Mantan yang disuka

1048 Words
Rasanya penat sekali. Semalam aku tidak bisa tidur, aku tidak bisa melupakan apa yang sudah kami bahas. Pak Reynan akan membawaku ke apartemen barunya. Tidak bisa aku bayangkan satu ruangan bersama laki-laki asing, meski nanti dia adalah suamiku. Eh, catat! Dia suami kontraku. Kami seperti dua rekan kerja yang sama-sama membutuhkan. Aku butuh uang, dan dia butuh pendamping. Lebih tepatnya sebuah cover agar keluarganya mengira, kalau dia sudah move on dari mantannya. "Nanti siang kita ada meeting sama pihak Media Art. Kamu jangan lupa, harus membuat ringkasan pembahasannya!" Pak Reynan berkata, entah sejak kapan dia berada di ruanganku. Aku mengangguk pelan. "Iya Pak." menjadi skretarisnya, benar-benar menyita perhatianku. Aku tidak bisa melupakan bagaimana setiap ekspressi indah yang ada di wajahnya. Tuhan... dia tampan sekali. "Kamu sedang mikirin sesuatu?" Dia bertanya. Ah, ternyata Pak Reynan masih saja berdiri di sampingku. Meneliti setiap pergerakanku, dan membuatku salah tingkah saja. Jika kalian ingin tahu bagaimana jarak dekat kami saat ini adalah Pak Reynan sedang menyandar pada meja kerjaku. Menatapku, yang entahlah seperti ia lakukan dengan sengaja. "A-ada apa Pak?" Dia terdiam, tapi kedua matanya tidak berkedip. "Bapak mau bilang sesuatu?" Dia menggeleng, terlihat menarik napas dalam dan menelan salivanya kuat. Ada apa dengannya? Kenapa seperti sedang menahan sesuatu yang ingin ia lakukan? Apa yang sebenarnya yang ingin ia lakukan? "Jangan lupa kita meeting nanti!" ungkapnya, setelah beberapa saat kami saling terdiam. Aku hanya mengiyakan, dan menatap punggung kokoh dan lebar yang terbalut jas berwarna navy itu. Sulit untuku mengatakan kalau aku janji tidak akan tertarik padanya. Dengan tinggal satu atap, bahkan mungkin satu ranjang. Hanya saja aku akan berdoa, agar dia tidak lancang pada perjanjian kami. Bahwa selama dua tahun aku tidak boleh sampai khilap dan mau disentuh olehnya. Jangan sampai! Acara meeting pun datang. Aku berjalan berdampingan menuju ruang meeting khusus yang diadakan di kantor kami. "Oh, ya? Saya ingat, kalau dulu kamu kerja di Buana, benar?" Tanya Pak Reynan, ia sedikit melirik padaku. Dan aku mengangguk mengiyakan. "Benar Pak." "Dan, kalau gak salah Pak Edgarlah pemimpin Buana itu." Ah, dari mana ia tahu nama itu? Aku bahkan sudah melupakannya lama sekali. "Oh, ya. Apa yang membuat kamu pindah ke sini?" Kenapa dia bertanya terus? Kenapa Edgar saja yang ia bahas. Tidak tahukah kalau aku saat ini sedang berusaha melupakannya? Kata putus itu selalu saja membuat hatiku kembali teriris. "Karena saya mau Pak." Dia terlihat tersenyum kecil, "Karena kamu mau, atau karena ada hal lain yang kamu sembunyikan?" "Karena ada hal lain, dan saya enggak bisa bilang ke Bapak?" Dan atas kalimat yang aku sampaikan ini. Dia menghentikan langkahnya lalu menatap padaku, membuatku kaget dan segera menunduk dalam. "Apa kamu lupa, kalau lusa kamu adalah istriku?!" Ah, iya. Tapi haruskah aku mengatakan alasan itu? Demi pekerjaan mulia untuk menyambung hidupku ini. Aku pun perlahan mengangkat tatapan. Entah ada keberanian dari mana. Aku menatapnya, meski jujur jauh di dalam hatiku. Aku ingin berlari saat ini juga, dia begitu mendominasi. "Akan aku katakan, jika pernikahan itu benar-benar terjadi." Dia tersenyum. Lebih tepatnya sebuah seringaian. "Dan akan aku pastikan itu terjadi! Dan pada saat itu, aku tidak mau ada rahasia yang bisa kamu sembunyikan!" Benarkan? Kalau dia pemaksa. Lalu aku hanya bisa terdiam, dan menegang. Sepertinya memilih menerima tawarannya adalah kesalahan terbesarku. *** Kami sampai di sebuah ruangan yang akan dipakai untuk meeting. Seseorang memakai setelan jas berwarna biru membelakangi, dan memutar diri tatkala Pak Reynan menyapa. Lalu bersamaan dengan itu aku terdiam seolah kehilangan napas. Tatkala kedua mata kami bertemu. Edgar! Entah kenapa aku merasa kalau Pak Reynan tengah menatapku saat ini. Seperti sedang meneliti ekspressi yang ada di wajahku. "Halo Pak Edgar?" Pak Reynan menjabat tangannya Edgar. Dan aku hanya berdiri kaku berusaha menenangkan diri dan bersikap seperti biasanya. Entah sudah berapa bulan aku tidak melihatnya. Tapi dia terlihat segar dan tampan. Mungkin karena sudah bahagia dengan gadis lain. Dadaku terasa sesak lagi. Bagaimana bisa ia memutuskanku disaat aku sudah begitu mempercayainya. Disaat di dunia ini hanya dia yang aku simpan di hati. Di saat aku sudah menutup diri untuk laki-laki lain. Disaat semua teman-temanku sudah berstatus tunangan dan beberapa hari lagi akan menikah. Disaat.... "Ruby, ini Pak Edgar? Kamu sudah kenalkan?" Panggilan Pak Reynan membuat lamunanku buyar seketika. Aku mengangguk lemah, menjabat tangannya dengan sedikit acuh. Aku bahkan tidak mau melihat wajahnya. Aku tidak peduli. "Ah, maaf. Sekretaris saya memang agak dingin. Tapi percayalah, hatinya sangat hangat." Ledek Pak Reynan padaku. Dan hal itu membuat Edgar terkekeh, "Perempuan cantik memang kadang suka bersikap seperti itu. Saya sangat memakluminya." Jadi dia sedang merayuku? Ingin sekali aku memukul kepalanya. Ah, apa dia sedang kehilangan pacar barunya itu? Sehingga berani merayu mantan yang pernah ia buang? Memalukan! Aku hanya berdeham kecil, lantas segera berjalan ke arah meja lain. Membagikan lembaran materi yang akan dibahas saat meeting nanti. Dan sekali lagi aku merasakan tatapan Pak Reynan padaku. Mungkin dia merasa aneh dengan sikap acuhku? Atau dia juga merasa kalau aku tidak menyukai Edgar. Aku benar-benar tidak peduli. Acara meeting berlangsung. Dan diantara aktivitas itu, aku benar-benar merasa tidak nyaman ketika menyadari bagaimana tatapan Edgar padaku secara diam-diam. Tapi sekali lagi aku tidak peduli, aku mengabaikannya. Benar-benar mengabaikannya, seolah kami ini tidak pernah bertemu. Lalu entah disengaja atau tidak. Pak Reynan terlihat memperhatikan interaksi antara aku dan Edgar. Sekali lagi ia terlihat sedang menilai. Akhirnya meeting selesai. Aku keluar dengan Pak Reynan dengan sebuah tarikan napas lega. "Aku merasa aneh?" Pak Reynan berkata setelah kami sampai di ruangan. Aku menoleh, "Aneh bagaimana Pak?" Dia menatapku dalam,"Kamu?" "Saya?" aku menunjuk diriku sendiri. "Saya kenapa Pak?" Dia lama terdiam. Tapi tatapannya semakin terasa lekat, membuatku mengerjap bingung. "Kamu enggak ada yang mau dijelasin tentang hubungan kamu dan Edgar?!" Nah, dia tau dari mana? Atau... "Kenapa Bapak mempertemukan saya dengan dia? Saya yakin Bapak tahu apa hubungan kami sebelumnya!" Dia tersenyum, maju satu langkah mendekat. Dan aku sadar, kalau dia sudah tahu semuanya. Dia mengatur pertemuan ini dengan embel-embel kerja sama. Semakin dekat, bahkan kini dia meraih diriku tanpa beban. Dan aku memberi jarak dengan kedua tanganku di dadanya. Tapi dia membuatku tak bisa bergerak lebih jauh untuk menghindarinya. Tatapannya lekat, dan aku gemetar karenanya. "Saya hanya ingin tahu, bahwa calon istri saya tidak sedang menyukai mantannya!" Itu yang ia katakan, sebelum sebuah ciuman membuatku sadar. Kalau dia benar-benar lelaki gila dengan tingkat playboy yang akut. Sialan! Tbc.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD