Bab 4 : Pikiran Negatif

1699 Words
"Sholat subuh, yuk?" Seruan itu menyapa telinga. Aku menggeliat ringan, lalu berbalik menghadap sosok yang baru saja berbisik. Mata terbuka, menemukan kekosongan di sampingku. "Mas?" panggilku seraya bangun dari ranjang. Kosong. Apa suara barusan hanya halusinasi? Ah ya, sekarang aku juga sedang datang bulan. Tidak bisa untuk salat. Tubuh aku baringkan lagi di tempat tidur dengan posisi menyamping ke arah tempat kosong yang biasanya diisi oleh Mas Satya. Ponsel yang sejak kemarin berada di tengah ranjang itu aku raih. Keadaan kamar masih sama seperti kemarin. Kain pel masih di tempatnya. Apa Mas Satya sama sekali tidak pernah pulang semalam? Tidak biasanya dia begini. Aku berharap ada satu notifikasi dari Mas Satya yang menunjukkan di mana keberadaannya, tetap tidak ada. Hape aku banting lagi karena kesal. Kinanti. Nama itu tiba-tiba terbesit dalam pikiran saat mengingat siapa yang menelpon Mas Satya sebelum dia pergi. Bayangan mereka bermesraan membuatku mual, sekaligus geram. Gawai aku angkat kembali. Memilih opsi kontak, dan menelpon nomor paling atas dalam riwayat telepon: Mas Satya. Setelah menekan tombol call, hape aku tempelkan di telinga. Setiap nada sambung yang terdengar membuat jantungku berdetak kasar. Apalagi sampai ke lima kalinya, Mas Satya sama sekali tidak menjawab. Aku lelah. [Mas, lagi di mana?] Pesan itu aku kirim melalui aplikasi perpesanan online berwarna hijau tua. Layar berubah gelap. Aku meletakkannya samping kamar. Telapak tangan bergerak, mengusap tempat Mas Satya tidur. Kenapa sulit sekali menjalani hidup bersama orang yang aku cintai? Seolah-olah, aku tidak pantas untuk merasakan bahagia dalam urusan asmara. Mungkin benar kata Zia, kalau aku sial dalam hal ini. Sebelumnya, Satria yang meninggalkanku tepat hari pernikahan demi mengejar mimpinya sebagai pengusaha sukses. Lalu, Mas Satya yang dulunya menjadi sosok pahlawan menyelamatkan pernikahanku, tetapi kini juga sering menghilang. Bahkan, dia menyembunyikan status kami ini. Dasar cengeng! Hanya meratapi nasib, tetapi air mata malah bergulir menyusuri pipi. Aku segera mengusapnya kasar. Dering ponsel terdengar nyaring, membuatku tersentak. Nama 'My Hubby' membuatku bersemangat untuk menggeser icon hijau, lalu menempelkan layar dingin di telinga. Bibirku menyunggingkan senyum, bahkan sebelum Mas Satya berbicara. "Halo, Dek?" "Mas? Mas di mana sekarang? Kenapa belum pulang?" Tanpa sadar aku memekik. "Lagi kerja-" "Sat, aku mau bicara sama sepupu kamu dong. Boleh ya?" Mataku membulat mendengar suara Kinanti dari telepon. Sekali lagi, aku melirik jam. Pukul setengah lima pagi. Serius mereka kerja sepagi ini? "Bentar, Kinanti!" Kini Mas Satya yang bicara. "Mas nanti datang ke rumah Nenek kok. Nggak bakalan lupa." Dia lalu terkekeh ringan. Sementara aku kecewa lagi mengetahui Mas Satya berbohong demi menyembunyikan status kami. Sepupu? Aku ingin tertawa sakit karena itu. "Iya, Mas. Assalamu alaikum ...." Sambungan aku tutup sepihak. Sulit sekali menjelaskan perasaan buruk yang mulai menguasai diriku. Kecewa karena Mas Satya tidak pernah pulang; kesal Mas Satya bersama wanita lain; dan marah karena Mas Satya berbohong lagi. Semua perasaan buruk itu sudah menumpuk tinggi, sampai aku bingung harus mengeluarkannya bagaimana. Ingin marah, tapi siapa yang peduli? Mau berteriak, ah itu jelas tidak akan membantu. Lalu, aku hanya bisa terdiam dengan satu-satunya opsi di sini: menangis tanpa suara. *** Teh hangat satu gelas, dengan cepat aku habiskan. Lalu memukul perut ringan. 