Nafasku tercekat, kedua tanganku menyentuh dinding yang terasa dingin. Lalu tak lama Jensen berada di hadapanku. "Kau baik-baik saja?."
"Wajahmu pucat."ucapnya mengejekku dengan seringaian yang berada di ujung bibirnya. Jantungku berdebar dengan keras bukan karena wajahnya berada begitu dekat denganku, tetapi karena betapa menyeramkan dimana aku berdiri saat ini. Kalau dipikir-pikir bukankah aku bisa jadi makan malam dengan berdiri di sini saat ini.
"A... Apa kau berniat menghisap darahku sekarang dan berbagi bersama teman-teman mu."aku melirik vampire-vampire dari balik belakang tubuhnya yang kembali menari mengikuti alunan musik yang semakin keras. Wajahnya mendekat. Bibirnya berada di depan telinga kiriku yang spontan membuatku menjauhkan wajah darinya. "Aku lebih tertarik menikmati darahmu seorang diri."
Dia benar-benar ingin membunuhku. Bibirku keluh, menelan saliva saja terasa begitu sulit. Aku menarik nafas dalam mencoba menguatkan diri walau tidak yakin. "Bisa kau menjauh sedikit. Apa kau tidak punya batas." Dia mengendikan bahunya lalu mengambil satu langkah menjauh dari ku. Memberikanku ruang yang sangat ku butuhkan. Aku butuh bernafas.
"Jensen."seseorang memanggil namanya yang membuatku dan Jensen menoleh ke arah suara itu. Ada dua orang pria datang, berjalan ke arah kami. Pria yang memanggil itu nampak tersenyum ramah, berbanding terbalik dengan pria yang berada di sebelahnya. Dia menatapku tajam alisnya melengkung. Seolah mengatakan sedang apa aku di sini. Aku dapat melihat ia sejenis dengan Jensen. Matanya berkilat cukup menyeramkan seolah mengancam. Aku mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Kau membawa manusia!."ucap pria yang tadi menyapanya dengan heboh.
"Namaku Harry dan ini Rasel."ucap pria itu menjabat tanganku dengan bersemangat.
"Rasel."ucapnya hanya dengan senyuman tipis. Aku mengangguk lalu mengalihkan pandanganku ke arah lain.
"Apa dia pacarmu-huh?!."spontan wajahku menoleh pada Harry dengan mata terbelalak. Kepalaku menggeleng cepat menolak tuduhan sepihak itu.Apa dia sudah gila, apa tidak ada manusia lagi di luar sana yang bisa ku kencani.
"Bukan.. bukan, bukan... Aku bukan pacarnya."ucapku menyanggah pernyataan itu yang membuatnya tertawa. Oh ayolah. Tidak ada yang lucu di sini. Aku bukan pacarnya. Tentunya bukan. Dia makhluk penghisap darah. Walaupun dia tampan. Ya ku akui. Tapi aku masih suka manusia biasa.
"Ya kau bukan pacarnya tapi kekasihnya."apa bedanya itu.
"Bukaaaan.. Kami tidak ada hubungan. Okay."Apa-apaan itu Liana.
"Okey."jawabannya tertawa geli, sangat menyebalkan dimataku. Nampaknya dia belum percaya padaku. Ini membuatku kesal.
"Jensen. Kau tidak mengajak kekasihmu minum?."aku yang baru saja menoleh pada Jensen seketika kembali menatap Harry.
"Hei."protesku membuat Jensen tertawa geli. Aku benci vampir ini.
"Kau mau minum. Sayang."ucapan Jensen benar-benar membuatku ingin muntah. Vampire bisa bercanda juga rupanya.
"Aku tidak minum. Maaf saja dan ku tekankan sekali lagi aku bukan pacarmu."ucapku.Memberikan klarifikasi.
"Ayo pergi."ucap Jensen. Kedua temannya tersenyum lalu berbalik pergi. Jensen menarikku ke sisi tubuhnya. Dan berbisik...
"Jika kau sendirian maka kau tidak akan pernah bisa keluar dari sini hidup-hidup dengan bau darahmu yang harum itu. Maka. Cukup tetap dan diam di sampingku."
"Apa kau sedang mengancamku saat ini."tuduhku dan tiba-tiba dia mencium sisi keningku membuatku terkejut bukan main. Ia melirik ke suatu arah dan aku mengikuti arah pandangnya yang melihat ke arah kerumunan pria di sudut dengan minuman mereka. Dan aku syok. Ini menyeramkan. Ada salah seorang,tidak. Mereka menari tapi aku yakin mereka terus memperhatikanku diam-diam. Seolah aku adalah seekor kancil yang siap untuk diburu."Apa mereka mengincar darahku juga?."
"Menurutmu!."ucapnya
Aku mendekatkan diriku pada Jensen. Memeluk lengannya dengan posesif seolah-olah bocah berumur 5 tahun yang takut di tinggal pergi.
"Bagus."ucapnya lalu menarikku pergi.
Harry memanggil kami untuk mendekat. Ia mendudukan ku di salah satu sofa di sudut yang tertutup dengan tirai. Aku melirik Jensen dan ternyata dia sedang menatap ke arahku. Aku mengalihkan wajahku. Merasa gugup. Tapi punggung tangannya tiba-tiba menempel di keningku.
"Kenapa wajahmu memerah. Apa kau sakit?."
A... Apa. Apa wajahku memerah. Yang benar saja. Bukan karenanya. Sungguh. Tidak mungkin. Aku beralih kembali menatapnya. Kedua alisnya bertaut. Menatapku seolah begitu ingin tahu tentang apa yang terjadi dengan wajahku yang memerah. "Aku baik-baik saja. Tidak perlu sampai seperti itu."
"Kau minum?."tawarnya. Aku menggelengkan kepalaku namun tiba-tiba saja bibirku di sodorkan gelas bening dengan cairan berwarna kuning yang terasa keras memaksa melesak masuk ke dalam tenggorokanku. Kedua mataku membesar. Rasanya pahit. Aku menatap Jensen protes. Tapi wajahnya mendekat dan berbisik di dekat telingaku.
"Suhu tubuhmu dingin. Jadi kau harus minum agar hangat."
"Jangan berciuman di hadapan kami. Aku belum mendapatkan wanita yang ku mau. Jangan memanas-manasiku Jensen."ucap Harry yang membuat ku berdecak kesal. Aku melirik Jensen tajam dan dia malah tersenyum mengesalkan.
“Apa kau merasa takut berada di sini Liana. Kau kelihatannya tidak terlihat nyaman. Kau takut pada kami!.”seru Rasel yang membuatku menoleh padanya dengan ekspresi datar. Hatiku bergejolak mengatakan aku tidak boleh takut. Dia hanya mencoba menggertakku dan melihat bagaimana ketakutanku yang mereka timbulkan yang pastinya mereka akan merasa begitu bangga melihatnya.
Aku mengangkat sedikit daguku untuk menunjukan jika aku tidak takut, dan betapa percaya dirinya aku saat mengatakannya walaupun hatiku sudah bergejolak mengumpat betapa bodohnya aku melakukan hal ini. “tidak."
Jensen tersenyum geli di sampingku, membuatku melirik ke arahnya. apa dia bisa membaca pikiranku seperti Edward di film Twilight. Kalau benar aku harus menjaga isi pikiranku untuk tetap kosong karena kini aku mulai memakinya.
“lalu kenapa kau tidak mau minum?.”lanjutnya. aku melirik ke arah botol advokad berwarna kuning yang tersaji di dalam gelas di hadapanku.
“jangan ganggu dia Harry. Kalau dia takut memangnya—.“ucapan Harry terpotong saat aku mengambil gelas tersebut, menenggangkanya dalam sekali teguk tanpa menyisakkan setetes pun.
“aku tidak takut.”ucapku dengan penekanan pada setiap kata-kataku.
***
Entah sudah berapa banyak gelas yang Liana tenggak malam ini. kepalanya mulai berat akibat pengaruh alkohol yang mulai menguasai kesadarannya. Harry menuangkan kembali minuman di gelas Liana saat wanita itu ingin mengambilnya, Jensen langsung menenggaknya hingga habis.
“jangan paksa dia. Dia sudah terlalu banyak minum.”ucap Jensen dengan wajah datar. Liana menggelengkan kepalanya, menyilangkan kedua tangannya di depan d**a. “tidak. Aku masih kuat. Berikan minumannya padaku.”
“kita pulang.”Jensen bangkit berdiri, dan menarik Liana keluar dari sana meninggalkan Harry yang melongo menatap kepergian mereka ia di abaikan begitu saja, sementara Rasel terkekeh melihat nya.
“lepaskan aku.”Liana menarik tangannya yang berada digenggaman tangan Jensen hingga terlepas. Namun Jensen kembali menggenggamnya dan menyeret Liana menuju pintu keluar.
“aku bisa jalan sendiri. Aku bukan nenek tua yang harus dituntun.”Liana berjalan tanpa Jensen yang menariknya, pria itu menatapnya yang berjalan gontai menuju pintu keluar Club.
Beberapa kali Liana hampir saja terjatuh akibat tubuhnya yang mulai limbung.
BRUK!!
Liana terjatuh dan tepat berada di tangkapan seorang pria, Liana mendongak dan pria itu adalah pria yang tadi dilihatnya saat Jensen membisikan sesuatu padanya. alis Liana mengeryit, seolah-olah sedang berpikir.
“mau berdansa denganku nona?.”tawarnya.
Liana mengangkat kedua tangannya, mencoba melepaskan genggaman tangannya dari pria tersebut. “tidak. Pergilah.”tolak Liana dengan kedua mata setengah terbuka.Alkohol itu membuatnya mabuk berat.
Liana berlalu dari sana, namun pria itu kembali menariknya dan mendorongnya ke dinding, menyudutkan Liana dengan menggenggam kedua tangannya di antara kepalanya. Menahannya menjadi tawanan. Sebuah santapan lezat. Pria itu sudah mengawasinya sejak tadi dan saat ini adalah batasnya untuk menahan rasa laparnya terhadap darah manusia yang cukup menggiurkan, berjalan bebas di sekelilingnya dengan rasa manis yang begitu menggiurkan.
“jangan gigit aku.”racau Liana membuat vampire itu tersenyum.
“jangan khawatir, ini tidak akan berlangsung lama dan menyakitkan.”ia mengibaskan rambut Liana dan mendekatkan wajahnya di leher Liana. Liana mencoba mendorongnya untuk menjauh.
“hentikaaaaaann.”rintih Liana mencoba mendorongnya agar vampire itu menjauh darinya. Tiba-tiba...
BRAKKK!!
Teriakan terdengar menggema, tubuh Liana merosot menjadi terduduk. Kesadarannya hampir hilang tapi ia masih dapat melihat pria itu yang terlempar ke sudut di ujung ruang dengan menghantam meja bar dan membuat botol-botol pecah dan tercecer ke lantai.
Jensen berdiri di hadapannya, menangkup wajahnya dengan kedua tangan, memanggil nama Liana hingga akhirnya ia tak melihat apa-apa lagi.
***
Aku tersentak. Terbangun dengan rasa takut yang menerjangku tiba-tiba membuat air mataku keluar. Aku berada di dalam kamarku, dengan selimut yang menutupi seluruh tubuhku. Malam masih begitu gelap. Kepalaku terasa begitu berat.
Denyutan keras menghantam kepalaku, seolah ditusuk-tusuk dan diikat dengan kuat. Aku butuh air putih. Atau makan sesuatu yang manis. Rasanya perutku melilit, dan aku butuh Toilet.
Aku berlari menuruni tempat tidur, bergegas keluar kamar menuju Toilet yang berada tepat di samping kamarku. Isi perutku di muntahkan semuanya. Aku belum makan sejak kemarin, dan malamnya aku malah minum alkohol. Hebat Liana. kau membunuh dirimu sendiri.
Aku membasuh bibirku dengan air, lalu mengeringkannya dengan handuk sebelum keluar dari sana dengan tubuh lemas seolah-olah aku tidak memiliki tulang. Ini pertama dan akan menjadi untuk yang terakhir kalinya aku minum alkohol.
Langkah kakiku terhenti saat aku bertemu dengan seseorang yang kini sedang duduk di sofa milikku seraya memejamkan mata. Jantungku berdebar. Ingatan tentang kejadian beberapa jam lalu masih hangat di dalam ingatanku.
Aku mencoba berjalan mundur, pergi menuju kamarku tanpa menimbulkan suara. Nafasku tercekat, seolah-olah aku sedang dicekik oleh sesuatu yang membuat ku tidak bisa bernafas.
“Liana.”aku terpanjat saat aku berbalik untuk masuk ke dalam kamar. Suara Jensen terdengar berat, memanggil namaku membuat jantungku berdetak.
“bagaimana keadaanmu?.”
Aku berlari masuk ke dalam kamar dengan dobrakan kencang di pintu kamarku. Berlari ke atas tempat tidur dan menarik selimut untuk menutupi tubuh dan sebagian wajahku. Vampire minum darah. Pria di bar dan Jensen adalah makhluk yang sama yang menginginkan darahku dan tentunya kematianku. Pintu terbuka, menampakan sosok Jensen yang berdiri di sana. “kau baik-baik saja?.”tanyanya.
“jangan mendekat.”ucapku. Menolak kehadirannya di kamarku. Bukannya berhenti dan pergi. Jensen malah terus berjalan mendekatiku. Spontan aku mundur namun bahuku menabrak headboard ranjang di belakangku. Menahanku hingga tidak bisa pergi kemanapun.
“kumohon jangan dekati aku.”
“aku tidak akan menyakitimu.”ucapnya. Aku tidak bisa mempercayainya. Dia vampire.
“kau dan pria itu. Kalian semua. Kalian sama. Menginginkan darahku. Kumohon jangan dekati aku.”
Jensen menaiki kasurku, mendekatiku dengan duduk di hadapanku. Menatapku.
“aku sungguh-sungguh, aku...”Jensen memejamkan matanya, seolah ia begitu frustasi karena penolakanku.
“aku tidak akan menyakitimu,”lanjutnya saat dia kembali menatapku.
“aku berjanji.”
“jadilah milikku.”Aku terhenyak. Aku menatapnya, menatap tepat di kedua manik matanya yang menggelap. Aku tidak tahu harus bagaimana. Percaya padanya. atau tetap pada keyakinanku untuk menjauh darinya.