"Sudah makan, tadi ... mm, sekarang? Lagi keluar sama teman-teman. Iya, nanti Brian segera pulang. Iya, Brian hati-hati ... oleh-oleh? Enggak usah ... ok, terserah."
Brian sedikit menggigil. Tidak biasanya Surabaya sedingin ini. Makanya, dirinya tadi hanya memakai kaos hitam yang tidak terlalu tebal tanpa membawa jaket, karena biasanya Surabaya seperti bertetangga dengan matahari saking panasnya.
"Bu ... sudah dulu, ya? Brian mau gabung sama teman-teman. Brian telepon lagi kalau sudah sampai rumah. Bye!" sela Brian dan ia pun memutuskan telepon secara sepihak.
Terkadang, ibunya membuatnya tidak nyaman. Perlakuan ibunya seperti tidak pernah berubah dari dirinya duduk di bangku kanak-kanak, sampai sebesar sekarang. Itu, begitu mengganggunya. Dia pikir, dengan ibu dan ayahnya yang keluar kota untuk melakukan perjalanan bisnis, dirinya akan bisa bebas. Kenyataannya, ternyata sama saja. Oke ralat, setidaknya dirinya bisa terhindar dari tatapan sinis dan tuntutan yang tidak masuk akal sementara waktu dari sang ayah.
Brian, kemudian menatap sebuah tempat yang ada di depannya. Bangunan tempat di mana beberapa waktu tadi dirinya ada di dalam sana. Ya, harusnya seorang pelajar tidak diperbolehkan ada di sana, namun tidak dengan jika dirinya memiliki banyak uang dan pengaruh. Tempat dengan pencahayaan minim, suara musik kencang, serta minum-minuman penghilang kewarasan bisa dengan mudah mereka masuki bahkan miliki.
Sepertinya, kali ini Brian harus mendengarkan apa yang ibunya tadi bilang. Pulang lebih awal. Entah, karena apa? Mungkin perasaannya saja sekarang yang aneh atau memang dia sudah bosan dengan semua. Mungkin, sebenarnya dia hanya ingin menunjukkan pada dunia, jika dia sudah dewasa. Itu saja, dan sekarang ia hanya ingin pulang.
Brak!
Begitu Brian memutar tubuhnya, pria itu langsung diperlihatkan dengan ponselnya yang sudah terbagi menjadi dua bagian di bawah sana. Ponsel yang baru dibelinya dua minggu yang lalu, tergeletak mengenaskan dengan satu lagi yang memiliki tampilan sama dengan yang dimilikinya. Entah mempunyai kekuatan sebesar apa manusia yang menabraknya ini?
"Hati-hati, dong!"
Brian terkejut sekaligus heran. Bukankah dirinya yang seharusnya meninggikan suaranya? Pria itu menaikkan salah satu alis saat dia tahu ternyata yang ada di hadapannya adalah seorang wanita.
Bibir Brian berkedut menahan tawa begitu melihat penampilan unik manusia asing yang tadi menabraknya. Eyeshadow hitam dengan warna bibir yang senada, memakai rambut palsu, dan celana kekurangan bahan. Itu membuat bibirnya gatal haus akan berkata kasar. Namun, tidak. Brian, tidak seburuk itu untuk langsung mengomentari penampilan wanita, yang apalagi tidak dikenalnya.
Brian berdehem. "Hey, tunggu dulu ... bukannya kamu yang nabrak aku, tadi?" Dia bahkan masih berpijak pada tempatnya semula.
Si gadis malah berkacak pinggang. "Lo tuh yang harusnya tanggung jawab! Gue gak mau tau dan gak mau denger alasan apa pun!" serunya tanpa sungkan.
Tanpa berkata apa-apa, Brian menunjuk ponselnya yang mungkin tidak bisa lagi digunakan. Dia harap gadis itu akan segera mengerti.
"Udah gue bilang, kan? Lo budek atau apa! Gue gak mau tahu! Lo, di sini yang salah pokonya! Gue gak peduli sama ponsel milik lo itu!" Gadis itu masih mempertahankan egonya.
Brian memijat keningnya. Sebenarnya bukan hal yang sulit untuk sekedar memberi gadis itu uang atau mengganti ponselnya, walaupun kenyataannya mungkin tidak ada toko elektronik yang buka pada jam segini. Namun, dia juga tidak bisa membiarkan gadis aneh itu seenaknya sendiri. Jelas-jelas gadis itulah yang menabraknya. Bisa jadi, kan ini semua hanya trik kejahatan baru?
"Lagi pula, kenapa berdiri di sini, si! Jangan sok kegantengan, deh! Lo cari korban ya, pasti!" Gadis tadi tiba-tiba mendekat mengendus tubuh Brian. "Tuh, kan ... ini tuh bau alkohol! Lo orang jahat, pasti!"
Brian melangkah mundur. "Kamu ngomong apa sih? Kayaknya, kamu deh yang mabuk?"
"Enak aja!" Gadis itu kemudian mengibaskan tangannya. "Gimana? Mau ganti rugi gak? Kalau gak mau, kita bawa urusan ini ke kantor polisi!"
"Ok! Kita ke kantor polisi sekarang," jawab Brian enteng. Karena, tentu saja dia juga tidak merasa salah.
Gadis itu diam beberapa saat, namun kemudian berjalan mendahului Brian dengan sengaja menabrak bahunya terlebih dahulu. Benar-benar tipe perempuan yang suka mencari gara-gara.
Untung saja kesabaran Brian setebal dompet ayahnya. Jadi, tak masalah gadis itu membuat gara-gara kepadanya. Dia hanya ingin gadis itu mengaku kalau dirinya salah, itu saja sebenarnya. Entahlah.
Namun, belum setengah perjalanan gadis tadi tiba-tiba berhenti. Ia berbalik menatap Brian dengan tanpa ekspresi.
"Kenapa?" tanya Brian tanpa suara. Akan tetapi, manusia di depannya, malah diam saja sembari memainkan ujung jarinya.
Brian berkacak pinggang, memejamkan mata, sembari menghembuskan napas lagi. "Oke, ikut aku. Aku ganti." Persetan dengan gadis itu yang sebenarnya berniat menipunya. Brian, hanya ingin segera pulang. Mungkin saja, gadis itu baru menyadari, akan panjang urusannya dengan dia yang berpenampilan aneh seperti itu.
"Tunggu, dulu ... lo enggak sedang mau ngerjain gue, kan?" telisik si gadis.
Langkah Brian terhenti. Bukankah seharusnya itu kata-katanya?
"Terserah, kamu mau aku ganti rugi atau enggak? Kalau mau ayo ikut aku, kalau enggak ya uda urusan kita selesai sampai di sini," ujar Brian mulai tersulut emosi.
Gadis itu terlihat menggerutu, namun pada akhirnya dengan enggan menganggukkan kepala, juga.
Setelah menghubungi dan memaksa kenalan Brian untuk membuka toko penyedia elektronik resmi, akhirnya dia mendapat dua ponsel untuk menggantikan tragedi tadi.
"Sudah?" Brian menyerahkan ponsel bermata tiga keluaran terbaru yang sama persis seperti yang dimilikinya. Namun, gadis di depannya tak kunjung mengambilnya dan malah hanya mengerjapkan mata menatapnya. "Kenapa lagi?" tanyanya tidak sabaran.
"Mau enggak? Aku sudah susah payah tadi menyuruh orang membuka satu mall hanya untuk ini," gusarnya mengayunkan ponsel yang dari tadi hanya dipandangi oleh calon pemilik ponsel tersebut.
"Lo tuh siapa sih, sebenarnya?"
Brian membuang napas, enggan menjawab pertanyaan tidak penting dari gadis itu.
"Kamu, mau ambil ini atau enggak?" ulangnya ketika melihat si gadis yang masih berdiam diri.
Melihat gadis tadi masih tetap diam di tempatnya, Brian mulai bersuara kembali. "Mau apa lagi?"
"Ehm ... gue enggak tahu jalan," lirihnya sambil mengambil ponsel yang diayunkan Brian.
"Ha?"
"Gue enggak tau jalan!"
Brian menarik gadis itu mendekat, sebab mendadak turun hujan deras. Tentu saja buru-buru ia lepaskan, karena mendapat pelototan tajam.
"Kamu ngomong, apa?" tanya Brian lagi, karena suara gadis tadi teredam oleh suara hujan.
"Gue, enggak tahu arah jalan pulang!"
"Terus?"
"Karena lo tadi buat salah sama gue. Lo harusnya juga antar gue, dong," lanjutnya.
"Ha? Apa?" Brian tidak salah dengar? Mengantarnya pulang, setelah memberi ganti rugi yang harusnya bukan tangung jawabnya?
Si gadis menarik tangan Brian untuk segera melipir mencari tempat berteduh. Gadis itu, kemudian mengibas-kibaskan rambut dan pakaiannya sesampai di depan sebuah toko buku. "Anterin gue ke hotel dekat bandara, ya?" pintanya kemudian, yang bahkan tanpa rasa sungkan. "Gue bukan orang sini, soalnya."
"Udah keliatan dari tampilan sama cara ngomong kamu itu. Kamu orang Jakarta kan, pasti?"
"Ada yang salah dengan cara gue dandan?"
“Sumpah masih perlu aku jelaskan?”
Tanpa menunggu makian yang pasti akan gadis itu keluarkan, Brian berlari menerobos hujan. Namun berbalik saat dirasa gadis tadi tak kunjung juga mengikutinya. "Ayo! Mau diantar, enggak?" tawarnya walau sedikit jengkel, setelah sebelumnya memejamkan mata dan membuang napas membangun kesabaran.
"Ini masih hujan?" Gadis itu membuntuti Brian yang berjalan menuju tempat parkir. "Kita naik motor?" tanyanya, begitu melihat pria di depannya menaiki sebuah motor berwarna merah yang ia ketahui hanya diproduksi lima ratus unit saja di seluruh dunia. Gadis itu tahu, karena diam-diam dia juga tertarik dengan dunia otomotif. Namun, apa gunanya motor mahal, jika hari ini ia akan kehujanan?
"Iya, kenapa?"
"Nanti ponselnya?"
Ponsel ini lebih penting dari apa pun. Dia, tidak mungkin mencari uang lagi untuk sekedar membeli ponsel baru dengan kebutuhannya yang semakin lama semakin banyak ini. Ini ponsel pemberian papanya, jika ketahuan rusak dia tidak ingin mendengar ceramah yang memekakkan telinga.
Brian buru-buru mengambil jas hujan lalu melemparkannya. "Pakai ini," decak Brian mulai habis kesabaran.
"Lo enggak bawa, helm? Percuma motor bagus
kala—"
"Rumah aku dekat dari sini dan aku enggak tahu kalau bakalan ketemu sama orang aneh dan —"
"Oke jalan!" potong gadis tadi sebelum emosinya kembali datang dan dia berakhir sendirian tersesat di jalanan.
"Santai, dong! Mata gue sakit ini, kena air hujan!" teriak si gadis di belakang, begitu motor mulai dijalankan oleh Brian.
Brian, seketika menghentikan motornya, menoleh ke belekang tanpa ekspresi.
"Oke lanjut—“
Gadis itu terdiam saat tiba-tiba topi basah pria di depan kemudi berpindah ke atas kepalanya. Brian pun kembali memacukan motornya dengan kecepatan yang tidak berkurang sama sekali. Berbeda dengan tadi, si gadis hanya diam menyembunyikan pipinya yang entah kenapa menjadi hangat di saat cuaca dingin seperti ini.
"Makasih!" sindir Brian, begitu gadis itu sudah turun dari motornya.
Bukannya merasa malu gadis tadi malah melotot kepadanya. Brian hanya menggelengkan kepala, buru-buru menancapkan gas motor miliknya. Dia hanya membuang napas lelah saat kemudian menyadari jas hujan beserta topi miliknya masih dipakai oleh gadis tadi.
Setelah semua drama yang terjadi, akhirnya Brian bisa pulang ke rumahnya juga. Basah kuyup sudah pasti. Namun, ada sesuatu yang aneh.
Kenapa pelataran rumahnya ramai sekali?
Seorang pria berperawakan hampir mirip dengan sang ayah berjalan buru-buru menghampirinya. Namun, bukan sambutan hangat, senyum ramah atau pelukan kasih sayang, melainkan tamparan keras yang didapatnya. Bahkan Brian sampai terhuyung hampir jatuh, saking kerasnya tamparan yang diterimanya.
"Anak, setan! Darimana aja kamu!"