1. I Found Him

1561 Words
                “Shila ya ampun pokoknya aku kangen banget sama kamu. Jahat banget, udah sampai Jogja dari seminggu yang lalu tapi baru bilang semalem.” Aku hanya tersenyum membiarkan Vira memelukku untuk kesekian kalinya.   “Dibilangin buat kejutan. Aku emang belum bilang siapa-siapa. Baru kamu aja.” “Ih kamu mah.” “Apa? Penting kamu seneng kan, aku balik Jogja dan menetap di sini?” “Eh serius mau menetap di sini? Nggak cuma cuti aja?”                 Aku menggeleng sambil tersenyum lebar. “Aku mau cari kerja di Jogja aja.” “Beneran?!” “Iya.”  “Wahhhh seneng banget dong aku. Kita bisa jalan-jalan bareng kaya dulu lagi Shil.” “Besok kamu yang traktir ya, aku kan pengangguran sekarang.” “Pengangguran tapi tabunganmu banyak. Sama aja.”  “Tapi kan tetep aja aku pengangguran. Harus irit Vir.” “Iya, iya. Eh ngomong-ngomong nih Shil, kamu kenapa tiba-tiba mau netap di Jogja? Bukannya gajimu di Jakarta udah gede ya? Perusahanmu kan udah punya nama. Aku yakin sih, gajimu di sana sudah hampir dua digit. Atau malah beneran udah?” “Jujur, gajiku emang udah jauh dari kata cukup. Tapi aku nggak mungkin selamanya tinggal di Jakarta karena semua keluargaku di sini.” “Iya sih. Eh tapi beneran nih, kamu balik Jogja cuma gara-gara mau deket sama orang tua aja? Nggak ada yang lain?” Tiba-tiba Vira menatapku penuh selidik.   “Yang lain gimana maksudnya?” “Nggak, bentar, nih kayaknya aku mencium bau-bau tujuan terselubung. Ngaku!” “Ngaku apa? Enggak.” “Shil, please. Kita sahabatan udah dari SMP. Tega bener masih mau rahasia-rahasiaan. Aku aja, apa-apa cerita ke kamu.”                 Aku terdiam sejenak sementara Vira tampak menunggu jawabanku. Benar kata Vira, selama ini aku dan dia hampir tidak pernah ada rahasia. Tapi untuk yang satu ini aku terlalu malu untuk cerita. Aku takut Vira akan meledekku habis-habisan. “Shila! Please deh ah.” Vira mulai menarik-narik tanganku. “Kamu ingat Kak Dimas Vir?” “Kak Dimas? Bentar, kok kaya nggak asing.” Kening Vira berkerut samar. Dia tampak berpikir sangat serius. Ini anak nggak berubah sama sekali. Selalu begini dari dulu.   “Ketua OSIS kita, Vir. Masa nggak inget?” “Eh Kak Dimas yang itu? Eh bentar bentar. Jangan bilang kamu---” “Aku apa?” “Kamu masih suka Kak Dimas Shil? Sumpah? Demi apa?!” Tanya Vira lengkap dengan ekpresi terkejutnya.                 Aku tau rekasi Vira akan seperti ini. Aku dulu pernah curhat sama Vira tentang Kak Dimas. Tapi Vira hanya menanggapi ceritaku sebagai angin lalu karena menurutnya wajar banget ada siswa baru yang naksir ketua osis. Tipe tipe cerita novel teenlit banget. Jadi Vira tidak terlalu menganggap serius curhatanku. Akupun tidak pernah curhat lagi setelahnya. “Aku ‘cringe’ banget nggak sih Vir? Sudah sembilan tahun berlalu, tapi sampai saat ini masih kepikiran Kak Dimas. Padahal dia ingat aku aja kayaknya enggak.” “Kamu beneran sesuka itu sama Kak Dimas? Cuma gara-gara dia nggak sengaja bantuin kamu bikin PR di musholla sekolahan?”                 Aku mengangguk sabil tersenyum getir. "Bukan cuma sih sebenarnya, soalnya itu hanya salah satunya. Masih ada yg lain, tapi rahasia. Hehe."  "Huuu, dasar lu!"  “Bukannya aku mau sombong nih Vir, sebenarnya banyak banget yang deketin aku waktu kuliah dan kerja di Jakarta. Bahkan manager perusahaanku sendiri pernah naksir aku. Tapi nggak tahu kenapa, ini hati kaya udah kecuri sama Kak Dimas.”                 Vira langsung menatapku dengan ekpresi yang ‘nggak banget’. Di sini aku nggak akan protes karena memang siapapun pasti akan bereaksi seperti Vira. “Perasaan dulu Kak Dimas nggak ganteng-ganteng banget deh Shil.” “Tapi manis.” “Kapan kamu terakhir ketemu?” “Pas acara kelulusannya.” “Hah? Setelah itu nggak pernah ketemu lagi?” Aku menggeleng. “Enggak.” “Ckck, punya sahabat kok gini amat kisah cintanya. Terus sekarang mau kamu apa? Kamu bahkan nggak tahu wujud Kak Dimas sekarang kaya apa. Waktu sembilan tahun itu nggak sebentar, Shil. Apalagi cowok, pasti banyak berubah dalam kurun waktu selama itu. Kamu yakin andai ketemu masih kenal kalau itu Kak Dimas?” “Nggak tau juga. Aku udah coba cari akun ** Kak Dimas barangkali ada, tapi aku nggak nemu. Entah Kak Dimas punya ** atau enggak, aku nggak tahu.” “Terus sekarang kamu mau cari Kak Dimas di mana?”                 Bukannya menjawab, aku malah turun dari tempat tidur lalu menganmbil ponselku di atas meja rias.   “Nih lihat. Nggak ada fotonya Kak Dimas sih Vir, tapi disini tertera namanya. Adimas Dwi Adiwilaga. Perusahaan dia lagi butuh sekretaris Virrr!” “Eh Kak Dimas punya perusahaan sendiri? Ini beneran Kak Dimas-mu?” “Kayaknya iya. Nggak mungkin kan, ada orang yang punya nama persis kaya gitu? Oke, nama Adimas emang banyak, tapi Dwi Adiwilaga kayaknya cuma Kak Dimas aja Vir.” “Terus kamu mau ngelamar kerja di sini?” “Exactly!” “Kalau nggak ketrima?” “Ih kamu mah, ya doain biar ketrima dong!” “Ya kan kalau misalnya enggak. Namanya juga ngelamar pekerjaan, pasti ada dua kemungkinan. Ketrima atau enggak.” “Kalau enggak ya aku cari yang lain lagi, tapi pokoknya aku harus ketrima. Toh disitu nggak ditulis harus lulusan apa kan, yang penting lulusan S1 dan familiar sama data.”                 Vira menghembuskan napas panjang sambil menepuk pundakku. “Yang terbaik buat kamu aja deh Shil.” ***                 “Buk, ini telurnya aku taruh di atas meja ya! Aku mau langsung lanjut jogging.” Teriakku sambil meletakkan satu plastik telur di atas meja makan.   “Iya, makasih Shil!” Jawab ibu, juga sambil teriak dari kamar mandi.                 Hari ini hari minggu, dan entah kenapa aku sangat rindu jogging di pagi hari. Waktu di Jakarta, biasanya minggu pagi aku gunakan untuk tidur lagi. Aku termasuk pemalas waktu di Jakarta. Nggak tau juga kenapa, begitu balik Jogja malah jadi rajin begini. Udah seminggu ini aku bangun pagi bantuin ibu masak di dapur. Hm mungkin karena aku masih pengangguran kali ya? Haha!                 Oh iya, ngomong-ngomong surat lamaran, aku sudah mengirimnya via email dan tes tertulisnya senin besok ini. Aku sangat berharap banyak semoga bisa ketrima, meskipun aku juga harus siap andai aku terisishkan. “Mbak ayo balapan.” Aku menoleh ketika ada anak kecil kisaran umur sepuluh tahun tiba-tiba lari di sampingku. “Nggak ah, mbak nggak mau balapan. Ntar cepet capek” “Huuu. Ya udah aku duluan mbak.”                 Aku mengangguk sambil tersenyum. Asli ya, ini adalah salah satu hal kecil yang aku suka dari masyarakat Jogja. Rata-rata warga asli Jogja sangat ramah, meski dengan orang yang belum dikenal. Ya, contoh kecilnya seperti anak kecil barusan. “Huahhhh! Mulai panas.” Aku berhenti sejenak lalu duduk di pembatas trotoar yang memang biasa digunakan untuk sekedar duduk-duduk.                 Aku membuka tutup botol air mineralku lalu kuminum sampai habis separuhnya. Lagi lagi aku tersenyum ketika mengedarkan pandangan. Meski setiap tahun aku menyempatkan pulang, tapi tetap saja aku tidak pernah merasa sebebas ini. Aku merasa Jogja cukup banyak berubah, terutama bangunannya. Banyak sekali bangunan baru, entah itu toko atau perumahan. Kurasa perekonomian masyararakat Jogja semakin membaik. “Mbak, mbak kaos biru! Mbak!”                 Keningku berkerut bingung ketika tiba-tiba anak kecil yang tadi, tampak memanggilku. “Aku, dek?” Tanyaku sambil menunjuk diri sendiri. “Iya mbak. Itu di belokan itu ada mas-mas pingsan.” “ Pingsan?”                 Saat itu juga aku langsung berdiri dan mengikuti ke mana anak kecil itu membawaku. Mataku langsung melebar kaget ketika menemukan ada laki-laki yang tersungkur di tanah. “Dek, kamu minta tolong orang lain lagi coba.” “Iya mbak.” Anak kecil itu langsung lari mencari bantuan.                 Sementara anak kecil itu lari, aku kembali mengedarkan pandangan. Ini kemana orang-orang yang tadi lewat? Kenapa nggak ada orang sama sekali? “Mas, bangun mas.” Aku menepuk wajah laki-laki itu pelan, namun tak mendapat reaksi apapun. Aku langsung mengecek pergelangan tangannya dan menghembuskan napas lega begitu denyut nadinya masih ada. Laki-laki ini sepertinya hanya pingsan. “Itu pak, yang pingsan.”                 Aku semakin lega ketika tak berselang lama ada dua bapak-bapak datang bersama anak kecil tadi. “Waduh, ini pingsan kenapa mbak?” Tanya salah satu dari bapak-bapak yang datang. “Nggak tahu pak. Saya juga dikasih tahu adek ini.” “Aku lihatnya tiba-tiba masnya ambruk. Padahal habis lari juga.”                 Aku menatap laki-laki itu dari ujung kepala sampai ujung kaki. Kalau dari penampilannya, sepertinya laki-laki ini juga habis jogging. Tapi kenapa tiba-tiba bisa pingsan begini? “Mbak, bisa hubungi nomor keluarganya nggak? Ini hapenya. Saya nggak bisa ngoperasiisn hape kaya gitu.” “Oh iya pak, coba sini.”                 Sementara dua bapak tadi mengangkat laki-laki itu ke tempat yang lebih tinggi, aku mencoba membuka ponselnya. “Duh, dikunci pak, hapenya. Ada dompet nggak, di saku?” Tanyaku kemudian. “Ada mbak, ini.”                 Begitu menerima dompet milik laki-laki itu, aku segera mencari kartu namanya atau tanda pengenal yang lain.   Klutak!                 Tanpa sadar aku menjatuhkan ponsel milik laki laki itu ke tanah ketika aku berhasil menemukan kartu namanya.                 Nggak, nggak mungkin. Serius, ini nggak mungkin. “Ada apa mbak?” Tanya anak kecil tadi sambil mengambil ponsel laki-laki itu yang terjatuh dari genggamanku. “Aku aja sini, mbaknya kelamaan.” Karena aku tak kunjung memeberi respon, anak kecil itu merebut dompet dan kartu nama dari tanganku. “Namanya Adimas Dwi Adiwilaga, pak.”                 Oh God, i found him! ***                                                                                   
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD