Meet Hagia and Sophia

1318 Words
[Hagia] "Happy 35, Hagia! May true love catch you up this year ahead. Stop being frigid, go find out a sexy hot wifey. Dan sebenarnya, lo tinggal jentikkan jari, cewek-cewek bakalan berebut deketin lo." Itu omongan Marcel, penuh provokasi yang diamini oleh Mario, Reno, dan Randy, empat orang sahabatku. Malam ini, kami sedang merayakan ulang tahunku di sebuah bar shisha. Komentar mereka makin lama makin membuat telingaku sakit, sementara asap shisha membuat mataku semakin perih. Aku menduga, mereka sudah lama menyimpannya dan sekaranglah saatnya mencurahkan uneg-uneg itu. Seharusnya, pesta ulang tahun membuatku bahagia. Aku lelaki di pertengahan tiga puluh dan berada di puncak karir, apalagi yang kubutuhkan? Seperti biasa aku biarkan mereka menikmati waktu melakukan itu semua padaku. Ocehan mereka tentang perempuan tidak pernah kuanggap serius. Karena kenyataannya, tidak pernah ada perempuan yang serius apalagi tulus mencintaiku. Mereka mencintai uang dan statusku. "Nggak perlu jatuh cinta, Gi. Kalau lo nggak mau, ya nggak usah dipaksain. Biar semua berjalan dengan natural, as long as you have someone to warm your bed," ucap Randy. "Nah bener tuh, one with big boobs and sexy butt, Bro!" tandas Reno sembari mengerlingkan matanya ke arah pelayan bar berpakaian minim yang sejak tadi mondar mandir di depan meja kami. "Dan kalian pikir big boobs, sexy butt sudah cukup? Without beauty face, brilliant brain, and the most important thing to me is her behavior!" tukasku memotong obrolan mereka. "Ya, itu syarat utama kalau lo niat nikah lagi, Bro! Istri kudu dipamerin di depan umum. Masak iya kita sembarang comot yang jelek, bodoh, dan tidak punya etika," ucap Mario menanggapi. "Cewek yang masuk kriteria beauty, brain, behavior, plus pintar masak, setia dan tulus itu cuma Natasha. Which is dia adik gue yang udah terlanjur di-taken Mario. Lagian masak gue harus terlibat skandal incest. No way!" Aku bergidik, yakin raut wajahku menunjukkan kengerian akibat ucapanku barusan. "Ah, elah, Bro! Emang cuman adik lo doang yang punya kriteria itu? Masih banyak cewek di dunia ini! Lo-nya aja yang males nyari. Baru kecewa sama satu orang langsung memutuskan mundur dari dunia persilatan. Nggak lo banget, Bro! Masak Hagia Putra Dewangga, CEO cemerlang of the year kalah sama urusan cewek? It's not you, Man!" Kalau Marcel yang bicara, ucapannya selalu bisa langsung masuk ke otakku. Aku tidak tersinggung, tapi egoku mulai gelisah. Menanyakan kemampuan, kecerdasan, dan kewarasanku. Pesta kecilku tidak berlangsung lama. Sebelumnya aku sempat bilang kalau besok aku ada meeting penting dari pagi dan setelahnya akan langsung terbang ke Istanbul, sehingga aku keberatan jika kami terus berada di bar sampai lewat tengah malam. Aku butuh istirahat dan waktu yang cukup untuk mempelajari proposal bisnis yang akan kulakukan di Turki. Ekspansi ke luar negeri bukan pertama kali kulakukan. Jaringan Royal Mulia Hotel sudah ada di beberapa negara Asia, dan Turki menjadi pilihan untuk langkah selanjutnya ke pasar Eropa. Dalam perjalanan pulang ke hotel (aku memilih tinggal di salah satu hotel milikku sejak bercerai dengan mantan istriku), aku diam merenungi ucapan sahabat-sahabatku. Sudah hampir delapan tahun aku menduda. Menikah di usia muda, 25 tahun dan bercerai dua tahun setelahnya, membuatku terjebak dalam situasi romansa yang sulit hingga saat ini. Aku melihat masa itu sebagai titik terendah dalam hidupku. Mengenal Cheillomitha, artis belia yang sedang naik daun, dan jatuh cinta pada pesonanya. Pada parasnya yang cantik, kulitnya putih bersinar, rambut bergelombang yang selalu dikibaskan dan itu membuatku hampir mati karena cinta. Aku jatuh dalam pelukan tubuh seksinya, ciumannya yang menggelora, serta cintanya yang begitu ambisius. Tentu saja hal terakhir itu menjadi penyebab keterpurukanku. Hati Cheillomitha tidak bisa puas tercukupi hanya dengan cinta dariku saja. Ia selalu membutuhkan kehadiran lelaki lain untuk memenuhi hasratnya dan ambisinya. Bukan hanya satu, dan yang paling buruk dari semuanya, ia memilih Elfaraz Mirza! Orang itu selalu bersaing menguasai apa yang kumiliki sejak kami masih sama-sama mengenyam ilmu bisnis di Stanford University. Dulu kukira aku bisa bersahabat baik dengannya, ternyata dia hanya penipu ulung yang mencari keuntungan pribadi. Hati manusia benar-benar tidak bisa ditebak dari penampilan luarnya saja. Yah, kalau dipikir-pikir, mereka berdua sangat cocok dan serasi. Sama-sama pengkhianat, ambisius, dan oportunis! Di dunia ini tidak ada perempuan tulus. Mungkin hanya ibuku dan adik perempuanku saja, karena keduanya perempuan dari spesies yang berbeda, mereka langka. Lainnya? Serupa dengan Cheillomitha, matrealis sejati dan hobi selingkuh. Aku menolak mentah-mentah pendapat Randy tadi. Someone to warm my bed, huh? Kalau aku butuh seseorang untuk menghangatkan ranjangku, akan kusewa gadis panggilan yang tidak merepotkanku dengan tuntutan tunjangan cerai serta harta gono-gini. Tapi sementara ini, aku belum membutuhkan siapapun. Aku tidak butuh perempuan, pekerjaan sudah cukup membuatku lelah. * [Sophia] Lembar-lembar tagihan selalu bikin pusing! Pekerjaan apa lagi yang harus aku jalani supaya bisa menutup semua tagihan ini? Baba, maafkan, aku bukan anak yang cakap dalam berbisnis. Bolehkan aku menyerah dan meninggalkan semua beban ini? Maaf, Baba, aku anak yang tidak berbakti. Menganggap peninggalan Baba, usaha yang dulu Baba rintis dengan susah payah sebagai sebuah beban berat. Dan Anne, maafkan aku. Aku bukan anak yang baik, yang sanggup menggantikan peran Anne untuk Serhan dan Salma. Bisakah kalian hidup kembali dan kita berkumpul bersama seperti dulu lagi? "Sophia?" Pintu ruang kerjaku terbuka, itu pasti Nene Yasmin yang melihat lampu masih menyala terang. "Ya, Nene. Kau butuh sesuatu?" "Mengapa kau belum tidur? Besok pagi ada setumpuk pekerjaan yang harus kau lakukan, dan kau butuh istirahat yang cukup, Sayang!" Nene Yasmin selalu saja cerewet, tapi itu karena ia sangat menyayangi kami, aku dan adik-adikku. Nene Yasmin adalah nenek dari pihak ibuku. Ibuku, yang kupanggil anne, adalah perempuan Indonesia tulen, sebuah negara yang belum pernah aku kunjungi. Dulu, Anne bercerita tentang keindahan negerinya dan kerinduan pada kampung halamannya di Bogor. Anne mendapat beasiswa belajar di kampus di Turki, itulah awal perjumpaannya dengan Baba. Kisah romantis yang berujung pernikahan, dan Anne memilih menjadi warga negara Turki setelahnya. Aku dan adik-adikku tidak pernah bertemu langsung dengan keluarga di Indonesia. Nene Yasmin dan Büyük Imran, orang tua ibuku, hanya kami jumpai melalui foto dan telepon saja. Untunglah sekarang teknologi sangat membantu, aku mulai mengenali wajah saudara-saudara Anne. Berkomunikasi dalam bahasa Inggris sepatah-sepatah, dan bahasa Indonesia yang belum mahir kukuasai. Delapan tahun lalu, Baba dan Anne pergi menghadiri seminar bisnis perhotelan. Namun naas, di hari kedua terjadi kecelakaan beruntun yang menyebabkan aku dan adik-adikku menjadi yatim piatu dalam waktu satu minggu. Anne tewas di tempat kejadian, Baba yang saat itu kondisinya kritis, harus menyerah dan menyusul Anne tepat setelah satu minggu kepergiannya. Kata orang, begitulah cinta sejati, sehidup semati. Tapi bagaimana dengan kami? Tiga anak yang masih belum dewasa. Keluarga Baba tidak begitu memedulikan kami. Mereka menyesali keputusan Baba menikahi Anne, dan menolak gadis pilihan Nene Aynur, ibunya Baba. Syukurlah, Nene Yasmin tergerak menolong kami, cucu yang tidak pernah berjumpa dengannya. Atas izin Büyük Imran, Nene Yasmin datang ke Istanbul, menemani ketika kami menjalani masa berduka, dan tak terasa hingga kini, sudah delapan tahun Nene Yasmin tinggal di sini. Beliau sempat pulang sebentar ke Indonesia ketika Büyük Imran meninggal, dua tahun lalu. Nene Yasmin masih di ambang pintu, menunggu aku menuruti perintahnya. "Sedikit lagi, Nene. Aku harus segera menyelesaikan pekerjaanku yang satu ini. Menunda pekerjaan berarti menambah beban di masa depan, kan?" "Ah, kau gadis yang gemar membantah! Aku tidak mau kau terlalu lelah lalu jatuh sakit, Sophia!" Kali ini Nene Yasmin benar, dan aku tidak bisa membantahnya lagi. Kalau aku sakit, siapa yang bekerja mencari uang untuk kehidupan kami? "Ya, Nene. Lihat, aku merapikan semuanya dan menyusulmu tidur." Nene Yasmin mengacungkan ibu jarinya padaku, "Anak baik. I am so proud of you!" Ketika kami meninggalkan ruang kerjaku dan hendak ke kamar kami, bel pintu berbunyi. Seingatku, tidak ada penghuni hotel kami yang masih berada di luar. Tidak ada pula calon penghuni yang memesan kamar dan akan datang di tengah malam ini. Hotel kami tidak buka 24 jam, karena tidak ada karyawan yang mampu bergantian jaga. Sejak dulu Baba menerapkan jam malam bagi penghuni dan calon penghuni, agar kami semua dapat tenang beraktifitas keesokan harinya. Jadi, siapa yang datang bertamu? *****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD