Kesepakatan

1012 Words
Nahla menuju dapur yang berhadapan tidak jauh dari sofa Ahsan, gadis itu mencari sesuatu di sana. Kemudian mendesah kecewa. "Bahkan di sini tidak ada air minum," katanya kecewa, Ahsan diam saja, tapi matanya melihat apa yang dilakukan gadis itu. Nahla melirik sinis pada Ahsan, bahkan dia tak sedikit pun berinisiatif. Pria itu adalah pria kaku uang paling menyebalkan di muka bumi ini. Baru beberapa jam dengannya, Nahla serasa ingin mencakar-cakar wajah dingin itu. "Ahsan! itu namamu, kan?" tanya Nahla sambil melipat tangannya di d**a, menurut Ahsan wajah ketus dan sinis itu memang lebih cocok untuknya. Sikap dan pembawaan gestur tubuh, akan melambangkan hati seseorang. Ahsan menghela napas panjang. Berusaha sabar. "Kenapa kau ingin tau, apa kau ingin berkenalan denganku?" jawab Ahsan begitu malas. "Berkenalan denganmu? Cih! yang benar saja." Gadis itu membuang muka. Ahsan tak menanggapi, dia kembali memejamkan matanya. "Kau laki-laki yang sombong," ujar Nahla. "Aku tak butuh penilaianmu," jawab Ahsan tak peduli. "Ya ya ya, kau sangat membosankan." Gadis itu diam sejenak kemudian melanjutkan "Berapa umurmu? 38? 40? Atau 42?" Habislah kesabaran Ahsan. "Aku belum setua itu." "Biar aku tebak, 32 ... benar, kan?" Ahsan tak menjawab. "Kau diam berarti aku benar, pantas saja kau tidak laku-laku, melihat sikapmu yang kaku, sombong dan angkuh, seharusnya diumur segitu kau sudah punya anak dua." Ahsan semakin kesal, gadis itu selalu membuatnya jengkel. "Apa mulutmu selalu mengeluarkan kotoran?" "Apa maksudmu?" Mata Nahla melotot. "Selain pintar berbohong kau juga pintar menghina, kau sendiri sudah cukup tua." "Hei, aku baru 29 tahun ini." Nahla tak terima dikatakan tua. "Di kampungku, umur segitu sudah beranak empat." Impas, Ahsan berhasil membalikkan ucapan gadis itu, wajahnya memerah. Ahsan tersenyum puas. "Aku ini seorang model, semua laki- laki memujaku." "Tapi tidak denganku, Nona. Kau mengerti? Sekarang kembali ke kamarmu, aku mau tidur, bicara denganmu, aku akan terkena serangan jantung." Nahla menatap Ahsan dengan benci, lalu meninggalkan pria itu. *** Pagi pertama menjadi suami istri, tak ada kesan apa pun, keduanya asik dengan dunianya sendiri. Pagi-pagi sekali Ahsan sudah pergi shalat berjamaah ke mesjid. Sebelum berangkat ke mesjid dia sempat melirik pintu kamar Nahla yang terbuka, tapi tak ada sedikit pun tanda-tanda gadis itu akan bangun untuk shalat. Ahsan menghela nafas, tak ada dari wanita itu yang bisa dibanggakannya. Setelah shalat berjama'ah Ahsan menyempatkan diri pergi ke pasar, membeli kebutuhan rumah tangga secukupnya, karena tak ada apapun di rumah itu, selain ranjang dan meja makan. Sesampainya di rumah, Ahsan mendapati Nahla sedang memainkan handphone-nya dengan bosan, mata berbulu lentik itu memandang kedatangan Ahsan dengan helaan nafas lega. "Adakah kau beli makanan? aku benar-benar lapar." Ahsan tak menjawab, tapi mengeluarkan sebungkus nasi goreng untuk Nahla. Gadis itu langsung mengambil dan memakannya tergesa- gesa. "Kau tidak makan?" "Sudah." "Ya sudah," katanya tak peduli. "Cepat habiskan sarapanmu, setelah ini kita perlu bicara," kata Ahsan. *** Mereka duduk berhadap-hadapan. Setelah sarapan, Nahla menyempatkan dirinya mandi terlebih dahulu. Wajahnya kelihatan lebih segar, rambut panjangnya tergerai dan masih basah, sekarang dia mengenakan baju kaos tanpa lengan dan celana pendek di atas lutut. "Kita perlu membicarakan kesepakatan...." Ahsan memulai pembicaraan, peci hitam sudah diletakkannya di atas meja, dia terlihat lebih muda tanpa peci itu. "Oke, apa yang perlu kita sepakati," jawab Nahla sambil menyilangkan kakinya, d**a Ahsan sempat berdesir melihat kaki jenjang putih mulus tanpa cacat itu, tapi dia langsung beristighfar dalam hati. "Pertama, aku ingin mulai saat ini kau mengenakan jilbab saat keluar rumah, dan tak lagi memakai celana jins." "Apa?" Nahla membelalakkan matanya tak percaya, kemudian menjawab, "aku tidak mau." "Kalau begitu silahkan kau pergi dari rumah ini!aku tidak mau orang mencelaku karena pakaianmu." Nahla mendengus, pergi? Belum saatnya. "Oke." "Aku sudah membelikan beberapa pasang untukmu." Ahsan menyodorkan tas belanja kepada Nahla. "Ke dua, aku akan tetap menjalankan peranku sebagai suamimu, termasuk mencari nafkah, jadilah kau istri yang baik, memasak dan membersihkan rumah." "Memasak? yang benar saja, kukuku bisa rusak, bahkan aku tak pernah menyentuh dapur." Nahla semakin tidak terima. "Itu urusanmu, tugas seorang istri harus bisa mengurus rumah dan memasak." "Ya sudah." Nahla memang tak punya pilihan. "Masih ada lagi," "Apa lagi? Semua syaratmu tak ada yang menguntungkanku." "Pernikahan kita sah, tak ada kata perceraian, dengan terpaksa kita akan menjalaninya, kuharap kau mulai mau belajar ilmu agama, aku sendiri yang akan mengajarimu." "Ya ya ya, aku setuju tapi walaupun begitu bukan berarti kita akan tidur bersama dan melakukan ritual suami istri, kan?" Ahsan tertawa, "Apa kau berfikir aku akan tertarik untuk melakukannya? Hubungan tempat tidur butuh keredhaan dan rasa cinta, dan semua itu tak ada pada kita." Nahla mendesah lega, "syukur lah! karena kau sama sekali bukan tipeku," jawab Nahla namun Ahsan tidak peduli. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Ahsan lagi. "Sudah kubilang, aku butuh suami." "Tapi kenapa?" Ahsan tidak mengerti. "Aku lari di hari pernikahanku." Ahsan menyemburkan air minum dari mulutnya karena kaget. "Jadi aku menikahi istri orang?" "Dengarkan dulu, kau selalu memotong saat aku bicara, beberapa jam sebelum akad nikah aku melarikan diri." "Jadi mobilmu yang terperosok dan kau mencari bantuan, semua itu tidak benar??" "Tidak, mobilku sudah ada di luar, dalam keadaan baik." "Ya Rabb." Ahsan menggeleng- gelengkan kepalanya. "Aku harus bersembunyi di sini, semuanya pasti sedang mencariku, supaya aku bisa tinggal di sini, makanya aku harus menikah dengan salah satu di antara kalian." "Tapi kenapa kau begitu tega menfitnahku?" "Aku tak punya pilihan." "Kenapa harus aku?" "Wajahmu cukup lumayan, yang terpenting kau tak tertarik padaku," ucap Nahla santai. "Kau benar-benar gila, ada yang mau menikahimu kenapa kau malah menjebakku." "Calon suamiku itu bahkan cocok menjadi ayahku, membayangkan perut buncitnya membuatku mual." Mereka diam sejenak. "Apa pekerjaanmu?" tanya Ahsan selanjutnya, mengorek informasi lebih dalam. "Aku seorang model, kau saja yang tidak kenal denganku." "Aku tak tertarik membaca sesuatu yang sia-sia, kau model apa?" "Sebuah brand terkenal di Asia." "Apakah kau juga menjadi model pakaian seksi?" "Tentu saja, aku biasa difoto dengan bikini." Nahla begitu santai, Ahsan yang mendengarnya benar-benar tak menyangka. Bikini? Ahsan pusing memikirkannya, sudah berapa banyak mata pria yang menikmati pemandangan itu. Sekali lagi, tak ada satu pun yang bisa dibanggakan dari Nahla, mereka berasal dari dunia yang berbeda. Perlu perjuangan untuk merubah gadis itu ke jalan yang benar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD