“Deal!” Dua tangan berjabat tangan, tanda menyetujui kesepakatan yang sudah mereka buat, apa pun itu.
“Kapan elu balik ke Jakarta?” tanya salah satunya sembari menyesap latte.
“Minggu depan. Om ama aunty gue masih ragu beneran bisa enggaknya gue survive di Jakarta. Udah sepuluh tahun gue gak nginjak Jakarta.” Jawab si gadis yang memakai hijab berwarna peach. Matanya menerawang jauh tapi terasa sendu.
“Gue akan support elu, if you need anything, just text me. Anything!” Padahal lawan bicaranya menawarkan bantuan tapi entah kenapa nadanya terdengar suram, gelap dan penuh amarah.
“I will. Kita akan berhadapan dengan rubah wanita yang sangat licik, jadi gak boleh gegabah.”
“Agree. Tapi gue rasa, rencana kita udah cukup bagus kok, perfect. Hanya kita bertiga yang tahu kan?”
Si gadis berhijab itu mengangguk mantap.
“Then, nothing to worry. Gue udah nelpon Shafeeya, dia akan ngebantuin elu, lebih tepatnya ngebantuin kita.”
“Makasih Ra, akhirnya setelah sekian lama, gue berani take action. Selama ini gue berusaha kumpulin keberanian gue dan elu emang sahabat terbaik yang dukung gue.”
“Iyaalaaah, kita kan partner in crime,” si lawan bicara gadis berhijab tadi akhinya tersenyum kecil, tapi wajahnya kembali serius saat berkata, “Zefa, take care. Gue cuma bisa ngedoain elu dari sini sampai saatnya tiba untuk gue hadir ke Jakarta dan menghadari pernikahan kalian.”
Tapi gadis yang dipanggil Zefa itu malah meringis mendengar kata pernikahan, “diih, amit-amit Amara! Gak mau gue.” Zefanya mengetuk-ngetuk meja dan berucap amit-amit dijawab oleh kekehan Amara.
*
Zefanya Khadira S., gadis itu menanti dengan sabar proses di imigrasi di Terminal Internasional Soekarno Hatta. Sesekali dia mengipaskan paspor yang ada di tangannya demi menghalau rasa gerah yang menyergap.
Inilah kotaku tercinta, kota dengan segala kenangan manis juga pahit.
Postur Zefanya dengan tinggi seratus tujuh puluh dua sentimeter dan masih memakai heels lima senti, dengan mata bulat indah tapi termasuk tajam, tentu saja menjadi perhatian orang-orang yang ada di situ. Apalagi penampilannya begitu elegan dan berkelas.
Memakai kulot high waist warna coklat s**u, dipadukan dengan kemeja polos warna hijau pupus dan pashmina warna coklat s**u. Tanpa riasan menor dan tubuh yang menjulang tinggi. Gadis ini acuh pada sekitar, dia menarik santai koper kabinnya menuju satu gerai restoran usai urusan imigrasi selesai.
Dia keluarkan ponselnya dan menggulir pesan yang bertubi-tubi masuk setelah mode pesawat dia ganti ke mode normal. Sembari menunggu pesanan makan siangnya datang, Zefa menelpon temannya yang bernama Shafeeya.
“Halo Feeya, gue dah landing nih.”
“Zefa…Maafin gue, gue gak bisa jemput elu. Mendadak harus anterin mama ke rumah sakit nih jenguk tante Yani.” Terdengar suara penuh permohonan maaf dari Shafeeya .
“Eeh, tante Yani kenapa lagi? Elu udah kasih tahu Amara?”
“Mama ngelarang, moga-moga gak bahaya deh. Zef, elu ntar pakai taksi premium aja ya. Langsung ke alamat apartemen yang udah gue w******p semalam.”
“Pakai taksi biasa aja gak papa, Feeya. Gue ke sini kan buat ngumpulin duit, bukan buat dihamburkan, kecuali duit gue udah bergunung-gunung.” Tolak Zefanya.
“Eh, Zefa, elu harus jaga image dan gengsi sebagai calon orang penting!”
“Calon pelakor, maksud elu?” jawab Zefanya enteng, mengaduk lattenya dengan mata memindai ke sekitar karena apa yang dia ucapkan baru saja, menarik perhatian orang lain terutama kaum hawa yang segera saja berbisik-bisik, bagai mendapatkan materi gosip panas level dua puluh mengalahkan bon cabe terpedas!
“Iih padahal pakai jilbab tapi ternyata pelakor!”
“Pantes aja itu barang-barangnya branded, simpanan ternyata. Hasil ngangkang aja tuh pasti!”
“Iyaa, mendingan gak usah pakai jilbab aja. Sok suci tapi ternyata perusak rumah tangga orang lain!”
Masih banyak lagi u*****n yang Zefa dengar, tapi selama sepuluh tahun ini dia terbiasa menahan emosi dan mematikan hati agar apa pun yang dikatakan orang lain tentangnya, dia tidak akan terbawa emosi.
“Zefa, elu masih di situ kan?”
“Masih, Feey. Iya, ntar gue pakai taksi premium langsung ke apartemen ya. Salam buat mama sama tante Yani. Assalamualaikum.”
Zafanya mematikan panggilan itu, kemudian menoleh ke arah sekumpulan wanita paruh baya yang masih saja membicarakan dirinya. Dengan langkah anggun dan percaya diri, dia dekati meja mereka yang seketika diam dan wajah memucat.
“Selamat siang, ibu-ibu, assalamualaikum,” salamnya karena ada dua orang yang memakai jilbab ala ibu-ibu pejabat dengan rambut disasak tinggi baru ditutupi syal warna-warni yang kata mereka adalah jilbab, “tidak baik ghibah tentang orang lain loh, apalagi jika ibu-ibu yang terhormat ini tidak tahu kondisi yang sebenarnya.”
“Apa-apaan sih, dasar cewek kegatelan, datang-datang malah kasih ceramah. Kamu tuh yang harusnya ngaca.” Bentak salah satunya, merasa dia punya posisi. Bahkan dia menggebrak meja kayu mahal itu, bermaksud mengambil perhatian orang lain.
Tapi tiba-tiba, tanpa terlihat mata awam, Zefanya menancapkan pisau roti hanya berjarak beberapa sentimeter dari ujung jemari ibu tadi, yang tentu saja membuat si ibu menjerit kaget dan ketakutan.
“Uups, maaf ibu, sering kelepasan emang tangan saya ini.” Senyum tipis tapi mirip seringai dari Zefanya membuat kelompok ibu-ibu tadi ketakutan.
“Sialan kamu! Berani kamu ya mau nyakiti kami?” sekarang ada satu ibu lain yang menggoreng situasi.
Mata Zefanya menggelap, tangannya mengepal hingga buku-buku jarinya memutih. Tapi dalam hati dia beristighfar, untuk mencegahnya melakukan kekerasan pada ibu-ibu ini.
“Saya anggap, kejadian ini tidak pernah terjadi ya bu-ibu. Gimana kalau misalnya, bisa jadi kan, yang memelihara saya,” Zefanya membuat tanda kutip pada kata memelihara, “ternyata lebih berkuasa daripada suami-suami ibu, heuum? Saya cuma perlu mengangkang lebih lebar, seperti yang tadi ibu ghibahkan, dan tebak dong apa yang akan terjadi kemudian? Ctaak…, suami-suami ibu akan dengan mudahnya dicari kesalahannya dan hilanglah sumber penghasilan ibu untuk jalan-jalan, belanja-belanji, foya-foya saja!” Zefanya membuat gerakan decimation-nya Thanos.
Zefanya mendesah puas melihat ibu-ibu di depannya ini diam mematung, mungkin mulai ketakutan andai apa yang dia katakan terjadi. See, bisa jadi mereka lebih takut kehilangan sumber penghasilan!
"Be careful with your words, they could backfire and kill you in silence." Desis Zefa, tanpa takut sama sekali. Tentu saja, lidah bisa lebih mematikan daripada pedang tertajam sekalipun.
Usai berkata itu, Zefanya melenggang dan melangkah pergi, tetap dengan langkah anggun dan percaya diri. Berjalan beberapa langkah, dia masih mendengar orang-orang kasak-kusuk tentang dirinya.
Tanpa pernah Zefanya tahu, ada sepasang mata tajam dari sosok lelaki tampan yang memerhatikannya sedari tadi. Mereka berada di satu pesawat yang sama, bahkan kelas bisnis yang sama. Tapi selama perjalanan dari Auckland ke Jakarta, lelaki ini perhatikan si gadis berhijab tidak bertingkah aneh, malah pendiam, sopan dan elegan. Sepertinya tidak mungkin jika gadis ini berprofesi sebagai pelakor yang menghancurkan rumah tangga orang lain. Sepertinya siih.
Lelaki ini ikut berjalan santai di belakang Zefanya. Keningnya berkerut karena tadi sempat mengira dia kenal gadis ini. Tapi sepertinya tidak, entahlah dia sendiri tidak yakin.
Usai Zefanya memesan armada taksi premium, lelaki ini masih mengikuti langkah Zefanya yang kali ini sedang menelpon seseorang, “halo… assalamualaikum. Jadi beneran gak bisa jemput? Padahal kita udah lama banget gak ketemu loh.”
Suara itu terdengar sangat lembut, bahkan seketika mampu membuat hati si lelaki ini jatuh cinta. Sayangnya, panggilan telepon itu tidak memakai mode speaker, yang tentu saja tidak mungkin dilakukan oleh seorang pelakor demi kerahasiaan bukan? Lelaki ini mendesah, karena penasaran tapi tidak bisa mendengar percakapan si gadis berhijab di depannya.
“Ya sudah, kalau gitu kita ketemu di apartemen aja ya. Hati-hati, love you, Van.”
Langkah kaki lelaki ini terhenti saat mendengar nama Van tersebut. Sepertinya tidak mungkin itu adalah pria yang memelihara, seperti yang dikatakan gadis tadi saat bersitegang dengan grup ibu-ibu usil tadi. Karena kan tidak mungkin dia hanya panggil nama saja tanpa ada embel-embel lain.
Eh gitu gak ya? Tapi kenapa juga aku mikirin nih cewek sampai segitunya sih? Jangan-jangan nih cewek malah melihara brondong ya? Jadi dapat duit dari bapak-bapak terus duitnya juga dipakai untuk bersenang-senang ke brondongnya ini Andai saja dia masih single, aku pasti akan ajak dia kenalan. Sayangnya, dia pelakor walau secara penampakan, profilnya jauh dari image itu. Ah, sudahlah, semoga aku terhindar dari tipe cewek seperti ini. Bisa dicoret dari kartu keluarga sama mama kalau dapat cewek macam gini.
*
Di taksi mewah berwarna hitam legam yang kokoh dan gagah itu, Zefanya sandarkan punggung lelahnya dan pejamkan mata.
Mulai sekarang, sepertinya aku harus terbiasa dengan julukan pelakor yang akan melekat padaku. Tapi aku pastikan, aku bukanlah pelakor biasa yang hanya bisa membuka lebar s**********n, karena aku, Zefanya, si Pelakor Syariah!