Semakin Menginginkanmu

1127 Words
El tidak menjawab. Xavier tahu alasan kenapa El tidak menjawabnya karena apa yang ditanyakan sudah mencakup jawaban dari El.   “Aku hanya merasa ingin menyelamatkan Charlotte dari kurungan penyihir jahat itu.”  “Charlotte dikurung penyihir jahat?” tanya Bryan dengan pupil melebar.  “Ibu tiri Charlotte, Bryan.” Xavier membenarkan.  “Oh, haha! Aku pikir Charlotte dikurung penyihir beneran sampai aku berpikir kalau El punya sihir juga. Jadi, ingat film Harry Potter.” Otak Bryan terkadang terlalu naif.  “Apa Charlotte langsung mengiyakan untuk menikah denganmu?” tanya Xavier serius.  “Ibu tirinya pasti memaksanya.”  “Berarti dia tidak mau menikah denganmu kalau tidak dipaksa?”  Sebelah sudut bibir El tertarik ke atas. “Tidak.”  “Tapi kamu tetap menikahinya.” Komentar Xavier.  “Aku sudah memaksanya untuk melayaniku.” Kata El jujur.  Xavier yang lebih berempati dan sudah berkeluarga lebih dari tujuh tahun lamanya, tahu dan mengerti kalau yang dilakukan El tidak bisa dibenarkan meskipun El ingin menyelamatkan Charlotte dari ibu tirinya.  “Aku suka melihatnya marah, menangis dan mencoba lepas dariku, tapi setelah itu aku akan merasa bersalah padanya.”  “Dan kamu melakukannya terus menerus?” Bryan mengambil gelas wine milik Xavier yang masih tersisa.  “Ya,” kata El. “Apa aku sudah menyiksa wanita malang itu?”  Xavier menarik napas perlahan. “Tentu saja kamu membuatnya menderita kalau kamu memperlakukannya seperti itu. Kalau kamu tidak bisa membuat dia bahagia, lepaskan dia, El.”  “Aku tidak bisa melepaskannya begitu saja. Aku masih ingin memilikinya sampai kontrak itu habis.”  “Kontrak?” Bryan tampak tercengang.  “Aku dan dia menandatangani kontrak sampai dia memiliki seorang anak. Saat nanti anak kami lahir aku akan melepaskannya.”  “Tapi anak itu butuh ibunya, El.” Xavier tampak emosi sebagai pria yang sudah menjadi ayah, keinginan El termasuk hal yang tidak bisa diterimanya.  “Tentu saja sampai anakku tidak membutuhkan air s**u ibunya lagi, aku akan menyuruh Charlotte pergi.”  “Kalau semisal Charlotte tidak hamil sampai bertahun-tahun lamanya?” Bryan bertanya serius.  “Aku akan tetap berpisah dengannya.”  “Kamu keterlaluan, El.” Xavier meraih jasnya. “Jangan sampai kamu menyesal atas perlakuanmu pada Charlotte. Dia wanita dan apa yang kamu lakukan padanya bukan menyelamatkannya, tapi malah membuatnya semakin sengsara. Coba pikirkan ulang.” Xavier mengenakan jasnya. “Istriku sudah menunggu di kamarnya aku harus pulang sekarang.” Kata Xavier memilih segera menyingkir dari cerita-cerita El yang sulit diterima olehnya.  ***  “Menghindariku malah membuatku semakin ingin tahu, Charlotte.” Kata Austin matanya menyipit menatap kakak iparnya. “Orang tuaku memang tidak di sini, tapi aku yakin mereka akan membelamu dari pada El.”  “Aku tidak apa-apa, sungguh!” Charlotte memberanikan diri menatap mata hijau terang Austin.   Austin menatapnya dengan perhatian. Mencoba mencari sesuatu yang mungkin bisa disebut penganiyaan dari El hingga menyebabkan mata Charlotte sembab. Apa pun itu yang bisa dijadikan bukti bahwa El melakukan tindakan kekerasan.  “Aku baik-baik saja.” Semakin Charlotte mencoba meyakinkan Austin kalau dirinya baik-baik saja semakin Austin tahu kalau kakak iparnya tidak baik-baik saja.   “Oke, kalau kamu tidak mau menceritakannya.” Austin menatap Charlotte sebentar sebelum dia menyesap tehnya dan pergi ke kamarnya.  Charlotte tidak ingin siapa pun tahu apa yang dilakukan El padanya. Mau bagaimana pun penolakan Charlotte terhadap keinginan El juga salah kan.   Charlotte menguncir asal rambut cokelat lurusnya. Dia kembali melanjutkan langkah menuju dapur. Meraih segelas air dan meminumnya. Charlotte merasa sangat haus. Air mata dan keringatnya keluar dalam jumlah yang besar. Dia minum bergelas-gelas air. Austin memperlihatkannya diam-diam. Tapi, dia tidak bisa apa-apa karena Charlotte bahkan tidak ingin ditolong olehnya.  Austin memilih ke kamarnya dan membiarkan Charlotte sendirian di dapur. Dia tidak punya urusan apa-apa dengan wanita itu kan. Wanita itu datang ke rumah, menikah dengan El dan menjadi kakak iparnya. Tapi... kenapa El membuatnya menangis. Ada apa sebenarnya?   Pukul dua pagi, El pulang dengan bau wine menyengat dari napasnya. Dia tahu ada yang belum terselesaikan antara dirinya dan Camilla. Dia ingin bertemu Camilla dan menjelaskan kalau pernikahannya dengan Charlotte hanyalah sebagai pelampiasan karena berpisah darinya. Karena El tidak benar-benar mencintai Charlotte.   “Aku tidak mau bertemu denganmu, El. Aku tidak mau punya skandal yang akan membuat citraku buruk nanti di publik. Kamu tahu orang-orang menganggapku sebagai peri, malaikat dan semua hal yang sebenarnya bukan aku. Aku manusia yang selalu melakukan kesalahan.”   Camilla masih berusia 29 tahun. Dia selalu disorot kamera karena ayahnya masuk dalam jajaran salah satu orang terkaya di Inggris. Apalagi Camilla aktif di berbagai kegiatan sosial. Dan dia tidak ingin merusak image peri-nya dengan bertemu El yang notabene sudah menikah dengan Charlotte. Padahal sebenarnya, Camilla sudah memiliki kekasih. Seorang pria yang disembunyikannya dari publik dan El sendiri. Dia tidak ingin El tahu soal kekasihnya itu. Bukan keinginannya tapi keinginan sang kekasih untuk tidak memberitahu El dan publik sampai waktunya nanti.  “Kamu benar-benar tidak mau bertemu denganku walaupun sekali saja?” Pinta El.  “Tidak, ma’afkan aku. Aku ada urusan, El. Bye.” Camilla mematikan ponselnya.  El menatap layar ponselnya dengan tatapan sendu. Dia keluar dari mobil dan masuk ke rumahnya. Saat membuka pintu dia melihat Charlotte berdiri di ruang tamu sembari memeluk dirinya sendiri. Mata mereka bersitatap.  “Apa yang kamu lakukan di sini?” tanya El dingin.  “Menunggumu.” Jawaban Charlotte membuat El merasa bersalah. Entah kenapa dia merasa bersalah setelah membuat wanita ini menangis dan menunggunya sampai jam dua pagi.  “Kenapa kamu menungguku?” El bertanya sembari mendekati Charlotte.  “Karena kamu suamiku.” Charlotte mengatakannya dengan nada rendah namun El mendengarnya dengan jelas.  Sebelah sudut bibir El tertarik ke atas.   “Aku merasa pemberontakkanku tadi membuat lenganmu terluka.” Charlotte teringat kalau dia berkali-kali mencakar El dan membuat lengan El terluka karena kuku panjangnya.  Seharusnya Charlotte berterima kasih pada El yang telah mengeluarkannya dari rumah ibu tirinya. Tinggal bersama El setidaknya membuat Charlotte tenang tanpa titah Marrie ataupun adik tirinya. Tenaganya utuh tanpa dihabiskan untuk mencuci, mengepel, membersihkan rumah, memasak atau perintah-perintah lain dari ibu dan adik tirinya itu.  El meninggalkan Charlotte begitu saja setelah melemparkan senyum sinisnya.  “Apa kamu perlu air hangat, Prince El?” tanya Charlotte menyusul El.  “Aku tidak ingin mandi. Aku mau langsung tidur.” Kata El tanpa menatap Charlotte.  Austin melihat sikap dingin El kepada Charlotte. “Dia pikir dengan menikahi wanita lain dia akan melupakan Camilla?” Austin tersenyum mengejek kakaknya. “Tidak mungkin, El.” Lalu Austin menghampiri El.  “Kamu masih belum tidur ‘anak manja’?” tanya El saat melihat kedatangan adiknya.  “Aku juga menunggumu?” Sindir Austin. “Aku menunggumu pulang, Kakakku tersayang.”  “Kerjaanmu hanya menguping pembicaraan orang lain.”   “Ya, hidupku tidak seru kalau aku tidak mengusilimu, El.” Pandangannya beralih ke Charlotte. “Are you okay?” ***  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD