BAB 2

1098 Words
Dalwi mulai merasakan jantungnya berdegub dengan kencang. Ia merasa begitu takut. Di dalam ruangan itu, ia hanya bisa mendengar suara jarum jam berdetak dan juga bunyi detak jantungnya. Katakanlah ia berlebihan namun rasanya seperti demikian.   Ia tak berhenti-berhentinya berdoa agar ada orang yang datang ke sekret dan membebaskan dirinya dari ruangan itu.   Tak lama kemudian, ia mendengar suara derap langkah mendekat. Ia buru-buru menoleh ke arah kaca dan dia pun menemukan Rahmat dan teman-teman sekretnya yang lain datang. Melihat kawan-kawannya mendekat rasanya sangat menyenangkan sekali, ia bahwa hampir saja menangis.   “Mat! Mat! Tolongin gua, Mat!” serunya sambil memukul-mukul kaca.   Dalwi melihat temannya tersebut mengucapkan sesuatu kepada wakil ketua. Ia tidak bisa mendengar apa yang dikatakan Rahmat, namun menurutnya masa bodoh dengan itu yang jelas teman-temannya itu datang. Jadi, dia bisa keluar sekret begitu saja.   Setelah kawannya sudah dekat, ia pun langsung menyingkir dari belakang pintu. Tak lama kemudian, kawannya yang bernama Rahmat tersebut pun membuka pintu sekret.   Dalwi langsung memeluk Rahmat. Temannya tersebut sontak langsung mencoba meloloskan diri darinya.   “Anjir, masih normal gua.” Kata Rahmat kepada Dalwi.   “Sialan.” Kata Dalwi.   “Lu kenapa, Gel?” tanya wakil ketua yang bernama Via.   Dalwi memang biasa dipanggil Degel oleh teman-temannya, baik teman di lingkungan rumahnya, maupun teman yang berada di kampusnya. Ia tidak mengerti mengapa ia bisa mendapatkan nama panggilan yang cukup antik dan ‘pupuler’ seperti itu.   “Iya, kenapa sih lu, Gel. Kayak orang mau diapain aja lu.” Timpal Rahmat.   Dalwi menatap Rahmat dan Via bergantian seraya bertanya, “Gua diisengin anjir.”   “Diisengin gimana maksud lu?” tanya Via yang merasa penasaran.   Dalwi menghela nafas, dia merasa harus mengatakan hal secara gambling kepada Via. “Dikerjain sama dedemit.” Katanya.   “Bohong banget lu.” Kata Via.   “Lah, beneran gua. Gua enggak boong.” Kata Dalwi yang mencoba meyakinkan Via.   “Lo nonton bokep kali makanya diisengin.” Kata Rahmat.   Dalwi melihat temannya itu berjalan menjauhinya dan langsung berjalan ke arah kipas angin dan menyalakannya karena udara panas.   “Kagalah. Ngapain gua nonton bokep pagi-pagi buta.” Jawabnya. “Eh, jangan dinyalain kipasnya, dingin begini juga.” Lanjutnya.   Ia merasakan hawa dingin mulai terasa di kulitnya.   “Gua rasa lu sakit, Gel.” Kata Bowo. Temannya yang lain.   “Pegang dahinya, Wo. Kali aja dia sakit beneran.” Kata Via.   “Kenapa enggak lu aja, Vi?” tanya Bowo sambil cengar-cengir menatap Via, Via melotot ke arah Bowo.   Dalwi langsung mengambil tangan Via dan mengarahkan tangan it uke dahinya. Dia merasa ini salah satu kesempatan baginya memegang tangan Via tanpa dibilang modus.   “Lepasin!” seru Via.   Dalwi hanya bisa menatap Via dengan tatapan serius. Ia tidak meras atengah enak badan, ia memang benar-benar merasa dalam keadaan normal saja. Hal itu membuat ia merasa kalau apa yang tengah dialaminya itu benar-benar nyata dan bukan ilusi atau cerita yang mengada-ada.   “Iya panas. Gua rasa lu sakit.” Kata Via.   Seluruh mahasiswa yang ada di dalam sekret pun tertawa terkecuali Dalwi dan Via. Dalwi pun kini memilih untuk duduk, dia merasa lelah. Dia juga merasa seperti baru saja memikul beban berat.   “Parah lu, Mat, ngerjain gua. Lu enggak tau sih tadi tuh tengkuk gua kayak ada yang niup.” Kata Dalwi mencoba menjelaskan apa yang terjadi.   Ia tidak perduli, meski teman-temannya tidak ada yang mempercayainya namun dia merasa harus mengatakannya.   “Ah, gua biasa sendiri di sekret sampe malem gak ada apa-apaan.” Kata Rahmat.   Dalwi mencoba memutar otak, dia tidak mau dicap sebagai pembohong. Ia menyusuri ruangan mencoba mencari sesuatu yang bisa dia jadikan barang bukti.   “Nah, itu. Tadi kunci bisa kekunci sendiri. Masa ada sih pintu yang bisa ngunci dari luar padahal enggak ada orangnya. Lu-lu pada tadi bisa lihat sendiri kan? Tadi tuh kuncinya udah gua cabut trus gua udah pindahin ke dalam, nah gua nggak tau kenapa bisa di luar lagi. Masuk logika enggak?” tanya Dalwi.   “Ah, paling lu lupa.” Kata Bowo.   “Eh, tau gak? Bang Arif juga pernah liat tau di kamar mandi. Kayaknya Graha emang angker deh.” Kata Via.   “Ah, bilang aja mau belain Degel.” Celetuk Bowo.   “Pengen banget gua sentil ginjalnya.” Kata Via kesal.   Bowo memang suka mencari gara-gara dengan Via, karena diantara anggota yang lain hanya Via yang enak untuk digoda. Bukan hanya oleh Bowo sebenarnya namun orang yang paling gencar adalah Bowo.   “Udah, yuk kumpul. Kita rapat soal acara Festival yang mau kita selenggarain bulan depan.” Kata Rahmat.   “Yah, Mat. Gak bisa ntar-ntaran apa?” tanya Alika.   “Kagalah keburu ada matkul gua.” Jawab Rahmat.   “Ah, biasanya juga bolos lu.” Kata Via.   “Mau kenaikan semester. Mau jadi anak baik dulu gua beresin absen.” Kekeh Rahmat.   “Bisa gitu ya absen diitung.” Jawab Anggi.   “Iyalah, aktivis tuh harus tau tiap dosen berapa tatap muka biar bisa ujian, jadi gua bolos gak bolos gitu aja.” Kata Rahmat.   “Eh, lu-lu pada nggak ada yang mau dengerin cerita gua apa?” tanya Dalwi.   Dalwi merasa sedikit kecewa kepada teman-temannya yang tidak mau mendengarkan apa yang dia katakana. Padahal banyak sekali hal yang ingin dia ceritakan kepada temantemannya itu, namun teman-temannya terlihat tidak ada yang peduli.   “Dari pada dengerin lu ngelantur, kita mulai aja rapatnya.” Jawab Rahmat.   Tiba-tiba, Dalwi pun langsung merasakan ada seseorang yang meniupnya dari belakang. Ia pun dengan refleks berbalik dan tidak menemukan siapapun di sana.   Di pojok ruangan, Bayu yan merupakan salah satu teman Dalwi seperti melihat sesuatu. Dia pun berjalan ke arah Dalwi dan duduk di samping Dalwi.   “Banyak-banyak istighfar lu.” Kata Bayu.   ***   Keesokkan harinya, Dalwi tidak masuk kampus karena sakit. Ia sakit selama tiga hari. Tubuhnya menggigil dan punggungnya terasa berat. Mendengar berita itu, Bayu dan Rahmat datang untuk menjenguk dirinya. Bagaimanapun sahabatnya begitu peduli kepadanya.   “Kenapa lu?” tanya Rahmat.   “Tau nih, menggigil sama lemes banget badan gua. Gua juga kaga tau kenapa, tapi berat banget punggung gua.” Kata Dalwi dengan lemah di atas tempat tidur.   “Miring dah, miring.” Kata Bayu tiba-tiba.   Dalwi menatap bingung temannya, namun ia pun menuruti apa kata temannya tersebut. Setelah memiringkan tubuhnya dengan susah payah, Bayu pun mencoba memegang punggung temannya tersebut.   “Udah.” Kata Bayu.   “Ngapain lu, Bay? Absur banget.” Kata Dalwi.   “Lu mending bilang bapak lu suruh cari ustaz dah.” Kata Bayu.   “Eh, emang kenapa?” tanya Rahmat.   “Kaga, kaga papa. Bilang ke bapaknya Si Degel aja, Mat. Bapaknya Degel kan bakalan dengerin tuh kalo lu yang ngomong.” Kata Bayu.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD