BAB 1 - Meet You

2006 Words
“Aku jatuh cinta tanpa ada syarat. Perasaan seperti ini tidak dapat ditarik lagi.” “Berhentilah mengulang-ulang kalimat itu.”gerutuku pada Helen. Wanita yang tergila-gila akan cinta dan romantisme. Otaknya sudah terlalu banyak di pasoki oleh berbagai drama dan film romantis. Aku sungguh jijik mendengarnya berbicara tentang betapa menyenangkannya cinta itu. “kau tahu. itu kalimat Edward yang paling menyentuh untukku. banyak sekali kalimatnya. Kau mau ku beritahu.”serunya yang membuatku menatapnya enggan. “tidak terima kasih.”sahutku cepat. Jelas menolak mentah-mentah perkataannya. Aku menenggak air mineral yang berada tak jauh di hadapanku. Kami sedang berada di kursi yang tersedia di teras depan Supermarket tempat dimana Helen bekerja. Dia bekerja paruh waktu di sini, setiap sore hingga malam jam 10 malam. Ini adalah supermarket bibinya, dia ingin mendapatkan uang jajan lebih makanya bekerja di sini dan karena jarak dari Apartemen dan Supermarket ini tidak terlalu jauh aku suka mampir kemari, kami bersahabat sejak duduk di bangku kuliah hingga sampai sekarang. Setelah lulus, aku baru saja mendapatkan pekerjaan sementara Helen sering sekali berpindah-pindah karena kurang cocok dengan pekerjaannya, dan pada akhirnya dia memilih untuk membantu di Supermarket ini sampai mendapat pekerjaan baru. "Aku selalu berharap cerita cintaku sama seperti salah satu cerita fiksi yang ku sukai. Entah itu Twilight, Vampire Diaries, Goblin, Dots, atau Secret garden.... " Aku memutar kedua bola mataku malas. Benar kan. Dia benar-benar sudah gila akan romantisme."Mana ada yang seperti itu. Jangan berkhayal yang tidak-tidak. Terima saja. Real life nya kita terjebak di kisah cinta dimana kekayaan, pemberi harapan dan perebut kekasih orang menguasai dunia dan menjadi trendsetter bahkan hingga mancanegara." "Ahh...  Di tinggal Mark kau jadi tidak percaya tentang cinta."ucapan Helen membuatku mendengus sambil mengerutkan hidung karena dipaksa kembali mengingat pria itu. "Siapa Mark. Aku tidak mengenalnya."gumamku yang membuat Helen terkekeh.Dia terlihat bahagia jika melihat kekesalan di wajahku karena laki-laki k*****t itu. Aku benci mengingatnya dan setiap kali aku mengingatnya yang ingin lakukan hanyalah menggerutu tentang betapa kesalnya aku dengan dia. "Aha. Lihat siapa yang begitu sakit hati karena di khianati Cinta. Kau harus move on dan mencoba membuka hatimu pada pria lain."Dia menceramahiku, padahal kisah cinta kami tak jauh berbeda. Setiap orang terlihat menjadi seorang pakar secara tiba-tiba ketika menasehati orang lainnya.  "Hebat. Jadi kau saat ini menjadi Serang ahli Cinta. Nona ahli Cinta. Tolong beritahu aku berapa lama kau pacaran dan menangis tersedu-sedu karena di tinggal oleh.." Helen mengerucutkan bibirnya. "Kau curang. Kau menyerangku langsung. Itu tidak adil." Aku mengendikan bahu lalu menyeruput kopiku dan terkekeh. Aku suka mengingatkannya tentang laki-laki itu. Laki-laki yang selalu Helen kutuk jika mengingatnya dan bergosip tentangnya. “Apa tidak bisa aku di layani di sini?.”salah seorang pria berteriak dari pintu Supermarket. Kami menoleh ke arahnya. “Pergilah.”seruku. Helen nampak malas. Ia kembali menatapku dengan wajah bersungut-sungut. “Aku juga akan pulang, sudah larut besok aku harus masuk kerja. Ini hari pertamaku, aku tidak mau ada kantung hitam di bawah kelopak mataku besok pagi.”Aku bersungguh-sungguh dengan hal itu, dan juga cepat mengalami amnesia hingga membuat nyeri di kepalaku. “aku malas jika dia yang datang, hanya membeli satu mie cup lalu memakannya hingga laaaaammmmmaaaaaa sekali.”aku tertawa ketika mendengarnya. Lucu sekali. “mungkin saja dia naksir padamu.”godaku dan terkekeh membuat wajahnya memberenggut. “pangeranku datang dengan kuda putih bukan dengan sepeda roda dua berwarna abu-abu yang rantainya suka terlepas.”gerutu Helen yang kemudian bangkit berdiri. “aku pulang”.pamitku melambaikan tangan padanya dan menarik plastik belanjaanku yang berisi mie, roti, dan jus orange. Waktu sudah begitu larut, sudah jam 10 malam dan aku baru saja pulang menuju Apartemenku. Malam ini begitu sepi, entah kenapa begitu berbeda dengan malam-malam lainnya. Aku benci ini. jika ada hantu maka aku akan lari, jika ada penjahat yang mengincar seorang wanita, maka aku akan menghajarnya dengan botol orange jus yang ku bawa. Diam-diam aku mengeratkan peganganku pada botol orange jus yang berada di dalam kantung, suara-suara aneh seolah mengikutiku sepanjang perjalanan menuju Apartemen. Ini mengerikan, kenapa aku lewat belakang, bukan lewat depan saja, setidaknya jika lewat depan aku akan berada di pinggir trotoar, lewat belakang, aku harus menaiki tangga seperti ini. Aku menghentikan langkahku. Seseorang jelas berjalan tepat di belakangku saat ini. tiba-tiba aku berbalik bermaksud untuk memergoki dengan botol orange jus di sebelah tanganku dan benar saja, seorang pria berdiri di anak tangga paling bawah, sementara aku berada di anak tangga pertengahan jalan. Ekspresinya seperti orang kesakitan, pucat pasi membuatnya terlihat seperti zombie hidup. Aku tidak bisa bergerak, hanya bisa menatapnya dari tempatku berdiri dengan bulu kuduk berdiri. “Pa.... paman.”gumamku lirih. Pria itu jatuh tersungkur, baru saja aku ingin melangkah maju seseorang tiba-tiba melompat dan berjongkok tepat di sampingnya. Kedua mataku membesar. Tubuhku mendadak kaku, membeku dan nafasku tercekat. Pria itu menggigit lehernya, menghisap darah dari lehernya. Aku tidak suka ini, semua fantasi gila yang sering Helen ceritakan malah menjadi kenyataan di hadapanku sendiri secara live. Botol orange jusku jatuh, saking lemasnya tanganku bahkan sulit untuk menopang apa yang ku genggam. Kepalanya terdongak menjadi menatapku. Matanya memancar dengan aura tajam yang mematikan, membuat tubuhku seolah menjadi jely. Aku berlari dengan sekuat tenaga, pergi dari sana sejauh mungkin. ku dengar mereka begitu cepat dan aku harus lebih cepat, menyelamatkan diri dan pergi sejauh mungkin.Menyelamatkan hidupku. Ini gilaaaaaaaaaaaaaa...... *** Dengan tidak sabaran menekan tombol Apartemen, setelahnya aku masuk dan menguncinya rapat-rapat. Ruangan masihlah begitu gelap, namun anehnya jendela Apartemenku terbuka. Hal itu sukses membuat jantungku berdebar kencang. Suasana masih begitu gelap. Aku berada di kamar berlantai 17 dari 20 lantai. Memangnya makhluk apa yang bisa sampai ke sini dan membuka jendelaku yang terkunci begitu saja. Aku mengambil wajan dari dapurku yang berada di sisi kananku, terhubung langsung dengan ruang tv. Aku berjalan dengan langkah sepelan mungkin, seoalh berdiri di atas karpet berbulu yang tak menimbulkan suara sekecil apapun. Aku melirik dengan hati-hati ke arah kamarku. Ya tuhan, jantungku mulai menggila. Tubuhku gemetaran. Jika manusia aku akan siap menghadapinya bahkan dengan tangan kosong, tapi masalahnya aku tidak tahu dengan siapa yang sedang ku hadapi saat ini, apalagi aku baru saja melihat makhluk penghisap darah dengan mata kepalaku sendiri dan aku sedang tidak mabuk. “Halo.”suara berat yang terdengar menakutkan tepat berasal dari telinga sebelah kiriku yang membuatku berteriak dengan menodongkan wajan ke arahnya. Kosong. Dimana dia. Aku mulai panik.Mataku mengedar ke segala arah mencoba untuk mencari-cari keberadaan orang itu.  “di sini.” Suaranya dari arah belakangku. Tubuhku berbalik dan sedetik kemudian aku sudah terperangkap dengan kedua tangannya yang berada di sekeliling tubuhku. Mata tajam itu menatapku dengan tatapan menusuk dan dingin. Kulitnya putih begitu pucat, dan dingin. Rambutnya begitu gelap, dengan poni yang menyentuh keningnya. Pria yang ku lihat menghisap darah dari seorang paman di tangga tadi. “Halo.” Wajan sudah tak ada di tanganku, aku hanya bisa memeluk tubuhku sendiri dan dia sedang berada tepat di hadapanku. “lihat betapa takutnya kau saat ini.” “aku tidak akan memangsamu karena aku tidak lapar.”bisiknya tepat di telinga kiriku. Aku memalingkan wajah, menutup kedua mataku erat, berdoa siapa saja tolong aku. Aku sedang bertemu dengan seorang vampir yang ku pikir tidak nyata, apa aku sedang bermimpi saat ini. “jangan katakan ini pada siapapun. Kau mengerti. Atau aku akan mendatangimu dan menghisap darahmu.”Tubuhku yang bergetar karena ketakutan kini membeku saat mendengar perkataannya. Dia ingin menghisap darahku. Dia menarik daguku hingga kini aku menatapnya. “kau mengerti.” Aku mengangguk, dengan takut lalu dia tersenyum. Senyuman yang mengerikan yang membuat nafasku tercekat. “bagus.”ucapnya yang membuatku semakin bergidik ngeri. Dan sedetik berikutnya aku hanya sendirian. Tubuhku merosot menjadi terduduk dengan lemah, seolah aku tidak memiliki tulang untuk menahan bobot tubuhku yang seperti jely. Biasanya jika takut, orang lain akan berteriak sekencang-kencangnya tapi aku.... Aku tidak bisa melakukannya. Aku terlalu syok. Vampire itu nyata dan itu menakutkan... *** Hembusan angin berhembus menerpa tubuhku, kedua tanganku mengerat pada jaket coat coklat panjang yang membalut tubuhku. Sudah satu setengah jam aku berdiri di Halte bus di depan Kantor baruku, hari ini adalah hari pertamaku bekerja di sini sebagai seorang sekertaris dari bagian tim periklanan. Hingga tak lama sebuah sepeda motor berhenti di depan ku. Seorang pria bersetelan kaus dan jaket denim dan celana jins berwarna senada. Dia melepaskan helmnya dan tersenyum, memamerkan sederet gigi putihnya yang berkilau di hadapan wajahku. BUKK! “HEI!.”protesnya kesakitan saat aku menerjangnya dengan pukulan tas milikku seharga 200 ribu dollar. “Keterlaluan. Bagaimana kau bisa membiarkan seorang wanita menunggu hingga satu setengah jam sendirian di luar seperti ini –huh!.”gerutuku seraya sesekali kembali memukul tubuhnya, dia mencoba menahan serangan tanganku yang terus memukul nya. “aishh.. seharusnya kau berterima kasih padaku, aku masih mau menjemputmu di sini.” “aha. Terima kasih karena sudah membuatku kedinginan. Untung saja aku tidak membeku menjadi es batu. Cepat antar aku pulang atau aku akan mengadukanmu pada ayah.”Namanya James Craig, ayah kami adalah sahabat sejak SMA. Rumah kami berdekatan. Perjanjian konyol tentang hidup berdekatan hingga mati membuat kami benar-benar berdekatan. Bahkan merantau dari California menuju Seattle. Kami hanya sahabat. Hal itu juga membuat Apartemen kami berdekatan. Dia sudah seperti kakak bagiku, walaupun aku lebih tua beberapa bulan darinya, aku selalu merasa aku adalah kakaknya karena aku bisa memukulnya, sementara dia tidak bisa memukulku. Aku menaiki motor berjenis Kawasaki Ninja 250, dia pernah bertanya padaku saat akan membeli motor. Dia menanyakan tentang pilihan motor Ninja yang menarik bagiku yang ku tolak mentah-mentah dan menyarankannya untuk membeli motor bebek yang juga ia tolak mentah-mentah pendapatku itu. “Hei.”protesku ketika dia mendorong helmnya yang hampir mengenai kepalaku yang dapat ku tepis. Dia memakai helmnya sebelum melaju pergi menembus keramaian kota. Butuh 20 menit naik bus untuk sampai ke Apartemen, sementara 10 menit jika menggunakan sepeda motor, bahkan 5 menit jika aura pembalab James muncul. Sungguh aku pernah berteriak bahkan sampai membuat kakiku gemetaran karenanya. Dia memang sinting jika jiwa pembalapnya keluar. *** Sebuah Apartemen berwarna coklat setinggi 20 lantai. Kami berada di lantai 17, James berada tepat di samping Apartemenku. Kamarku bernomor 519. James bernomor 518. Dia berjalan di belakangku hingga langkahku terhenti saat merasakan ia sedang berdiri di belakangku sekarang. Aku menatap ngeri pada pintu Apartemenku, sedikit takut jika peristiwa semalam akan kembali terulang. Aku sudah berusaha melupakannya hari ini tapi tetap saja tidak bisa. “Ada apa?.”tanya James saat tubuhku berbalik menghadap ke arahnya yang menatapku bingung. “Apa kau lapar?.”tanyaku, jelas dia merasa aneh. Aku tidak pernah bertanya padanya. dia yang selalu mengatakan aku lapar. “tumben sekali. Ya aku lapar.” “kalau begitu masuklah. Aku akan membuat makan malam.”aku mulai memencet tombol password Apartemenku. “wah.. tumben kau baik padaku. Biasanya kita harus berantem dulu dan menentukan siapa yang akan memasak makan malam.” aku memutar kedua bola mataku malas. Tidak bisa membantah karena itulah kenyatannya.Jantungku berdebar, merasa khawatir pria itu mungkin kembali ke kamarku dan mengancam. Atau berubah pikiran lapar dan ingin menghisap darahku. Keadaan Apartemenku masih sama seperti terakhir kali aku meninggalkannya. Jendela tertutup rapat. Lampu yang menyala mengejutkanku, tubuhku berbalik dan menemukan sebelah tangan James berada di seklar lampu. “Menyalakan lampu.”ucapnya, seolah menangkap kebingunganku. Baguslah dia tidak ada. Aku benar-benar bisa tenang malam ini. "Apa ini?  Bawang putih."ucap James. Aku menoleh padanya saat membuka blazerku dan meyampirkannya di atas sofa. Dia sedang menamati potongan bawang putih yang tertusuk peniti dan ku jepit di kain samping pintu kulkas. "Kau mulai keracunan cerita Helen tentang vampire. Sampai memasang bawang putih seperti ini."ucapnya. Bukan keracunan. Aku memang mengalaminya. Andai saja aku bisa mengatakannya pada James. "Nenek sering mengatakan. Bawang putih menghindari kita dari roh-roh jahat."ucapku beralasan. Aku pergi menuju dapur dan mulai memasak. "Kau mulai gila. Jangan terlalu percaya pada hal mistis. Vampire itu tidak nyata." 'Nyata dan aku melihatnya James'." "Ya. Aku juga tidak percaya. " 'Bohong'batinku. James menyalakan TV. Sementara aku memasak. Aku cukup tenang dia ada di sini. Jika vampire itu kembali setidaknya. Ada James yang menahannya saat aku kabur. Aku terkekeh. Membayangkan hal itu.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD