Waktu yang Berbeda, Perasaan yang Sama

1050 Words
Hari ini, rumah utama kediaman Thomas terasa hangat setelah menyantap sop iga sapi buatan Loren, "Bund," Panggil Dea yang baru saja sampai di rumah. Setelah 3 bulan lamanya merantau ke kota orang, karena memutuskan tinggal di asrama sekolahnya di Malang. "Telfon mas Garry deh, aku mau ngomong." Seketika Loren langsung menolak permintaan anak bungsunya, karena ia takut saat ini adalah waktu istirahat dari Garry. Karena perbedaan waktu 15 lebih antara Jakarta dan San Fransisco, semuanya membuat agak susah. Namun, bukan Dea namanya, jika tidak bisa mendapatkan keinginannya. Ia langsung membuka fitur jam Dunia di smart phone miliknya. "Bisa, bund. Kan disini malem, berarti disana masih pagi atau siang, sekitar jam 1 siang, lah." Dea menyerocos, pada Loren untuk menyakinkan sang Ibu, untuk menelfon Garry. Karema Dea ingin sekali mendengarkan suara masnya kembali, setelah lama tidak bertukar kabar. Walaupun hanya sebatas pesan singkat, atau sekedar tag-an di **. Tapi, semua itu tidak ada yang melakukannya. Baik Garry, ataupun Dea. Karena, mereja berdua sama-sama mempunyai sifat malu untuk memgutarakan perasaan lebih dulu. "Adik, nih masmu telfon. Udah, gak usah gangguin bunda deh." Thomas langsung memberikan ponselnya pada Dea, untuk menyudahi rengekan anak bungsunya, pada Loren yang sedang mencuci piring. Dea menyeringgai penuh bahagia, menyambar ponsel dari Thomas penuh kegirangan, "Halo, mas?" "Ihh, malah nguap..." Seketika, raut wajah muram. Mendengar suara kantuk dari sang Kakak di seberang sana. Garry terkikih mendengar cibiran adik kecilnya itu, hingga membuat orang di sebelahnya penasaran, "Siapa?" Bisik Ody, yang sedang menutup laptop miliknya. "Kepo...." ["Ihh, itu siapa, Mas? Kok ada suara cewek? Wah, lu lagi yg enak-enak ya???"] Garry tersentak, dan langsung mengklarifikasi semuanya. Sebelum ayah dan ibunya yanh mengambil tindakan, "Ngawur... Ini temenku lhoo, satu fakultas, dan sekarang lagi satu tempat kerja." Namun Dea, gadis bernotabene penggoda sang kakak, tidak langsung percaya dengan ucapan tadi. Ia memilih untuk mengadukan pada Thomas serta Loren, yang sedang menonton acara Tv. "Lhoo, emang kenapa kalo mas Garry sama cewek? Kan wajar, kalo sama cowok baru bunda omelin, Dek." Dea terperangah heran, saat mendengar ucapan Loren tadi. Seolah tidak mendukung godaan yang ia lemparkam tadi. Karena keinginan Dea agar, Garry mendapatkan cibiran atau omelan dari Loren, yang seolah memintanya fokus ke pendidikan lebih dulu, ketimbang persoalan cinta. Namun, respon Loren seolah mendukung persoalan asmara sang anak di Negri paman Sam tersebut. Dan Thomas, juga memberikan respon yang sama. Membuat Garry di seberang sana tertawa terbahak-bahak, karena kini sang Adik mati langkah dan tidak bisa menggodanya kembali. "Sudah lah, aku tutup ya, Mas. Bye!" "Yhaaa, ngambe--" Tut' Belum selesai ucapan Garry, namun sambungan tersebut sudah dimatikan oleh Dea. Yang kini langsung duduk diantara kedua orang tuanya. "Kalian mah gak asik." "Apasih, udah nonton deh, ngambek mulu dari tadi." Thomas memasukan stik coklat pada mulut Dea yang menggelembung. Di tempat lain, ada Garry yang masih terbahak karena perlakuan adiknya tadi, meskipun hanya secara virtual. Namun, semua itu terasa nyata baginya. Karena moment yang mereka ciptakan tadi, layaknya realitas yang benar-benar terjadi, disaat mereka berdua sedang berkumpul di rumahnya sana. "Asik banget, punya keluarga yang bisa diajak bercanda gitu ya." DEG' Dada Garry seketika sesak, kala mendengar ucapan dari Ody tadi. Yang padahal, ucapan itu hanyalah omong kosong belaka, atau sekedar basa-basi. Namun, mengapa ucapan tadi layaknya suara hati kecil dari Ody, yang iri pada kehidupan keluarga Garry. Dan semua itu, membuat dirinya merasa bersalah, "Tumben aja inimah, biasa... Aduuuuu" Dalih Garry. Ia seolah menenangkan Ody dengan caranya sendiri, yang menyebutkan jika keluarganya kadang bisa membuatnya kesal, hingga menciptakan suatu moment atau kenangan yang ingin dilupakan olehnya. Namun, bukannya malah tenang, Ody malah lebih lanjut keceplosan menceritakan sisi "Ody" Yang lain, pada Garry. 'Ohh jadi alesannya tinggal jauh dari orang tua tuh itu. Masih gak abis fikir, kenapa lu ceria banget, dy. Padahal mah hatinya remuk, rapuh, ringkih.' Batin Garry, hingga tanpa sadar tangannya kini mengelus rambut blonde Ody. "Kamu ngapain?" Ody menatap bingung Garry. "Eishh, ada kotoran tadi. Sorry, sorry." Garry langsung berdiri dari posisinya, dan meninggalkan Ody sendiri, yang masih sibuk membaca briefing untuk take videonya nanti. Ia langsung masuk kamar yang telah disiapkan oleh Freddy, dan berbarik di samping Nathan, yang baru saja selesai membuat video di restoran dekat sini. "Kenapa si, ada-adaa aja lu tingkahnya. Pake ngelus segala," Gumam kesal Garry. "Mau dong dielus, udah lama gak dielus." "Anjir!" Ia dikejutkan oleh Nathan, yang ternyata masih bangun, "Cie, abis ngelus siapa lu?" Tanya Nathan, seraya mendekatkan flash ponsel ke wajah Garry. "Kucing, aelah. Udah ah, gua mau tidur dulu, Nath. Abis ini kan gua belajar edit, karena minggu ini gua jadi staff produksi." Ucap Garry, dengan tempo yang sangat cepat, melebihi kereta cepat di Jepang. Membuat Nathan tidak bergeming, melontarkan godaannta kembali. Karena kini, lawan bicaranya yang sudah memakai airbud di telinganya. Meninggalkan Garry dengan perasaan yang masih gelisah, malu, entah apapun itu. Di dua kota yang berbeda kini, Yohannes dan Jorji yang sedang melihat nama kontak putri tunggalnya di ponsel mereka. Hati kecil Yohannes menginginkan, jika otaknya memerintahkan untuk segera menelfom Ody. Menanyakan bagaimana kabat dirinya, atau sekedar basa-basi dari seorang ayah pada putrinya. Namun, entah mengapa otak Yohannes tidak berani untuk memerintahkan hal semacam itu. Karena rasa enggan atau malu yang menyelimuti dirinya, atau mungkin Yohannes yang tidak tahu bagaimana cara untuk membuat pembicaraan semenarik mungkin, hingga membuat Ody menceritakan kembali kesehariannya, seperti dulu. Sementara Jorji pun sama, semenjak kedatangan Ody ke kantornya, hatinya semakin bersalah karena telah meninggalkannya dulu. Memang penyesalan datang belakangan, hingga membuat dirinya tersiksa seperti sekarang. Dan mungkin, memang itulah tujuan utama Ody datang menemuinya dulu. "Astaga, kenapa aku berfikir negatif pada anakku sendiri." Gumam Jorji. ["Maaf, nomor yang anda telfon sedang sibuk. Cobalah beberapa saat lagi, The number your calling, is busy, please try again later."] Bukan mendengar suara Ody, kini mereka berdua malah mendengar suara dari gadia operator, yang wajahnya masih menjadi misteri, hingga saat ini. Membuat Yohannes, menyudahkan panggilannya karena berfikir mungkin putrinya saat ini sedang melakukan panggilan dengan temannya atau someone special in her heart. Padahal kenyataannya, Yohannes dan Jorji yang menelfon Ody secara bersamaan, hingga membuat suara operator terdengar pada telinganya masing-masing. Dan Ody sendiripun tidak bisa mengangkat telfon dari mereka, karena ponselnya kini yang sedang dicharging di ruang kamar istirahat yang berseberangan dengan posisinya yang sedang membaca naskah briefing di ruang tengah, unit apartemen basecamp tempatnta bekerja sekarang.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD