Sidang Pertama

1138 Words
Langit bewarna biru tanpa awan. Beberapa burung merpati terbang rendah meninggalkan kandang sang majikan. Sementara, pondok pesantren pagi itu terasa ricuh, bagaimana tidak, seorang wanita tak berjilbab bisa masuk ke area pondok, membawa ransel besar di punggungnya, memakai celana jins ketat seta jaket kulit bewarna hitam. Para santri menyayangkan siapa yang berani memberi izin kepada wanita yang tidak menutup aurat secara sempurna masuk ke sana. Akan tetapi, sebagian lagi kaum Adam di sana berdecak, pemandangan langka ini sayang untuk dilewatkan. Ada tamu tak biasa yang memancing perhatian. Para Ustadz berbisik-bisik, bahkan salah satu di antara mereka menampakkan wajah geram. "Siapa yang mengizinkan wanita itu masuk?" kata salah seorang dari Ustadz pengajar dengan nada marah, matanya mengutuk pemandangan ini. Di sini merupakan Pondok Pesantren khusus laki-laki, membiarkan wanita yang tidak menutup aurat masuk ke lingkungan pondok sama saja mencemari pandangan para santri. Para santri adalah laki-laki terjaga, tidak bebas melihat dunia luar, mereka dikurung di asrama dan tak boleh mengikuti kegiatan yang di pandang sia-sia oleh agama. Ustadz itu adalah Ahsan, dia memberi pengumuman dengan lantang, menyuruh para santri masuk ke kelas masing-masing walaupun jam istirahat belum habis. Matanya menatap tajam wanita itu, dia seperti campuran Timur Tengah dan Eropa, tak sedikit pun rasa kagum di hatinya melihat kecantikan tak biasa itu. *** Suasana ruangan kantor Yayasan mencekam, semua yang hadir di situ berwajah tegang sambil menatap wanita yang sama. Yang ditatap mendongakkan wajah, tak ada rasa cemas dan takut, dia memiliki percaya diri terlalu tinggi, padahal statusnya adalah tersangka hari ini. Gadis itu bernama Nahla, yang mengaku tersesat ke wilayah pesantren, saat ingin meminta bantuan karena mobilnya terperosok kedalam lubang. Dia sudah memakai selendang lebar menutup rambutnya, tapi rambut coklat itu masih saja keluar dari persembunyiannya. Semua mata laki laki dewasa di ruangan itu mengakui, Nahla adalah simbol kecantikan yang sempurna, mata besar dipadukan dengan bulu yang lentik,hidung mancung serasi dengan bibir padat dan terkesan sensual, tubuhnya berlekuk sempurna berisi di bagian yang di butuhkan. Semua mengagumi Nahla sebagai ciptaan Allah yang sempurna, kecuali Ahsan, dia tampak tidak tertarik meneliti wajah perempuan itu. "Saya tidak mungkin melanjutkan perjalanan sekarang, sekarang sudah sore, mobil saya masih terperosok," Kata Nahla, suaranya tegas dan agak bass. Pimpinan Yayasan tampak berembuk, mendiskusikan jalan keluar bagi Nahla, setelah mendengar penjelasan dari wanita itu bagaimana awalnya dia bisa sampai di sini, mereka cukup bersimpati. "Baiklah, kami memahami kondisi anda, Nona, kami akan memberikan tempat menginap selama satu malam ini," jawab laki-laki tua yang tak lain adalah salah satu pemilik pesantren. Diam melirik salah seorang Ustadz yang terlihat tak peduli dan sibuk dengan buku di tangannya. "Ahsan!" "Iya, Ustadz." Ahsan sedikit kaget "Antarkan Nona ini ke Aula, ada kamar sederhana di sana yang cukup layak untuk istirahat ... dan Ahmad, temani Ahsan." Ahsan hanya pasrah, padahal dari tadi dia sangat tidak tertarik berurusan dengan wanita itu, tapi malah dia yang diamanahkan untuk mengantarkan Nahla. Aula jaraknya cukup jauh, sekitar lima ratus meter dari kantor Yayasan, Ahsan dan Ahmad berjalan duluan dan diikuti oleh Nahla beberapa meter di belakangnya. "Mas, Mbak itu cantik banget ya, mirip Katrina Kaif." Ahmad berbisik kepada Ahsan. "Biasa saja, jangan terseret tipu dunia!" jawab Ahsan tegas. "Iyalah, Mas, karena bagi Mas, Mbak Hanum yang paling cantik," goda Ahmad. Ahsan menggeleng-gelengkan kepalanya. Hanum? Sudah lima tahun namanya bertahta di hati Ahsan, tapi dia tak memiliki keberanian mengungkapkannya, Hanum tamatan Kairo mesir, anak semata wayang pimpinan pondok, dia merasa tidak pantas. Tibalah mereka di Aula yang dimaksud, Ahsan mengantarkan