Bab 15 : Perjalanan malam

2054 Words
Tak ada yang tau, ini sudah jam berapa, karena begitu bangun keadaan masih tetep gelap, entah karena mereka tengah berada di tengah hutan yang sangat lebat sampai langit pun tidak terlihat. Keadaan sangat remang-remang. Ucok tersadar dari tidurnya begitu lampu senter ponsel yang dinyalakannya mati karena kehabisan daya. Ia berniat mengecas ponsel tersebut, namun begitu mencari power bank, ia sama sekali tidak menemukannya di mana pun. "Dul, Dul. Nampak power bank Abang?" Ucok membangunkan Adul yang masih terlelap. "Engh.... Apa bang?" Adul duduk dari tidurnya. "Power bank Abang ada lihat?" Tanya Ucok kembali. Adul menggeleng tidak tau. " Kenapa, Bang? Hilang?" "Iya, gak ada, hp Abang lowbat pula ini." Adul ikut mencari power bank Ucok dan membongkar semua barang bawaan seniornya itu, namun mereka tidak menemukan apa pun, kecuali earphone, charger dan juga beberapa permen yang ada di tas pemuda itu. "Gak ada, bang. Gimana?" "Yah gimana lah, Dul. Gak ada berarti." Andi yang mendengar keributan akhirnya terbangun, ia melihat kedua rekannya yang bersitegang dan seperti sedang mencari sesuatu. "Nyari apa, Dul?" "Eh, udah bangunnya kau, Ndi? " Andi mengangguk, lalu bangun dengan memakai 3 lapis jaket, ia baru tersadar, dua rekannya itu hanya menggunakan kaus lengan panjang yang mungkin tidak cukup menghangatkan tubuh mereka. Ia merasa sangat terharu melihat pengorbanan kedua temannya. "Dul, dingin gak?" Tanya Andi, Adul melihat ke arah Andi dengan tatapan penuh tanya. "Lumayan, Ndi. Tapi masih aman lah." Sahut Adul dengan tampang meyakinkan, Andi hanya bisa mengangguk mengerti. "Bang Ucok cari apa?" "Eh, udah bangun kau? Ini cari power bank gak nampak, hp nya udah low banget, tinggal 2 %." Andi hanya menghela nafas, dirinya sudah memperingatkan Ucok dan ternyata sana sekali tidak di indahkan sahabatnya itu. Ia menatap Adul yang juga tengah menatap dirinya. Adul sendiri hanya membalas tatapan Andi dengan senyuman, mereka bisa apa jika nyata nya Ucok memang tidak bisa mendengarkan apa yang mereka sarankan. "Ndi, lapar gak? Aku ada bawa roti ini, " ucap Adul yang membuka bungkus roti dan menyodorkannya ke arah Andi. "Bang Ucok. Makan dulu sini, bisalah ganjal perut." Ajak Adul kepada Ucok yang terlihat masih semrawut dengan urusan power bank nya. "Duluan aja, Dul. Nanti aku nyusul, aku mau ke tempat pohon itu dulu, mana tau jatuh di situ." Adul ingin mencegah Ucok, akan tetapi pemuda itu sudah terlebih dahulu berjalan menuju jalan setapak tempat pohon itu berada, Adul ingin menyusul, akan tetapi Andi dengan cepat memegang tangannya dan menggeleng pelan. Mereka berdua hanya bisa menunggu Ucok kembali dari sana. Berbeda dengan Adul dan Andi, Ucok sendiri sudah menyusuri jalan setapak yang tadinya mereka lewati sembari membawa senter guna mencari power bank miliknya. Ucok melihat ke kanan dan kiri, hingga sampailah ia pada tempat di mana ada pohon besar dan juga pagar bambu yang mengelilinginya, namun anehnya, sentir kecil yang tadinya mati, kini sudah hidup dan menyala menguat keadaan sekitar terlihat sangat terang, cahaya itu membuat Ucok dapat melihat dengan jelas, ada banyak bunga-bunga yang diletakkan ke dalam tampah, seperti sesajen yang sering ia lihat jika suku Jawa di kampungnya ada acara besar. Ucok memasuki pagar bambu itu, ia meneliti sekitar, dan pada akhirnya menemukan power bank miliknya berada tepat di sebelah tampah yang beriri teko air dan juga bunga-bunga. Ia mengambil power banknya dengan cepat, dan memutuskan untuk segera pergi dari lokasi itu, ia sudah merasakan ada hal yang tidak beres, mengingat tidak mungkin di hutan seperti ini ada masyarakat yang mengunjungi juta dengan sengaja, terkecuali sengaja mengunjungi untuk hal-hal yang tidak baik. Ia segera kembali, selama di perjalanan menuju tenda tempat kedua rekannya berada, ia melihat ke sekeliling hutan dan hanya mendapati kegelapan, hingga ia melihat cahaya seperti lampu sentir berada di sekitar tenda tempat Adul dan Andi berada, Ucok buru-buru menghampiri kedua rekannya. Begitu berada di depan pintu tenda. Ucok dapat melihat Adul dan Andi yang asyik ngobrol dengan memakan roti kemasan. "Woy, Bang? Gimana ketemu? Kok kayak orang paok kau ku lihat." Ujar Adul begitu menyadari Ucok yang terdiam di depak pintu masuk. "Kalian gak papa, Kan?" Tanya Ucok panik, ia melihat ke sekeliling tenda, dan tidak dapat melihat adanya kejadian aneh yang terjadi. "Gak papa, Bang. Kok aneh Abang? Gimana ketemu gak itu power bank nya?" "Alhamdulillah ketemu, tapi ada yang aneh. Aku ngerasa kita lagi dalam situasi yang berbahaya sekarang," ucap Ucok yang memutuskan masuk dan menutup pintu tenda. "Kenapa, Bang?" "Kau ingat yang pohon besar di Pagari pake bambu?" Andi dan Adul serempak mengangguk. Mereka ingat dengan lokasi itu, lokasi yang menurut mereka sangat mistis. "Ingat, Bang. Kenapa? " "Pas kita ke sana, sentir nya itu gak hidup kan?" Tanya Ucok kembali, yang dijawab gelengan oleh kedua rekannya. "Nah, pas aku balik tadi, sentir itu hidup semua, keadaan di bawah pohon itu terang benderang. Terus ada banyak bunga-bunga sesajen di sebelah sentir-sentir itu." Adul dan Andi terkejut, mereka masih kurang yakin dengan cerita Ucok, akan tetapi melihat raut wajah senior nya yang memucat takut, mereka akhirnya menyadari, apa yang di sampaikan pemuda itu adalah kebenaran. "Pas aku balik ke sini, aku lihat cahaya sentir itu ada di belakang tenda, tiga cahaya. Makanya aku langsung buru-buru ke sini. Pas aku udah Deket, tiba-tiba cahaya itu hilang. Aku cari cahayanya ke mana? Yang aku dapet cuma dua cahaya, ke arah seberang sungai. Satu cahaya lagi hilang." "Bang, kita harus pergi bang, harus. Cepat. " Adul langsung membereskan semua perlengkapan mereka. "Ndi, udah bisa kan jalan?" "Udah, Dul. Yok lah, ini jaket kalian, aku udah mendingan." "Pakai aja, Ndi. Buat jaga-jaga. " Mereka keluar dari tenda, dengan cepat membereskan tenda meski dengan amburadul. Tidak lupa Andi mengambil kembali roti yang hanya dimakan sedikit, untuk jaga-jaga jika nanti mereka kelaparan. "Yok, bang, Ndi. Lekas pergi kita." Ucok dan Andi langsung mengikuti langkah Adul, sepanjang perjalanan, mereka hanya merenungi apa yang telah terjadi. Dan bagaimana caranya agar mereka bisa pulang ke rumah masing-masing, tapi melihat semua ini terjadi. Entah mengapa mereka merasa ada yang salah dan benar-benar tidak bisa lagi mereka perbaiki lagi. "Mudah-mudahan, dapet jalan keluar lah kita yah, rasanya capek kali kalau kayak gini terus, gak kuat dedek." Canda Andi dengan nada mendramatis nya. Ucok dan Adul hanya terkekeh mendengar lawakan Andi. "Ada-ada aja kau, tampang kayak kau adek kau bilang? Dah lah, mati aja kau, hahahahah....." Andi terkekeh juga, setidaknya raut wajah kedua sahabatnya ini tidak lagi tegang seperti tadi. "Dul, laper aku. Gak makan dulu kita?" "Owalah, Ndi. Perut karet dasar." Mereka duduk lesehan, beralaskan rerumputan yang datar, mencoba menikmati sebungkus roti Roma kelapa yang tersisa dari tenda tadi. Ucok juga mengeluarkan roti lain yang dijadikan sebagai pengganjal perut. Ketiganya makan dalam keadaan suka duka. Setidaknya sampai saat ini, mereka dalam keadaan baik-baik saja dan bisa berkumpul bersama. "Bang, susah gak semester akhir?" Tanya Adul memulai obrolan di tengah hutan yang gelap gulita. "Emm, kalau dibilang sudah, yah susah sih, Dul. Tapi gampang juga. Intinya nikmati prosesnya, jangan terlalu ditekan pikirannya. Apalagi masa-masa skripsi, rawan sama gangguan mental dan jiwa. " "Berarti banyak yang gila lah yah?" Ucok tertawa geli. "Pasti ada, Ndi. Abang aja hampir gila kalau mikirin skripsi. Rasanya sudah, kalau kata orang Batak, na tarkaji. " Ketiganya kompak tertawa mendengar celotehan Ucok. "Anggo i Abang, ma pasti dei, na manjadi rahasia Dope i, t*i ima, aso marsiajar hami, Bang. (Kalau itu Abang, udah pasti lah itu, gak lagi jadi rahasi, tapi itulah, biar belajar kami Bang)." Adul melihat ke arah Ucok dan Andi yang menggunakan bahasa Batak, ia sama sekali tidak mengetahui arti bahasa tersebut, sedari kecil ia sudah tinggal di kota Medan. "Madung mai, Ndi. Na mangarti si Adul aha na hita dokkon, tangis ma ia bo. (Udahlah itu, Ndi. Gak ngerti si Adul apa yang kita bilang, nangis lah dia hah)." Sontak Andi tertawa geli, ia sengaja menggunakan bahasa Batak agar Adul merasa kebingungan. "Akh, bang. Bahasa kita lah kita." Sungut Adul yang merasa tengah dikerjai oleh kedua rekannya. "Hahaha... Nanti pulang dari sini, ku ajari kau, Dul, bahasa Batak, tenang lah kau diboncengkan." "Ah, muncungmu yang manisan kalau ngomong, kalah buaya samamu." "Bukan lagi buaya, Dul. Jobar (biawak) aja kalah dibuat si Andi. Ya kan, Ndi? Dongjuan dia di kampus." Ketiganya tampak menikmati roti dan juga air mineral yang tersisa, melupakan sejenak masalah yang menghampiri mereka, dan percaya akan takdir yang akan membawa mereka pulang ke tempat yang terbaik. Ucok yang merupakan mahasiswa yang sedang menyusun skripsi, dan juga Adul berserta Andi yang tengah bersiap menghadapai kuliah kerja nyata (KKN), hanya memiliki satu harapan, bisa pulang dan kembali ke keluarga serta para sahabatnya. Kalaupun mereka tidak bisa kembali, setidaknya mayat mereka bisa ditemukan sehingga dapat dikuburkan secara layak dan sesuai tuntunan agama. "Udah jam berapa ini?" Ucok dan Adul sontak melihat ke arah jam tangan yang sudah tidak berbentuk, apalagi jam Andi yang sudah mati total, dan jam Ucok yang penuh dengan tanah. "Gak bisa lihat jam, Dul. Punyamu gimana?" Adul mencari letak jamnya yang tadinya ia lepas untuk mengambil wudhu, akan tetapi mungkin terjatuh di saat dirinya berlari meninggalkan tenda tadi. "Jatuh, bang. Hilang entah kemana?" "Owalah... Gimana lah kita liat jam ini, malah hutannya lebat kali, gak nampak langit itu." Ujar Ucok yang terlihat frustasi . "Bia ma on Hita?sanga jam piga pe Inda mamboto (gimana lah kita ini? Entah jam berapa pun gak nya tau kita)." "Udahlah, Bang. Gerak ajalah kita, cari yang hutannya agak jarang, biar bisa lihat langit. " Adul dan Ucok akhirnya berjalan mengikuti langkah Andi dari belakang, ke tiganya mulai mencari jalan keluar dengan mengikuti petunjuk dari tadi berbaju merah itu. Perjalanan malam yang sebenarnya sangat membahayakan, ada banyak tantangan yang mesti mereka hadapi, salah satunya hewan buas yang bisa saja datang menerjang mereka. Apalagi mengingat hutan yang sedang mereka lewati ini seperti hutan rimba, dengan pohon menjulang tinggi dan sangat besar-besar. Ada banyak jalan setapak yang mereka lihat, namun rata-rata jalan itu menuju satu pohon besar yang dikelilingi dengan pagar bambu, dan ada sentir di dalamnya. Sudah ada 4 jalan yang mereka temui, dan semuanya menuju ke pohon yang seperti itu. Adul dengan Andi hanya bisa terdiam, mereka sama sekali tidak berani mengeluarkan suara, berbeda dengan Ucok yang sedari tadi berdecak kagum. Bahkan memasuki kawasan berpagar bambu berulang kali. "Bang, Andi mohon, jangan masukin pagar itu lagi, kalau Abang tetep ngotot gini, mohon maaf aja, Andi sama Adul bakal mencari dari Abang. Bukan apa-apa. Tingkah Abang yang kayak gini buat kita dalam masalah besar. Abang gak tau, ada hal apa aja yang udah kami lalui, jadi Andi mohon sekali ini aja, jangan nuruti egois Abang sendiri." Ucok terdiam, begitu pula dengan Adul yang duduk terdiam di atas batu. Keadaan hening, seakan mereka tengah berfikir merenungi diri sendiri. "Emang kalian kenapa?" Tanya Ucok setelah keterdiamannya. Andi menghela nafas, ia sebenarnya enggan menceritakan ini kepada Ucok, akan tetapi pemuda itu harus tau, agar tidak sembrono lagi dalam bertindak. "Aku sama Adul ngalamin hal yang gak enak, di mulai waktu kita denger suara teriakan di pinggir sungai, terus pas kita dirikan tenda , Abang tidur, gak lama siap itu, aku gak tau kapan pastinya, yang jelas ini tenda bergoyang dan dikelilingi banyak orang kaya Adul. Dan aku sempat ngerasain itu. Lebih mengejutkan lagi, ada sosok gadis baju merah yang ngikutin kita, sampai kita ke arah pohon yang berpagar bambu tadi, sosok itu menghilang. " Ucok tentu saja terkejut, dirinya tidak menyangka jika kedua temannya ini mengalami hal itu. Tapi mengapa dirinya tidak merasakan itu? Malah terlihat baik-baik saja. Hanya mendengar suara tawa yang di pinggir sungai. "Bang, bukannya Abang yang bilang kita itu hidup berdampingan dengan makhluk lain, dan sudah seharusnya kita saling menghargai, menjaga etika dan juga adab. Di sini mungkin bukannya salah Abang mulu, tapi salah kami juga. Kita gak beradab, kita mengganggu mereka dengan suara tawa, dengan datang tanpa permisi. Yang adul tangkap sih seperti itu." Ucok terdiam kembali, ia menatap kedua rekannya lalu menatap ke arah hutan di belakangnya. Sudah berapa jam mereka di sini? 2 jam? 3 jam? Atau lebih? Rasanya sangat lama dan mereka sudah ke sana ke mari dalam waktunya yang panjang. Mereka sudah selelah ini, apakah memang tidak ada jalan keluar? "Kalau kita gak bisa pulang, bagaimana?" Tanya Ucok secara tiba-tiba, ia bukan pesimis, dirinya hanya melihat peluang kepulangan mereka yang sangat tipis, sehingga dirinya bertanya demikian. "Kalau semisal kita gak pulang, yah harapanku bang, setidaknya mayat kita ketemu," jawab Adul yang diangguki Ucok dan Andi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD