bab 12

1113 Words
Lain halnya dengan Dika yang menganggap pekerjaan Lana tidak layak dan kurang memuaskan, Andra justru sebaliknya. Lelaki itu memang tidak menyebut sempurna, tapi Andra masih mentolerir kekurangan Lana dan hanya meminta sedikit revisi saja. Andra sangat menghargai hasil kerja siapapun, termasuk Lana. "Hanya beberapa bagian saja yang harus diperbaiki." Ucap Andra, saat keduanya berada di kubikel Lana. Andra menghampirinya, setelah tau Lana mendapat teguran dari Dika. "Sejujurnya aku suka dengan hasil kerjamu, tapi sepertinya Dika nggak." Andra tersenyum manis. Senyum yang selalu menghebohkan seluruh isi kantor, terutama untuk kaum hawa. "Dika sangat perfeksionis dalam urusan pekerjaan. Maklumi saja," Tepukan lembut mendarat di punggung Lana. Support yang begitu besar dari Bos besar. Sayang, Dika yang menjabat sebagai kepala divisi memiliki jauh lebih tidak bijaksana. Apa yang diucapkan Lana beberapa waktu lalu benar, Dika memang si egois. Jika Andra menyebut Dika perfeksionis dalam pekerjaan, tapi tidak dengan mencari pasangan. Pasangan untuk bercocok tanam tentu saja, bukan pasangan seperti Lana. "Kamu kenapa?" Lana menoleh dan tersenyum. "Nggak apa-apa, Pak." Jika saja Andra tahu apa yang dipikirkan Lana saat ini, tentu saja Andra akan mengasihaninya dan menyebutnya bodoh. "Jangan terlalu dipikirkan. Aku dan klien suka dengan hasil kerjamu, hanya beberapa bagian saja yang perlu diperbaiki." Lana hanya menggumam pelan, seharusnya ia merasa lega sebab Andra tidak mengharuskan merevisi banyak hal. Tapi kalimat-kalimat Dika membuat semangatnya benar-benar anjlok. "Kalian sepertinya sangat akrab." Lana memberanikan diri bertanya. "Lumayan." Balas Andra. Lana hanya menganggukan kepalanya. Lala pernah bilang Lana memiliki sifat unik. Lugu tapi memiliki kecerdasan di atas rata-rata. Selama beberapa bulan bekerja, Lana seringkali diandalkan dalam berbagai pekerjaan rumit dan hasilnya memuaskan. Tapi sayang, terkadang Dika selalu memiliki standar yang sulit dipahami. Apa yang disebut sempurna nyatanya tidak berlaku sama di mata Dika. Lelaki itu memiliki keanehan yang membuat beberapa orang sering dibuat kesal. Satu lagi sifat unik yang dimiliki Lana, yaitu dia memiliki sifat sedikit pendendam. Hanya sedikit. Ketika ada seseorang yang menyenggol egonya dengan sengaja atau tidak, Lana akan mengingatnya. Lantas mencari jalan untuk membalasnya. Selama ini tidak banyak yang mengusik ego Lana, atau mungkin karena banyaknya pujian yang diterima olehnya, sehingga kritikan dan kalimat pedas yang didengarnya membuat harga diri Lana tersentil. Manusiawi sekali bukan? Jika kita sering melakukan hal dengan hasil baik dan mendapat pujian, tiba-tiba saja dikomentari dan dikritik habis-habisan. Meski yang mengkritiknya adalah Dika, yang notabene suaminya sendiri, ia akan mencari cara halus untuk membalasnya. Cara halus yang menyakitkan. Lana tidak akan melakukan konfrontasi, hal tersebut tidak baik dilakukan pada atasan. Ia akan bermain cantik. "Gosip baru!" Lala datang dengan begitu bersemangat, seolah berita yang akan disampaikannya adalah hal terpenting di dunia ini. Misalnya bom nuklir akan meledak detik ini juga. "Mau denger nggak?" Sudah pasti Lala akan menjejalkan gosip tersebut tanpa perlu persetujuan dari Lana. "Sebenarnya bukan gosip panas banget sih, tapi gue harus menyampaikannya." Lala membetulkan posisi duduknya mirip seorang reporter televisi. "Tau nggak, Dika dan Pak Andra ketahuan keluar dari apartemen Sarah." Cangkir kopi di tangan Lana diletakan begitu saja dan menatap serius ke arah Lala. "Kamu tau dari mana?" "Tadi gue bareng si Mika, anak sebelah, dari kantin. Sempat ngobrol sebentar, dia kan satu tempat tinggal sama Sarah. Nah,, malam kemarin dia melihat dua lelaki itu keluar dari apartemen Sarah. Barengan lagi!" "Masa? Jam berapa?" Tanya Lana. Kemarin malam ia tidak merasa kehilangan Dika. Lelaki itu terlihat di ruang kerjanya sekitar pukul sebelas malam, saat Lana hendak mengambil minuman dingin di kulkas. "Jam satu. Bayangin dua laki-laki keluar di jam seperti itu ngapain? Gue rasa mereka gangba," Belum sempat Lala meneruskan ucapannya, tiba-tiba Lana tertawa dengan suara kencang. "Nggak mungkin!" Lana terus tertawa. "Kamu kebanyakan nonton film dewasa." Lanjutnya. "Terus mereka ngapain sepagi itu di apartemen Sarah? Sahur bareng? Bulan puasa masih jauh, dodol." "Sahur kan jam tiga, Lala. Ada-ada aja deh." Lala.cemberut, karena merasa gosip panas yang dibawanya tidak begitu disambut antusias oleh Lana. "Lo kenapa lurus banget sih Lan? Gue makin curiga, lo ini punya kelainan deh." "Kelainan gimana sih? Aku normal, sangat normal." "Lo nggak pernah tertarik saat kita bahas masalah sensitif seperti ini. Bahkan link video yang gue bagi aja lo nggak pernah tanggepin. Lo punya nafsu nggak?" "Lalu, apa hubungannya nafsu dan kedua lelaki itu ada di apartemen Sarah? Nggak nyambung kan?" "Ada, Dodol." "Ish," Lana berdecak "Lagian, Dika memang penyuka wanita semangka, nggak heran kan dia berkunjung malam-malam ke apartemen wanita. Kalau berkunjung ke apartemen laki-laki baru curiga." Lala hanya bergumam tidak jelas. Ternyata gosipnya tidak menarik dimata Lana. Ia lebih memilih kembali ke meja kerjanya dengan perasaan kesal. Sejujurnya Lana pun tidak kalah kesalnya. Meski ia dan Dika sudah sepakat tidak mencampuri urusan masing-masing, tapi mendengar lelaki itu keluar dari apartemen seorang wanita di waktu dini hari, tentu saja membuat hatinya bergejolak. Lana tidak mau menyebutnya cemburu, tapi kekesalan itu nyata adanya. Lana melihat Dika berjalan menuju ruangannya. Melihat wajah lelaki itu, Lana semakin yakin Dika memang sudah mengganti olinya di apartemen Sarah. Terlihat jelas raut wajahnya lebih bersinar dari hari sebelumnya. "Lana!" Suara Dika terdengar. "Sebentar lagi kita bertemu klien,siapkan semuanya jangan sampai ada yang tertinggal." "Baik." "Lo masih dendam sama Dika?" Lana kembali menghampiri. "Jangan macam-macam. Dika orangnya keras, dia paling nggak suka di debat apalagi di lawan." "Memangnya aku kelihatan gimana? Aku nggak merencanakan pembunuhan atau mencelakainya." Bu Sarah, ibunya Dika pasti akan marah jika tau putra kecintaanya itu ditusuk atau ditikam oleh Lana. "Gue tau lo masih sakit hati gara-gara proyek itu, tapi mendebat Dika bukan pilihan bijak. Lo bisa kehilangan pekerjaan. Dimana lagi coba kerja bisa sambil ngerumpi seperti sekarang? Apalagi lo nggak di ospek lebih dulu sama senior seperti Gue, Aji, dan Nata." Lana tersenyum. "Iya. Kalian sangat baik, nggak ada senior sebaik kalian." Lana mengusap lengan Lala dengan lembut. "Gue takut lo dipecat, jangan macam-macam ya? Kalau lo dipecat gue nggak bisa kirim link video pak Sugioni lagi." Ya ampun! Lala memang sudah terkontaminasi virus Aji dan Nata. "Rencana apa? Siapa yang dipecat? Gue ketinggalan info apa?" Jika tampang dan kelakuannya tidak mencerminkan lelaki sungguhan, mungkin Lana akan menganggap Aji ini lelaki menyimpang yang memiliki gen cenderung ke arah wanita. Bukan apa-apa, tapi lelaki itu selain senang membicarakan hal yang berbau s**********n, juga senang diajak bergosip. Dia selalu antusias setiap Lala membawa info gosip terbaru. "Nggak ada rencana apa-apa." Balas Lana. "Lo nggak berencana memperkosa Dika, lalu mengaku hamil hanya karena ingin dinikahi, kan?" Selidik Aji. "Ih, apaan. Nggak lah!" Lana mengelak. Tidak perlu memeprkosa Dika seperti yang diucapkan Aji, karena Lana bisa melakukannya di apartemen dengan mudah. Sayangnya Lana bukan tipe dika, seringnya mereka bertemu hampir setiap malam pun tidak lantas membuat lelaki itu berniat menyentuhnya. Salahkan Lala, karena wanita itu sering kali mengirim video dewasa yang membuat Lana merasa ingin disentuh oleh Dika.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD