Xia Yu

968 Words
Siang hari di kediaman pangeran ke-dua, di dalam salah satu kamar, seorang lelaki duduk di lantai kamar dan memandang lukisan di meja kecil di hadapannya. Lukisan seorang gadis yang bermain guqin dengan ekspresi yang sangat tenang. Lukisan di depannya adalah salah satu lukisan dari sekian banyak kertas yang berisi lukisan yang berserakan di sekelilingnya. Rambut lelaki itu terlihat berantakan dan matanya terlihat berkantung tanda dia melalui banyak malam tanpa tertidur. Wajahnya terlihat pucat dan kehilangan semangat hidupnya. Dia terus saja memandang lukisan di hadapannya. Kemudian menyingkirkannya dan mengambil kertas baru untuk kembali melukis dengan objek yang sama. Gadis itu, Liu Bai. Istri adiknya. Ada rasa pahit di lidahnya setiap kali dia mengatakan kenyataan yang menyesakkan dadanya itu. Dia kembali melukis dari memori tentang gadis itu yang melekat bukan hanya di ingatannya, tetapi juga di hatinya. Dia mulai melukis potret gadis itu dengan senyuman saat memandang kembang api di malam festival. Beberapa saat kemudian, lelaki itu tersenyum melihat hasil lukisannya. Tetapi kemudian ingatan tentang festival yang berakhir berdarah itu membuatnya mual. Ingatan itu membuatnya tertampar akan kegagalannya melindungi gadis yang dicintainya. Rasa bersalah yang menggerogotinya hari demi hari. “Yang Mulia? Saya membawakan makanan untuk Yang Mulia.” Bibi Yang, kepala pelayan tua di kediman itu sekaligus pengasuhnya mengetuk pintu kamarnya. Wajah pelayan itu berkerut sedih. Sudah satu minggu, pangeran ke-dua, Xia Yu mengurung diri di kamarnya. Pelayan silih berganti mengantarkan makanan, tapi mereka harus kembali dengan kecewa karena makanan yang tak disentuh. Makanan itu tak disentuh, atau hanya disentuh sedikit dan itupun karena paksaan Fengying atau dirinya. “Masuklah, Bi,” jawab Xia Yu dengan suara seraknya. Dia batuk selama seminggu ini dan tak kunjung sembuh karena dia membiarkannya dan tetap begadang tanpa henti. Bibi Yang terkejut mendengar untuk pertama kalinya dalam seminggu ini, majikannya itu menyuruhnya masuk ke kamarnya. Dalam seminggu ini, pangeran itu tak peduli dengan apapun yang terjadi. Tak pernah menjawab dan hanya menatap kosong lukisan di hadapannya. Dia tahu dengan sangat jelas karena dialah pengasuh pangeran, bahwa pangeran sedang dalam situasi sulit. Dia mencintai istri adiknya sendiri. Bibi Yang masuk dan membawa nampan makanan itu ke meja di depan majikannya. “Yang Mulia, Yang Mulia Selir An sedang menunggu Yang Mulia di ruang minum teh.” Xia Yu mengangkat wajahnya dan memandang Bibi Yang dengan pandangan bertanya, “Untuk apa Selir An di sini?” “Sebaiknya Yang Mulia segera menemui Yang Mulia Selir,” jawab Bibi Yang yang bingung harus menjawab apa. “Baiklah, aku akan bersiap-siap terlebih dahulu.” “Baik, Yang Mulia. Pelayan akan membawakan air cuci muka dan keperluan lain sebentar lagi.” Bibi Yang membungkuk hormat dan pergi meninggalkan ruangan. ***** “Kamu tahu, mengapa aku sampai harus ke sini, anakku?” tanya Selir An dengan tenang sambil menyesap tehnya. “Tidak, Yang Mulia.” Xia Yu yang duduk di depannya memandangnya bingung. “Aku ke sini untuk bertanya padamu, sampai kapan kamu akan seperti ini? Bukankah aku selalu mengajarkanmu untuk mengontrol tindakanmu, Nak? Apa kamu ingin memberontak?” “Yang Mulia tahu saya mencintai Liu Bai.” “Benar, tetapi apa kamu akan mengorbankan ketenangan kita selama ini demi seorang perempuan yang belum tentu mencintaimu? Sadarlah, Nak! Apa kamu ingin membuat ibumu ini mati seperti sang ratu? Apa kamu akan membuang usahamu selama ini untuk tetap bertahan di situasi aman?” Selir An memandangnya dengan sedih. Dia ibu yang sangat jahat. Dia melarang anaknya untuk mengejar kebahagiaannya. Tetapi dia harus melakukan ini agar anaknya tak berakhir tragis. Sudah cukup dia menyaksikan betapa kejamnya kehidupan di istana. Anaknya ini tak akan bahagia jika mengejar Liu Bai, gadis yang tak ditakdirkan untuknya. “Ayahandamu sudah menyayangimu. Ibu tak pernah mengizinkan kamu berada di garis tahta karena tak ingin kamu berakhir di tiang gantungan. Setelah pengorbanan kita selama ini, apa kamu ingin menghancurkan segalanya sekarang?” Xia Yu hanya terdiam setelah itu, sambil menyesap tehnya. Dia tak tahu harus menjawab apa.  ***** Xia Yu memandang pohon tunggal di taman belakang kediamannya. Tempat ini adalah tempat dimana Liu Bai memandangnya dengan penuh rasa keterkejutan saat cahaya senja menjadi latar yang sangat indah. Tempat dimana gadis itu seolah berusaha memandang jauh ke dalam jiwanya. Hari dimana hatinya memberontak atas janji yang selama ini dia pegang, janji untuk mengalah pada adiknya. Dia mengingat, mengapa dia jatuh hati pada Liu Bai .... “Selir An, kenapa Ayahanda tega?” Xia Yu yang masih berumur sembilan tahun memandang dari jauh bagaimana prosesi penghukuman sang ratu tanpa disengaja. Dia sedang bermain ketika ibunya, Selir An melarangnya mendekati istana ratu. “Nak, Ayahandamu adalah kaisar sebelum dia menjadi ayahandamu. Dia memikul beban berat di pundaknya. Ratu yang paling dicintainya saja bisa dia hukum seperti itu, maka bagaimana dengan kita? Pahami mulai sekarang, bahwa kamu harus memperhatikan segala perilaku dan ucapanmu. Jangan pernah menentang ayahandamu dan sayangi adik-adikmu.” Xia Yu mengingat bagaimana ayahandanya memperlakukan Xia Kang seolah hanya dialah putranya satu-satunya. Berbeda dengan dirinya. Jika saja bukan karena sikap patuh dan kepintarannya dalam hal politik, ayahandanya mungkin tak akan meliriknya. Seumur hidup, Xia Yu tak pernah berani mengeluarkan protesnya. Dia tak akan mampu menentang ayahandanya atau siapapun dan bertindak sangat hati-hati agar hidup ibu dan adiknya bisa selamat. Tetapi, ketika dia melihat Liu Bai, dia begitu terkagum dengan tekad kuat dan keberanian gadis itu yang seolah mampu melawan dunia jika dia merasa itu tidak adil. Tak pernah dia melihat ketakutan dan sikap pengecut di dalam gadis itu. Sikap pengecut yang selama ini mengungkung hidupnya. Dia menemukan sebuah oase di kehidupannya yang panjang. Liu Bai membuatnya ingin keluar dari rantai kasat mata yang mengikat seluruh tubuhnya selama ini. Dia ingin memberontak. Puncaknya adalah saat itu, saat gadis itu memandangnya seolah dia menemukan seseorang yang selama ini dicarinya. “Jika aku yang dicarinya, bukankah aku yang harus bersanding dengannya?” bisiknya pada angin yang bertiup kencang. Angin kering yang dingin yang membuatnya mengingat lagi bagaimana dinginnya hatinya terasa saat Liu Bai menghindarinya di paviliun bulan malam itu. Dia mengatakan itu salah paham, dia mengatakan untuk melupakan segalanya. “Tapi, bagaimana bisa aku melupakan semuanya dengan mudah? Kamu yang memasuki hidupku dengan tiba-tiba, aku tak ingin melepaskan itu semua ....” “Katakan padaku, Liu Bai, apa yang harus aku lakukan? Aku mencintaimu ... apa aku begitu berdosa hanya karena mencintaimu?”  *****  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD