya benar-benar tidak mengerti kenapa solusi yang ditawarkan orangtuanya benar-benar tidak masuk akal. “Kalau aku gak mau nikah gimana, pa?” gadis itu menatap ke arah papanya tanpa rasa takut, ya lebih tepatnya gadis pembangkang itu menantang pada papanya.
Wajah setengah baya yang masih cukup tampan dan berkarisma itu tampak mengeras, namun secepat kilat berusaha menguasai amarah yang hampir saja meledak. “Terpaksa, papa tidak akan mengijinkan kamu keluar dari rumah ini. Kamu hanya akan menjadi tawanan di rumah ini sampai kamu dinikahi seseorang suatu hari nanti.”
“Apa? Gak masuk akal! Keputusan macam apa itu? Itu sama saja papa yang justru mau hancurin masa depan aku, pa! Hidup aku masih panjang, aku masih mau kuliah, mau ngejar karir aku sendiri. Papa bisa kasih hukuman apapun ke aku kecuali keputusan konyol papa untuk nikahin aku!” kali ini Davika benar-benar tidak bisa membendung lagi segala amarah, kecewa dalam dadanya. Ya, gadis itu tau bahwa apa yang dia lakukan selama ini di luar sana mungkin memang mengecewakan dan membuat orang tuanya khawatir. Tapi pernikahan bukanlah hal yang ada dalam daftar hidupnya saat-saat ini. Hey, dia masih sangat muda dan b*******h untuk menikmati hidupnya, bukannya berkutat dengan tanggung jawab ibu rumah tangga. Tapi dia tahu, papa adalah papa, lelaki paling keras dalam apapun keputusan yang telah dia buat.
Gadis itu pergi secepat kilat dari hadapan kedua orang tuanya. Perasaannya kesal setengah mati. Tak peduli tatapan sang papa begitu tajam mengikutinya hingga menjauh. Dengan membawa kekalutan, Davika pergi menemui sahabatnya, Milly di rumah gadis itu.
*
Davika sampai di depan rumah Milly, mendapati sahabatnya itu sedang mengunci pintu, dan seorang wanita berbadan gempal yang berdiri tepat di samping Milly tengah menenteng sebuah tas yang cukup besar.
“Mil, lo mau pergi?” tanyanya setelah turun dari range rover hitam miliknya.
“Eh, elo, Dav? Iya, gue mau nganterin si bibi pulang, anaknya sakit di kampung, kasihan kelamaan kalo mesti nungguin bis di terminal.”
“Ya udah deh gue ikut, lagi suntuk gue.”
“Serius?” tanya Milly mengangkat kedua alisnya sambil menatap sahabatnya yang memang tampak kusut itu.
“Iya, pake mobil gue aja deh, yuk!” ajaknya sambil menatap Milly dan bi Neneng, yang merupakan asisten rumah tangga Milly itu secara bergantian.
“Lo kenapa lagi sih, Dav? Kusut banget deh itu muka kaya kain pel, tahu gak?” ucap Milly sambil mengemudikan mobil milik Davika.
“Enak aja lo bilang muka gue kaya kain pel, gue lagi pusing, jangan nambahin deh.” Davika mengerucutkan bibirnya sebal.
“Kenapa? Masalah bokap lo lagi?” tanpa mengalihkan pandangannya dari jalanan di hadapannya Milly melontarkan tanya yang semakin membuat Davika menekuk wajahnya.
“Bokap gue ngotot banget minta gue kawin cepet-cepet, gila nggak tuh? Gue masih muda, masih pengen seneng-seneng, jalan hidup gue masih panjang kali. Cuma gara-gara bokap gue khawatir sama pergaulan gue selama ini terus seenaknya nyuruh gue kawin cepet-cepet. Kaya nggak ada solusi lain aja deh. Mana gue diancem lagi, kalo gak mau dikawinin bakalan ditahan seumur hidup gak boleh kemana-mana, alesannya Cuma biar gue gak ngelakuin hal yang bikin malu keluarga. Konyol nggak sih menurut lo?” dengan berapi-api akhirnya Davika menumpahkan emosi dan ceritanya pada Milly.
“Kalau gue jadi bokap lo, gue juga bakal ngelakuin hal yang sama,” ucap Milly sambil tergelak, membuat Davika semakin kesal.
“Tapi serius deh, Dav, mungkin emang kita terlalu bebas selama ini kali ya? Yah gimanapun bokap lo pasti khawatir, jadi keputusan Om Arman mungkin emang udah dipikirin baik-baik buat kebaikan lo sendiri juga.”
“Dengan nyuruh gue kawin? Ogah!” teriak Davika lantang.
“Terus gimana? Lo mau milih dikurung di rumah sampai jadi perawan tua?”
Davika mendesah sebal, tujuannya menemui Milly untuk sedikit mengurangi bebannya dan meminta solusi, malah berakhir diceramahi.
“Gue pengen pergi dari rumah, tapi gue nggak yakin bisa hidup dengan bekal ijazah SMA doang, seenggaknya gue mesti lulus kuliah dulu.” Davika mengusap kepalanya frustrasi.
“Padahal setengah tahun lagi kita lulus, iya kan, Dav, eh lo malah mau dikawinin,” ucap Milly sambil menahan senyum. Sejujurnya gadis itupun kasihan dengan apa yang menimpa Davika, hanya saja semua ini terlalu konyol.
“Kalau gitu non Davika nikahnya pura-pura aja, non.” Bi Neneng yang sedari tadi duduk diam di jok belakang akhirnya bersuara, membuat Davika reflek menoleh pada pembantu sahabatnya yang bertubuh gempal itu.
“Maksudnya gimana, bi?” Davika menatap serius dan tertarik pada ide yang baru saja terlontarkan dari mulut wanita paruh baya yang sudah Milly anggap sebagai bagian dari keluarganya itu.
“Non Davika kan nggak pengen nikah, tapi mau nggak mau harus nikah kan? Non kawin kontrak aja kalau gitu, cari suami boongan deh, non.” Jelasnya dengan santai.
“Terus fungsinya buat gimana?” Milly ikut menanggapi ide dari pembantunya tersebut.
“Seenggaknya non Davika nggak bakal dimarahin lagi sama papanya kalau udah nikah, nanti kalau udah lulus kuliah tinggal cerai deh, non. Jadi kalau non pergi dari rumah, paling nggak udah lulus kayak yang non bilang tadi.”
Davika melongo, lumayan syok mendapati ide yang cemerlang baru saja keluar dari orang yang tak pernah dia duga.
“Sumpah, pinteran bi Neneng daripada lo ya, mil.” Senyum di wajah Davika mengembang.
“Bibi bisa dapet ide kayak begitu gimana ceritanya, bi?” tanya Davika dengan rasa heran dan kagum secara bersamaan.
“Bibi kan tiap hari nontonin FTV non, banyak tuh cerita yang kayak begitu,” jawabnya dengan wajah tersenyum bangga.
Davika hanya manggut-manggut, rasa heran dan kagumnya masih belum hilang dari benaknya. Kenapa dirinya sama sekali tidak kepikiran akan hal seperti itu ya?
“Boleh juga sih idenya, bi. Tapi nyari cowok yang mau jadi suami pura-pura di mana? Emangnya gampang?” Milly kembali buka suara dengan pertanyaan yang realistis.
“Kalau itu bibi nggak tahu, non,” jawab wanita bertubuh gempal itu dengan cengiran terpampang di wajahnya.
“Bisa kali gue minta tolong sama salah satu dari cowok-cowok di tongkrongan kita buat jadi laki gue enam bulan doang. Yang penting kan gue bayar.” Davika menjawab penuh percaya diri.
“Tapi Dav, ngelibatin temen-temen tongkrongan kita itu kayaknya terlalu beresiko deh. Kalau sampai ketahuan, sama aja lo bunuh diri. Bokap lo kan matanya banyak, ada dimana-mana.”
Davika menghela napas, apa yang Milly ucapkan memang benar. Dia tidak bisa mengambil resiko lagi atau semua akan menjadi lebih kacau.
“Eh, eh, kenapa nih?” teriak Milly saat tiba-tiba mobil yang mereka kendarai melaju dengan tidak nyaman.
Davika terkesiap menegakkan tubuhnya, merasakan hal yang sama, bahwa terjadi sesuatu pada mobil miliknya itu. Milly kemudian menepikan range rover hitam tersebut di tepi jalan yang tampaknya seperti jalan desa. Ketiganya turun, dan mereka mendapati ban depan sebelah kiri tampak kehabisan angin. Bukan bocor biasa, seperti ada benda yang membuat ban itu terkoyak.
“Duh, sial banget sih.” Davika menendang ban yang terlihat mengempis tersebut.
“Rumah bibi masih jauh nggak sih, bi?” tanya Milly sambil menatap sekeliling, jalan desa dengan debu yang beterbangan dan udara yang lumayan terik meski hari menjelang sore. Terdapat hamparan persawahan di sisi jalan dan kebun pisang yang lumayan banyak di sisi lainnya.
“Udah gak jauh, non. Paling satu kilo meter lagi terus belok kanan, nyampe deh. Emang non Milly lupa, kan dulu sering diajak mama kalo anter bibi.” Wanita gemuk itu membenarkan gagang tas yang melorot dari bahunya. Sementara Milly hanya mengangguk, memang dirinya tak begitu ingat, sudah lama sekali dirinya datang ke desa asal sang pembantu tersebut.
“Lo bawa ban serep nggak, Dav?”
“Ada, dongkrak juga ada. Tapi gue nggak bisa ganti ban. Emang lo bisa?”
Milly nyengir, tersenyum masam sambil menggeleng, “Gue juga nggak bisa.”
“Ahh, lo mah sama aja, terus gimana dong?” Davika memijit keningnya pusing. Kepalanya pusing, harinya benar-benar buruk.
“Yaudah, kita coba aja dulu, yuk, telepon bengkel langganan juga gak bakalan mau nyamperin kesini, ini kan jauh banget. Emang lo mau nunggu kejebak disini?” Milly mulai mengoceh sambil mengangkat dongkrak mendekat pada sisi ban yang bocor.
Davika menghela napas jengah, ini pertama kali dalam hidupnya harus melakukan hal ini. Terpaksa sebab tak ada jalan keluar lain.
Hampir tiga puluh menit kedua gadis cantik itu berkutat dengan obeng dan kawan-kawannya. Peluh bercucuran di dahi mereka, mengangkat ban mobil sungguh bukan perkara yang mudah. Itu berat, sangat berat. Dan benar saja, mereka tidak berhasil.
“Hahh, gue nyerah!” Teriak Davika sambil membanting obeng di tangannya.
“Telepon siapa kek, Mil, suruh kesini bantuin kita.” Davika mengusap wajahnya yang penuh dengan keringat.
Belum sempat Milly menekan nomor teman yang hendak dihubungi, perhatian mereka teralihkan pada seseorang dengan sepeda motor bebek butut yang mendekat ke arah mereka.
Ketiganya saling berpandangan satu sama lain, seorang lelaki yang usianya tampak masih muda turun dari motor butut tersebut. Satu karung besar berisi rumput bertengger di jok bagian belakang.
Lelaki itu mengenakan kaos abu-abu yang sedikit basah oleh keringat, serta sebuah topi yang tak kalah usang menempel di kepalanya. Kulitnya sawo matang, jika diperhatikan lebih teliti pemuda itu memiliki wajah yang cukup bagus. Dengan hidung bangir dan alis yang lebat membingkai wajahnya.
“Mobilnya kenapa, mbak? Saya perhatikan dari sebelah sana tadi mbak-mbak ini seperti sedang bingung,” tanyanya sambil matanya mencari tahu apa yang terjadi.
“Oh, ini ban mobil kami bocor, mas. Kita lagi coba ganti tapi nggak bisa,” jawab Milly sambil tertawa kecil.
“Oh, kalau boleh, bisa coba saya lihat, siapa tahu saya bisa bantu,” jawab pemuda itu dengan senyum yang begitu ramah.
Bi Neneng yang sedari tadi sibuk mencoba menelepon keluarganya di rumah, mengerutkan kening sambil memperhatikan dengan seksama pemuda yang sedang berjongkok di samping majikannya tersebut. Wajahnya cukup familiar, berulang kali dirinya mencoba mengingat nama pemuda itu namun nihil.
“Maap, bibi mau nanya, kamu cucunya pak Rahman bukan?” tanya bi Neneng setelah berusaha keras mengingat-ingat.
Pemuda itu menoleh dengan cepat kemudian tersenyum dan mengangguk sopan, “Iya, saya Ammar, cucunya pak Rahman.”
Davika hanya memperhatikan semuanya dalam diam, dirinya terlalu lelah untuk berbasa-basi. Meski dalam hatinya bersyukur pemuda itu datang tepat waktu. Hanya saja, selama Davika memperhatikan, pemuda bernama Ammar itu terlalu sering tersenyum ramah. Dan senyum itu terasa benar-benar mengganggu baginya, meski sebenarnya tak ada yang salah dengan itu.
*