'Jangan sakit lagi. Aku mau kerja!' Begitu pinta tanpa suaraku pada perut yang masih saja sedikit nyeri. Tambahan panas matahari yang menyengat, tubuhku terasa gerah dengan beberapa bulir keringat di wajah. Penyiksaan yang sempurna. "Dina!" Aku menoleh pada Lisa yang sibuk memeriksa isi tasnya. "Inget! Kamu nanti jangan pulang terlambat! Jangan terlalu capek! Dan jangan bikin repot orang! Saya mau pergi, nanti Zia yang gantiin saya." Begitu deretan perintahnya, yang aku yakini salinan dari Mas Satya. "Iya, Bu." Wanita itu kemudian berlalu. Kemudian menghentikan taksi dan benar-benar hilang dari pandangan. "Assalamualaikum!" Aku terlalu fokus pada Lisa, sampai salam tersebut membuatku terkejut. "Wa-alaikumussalam." Aku tersenyum kikuk pada Milka yang tersenyum lebar. Masalah insiden kemarin, dia tidak berpikir aneh-aneh kan? Atau ... dia tidak cerita pada orang lain, kan? Aku lupa dengan fakta bahwa ada orang lain yang memergoki hubunganku dengan Mas Satya. Sebelum masuk toko, Milka menoleh kanan-kiri. "Demi apa, Mbak ternyata udah nikah sama Mas Satya!" Milka memekik tertahan. Dia menjaga suaranya, membuatku bingung. Apa dia tahu rahasia- "Kemarin kan, aku mau laporan sama Bu Lisa masalah anu itu ... astagfirullah, ya Allah-" Milka menengadah dengan ekspresi bersalah, tetapi sembari tersenyum, "mataku udah terkontaminasi. Tapi nggak papa. Eh, pas aku cerita, Bu Lisa langsung larang aku cerita ke orang lain. Kenapa sih? Kenapa harus disembunyiin? Kan keren banget gitu, Satya si aktor terkenal menikahi Medina Az-Zahra. Wuiiih ... Kalau aku ya, Mbak, udah aku umumin ke seluruh pelosok negeri. Supaya semua orang tau, Mas Satya udah ada yang punya, dan yang lain nggak boleh deketin." "Ish kamu!" Aku menunduk. Pikiranku sama dengan Milka, dan mungkin semua wanita: ingin memiliki suami mereka seutuhnya. Tapi di sini, aku ada yang menahan. "Mbak kenapa nggak publikasikan hubungan Mbak?" tanya Milka lagi. Mungkin karena sudah terbiasa menutupi hubungan, aku jadi lancar mencari alasan bohong. "Aku nggak suka jadi perhatian." Milka membulatkan mulutnya seraya mengangguk-angguk. "Eh, Milka ada di sini? Mau beli apa?" Zia datang tanpa aba-aba. Dia tersenyum hangat selayaknya penjual pada pembeli, tetapi terkesan mengejek. "Ada deh." Milka tersenyum bangga. "Mbak, aku pulang dulu ya. Assalamualaikum!" Milka langsung keluar sebelum kami membalas. "Wa alaikumussalam." "Itu dia kenapa, Din? Kek gesrek-gesrek gitu otaknya." Zia meletakkan beberapa buket bunga di depanku. "Nggak tau." "Ini mau diantar, Din. Kamu bisa antarnya? Kalau nggak bisa, aku sendiri yang bakal antar." "Nggak papa. Bisa kok." Nyeriku sudah berkurang. *** Tempat tidur yang bergerak mengganggu kesadaranku. Sedikit membuka mata untuk melihat sekitar, dan menemukan Mas Satya sudah berbaring di sampingku. Memeluk erat. Tidur ingin aku lanjutkan. Tapi, dicegah oleh sebuah pertanyaan yang membuatku merasa tidak nyaman, namun terlalu malas mengucapkannya. Mengubah posisi, mencari yang nyaman agar bisa tertidur lelap. Tapi (lagi) suara gemuruh ringan ikut mengganggu. Sampai, aku lelah menghindar. "Mas udah makan?" Pertanyaan sederhana ini terus mengganggu, tetapi aku malas mengutarakannya karena masih jengkel dengan Mas Satya. Mata Mas Satya spontan terbuka. Lalu menggeleng samar. "Nggak. Masih kenyang." Aku mengangguk pelan, lalu membelakanginya. Tetap terjaga dengan mata menatap kosong ke depan. Huh, katanya masih kenyang. Tapi gemuruh di perutnya sampai terdengar keras. Aku mendengkus. Aku langsung bangun dan turun dari tempat tidur. Ikat rambut di atas nakas aku pakai, lalu mencepol rambut secara asal. Sekuat bagaimanapun aku mencoba tidak peduli, tetap saja gagal. Bahkan, meski dalam keadaan kesal pada Mas Satya, aku tetap tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Saat akan ke dapur, mataku menangkap bayangan benda pipih berwarna hitam di samping bantal Mas Satya. Ponselnya. Jemariku saling meremas, bimbang. Tapi di sisi lain aku penasaran dengan isi benda itu. Bahkan, Mas Satya bisa dengan leluasa mengecek ponselku, jadi, apa salahnya jika aku mengecek sedikit? Kalau Mas Satya tipe setia, seharusnya tidak ada hal aneh di dalam benda itu. Tapi jika sebaliknya ... aku akan semakin sakit hati. Aku harus memastikannya. Mengendap-endap, aku menghampiri sisi Mas Satya. Terlalu mudah, aku menarik benda persegi tersebut. Lalu berlari kecil keluar kamar. Benda pipih itu aku letakkan di atas meja. Sekarang, memanaskan nasi adalah yang utama. Lalu membuat telur dadar. Sambil memasak, aku mengecek ponsel Mas Satya. Tapi sialnya, gawai Mas Satya ini dilengkapi dengan Kata Sandi. Tiga kali kesempatan. Aku hanya boleh mencoba dua kali. Jika gagal, ya harus menyerah. Apa sandinya? Nama lengkap Mas Satya mustahil. Tanggal lahirnya apalagi. Namaku? Bisa saja kan? Karena tidak ada yang tahu bahwa aku adalah istrinya. Mencoba 'Medina Az-Zahra'. Gagal. Aku menggigit bibir bawah bingung. Sisa satu kesempatan lagi. Tanggal lahirku, atau tanggal pernikahan kami? Salah satu dari dua itu seharusnya adalah kata sandi ponsel ini. Coba dua kali saja? Tapi jika gagal untuk ketiga kalinya, ponsel ini bisa diblokir, dan itu akan membuat Mas Satya curiga. Aku secara ragu menekan setiap angka tanggal, bulan, dan tahun pernikahan kami. Lalu tanda centang setelahnya. Gagal lagi. Jadi, seharusnya adalah tanggal lahirku. Aku ingin mencoba lagi dengan penuh kehati-hatian. Namun, sebelum semua angka aku masukkan, ponsel bergetar dengan suara nyaring. Aku nyaris melempar benda ini saking terkejutnya. Kinant! Begitu nama yang tertulis di layar. Aku semakin geram. Apa yang ingin dibicarakan wanita itu jam segini? Dengan telepon tengah malam begini, aku semakin yakin, ada sesuatu dalam ponsel ini. "Dina, itu bau apa?" Aku terkejut lagi, dan kali ini benar-benar kehilangan keseimbangan sehingga ponsel Mas Satya jatuh. Belum sempat mengambilnya, perhatianku diambil alih oleh bau yang tidak enak-bau hangus. Telur dadar! Aku langsung lari masuk ke dalam dapur dan mematikan kedua kompor. Nasi tidak masalah, tapi telurnya ... benar-benar hitam. s**t! Lalu teringat lagi, ponsel Mas Satya tadi tergeletak di lantai. Kembali lagi ke ruang makan, benda itu sudah ada di tangan Mas Satya. Aku membatu di tempat saat dia menatapku tajam-benar-benar marah. "Sejak kapan kamu mulai kepo sama hal pribadi aku, Dina?" Pertanyaan dengan nada dingin itu benar-benar menakutkan. Aku harus meneguk ludah dua kali sebelum menjawab dengan tantangan. "Mas punya rahasia dari aku." "Semua orang punya rahasia, Dina. Dan ini urusan pribadi aku. Kamu nggak perlu ikut campur." "Kenapa? Mas Satya aja bebas tuh, mau apain hape aku. Bahkan, Mas blokir semua teman pria di sosial media aku, aku nggak masalah. Kenapa Mas sampe segininya, padahal aku bahkan nggak bisa buka sandinya." Sejak kemarin, Mas Satya benar-benar membuat tumpukan kesalku semakin menggunung, dan aku pikir sekarang waktunya mengeluarkan semua. "Mas punya rahasia besar, kan, di sana? Apa? Mas punya chat romantis sama Kinanti? Mas sering telponan sama Kinanti sampai tengah malam? Ah atau, Mas punya rencana keluar sama Kinanti tengah malam? Rahasia apa, Mas? Kenapa aku nggak boleh tahu?" "Ini bukan hal penting. Bukan seperti yang kamu pikirkan." Nada suaranya mulai bersahabat. Aku bisa bernapas lega, karena suaranya tadi, aku benar-benar ketakutan dibuatnya. "Bukan hal penting? Tapi kenapa dia sampai telpon tengah malem begini? Urusan kerjaan? Kenapa bukan produser, atau siapapun itu yang telpon kamu? Kenapa harus Kinanti?" "Sayang, jangan berpikiran buruk-" "Gimana aku nggak berpikiran buruk, kalau kamunya aja nggak mau bicara jujur." Aku tanpa sadar menaikkan intonasi suara. Lalu setelah itu, menormalkan ekspresi. Aku harus tenang. "Udah satu tahun kita nikah, Mas. Aku mulai capek main rahasia-rahasiaan kayak gini. Aku udah nggak tau, sampai kapan bisa sabar lagi." Setelah aku mengeluarkan semua unek-unek tadi, aku langsung menuju kamar. Membanting tubuh di atas tempat tidur. Lalu menutup mata. ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD