Lipstik di tangannya pun kembali diletakkan di atas meja. Lalu ia mengambil sisir dan meraih rambutku.
“Rambut kamu bagus, sayang kalau sampai orang lain melihatnya. Sekarang kamu tanggung jawab Mas. Kalau kamu nggak menutup aurat, dosa kamu Mas yang tanggung.”
Duh, kenapa jadi ser-seran gini sih sih rambut gue disisirin.
“Baunya, kamu nggak bilas lagi ya?” tanyanya sambil mencium rambutku.
Ah elah, kenapa juga tuh hidung nyiumin rambut?
“Saskiya, Mas kan udah bilang suruh bilas.”
“Emang kenapa sih, Mas? Ada yang salah sama tuh shampo?” tanyaku menatap curiga.
“Shamponya sih nggak salah, tapi penggunaannya yang salah.”
“Maksudnya? Itu nggak dipakai di rambut? Lah terus di mana? Oh sabun itu ya?” tanyaku bingung.
Ya maklum sih, kalau sabun orang kaya agak licin gitu. Mungkin biar glowing kulitnya.
“Nggak apa-apa kok, Mas. Aku udah biasa juga kalo shampo abis aku suka pake sabun cair buat shampoan,” kataku sambil nyengir. Malu sih sebenarnya, ketahuan banget kerenya.
Tapi aku masih penasaran tuh shampo sebenarnya apaan.
“Nanti malam Mas kasih tahu kegunaan shampo itu. Sekarang kamu ganti baju, Mas tunggu di depan.”
Mas Aksa keluar kamar begitu saja tanpa memandangku. Salahkah aku yang sudah memakai shamponya? Ya ampun ketimbang shampo doang aja dia sensi begitu.
Entah mengapa aku menuruti perintahnya untuk berganti pakaian. Ketika hendak keluar kamar, aku melihat ponselku berkedip.
Kulihat sebuah pesan dari pacar aku, Amaar. Aahh kangen banget sama dia.
[Sayang, nanti jadi kan kita jalan?]
Duh, aku bales apa ya?
[Eum, liat nanti ya, soalnya di rumah aku lagi ada saudara.]
Amaar nggak boleh sampai tahu kalau aku udah nikah sama Mas Aksa. Nggak ada yang tahu juga teman kuliah, kecuali keluarga.
[Yaaah, aku kangen banget sama kamu. Dua hari kita nggak ketemu.]
[Sabar ya, Sayang. Oh iya, aku mau nanya dong.]
[Nanya apa?]
Aku bergegas ke kamar mandi dan mengambil shampo milik Mas Aksa tadi. Barangkali Amaar tahu itu apa.
Kuambil gambar dan mikirin pada Amaar.
[Kamu tahu nggak ini apa?]
[Ya ampun, Sayang. Itu sih buat massage gitu. Kaya minyak urut lah, tapi versi orang kaya, wangi, lembut, licin. Kalau kaya kita biasa pake minyak gosok.]
Aku melongo, massage? Oh tidaaak. Nanti malam Mas Aksa mau praktekin itu?
.
Aku lalu keluar kamar setelah memasukkan ponsel ke saku celana. Pikiran mulai ke mana-mana. Minyak massage? Spa gitu kalau nggak salah. Trus kenapa dia taro di kamar mandi sih? Apa yang dia lakukan di kamar mandi pakai minyak itu?
Astaga, pikiranku kok ngeres gini ya.
Aku yang baru keluar kamar sudah dikejutkan oleh pemandangan aneh di ruang makan.
Keluargaku berkumpul semua, termasuk si Aksa. Mereka memandangiku sambil senyum-senyum.
Tumben amat jam segini udah pada ngumpul mau sarapan, baru juga jam setengah tujuh.
“Duduk, Ki.” Papa memintaku untuk duduk di sebelah Aksa.
“Saski, Om sama Tante pamit ya, kapan-kapan main ke Jawa. Nanti Om ajak kalian jalan-jalan keliling kota.” Om Jimmy berpamitan padaku.
“Iya, Om. Makasih udah datang ke sini.”
“Iya, moga rumah tangga kalian menjadi keluarga yang sakinah mawadah warahmah. Biar cepet diberi momongan, kasihan Papa kamu sama Mama udah kepengen nimang cucu.”
“Aamiin,” sahut Aksa dengan suara keras.
Aku hanya melongo, semangat amat dia. Emangnya bisa apa bikin anak?
Aku hanya tersenyum simpul menanggapi. Punya dua kakak cowok, dua-duanya ngejar karir, nggak mau nikah kalau belum sukses. Aku deh jadinya yang ketumpuan harus ngasih cucu. Hadeh.
“Gimana malam pengantin kalian semalam?” tanya Mama Tiba-tiba.
Aku melirik sekilas ke sebelahku, dia pun menatap dan kami sama-sama membuang muka. Malu.
“Kayanya sih berhasil, Ma. Lihat aja rambut mereka, basah. Apalagi Saski tuh sampe mengkilap gitu rambutnya, ngabisin shampo berapa botol itu?” Suara Mas Gilang kakak keduaku diiringi dengan tawa meledek, membuatku ingin meremas mulutnya.
“Alhamdulillah kalau kalian sudah bisa saling menerima, Mama berharap kalian bisa menjalin hubungan dengan baik. Pendekatan seperti orang pacaran, kaya Mama sama Papa dulu pacarannya setelah menikah.”
Aku paham betul bagaimana Mama, meskipun dia tahu kalau aku sudah punya pacar. Tapi, Mama nggak pernah setuju dengan hubunganku bersama Amaar.
Mama selalu bilang kalau Amaar bukan cowok baik-baik. Padahal dia nggak pernah nyakitin aku, hanya karena dia perokok, Mama nggak suka. Katanya sih buat diri dia aja nggak sayang, gimana mau sayang sama aku.
Entahlah, aku merasa pernikahan ini adalah jebakan buat aku.
“Eum, maaf, Pa, Ma. Saya boleh ajak Saski buat bulan madu?” tanya Aksa tiba-tiba pada kedua orang tuaku.
Aku menatapnya yang senyum-senyum ke arahku.
“Nggak bisa, nggak bisa. Aku sibuk,” kataku memotong pembicaraan sebelum Mama dan Papa menyetujui.
“Sibuk apa? Bukannya kamu baru lulus ya? Belum kerja juga.” Aksa seolah memaksaku untuk menjawab iya, karena dia tahu aku emang baru lulus.
“Ya, ada panggilan kerja,” jawabku bohong, padahal ngirim lamaran kerja juga belum.
Aku hanya nggak mau dan belum siap aja kalau harus berdua-duaan sama cowok yang baru kukenal. Apalagi katanya dia begitu, nggak suka perempuan. Kan jadi ngeri, jangan-jangan nanti aku bukannya nikmatin liburan, eh malah diajak nemenin dia cari cowok-cowok. Hiii.
Eh, kok tiba-tiba Aksa mengusap rambutku dan merangkulku di depan keluargaku.
“Sayang, kamu nggak perlu kerja kalau nikah sama aku. Semua kebutuhan kamu bakalan aku penuhin, sebut aja, kamu pengen apa?” tanyanya.
Duh, nih cowok bisa banget bersandiwara. Sok baik di depan keluarga. Jadi geli sendiri lihatnya.
Suara ponsel terdengar, Aksa menarik tangannya dari bahuku. Lalu merogoh saku celana mengambil ponselnya. Aku memerhatikan, kulirik sebuah panggilan dari Farel nama yang tertera di layar.
“Ya halo, kenapa? Oh iya nanti saya ke situ. Ya udah, kalian buka duluan aja, nggak usah nungguin saya,” ucap Aksa.
What? Kan kan, bener kan, ada main dia sama cowok. Belum apa-apa disuruh buka.
“Iya, kalian pemanasan dulu aja,” sambungnya lagi.
Aduh duh, kepala seketika pening bayanginnya. Pake pemanasan segala, huft. Mereka mau ngapain?
“Nanti saya nyusul, saya punya gaya baru buat kalian, okey okey.”
Apa? Gaya baru? Ohemjih. Gaya apaan coba? Gaya baru? Kupu-kupu? Apa khayang?
“Sibuk ya?” tanya Papa pada Aksa.
“Biasa, Pa. Pelanggan.”
“Oh yasudah, sarapan dulu aja. Nasi gorengnya keburu dingin.”
Jantung aku makin nggak nyaman aja jadinya. Ya Tuhan, kenapa Engkau kirimkan aku jodoh yang menyimpang? Apa salahku?
Main, pemanasan, gaya baru, pelanggan.
Apa-apaan coba? Ya emang sih aku nggak suka sama dia, nggak cinta juga. Tapi ya kali punya suami menyimpang. Nggak lucu kan kalo diceritain.
“Sayang, kamu mau telur ceplok apa dadar?” tanyanya mengejutkanku.
“Telor bulet, eh telor bulet-bulet. Eh telor....”
“HAHAHA.”
Seketika semua terbahak mendengar ucapannya barusan. Aku garuk-garuk kening, kenapa jadi ngomongin telur sih. Ah gara-gara nih cowok kan jadi diketawain.
“Semangat banget nyebut telornya, Dek,” ledek Mas Galang.
“Mentang-mentang abis mainan telor,” celetuk Mas Gilang.
Sumpah mereka nyebelin banget deh.
“Mau telur aku?” tanya Aksa sambil menusuk telur dadar di atas piring miliknya dan hendak memberikannya padaku
Aku menggeleng, “Enggak, nggak suka telor, ntar bisulan,” kataku sambil menyuap nasi goreng dengan kesal.
Eh mereka semua justru makin terbahak.
Mereka terus menggodaku, sampai selesai sarapan, dan Om juga Tante langsung berpamitan. Karena taksi online yang akan membawa mereka ke bandara sudah tiba di depan rumah.
Setelah keduanya berangkat ke bandara, kedua orang tuaku dan kakakku masuk kembali ke rumah. Tinggallah aku dan Aksa yang masih berdiri di depan pintu.
Ketika aku hendak berbalik badan ikutan mau masuk, eh tanganku ditariknya dan jatuhlah aku ke pelukan dia.
Aku melotot dan mencoba melepaskan diri, saat melihat wajahnya mendekat ke depan mukaku. Mana sepi lagi.
“Mas mau ngapain?” tanyaku gugup dengan kedua tangan di depan dadanya, sementara kedua tangannya mengunci pinggangku. Oh nooo.
“Mau nyium kamu, gemes, kenapa, nggak boleh?”
“Iyuuuuhhh.” Aku bergidik ngeri.