Nahla sampai ke pintu kamar sederhana di samping Aula. Baru saja dia beranjak pergi, sang gadis memanggilnya kembali. "Hey! ini gelap, tidak ada lampu sama sekali." Ahsan mendengus malas. "Tunggu di sini!" Ahsan pergi meninggalkan Nahla, mencari bola lampu ke asrama, ketika ingin kembali ke Aula, Ahmad mengeluh sakit perut dan memohon izin tidak ikut menemani Ahsan. Ahsan terpaksa pergi sendiri, tak ada satu pun orang yang bisa diajak untuk menemaninya, semua orang sibuk dengan kegiatan ba'da magrib yang diadakan di dalam mesjid. Nahla masih menunggu di pintu kamar, terlihat bosan. Selendangnya sudah teronggok di atas tas ranselnya, rambut yang tadi dikuncir kuda, sekarang sudah tergerai sampai ke pinggangnya. "Ini!" Ahsan memberikan bola lampu tanpa melihatnya, celana ketat, jaket yang tak kalah ketat tersebut sangat merusak pemandangan Ahsan. "Yang benar saja, Anda menyuruh saya memasangnya sendiri?" Nahla terlihat kesal, laki-laki itu menganggap dia seperti penyakit menular, raut tidak suka itu begitu tampak di wajahnya. Ahsan tak menjawab, tanpa pikir panjang dia masuk ke dalam kamar, dia mendengus kesal, menarik sebuah meja dan meletakkan kursi di atasnya supaya dia bisa memasangkan bola lampu. "Tolong pegangi kaki kursinya!" perintahnya pada Nahla, gadis itu mendecih mendengar kesinisan Ahsan, pria itu sangat sombong, padahal dia tidak ada apa apanya untuk Nahla. Beberapa saat kemudian, ruangan kamar terang benderang, baru saja Ahsan menggerakkan kakinya untuk turun, salah satu kaki kursi itu berderak patah, Ahsan terjatuh dalam kondisi tidak siap, yang paling buruk menimpa Nahla dan terhempas ke atas kasur, mereka terkesiap, bibir bertemu bibir, dan tangan Ahsan berada di d**a Nahla, baru saja mereka berniat bangkit sebuah suara istighfar mengagetkan mereka.. "Astaghfirullahal aziim ...." Mereka sama-sama menoleh, lalu berdiri dengan cepat, sedangkan pimpinan pondok menatap mereka dengan garang. Pimpinan pondok sengaja ke aula ditemani beberapa orang Ustadz untuk mengantarkan bola lampu dan selimut, tapi yang mereka lihat saat ini benar-benar memalukan, semua orang di sana sudah melihatnya terang-terangan, seorang guru terpuji berbuat maksiat berduaan dalam kamar dengan posisi Ahsan berada di atas dan Nahla berada di bawah. Ahsan mendekati kepala pondok, dia harus membela diri. "Ini tidak seperti yang terlihat, Ustadz! kami perlu menjelaskan semua," kata Ahsan cemas , pimpinan pondok memandangnya marah, Ahsan tau setiap ucapannya takkan lagi di percayai "Nona, tolong Anda jelaskan apa yang terjadi, supaya semua yang ada di sini tidak salah paham." Ahsan memandang Nahla, gadis itu adalah harapan terakhirnya saat ini. Yang dipandang menunduk, Ahsan heran, ekspresi yang tidak cocok dengan Nahla, dia menunduk dalam seperti akan menangis. "Awalnya saya sudah melarang Ustadz ini untuk masuk ...." "Itu tidak benar." Ahsan memotongnya dengan marah, kenapa wanita itu berbohong? "Beri dia kesempatan bicara!" perintah Pimpinan pondok berteriak tak kalah marah. "Tapi, beliau memaksa masuk dan ... dan mengancam saya jika tak menuruti kemauannya... maka ...." Nahla memejamkan matanya, dia terpaksa menjadi orang jahat untuk menyelamatkan hidupnya. "Kau berbohong, wanita itu berbohong, astagfirullahal aziim! yang dikatakannya semua bohong." Ahsan menjerit frustasi, menunjuk wajah Nahla dengan sangat marah. "Malik, carikan mahar, dua orang saksi, minta Ustadz Ma'rif untuk datang... Aku akan menghubungi wali gadis ini." Tegas tak terbantahkan, Ahsan tak percaya, wanita itu tega memfitnahnya setelah kebaikan yang diberikannya, nasibnya sudah di tentukan, pimpinan pondok sudah menjatuhkan hukuman yang sama sekali tak diinginkan Ahsan. Ahsan memandang benci gadis itu, namanya sudah tercoreng, masa depannya sudah hancur, penyebabnya adalah Nahla, yang mengaku tersesat di pesantren, bahkan pengakuan wanita itu yang mengatakan dia sedang tersesat belum tentu kebenarannya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD