Satu

1544 Words
Norah POV Pandangan matanya yang nakal jatuh pada gaun palet warna nude peach yang membalut pas lekuk tubuhku. Kerutan di dahinya tampak jelas. Menyiratkan jika dia tidak menyukai gaun ini. Karena biasanya ia akan memberikanku sebuah lengkungan indah pada bibirnya sehingga memamerkan lesung pipinya yang dalam. Menandakan jika ia menyukai penampilanku. Tapi kali ini semuanya tampak berbeda. Tidak ada lengkungan pada bibirnya. Semuanya tampak datar. "Apa kamu tidak memiliki gaun lain di dalam lemarimu yang besar itu?" tanyanya sambil menggerakkan dagunya yang terarah pada lemari bercat putih milikku yang ada di sisi kanan kamar kami. Benar, kalian tidak salah mendengar. Kamar kami, kamar aku dan dia. Dan dia yang aku maksud adalah sosok laki-laki yang berdiri tegak dengan tuxedo yang membungkus otot-ototnya berdiri tegak tak jauh dari balik punggungku. Aku mengangkat kedua bahuku. Menurutku sendiri tidak ada yang salah dengan gaun ini. "Tidak ada masalah dengan gaun ini. Kamulah yang bermasalah," bantahku sambil menatap penampilanku di dalam cermin. Perlahan ia memajukan tubuhnya lalu memeluk tubuhku dari belakang dan mulai mengecupi leher dan berlanjut ke punggungku yang terbuka. Benar, gaun ini backless dan sepertinya aku menyadari di mana letak kesalahan gaun ini. Tapi demi Tuhan, gaun ini adalah gaun rancangan Elie Saab! Dan tidak mudah untuk mendapatkan gaun ini. Atau sepertinya Reyhan tidak memedulikan siapa pun perancang gaun yang aku kenakan. "Sebaiknya kamu memilih mengenakan gaun lain, atau aku akan merobeknya di sini sekarang juga. Dan kita tidak jadi ke acara pernikahan temanmu itu?" Aku memejamkan kedua mataku yang menandakan jika aku mulai terbuai dengan kecupan-kecupan yang diberikan olehnya di punggungku yang terbuka. Mencoba untuk tidak terlarut lebih dalam, cepat-cepat aku memutar tubuhku yang alhasil langsung menghentikan kegiatannya. Aku menatap manik cokelat gelap miliknya dengan wajah jengkel. Begitu juga dengan dia. Tampak tidak suka karena kegiatannya terganggu. Tapi sedetik kemudian, ia langsung berhasil mengontrol emosinya. Ia mengangkat kedua alisnya sebagai pilihan. Seakan-akan mengatakan "Your choice, Norah." Aku menarik nafas panjang sebelum berkata, "Fine. You win!" gerutuku sambil berlalu dan membuka lemari untuk mencari gaun yang yang lain. Aku memandang gaun-gaunku yang tergantung rapi di dalam lemari. Akhirnya pilihanku jatuh pada sebuah lace dress berwarna putih berlengan panjang. Panjang dress itu sampai lutut. Tidak terlalu terbuka, sebaliknya memberi kesan elegan. Ketika aku baru saja hendak membuka gaunku, tiba-tiba pandanganku jatuh pada sosok laki-laki yang sedang duduk di tepi tempat tidur. Aku memandangnya dan bersedekap. Menandakan jika aku ingin dia keluar. "Haruskah aku keluar?" tanyanya heran. Seakan ini adalah hal baru untuknya. Meski harus kuakui, ini bukan hal baru untuknya. Karena diantara kami tidak ada rahasia. "Tentu saja tuan Reyhan yang terhormat. Aku akan ganti pakaian dan jika tidak mau terlambat, bisa kamu keluar sekarang?" jawabku dengan ramah. Aku tahu Reyhan membenci keterlambatan meski sebenarnya dia tidak suka pesta. Reyhan memandangku dan tanpa berkata apa-apa laki-laki berambut hitam dengan mata elang dan bibir tipisnya beranjak dari tempatnya dan melangkah keluar. Namun, kenyataannya ia menunggu di balik pintu membuatku menggelengkan kepala ketika ia berseru, "Padahal tanpa perlu menunggu di luar, aku sudah melihat semuanya. Bahkan aku tahu berapa jumlah t**i lalat yang ada ditubuhmu. Aku benar-benar tidak mengerti wanita!" desahnya. Bibirku sedikit terbuka, tidak mempercayai apa yang baru saja kudengar. Ingin rasanya melayangkan pump merah milliku ke dalam bibirnya yang tipis itu. Selalu berbicara sesuka  hatinya. Tapi aku tahu sebenarnya ia memiliki hati yang lembut dan penyayang. Hal inilah yang membuatku memiliki hubungan ini dengannya. Jika semua yang sedang kami jalani adalah sebuah hubungan. Meski demikian, ini hanyalah sebuah hubungan karena kebutuhan. Bukan cinta seperti yang dimiliki oleh setiap pasangan pada umumnya. *** Kami berteman sejak kami masih mengenakan seragam putih abu-abu. Setelah lulus sekolah dan berpisah karena Reyhan harus kuliah di Australia, akhirnya kami pun berpisah. Meski dipisahkan oleh lautan yang luas, kami tetap masih berhubungan menggunakan email. Tapi perlahan setelah lulus dan bekerja, kami mulai jarang berkomunikasi. Sampai akhirnya malam itu terjadi. Malam itu salah satu teman kami mengadakam acara reuni di salah satu resto bar yang terletak di Kemang. Kebetulan aku yang baru saja putus dari kekasihku yang berkhianat karena kenyataannya dia telah memiliki seorang istri memutuskan untuk datang seorang diri dengan harapan bertemu dengan beberapa temanku akan memulihkan hati ini. Aku mengedarkan pandangan mataku untuk mencari sosok yang kira-kira aku kenali di dalam ruangan yang telah ramai ini. Sebenarnya aku kenal dengan beberapa diantara mereka, hanya saja aku tidak begitu kenal. Hanya tahu saja. "Norah!" Teriakan seorang perempuan yang sangat aku kenal membuatku menoleh dan mencari-cari sosoknya. Dalam hitungan detik, aku melihat sosok Gina sedang melambaikan tangannya. Segera aku melangkahkan kakiku ke tempatnya. "Ginaaa!!" teriakku lalu kami berpelukan dan memberikan cupika-cupiki bak ibu-ibu arisan. "Norah!! Gue kangen bangeett!!" seru Gina kencang di telingaku. "Gue juga!!" Selesai puas berpelukan, kami pun duduk bersisian di bar ini. Kami mulai bercerita alasan kenapa aku tidak menghubunginya selama ini. Faktanya, Gina adalah salah satu my best friend. Lebih tepatnya teman sekongkol yang baik. Hanya saja aku sempat kehilangan kontaknya ketika ponselku yang tidak sengaja aku lupakan di toilet salah mall, dan dalam hitungan detik ketika aku mencarinya, ponsel itu telah hilang. "Pantes gue WA lo gagal terus. Gue kira lo udah putus hubungan sama gue," sungut Gina sambil menyeruput minumannya. "Sorry Gin, habis gue juga nggal hafal nomor lo. Belum lagi kerjaan numpuk, jadi gue belom ada waktu buat ke kost-an lo. Maafin gue ya, Gin," mohonku. "Okay, kali ini lo gue maafin. Tapi next time, jangan harap!" ancam Gina yang langsung aku raih tangannya dan aku cium. Alhasil Gina memandangku ngeri dan langsung membersihkan tangannya dengan tisu. Aku yang melihat tingkahnya tertawa sampai akhirnya suara berat milik seseorang yang memanggil namaku menghentikan tawaku. "Norah..." Aku memutar leherku dan saat itulah di hadapanku berdiri sosok laki-laki yang aku rindukan. "Reyhan?" Di hadapanku Reyhan tampak berbeda, wajahnya meski sama dengan apa yang ada di dalam ingatanku, tapi yang yang saat ini berdiri di hadapanku jauh lebih dewasa. Alisnya yang tebal, garis hidungnya yang lurus  namun tegas, bibirnya yang melengkung selalu membuatku merasa nyaman ketika melihatnya. Dia masih tetap Reyhan yang aku kenal. Melihat senyum mengembang di wajahnya. Tanpa malu aku langsung jatuh ke dalam pelukannya. Jangan berpikir yang aneh-aneh dulu. Dia salah satu teman terbaikku, wajar-wajar saja jika aku memeluknya. "Hey Gin," sapa Reyhan pada Gina masih duduk di tempatnya ketika acara berpelukan diantara kami telah selesai. "Hey, Rey! Lo masih tetep aja ganteng. Heran gue," balas Gina asal. Bibirnya yang ceplas-ceplos selalu membuat orang disekitarnya tertawa. "Gue anggap itu pujian." Mendengarnya kami pun tertawa bersama. Lalu Gina pamit sebentar untuk menghampiri kelompok Mutia. Salah satu juara kelas saat masih di sekolah. Alhasil hanya ada aku dan Reyhan duduk bersisian dengan mata saling memandang. "Jadi, sesibuk apa sih lo sampai nggak sempet bales email terakhir gue," tanyaku membuka suara diantara kami. Tampak jelas dimataku Reyhan tersenyum pahit. Tapi sepertinya ia masih enggan menceritakannya. "Sorry. Bukannya gue nggak mau hubungi lo lagi. Tapi gue bener-bener sibuk. Pekerjaan bener-bener nyita waktu gue. Beda banget sama waktu kuliah," jawabnya sambil terkekeh. Aku mengangguk mengerti. Kesibukanku sebagai model juga sangat menyita waktuku. Sampai apartemen, yang bisa aku lakukan adalah tidur. "Lo makin cantik aja, No. Mana pacar lo? Nggak diajak?" Pertanyaan Reyhan berhasil membuatku menarik nafas dan memaksakan senyum lebar. Jelas sekali kalau sosok Adrian yang telah membohongiku selama satu tahun berhubungan dengannya masih membuat hatiku terasa sakit. "Gue single dan gue happy sama status gue sekarang." Kening Reyhan bertautan dan matanya penuh selidik ketika memandangku. "Apa yang terjadi?" Tuhkan, Reyhan selalu bisa menebak isi hatiku yang sebenarnya. "Nggak ada apa-apa," kilahku. "Cuma gue aja yang bodoh sampai nggak bisa lihat kalau laki-laki yang gue sayangi selama ini ternyata hanya seorang penipu yang egois. Lo tahu Rey, dia udah beristri dan dua anak!" Dengan emosi yang mulai mengisi hatiku, aku menenggak habis minumanku. "I'm sorry to hear that, No," ucap Reyhan tulus. "Thanks. How about you?" "Gue juga udah pisah sama Felicia," ucap Reyhan  membuka suaranya. Ada nada pahit di dalam suaranya "Maksud lo? Eh... maksud gue bagaimana bisa? Kalian kan saling mencintai?" tanyaku heran. Setahuku, Reyhan dan kekasihnya saling mencintai. Dilihat dari foto terakhir yang Reyhan kirimkan kepadaku sebelum kami kehilangan kontak. "Felicia memutuskan hubungan diantara kita tanpa sebab dan alasan," sahut Reyhan lirih. Pandangan matanya yang menerawang menjelaskan seberapa dalam lukanya. "I am so sorry, Rey. Felicia pasti punya alasan yang nggak bisa dia kasih tahu ke lo." "Tapi apa? Sampai hari ini gue belum menemukan jawabannya, No." "Someday, gue yakin suatu hari nanti dia akan kembali dan kasih lo jawaban atas semua kebingungan lo ini," kataku menguatkan. Meski aku sendiri tidak yakin akan jawabanku sendiri. Kenyataannya kami para wanita lebih suka menyimpan rasa sakit seorang diri daripada berbagi dengan para laki-laki yang tidak peka! "Mau keluar dari tempat ini?" tawar Reyhan tiba-tiba. Aku berpikir sejenak sebelum akhirnya mengangguk dan menyetujui tawarannya. Tapi siapa sangka tawaran ini membuat kisah hidupku tidak berjalan sesuai dengan pikiranku. Karena semuanya terjadi begitu saja. Reyhan menggenggam tanganku dan membawaku keluar dari restoran ini setelah aku meyakinkan dirinya untuk pamit pada Gina terlebih dahulu. Selanjutnya dia mengantarkanku sampai depan apartemen. Dan ketika entah setan mana yang lewat dan tanpa tahu siapa yang memulai, kami dua manusia yang sedang patah hati saling berpagutan dan berakhir melebur menjadi satu. Tanpa ada cinta, ikatan dan syarat yang berlangsung sampai saat ini. Tidak peduli bagaimana hubungan ini akan berakhir. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD