Bab 22 : Pasar Aneh

2018 Words
Ucok sudah menangis. Membayangkan sang adik yang harus merasakan ini sendirian, dirinya saja yang memiliki teman rasanya sudah hampir gila, bagaimana dengan adiknya itu? Ya Allah. Sekiranya kami tidak bisa selamat, temukan jasad kami dengan orang-orang, agar bisa dimakamkan dengan layak. ------**------ Adul, Ucok dan Andi, ketiganya berjalan secara bersisian, menerobos semak belukar dan juga pepohonan yang menghalangi jalan mereka, dengan penerangan yang terbatas, ketiganya hanya berharap dengan kuasa Tuhan untuk mengeluarkan mereka dari keadaan ini. Ucok yang masih memimpin barisan, berusaha menemukan jalan keluar, matanya melihat ke penjuru hutan, yang hanya ada kegelapan semata. "Bang, udah jauh kali kita terobos ini semak-semak, tapi kok balik ke sini lagi," ujar Andi. Tanpa mereka sadari, sejauh apa pun mereka berjalan, mereka akhirnya akan kembali lagi ke lokasi yang memiliki pohon besar dengan pagar bambu dan sentir yang meneranginya. Ucok yang pada akhirnya tersadar memilih berjongkok. "Ya Allah, gimana lagi coba? Udah bingung kali aku ini." Andi untuk duduk selonjoran dengan pandangan yang menatap ke arah pohon besar yang memiliki pagar bambu, ia melihat pohon itu secara intens, dan sadar jika mereka bukan lagi di hutan yang aman, melainkan hutan yang penuh dengan aura negatif. "Aku juga bingung, bang." Adul ikut menimpali ucapan Ucok. Mereka sudah berjalan cukup jauh dari lokasi ini, tapi entah mengapa, tetap saja bertemu di lokasi yang sama dengan sebelumnya, yang dalam artian mereka hanya berputar-putar sedari tadi. Mereka duduk termenung sejenak. Hingga Ucok tiba-tiba berdiri, membuat Adul dan Andi tersentak kaget. "Ayo, kita ikuti aja jalan setapak ini, yang gak ke arah pohon-pohon itu." Adul dengan andi saling melirik, lalu keduanya mengikuti langkah Ucok yang berjalan sesuai dengan jalan setapak di hadapan mereka. Ucok sendiri tiba-tiba merasa merinding begitu lewat dari samping pohon yang paling besar, sama hal nya dengan Adul dan Andi. Bahkan mereka serempak merapatkan jaket mereka. "Hawanya gak enak kali di sini yah, Dul." "Iya, Ndi. Serasa horor kali gitu, hawa yang gak normal." Ucok hanya diam saja, bukannya tidak mendengar apa yang dikatakan oleh dua rekannya, hanya saja Ucok merasa tidak perlu berkomentar, meski badannya terasa sangat dingin dan menggigil. Tiba-tiba terdengar suara yang sangat ramai sekali, Ucok langsung melipir ke arah asal suara, tanpa mengindahkan larangan Adul dan Andi. "Bang, bang Ucok! Jangan kesana, Bang. Bahaya." Namun Ucok abai, dan malah semakin masuk ke dalam jalur setapak itu. Andi dan Adul menyusul Ucok dengan cepat, bahkan sangkin cepatnya, Adul sampai tersandung akar kayu yang menjulang. Membuat Andi yang tadinya berada di depan Adul, harus menghentikan larinya dan menghampiri rekannya itu. Mereka telah tertinggal jauh dengan Ucok, entah mengapa lari temannya itu sangat lah cepat, jauh berbeda dari biasanya, entah karena tuntutan rasa penasaran, atau karena alasan lainnya. Andi dan Adul mengikuti jejak Ucok, hingga sampailah mereka di sebuah keramaian yang samgat-sangat ramai. Mereka bahkan tidak bisa melihat Ucok ada di mana. Hingga mata Andi dapat menangkap seniornya itu tengah duduk enak, makan makanan yang Adul dan Andi sendiri tidak tau, itu jenis makanan apa. Keliatannya seperti pecal yang ada kuah kacangnya. "Bang Ucok! " Seru Andi dengan nada meninggi, Ucok tersentak kaget, begitupun dengan Adul yang dari mulai memasuki kawasan keramaian yang seperti pasar ini, ia terus menunduk dan enggan melirik ke sana ke mari. "Apa yang Abang makan ini?" "Pecel lah, Ndi. Buta matamu itu?" Andi terdiam, ia melihat ke penjuru pasta dengan pandangan aneh, kenapa warga yang ada di pasar ini, semuanya menunduk, dan enggan melihat ke arah mereka, mata Andi melihat ke arah Adul yang juga menunduk. "Dul, ngapa kau? Cari duit? Mentang-mentang lagi di pasar." Seloroh Andi yang tidak menyadari akan situasi yang berbeda di antara mereka. Adul sama sekali tidak menjawab ucapan Andi, ia hanya terus menunduk dan terdiam, berbeda dengan Ucok yang sudah lahap memakan beberapa cemilan yang ia dapatkan, tanpa merasa curiga sedikit pun. Hingga pasar mulai sangat padat, dan penuh sesak, beberapa kali, Adul tersenggol dan hampir jatuh, Andi berteriak memanggil dua rekannya dengan keras, ia seolah tidak bisa melihat keberadaan Adul dan juga Ucok, padahal jelas-jelas, tadi mereka saling berdekatan. Tubuh Andi seketika oleng, ketika ada orang yang menariknya dengan keras, ia berteriak sekuatnya. "MAMAK!!!!! .... Hmmp....." Mulut Andi langsung tertutup rapat, ia melihat ke arah orang yang menjadi tersangka menariknya. Ternyata Adul yang masih tetap mempertahankan kepalanya menunduk. "Adul kambeng! Buat kaget aja kau, jantungan orang dibuatnya," omel Andi. Ia sangat takut tadi, entah ada makhluk halus yang menariknya masuk ke dalam dunia lain, kan tidak lucu. Mereka berdiri tepat di samping penjual makanan yang Adul sendiri tidak tau itu makanan apa, hanya tertutup dedaunan. Dengan jeli mata mereka melihat ke arah Ucok yang masih bersantai menyantap banyak makanan. Hingga kericuhan pun terjadi, kaki Ucok yang tadinya selonjoran, terpijak oleh salah satu penduduk yang berjalan sambil menunduk. Ucok yang tidak terima, langsung berdiri. "Matamu itu di mana? Gak bisa liat kaki aku di situ?" Tak ada jawaban dari penduduk itu, bahkan pasar yang semulanya ramai, kini hening dan semua aktivitas terhenti seketika, semua penduduk pasar tubuhnya menghadap ke arah Ucok, namun kepala tetap menunduk, Andi mendadak heran dengan kondisi penduduk pasar ini, ia hendak menghampiri Ucok, namun dicegah dengan cepat oleh Adul, Adul memberikan gelengan kepala ke arah Andi sebagai tanda agar rekannya itu tidak mendekat ke arah Ucok. Terlihat Ucok di sana sudah sangat emosi, bahkan dia mendorong laki-laki yang memakai sarung dan kopiah. "GAK KAU DENGER AKU? JAWAB LAH! GAK PUNYA MULUT?" Adul memejamkan matanya mendengar makian Ucok, sedangkan Andi terperangah kaget melihat Ucok yang berubah menjadi emosian. "BISU SEMUA ORANG SINI, YAH? ASTAGA, KAMPUNG BISU INI?" Maki Ucok lagi, kali ini bahkan Ucok sudah dikerubungi oleh banyak orang, yang membuat dirinya sesak. "MINGGIR DULU KALIAN, GAK TAU SESAK!" Ucok berjalan hendak meninggalkan kerumunan itu, dan menghampiri kedua rekannya. Namun baru selangkah dirinya berjalan, jaketnya seperti ada yang menarik, hingga kembali lagi ke posisi awal. "ANJING, SIAPA YANG NARIK AKU? KAU KAN? EMANG GAK ADA OTAK KAU ITU." Lalu selanjutnya, hal yang tidak terduga pun terjadi, Ucok meludahi orang itu, yang bahkan selama pertengkaran, tidak pernah mendongakkan kepalanya. Ludah Ucok tepat mengenai tangan penduduk itu, membuat Ucok menyeringai puas. "Kau jilat itu ludahku." Adul yang melihat semua itu, langsung berlari ke arah kerumunan, dan menarik Ucok dengan cepat, mengajak Andi untuk segera meninggalkan pasar aneh itu. "Apalah kau, Dul. Biar aku kasih pelajaran dulu, buat orang-orang buta sama bisu itu, geram kali aku." Ucok mencoba melepaskan diri dari tarikan Adul, namun dengan sekuat tenaga pula Adul menarik Ucok, bahkan sampai buku jarinya memerah dan terasa perih, saat ini ia juga tengah diliputi emosi melihat tingkah Ucok yang seperti binatang, tak tau aturan. Begitu agak menjauh dari kerumunan tadi, Adul menghempaskan Ucok dengan kuat, sampai Ucok terjerembab ke lumpur dan semak-semak. Andi terperangah melihat Adul yang tengah emosi, bahkan mata Adul memerah lengkap dengan rahangnya yang mengetat. "Dasar binatang! Tak tau aturan, tingkah Abang kali ini melebihi hewan! Udah berapa kali aku bilang, jaga adab, jaga etika. Ini bukan rumah kita! Bukan pula lingkungan kita, jangan semena-mena. " Ucok berdiri, lalu mengusap lengan dan sekitar celananya yang kotor. Ia menatap tajam Adul dan langsung mendorong rekannya itu. "Udah sok paling jago kau? Sampe ngata-ngatain aku? Iya? Apa jabatan kau? Apa pangkat kau? Kok sampe gitu ngomongmu? Diem-diem taik juga kau jadi orang." "Kau sadar gak, Bang? Apa yang kau lakuin buat kesenangan kau, itu berdampak sama kami berdua? Kau gak sadar pasar itu gimana? Gak sadar kau sama keanehan penduduk di sana? Langsung kau santap makanan itu. Pernah kau berfikir kalau ngelakuin sesuatu itu, apa dampaknya bagi orang lain? Pernah? Gak pernah, Bang. Beberapa hari ini kau selalu memikirkan kesenangan mu aja, mana kau pikirkan aku sama Andi yang harus Nerima resikonya, dikejar-kejar makhluk halus, karna siapa? Karna kau yang gak punya adab!" Andi sudah duduk termenung, menatap dua sahabatnya yang saling adu mulut dan bahkan hendak saling memukul, menambah beban pikirannya yang semrawut. "Kalian gak bisa diem? Pusing aku dengernya," seru Andi kesal, ia langsung berdiri di antara kedua rekannya. "Kau bang Ucok. Cobalah belajar dari pengalaman, jangan gini terus, capek kali aku nasehati Abang, belum lama Abang berantem samaku, sekarang sama si Adul. Kalau gak bisa Abang dinasehati biar cukup tau kami. " "Terus! Terus aja salahkan aku, aku tadi enak makan, datang-datang malah pijak kaki aku, yah gak terima lah, emang kau terima kalau dipijak kakinya? Kan enggak!" "Kalau orangnya normal, aku gak masalah, lah ini, kau gak sadar apa, Bang? Gak kau lihat itu penduduknya aneh semua, nunduk, gak ada yang berani natap kita, bisu pula! Gak aneh kau lihat? Dan satu lagi, sejak kapan ada pasar di tengah hutan belantara kayak gini? Pasar apa?" Ucok terdiam, ia tidak berfikir sejauh itu tadi, karena harinya sangat senang mendapati ada perkampungan yang bisa membawa mereka pulang, nyatanya Ucok tergiur untuk makan makanan yang dijual oleh penduduk. "Coba belajar dari pengalaman, Bang. Kami gak maksud guru inAbang, tapi bener apa kata Adul tadi, tingkah Abang udah kayak orang yang gak beradab. Yang Abang ludahi tadi, bisa aja itu makhluk ghaib, pernah denger kan yang namanya perkampungan makhluk ghaib? Gimana kalau yang Abang maki tadi penduduk kampung ghaib?" "Udah, sekarang gini aja." Adul datang menengahi Andi dan Ucok. "... Kita harus secepatnya cari jalan pulang, sebelum ada hal yang gak diinginkan, karena posisi sebenarnya kita ini udah gawat darurat, stok makanan kita menipis, sementara kita malah semakin masuk ke dalam hutan, ditambah bang Ucok juga tadi sempat ngelakuin hal yang menurut aku melanggar tata Krama, jadi sebelum semua terlambat banget, ayo kita cari jalan pulang. Hari juga udah mulai malam banget, dingin pula." Andi dan Ucok tanpa banyak kata mengikuti Adul menerobos semak-semak kembali, gelapnya malam tidak mereka hiraukan, dengan pencahayaan yang minim, mengandalkan satu senter milik Adul. "Udah bener ini jalannya?" Tanya Ucok dengan petentengan. Adul menghela nafas, mencoba meredam amarah yang mulai naik kembali ke permukaan. "Kalau jalan yang kita lewati bener, gak bakal nyasar Kuta, Bang," sungut Andi kesal, bahkan dirinya mendahului Ucok yang tadinya berada di tengah. Ucok sendiri yang ditinggalkan di bagian paling belakang menyusul dengan ogah-ogahan. "Jalan apa nya yang kalian lewati ini? Kok semak semua?" "Aish, mati ajalah kau, Bang. Bantuin enggak, buat masalah iya." Andi sudah kepalang emosi, pengendalian dirinya tidak sebaik Adul, jadi jangan salahkan kalau emosinya mudah terpancing. "Muncungmu, Ndi," tegur Adul tanpa melihat ke arah Andi dan Ucok. Andi langsung mengatupkan bibirnya rapat-rapat. Sedangkan Ucok masih terkejut mendengar ucapan Andi tadi, segitu marahnya kah Andi terhadap dirinya? Sampai mengatakan hal yang demikian. "Lain kali mulutnya dijaga." Andi hanya diam, tidak merespon ucapan Adul sama sekali, baginya apa yang ia ucapkan tadi sangat lantas untuk Ucok. Biarkan saja pemuda itu merasakan apa yang ia ucapkan tadi terhadap penduduk aneh. "Gimana pun, dia selama ini udah baik sama kita, Ndi. Jangan karna kesalahannya ini, kau jadi tutup mata sama seribu kebaikannya." "Kepalang emosi aku, Dul. Aku gak bisa sesaat kau, apalagi bang Ucok kali ini benar-benar kelewatan." "Biarpun gitu, selama ini yang nolong kau itu dia, bukan yang lain. Kau kemarin kehabisan uang, siapa yang nolong? Bang Ucok. Yang bayarin makan kau? Bang Ucok, bahkan karna dia nginap di kost kau seminggu, dia yang nanggung uang kos kau setengah. Jangan karna masalah yang jelas-jelas kita punya andil, kita limpahkan sepenuhnnya ke bang Ucok. Paham kau?" "Paham, Dul. " Andi menunduk, ia melihat ke arah Ucok yang juga melihat dirinya dengan sayu, ada perasaan menyesal di hati Andi ketika melihat tatapan penuh luka milik Ucok. Ia menghampiri Ucok dengan segera. "Maaf, Bang. Maaf. Aku tadi emosi, maaf." Andi berjongkok-jongkok di hadapan Ucok tanpa malu, sedangkan Ucok segera mengimbangi tubuhnya dengan Andi. "Ndi, berdiri, kau gak salah, seharusnya aku yang minta maaf, maaf udah bertingkah egois, mungkin ini entah maafku yang keberapa kali buat kalian." "Maaf, Bang. Andi gak sengaja." Ucok menggeleng, ia memaafkan ucapan Andi yang kasar padanya tadi, karena saat itu juniornya ini tengah di lingkup perasaan marah dan emosi. Jadi sangat wajar apa yang diucapkan malah hilang kendali. Adul hanya diam, tidak ada niatnya untuk menyusul kedua rekannya, dia membiarkan Andi dan Ucok menyelesaikan permasalahan yang ada, tanpa campur tangan miliknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD