B A B • 3

1146 Words
Ruangan berukuran 4 meter persegi itu seketika senyap setelah pelarian Arslan. Wanita bercadar itu kemudian melirik ke Ridwan. “Dia ... kenapa, Om?” “Saya juga tidak tahu, Sha.” Ridwan kembali duduk di tempatnya, dan wanita itu, Alisha, juga duduk di sofa hadapan Ridwan. “Kamu masih mau melanjutkan ini, Alisha? Kalau pendapat saya, saya sangat tidak setuju kamu menikah dengan pria seperti itu.” Ridwan menyodorkan iPad pada anak atasannya itu. “Kamu bisa melihat, selama 4 tahun ini, saya mencari data-data kehidupan Arslan, dan ... tidak ada yang bisa diharapkan dari pria seperti itu. Saya khawatir tentang masa depan kamu, juga masa depan perusahaan ini kalau kamu tetap kekeuh menikah dengan dia.” “Nggak tau, Om,” ucap Alisha pelan. Ia menatap sendu layar di hadapannya. Bola mata pekatnya terus bergerak, membaca setiap daftar keburukan Arslan di layar. “Tapi ... aku merasa yakin dengan pernikahan ini.” Alisha dengan ketenangannya, memandang pria yang sudah ia anggap sebagai ayah sendiri. Ridwan, jika sudah seperti ini, tidak bisa memberikan bantahan apa pun *** Butuh hampir 3.5 tahun bagi Arslan menjalani terapi untuk melupakan traumanya saat kecil, tetapi saat melihat wanita tadi, semua pengobatan yang ia lakukan dulu, seperti sia-sia. Arslan jauh lebih terpuruk dari sebelum ini. “Apa perlu saya panggilkan dokter, Pak?” tanya Edy, yang ikut duduk di samping Arslan. Kali ini, ia tidak menempatkan dirinya sebagai bawahan, tetapi sebagai teman. Arslan menopang dahinya dengan kedua tangan. Tidak bisa berpikir, selain berusaha menghilangkan bayangan-bayangan buruk dulu. “Saya harus apa, Ed? Saya tidak bisa menolak tawaran dari Ridwan itu, tapi ... bagaimana caranya menikah? Untuk melihat wanita itu saja, saya tidak bisa.” Arslan semakin putus asa, karena di sisi lain, ia benar-benar dalam kondisi tidak bisa menolak tawaran menggiurkan dari Ridwan. Perusahaan besar, tanpa persaingan antara keluarga. “Saya pikir, trauma Anda akan membuat Anda mundur dari tawaran itu.” Edy terkekeh ringan. “Ternyata, Anda lebih cinta pada kekuasaan, daripada diri sendiri.” “Bagaimana saya bisa menahan diri, Ed? Melihat wanita itu, saya tidak bisa berpikir sama sekali. Saya hanya ingin lari saat itu juga.” Arslan kian gusar. “Tapi, saya juga harus menerima tawaran ini, tidak bisa menolak.” “Ya, bagaimana, Pak? Mustahil Anda tidak bertemu calon istri Anda sebelum pernikahan.” Edy sama sekali tidak bisa membantu untuk urusan ini. “Ya. Sebelum pernikahan. Saya cuman perlu tidak melihat wanita itu sampai hari pernikahan, setelah menikah, saya tidak mau peduli lagi dengan wanita itu.” Arslan kembali bersemangat tiba-tiba. Ia melirik Edy detik berikutnya. “Hubungi dokter saya.” *** Kedua kalinya, Arslan kembali menemui Ridwan. Kali ini, di sebuah restoran, karena insiden beberapa hari lalu, Arslan sedikit segan untuk bertemu langsung di kantor. “Saya menerima perjodohan ini,” ucap Arslan tenang. “Ah, baik. Kebetulan, atasan saya juga sudah menerimanya.” Ridwan kemudian menyodorkan iPad pada Arslan. “Ini beberapa data tentang atasan saya, mungkin Anda perlu membacanya.” “Tidak perlu sekarang. Kirim saja ke email, nanti saya bisa membacanya,” kilah Arslan, dengan senyum tipisnya. “Acara pernikahannya kapan?” “Atasan saya menyarankan dua pekan dari sekarang, tapi itu bisa disesuaikan dengan jadwal Anda.” “Oke, saya setuju.” Arslan tidak betah hidup di bawah berlama-lama. “Tapi, Anda perlu tahu.” Arslan berdeham sedikit untuk melancarkan tenggorokannya. “Saya sedikit trauma dengan seseorang yang berpakaian terlalu tertutup dengan atasan Anda. Saya boleh request sedikit? Saya hanya mau bertemu atasan Anda—ehhem—maksud saya calon istri saya di hari pernikahan.” Ridwan mengetik cepat di layar iPad-nya, kemudian mendongak. “Boleh.” Ia kembali menunduk sebentar untuk membaca beberapa pesan di gawainya. “Pernikahannya juga berlangsung sesuai syariat Islam. Anda hanya bisa menemui calon istri Anda setelah acara pernikahan.” “S-sebentar. Bagaimana?” Arslan menyunggingkan senyum ragu. “Calon pengantin wanita tidak akan menunjukkan dirinya di depan publik saat acara pernikahan. Anda hanya bisa melihatnya setelah acara benar-benar selesai,” jelas Ridwan. Arslan mendengkus geli mendengar jawaban seperti itu. “Aneh, ya? Itu seperti saya menikah dengan diri sendiri.” Ia tertawa ringan, yang dibalas senyum kaku oleh lawan bicaranya. “Tapi, tidak masalah. Saya terima.” “Baik.” Ridwan kembali memainkan jemarinya di atas layar selama beberapa detik. “Omong-omong, kenapa atasan Anda itu menerima perjodohan ini dengan sangat mudah? Maksud saya, saya saja masih sedikit ragu ... tapi atasan Anda—calon saya maksudnya ....” “Atasan saya, Alisha namanya, sangat patuh pada mendiang orang tuanya. Termasuk untuk perjodohan ini, Alisha sama sekali tidak menolak.” Arslan tersenyum tipis mendengarnya. Ia pikir, itu hanya alasan palsu—well, zaman sekarang, apa masih ada anak yang patuh pada orangtuanya? Apalagi yang sudah meninggal. Arslan lebih yakin, wanita itu menerima perjodohan ini dengan cepat karena ketampanannya. Yeah, anugerah Arslan ini cukup membantu untuk menarik kekuasaan ternyata. *** Sebagai satu-satunya penerus perusahaan terbesar di Indonesia, Arslan berpikir pernikahannya akan dilangsungkan 7 hari 7 malam, dengan menyewa 1 gedung hotel berbintang lima, ribuan tamu, dan hiasan yang mewah. Namun, tidak. Pernikahan dilangsung di rumah Alisha, dengan sangat sederhana. Bahkan, tamu yang datang mungkin kurang 200 orang. Namun, itu sama sekali bukan masalah. Arslan malah lega, karena tidak banyak orang yang menyaksikan dirinya ijab kabul sendiri—tanpa pasangan, dan juga berdiri sendiri menyambut para tamu. Ia hanya perlu menahan keramahan dan kesabarannya selama 6 jam, lalu, setelah semua tamu perlahan pergi, menyisakan Edy dan Ridwan. Arslan lega. Ridwan, sejak acara berlangsung—atau mungkin sejak Arslan menerima perjodohan ini, ia lebih jarang tersenyum. Namun, ia tetap sopan pada Arslan yang kini juga menjadi atasannya. “Alisha ada di kamarnya. Apa perlu saya antar?” tawar Ridwan. “Ini baru pertama kalinya Anda di sini, jadi mungkin perlu saya kenalkan bagian-bagian rumah ini.” “Tidak perlu!” Arslan mengangkat sebelah tangannya. Kemudian membuka satu-persatu kancing jas hitamnya. “Saya bisa mengurus semuanya. Anda bisa pergi.” Ridwan tidak langsung menjawab. Ia terdiam selama dua detik, kemudian menunduk. “Baik, Pak. Saya permisi.” “Hm.” Arslan mengangguk sekali, kemudian melepas jasnya. Setelah ia melepas dasinya, ia melirik pada Edy yang sedari siang terus mengawasinya. “Kamu juga, boleh pergi.” “Anda yakin, Pak?” tanya Edy, ragu. “Maksud saya ... Anda? Wanita itu?” “Apa?” Arslan membalas sengit. “Siapa yang mau tinggal di sini? Saya juga mau pulang. Bayangkan ketemu wanita itu saja, saya malas.” Arslan melempar jasnya pada Edy. “Kunci mobil?” Arslan menyodorkan telapak tangannya, dan Edy segera memberikan apa yang bosnya minta. “Saya mau mampir ke kelab. Kamu langsung ke rumah!” “Baik, Pak.” Arslan keluar dari rumah tersebut, langsung menuju mobilnya, dan meninggalkan pekarangan. Pernikahan? Seorang Arslan tidak bisa terikat hanya karena sebuah pernikahan. Ia akan tetap jadi seorang yang bebas, tanpa kekangan siapapun, termasuk istrinya. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD