2 Granat Bocah

1660 Words
JossyPOV Aku menatap pasangan suami-istri yang berjalan menjauh. Bathinku mengulang kalimat paling handal mengusir semua khayalan bodoh yang mengendap di kepalaku. Dia bukan milikmu, Jo. Lepaskan dia, begitu suara bathinku mencoba menenangkan debaran jantung yang semakin menyakiti akalku. “Apa mata saya yang salah melihat sampai otak saya secara nggak sopan menyimpulkan ada yang...” Ya Tuhan, aku melupakan sosok konyol di sisiku ini. Apa yang tadi dia katakan? Dan apa-apaan tampang konyolnya itu menatapku bak seorang tersangka. Siapa dia berani bersikap begitu kepadaku? Fine, he's the one of the heirs. Tapi siapa yang peduli. Dia hanya si bungsu yang paling tertinggal performanya dibanding dua calon pewaris lain. “Apa yang mau kamu bilang?” Aku bertanya ketus. Dia menatapku misterius lalu menggeleng. “Nothing. Sudah hampir habis jam makan siang, nanti ibu SPV marah kalau saya belum balik ke meja.” Bawahan satu ini memang paling bisa membuatku kesal. Ocehannya tidak pernah jauh dari menyindir. Entah bagaimana aku akan menjalani tugas dari Ibu Yulia untuk mendidik putera bungsunya menjadi karyawan teladan jika sekarang saja dia masih bertingkah seperti anak abege yang senang bermain-main. “Saya balik kerja ya, Bu. Permisi,” katanya. Tidak sampai tiga langkah dia memutar badannya menghadapku. “Saya punya tiga menit sebelum jam satu, jadi kita belum terikat hierarki perusahaan. Rai isn't single anymore.” Ap- Apa? Apa yang dia maksud? Apa dia tahu perasaanku pada Raihan? Tidak mungkin, tidak seorang pun mengetahui hal ini. Aku tidak pernah membagi kisah ini pada siapapun. “Cari pria lajang lain. Simpan perasaan ibu untuk pria yang lebih berhak, your future husband maybe,” lanjutnya tanpa ekspresi. “Jangan berbicara yang-” kalimat tertelan kembali karena sahutannya yang mengena pada diriku. “Jika saya salah, tolong maafkan. Jika benar, tolong maafkan juga. Saya yang paling salah mencoba membahas apa yang bukan termasuk dalam hak saya.” Lalu dia berjalan menuju kubikelnya. Aku membeku sesaat. Apa segitu ketara perasaan sukaku pada Raihan hingga bocah itu bisa melihatnya? “Jossy!” Satu suara dan tepukan di bahu mengembalikan kesadaranku. “Ya, Ge.” Aku senang bukan bocah cengengesan itu yang kembali mengusikku. Melainkan Gemmy, kakak keduanya yang mempunyai aura lebih bersahabat dibanding saudaranya yang lain. “Ada waktu sebentar? Gue mau ajak lo bahas rencana perusahaan selama bulan puasa,” kata Gemmy. “Tentu.” Aku mengikuti langkahnya yang menggiringku masuk ke dalam ruang kerjanya. Selama aku melakukan diskusi dengan Gemmy, kepalaku bisa melupakan granat yang tadi dilempar bocah konyol itu. Namun sekembalinya aku dari ruangan Gemmy, aku harus menghadapi pemandangan si bocah konyol yang mengidap Peterpan sindrom bersama kakak tertuanya. “Darimana, Jo?” Raihan menyapaku dengan senyuman lembutnya. Aku selalu senang bagaimana dia memanggil namaku menjadi Jo. Seolah hanya dia pemilik nama panggilan kecil itu semenjak ibuku meninggal. “Gemmy ajak meeting dadakan,” jawabku sambil membenahi sejumput rambut ke balik cuping telinga. “Gemmy punya beberapa ide untuk menarik calon tenant pindah ke kita,” kata Raihan sambil bersandar ke dinding kubikel adiknya. “Kalau mau bahas pekerjaan para eksekutif, silakan pindah dari depan kubikel saya.” Si pengidap Peterpan sindrom memotong ucapanku sebelum sempat terlontar. “Adek bontot gue sepertinya semakin loyal terhadap perusahaan. Terima kasih, Jo, you train him well.” Tangan besar Raihan menepuk bahuku lembut. Menyebabkan kedua pipiku terasa panas. Aku menunduk menyembunyikan perubahan ekspresi yang takutnya menjadi pemikiran negatif Raihan. Mataku tanpa sengaja bersitatap dengan si Peterpan konyol. Dia menatapku datar kemudian kembali menatap monitor. “Gue balik ke ruangan gue.” Raihan pamit kepadaku lalu matanya berpindah ke bocah konyol, “Vel, tolong besok malam datang ke rumah. Temani Diara selama gue dinner bareng Pak Basuki.” Bocah konyol itu mengangguk. Begitu Raihan pergi, aku memilih duduk di kubikelku. Mataku agak mengantuk karena porsi kerja yang sedang membludak ditambah SDM yang sedang minus karena satu bawahanku cuti melahirkan dan satu lagi baru saja mengundurkan diri. “Kopi, Bu.” Aku menatap bocah konyol itu. Tidak benar-benar paham maksud tawarannya barusan. “Kamu menawarkan saya minum kopi?” “Kalau ibu mau,” katanya sambil mengendikan bahu. “Tapi saya bisanya kasih ibu kopi dari pantry yang berarti itu kopi kapal api atau indocafe atau Torabika. Nggak ada yang merek Starbucks.” “Kamu mau menyindir saya?” “Menyindir apa? Saya malah menunjukan perhatian saya terhadap atasan. Dan perkataan saya jujur. Kecuali ibu berharap minum kopi dari coffeeshop, saya masih bisa usahakan.” “Yakin?” Alisku bertaut. Bocah konyol ini hampir tidak pernah tampak layaknya anak pemilik perusahaan. Tepatnya dia lebih mirip pemuda perantau yang hidup pas-pasan. “Tentu. Ibu kasih uangnya, nanti saya minta Jajang beliin di bawah.” Benar kan!! Aku sudah tebak dia tidak akan mungkin berniat mentraktirku. “Kamu yang menawarkan kenapa uang saya yang keluar?” “Karena ibu punya lebih banyak uang, sederhananya begitu. Dan karena sekarang zaman emansipasi perempuan, di mana sudah bukan lagi kewajiban pria lemah dompet semacam saya membayarkan perempuan dengan faham feminis seperti ibu. Kecuali...” “Kecuali?” “Kecuali ibu punya rasa terhadap saya dan berusaha menarik perhatian saya dengan meminta ditraktir.” “Bocah gila!” Aku memilih menghidupkan laptopku. “Atau...” Aku tidak memperdulikan ucapannya lagi. Biarkan saja dia mau bercuap apapun. Aku tidak ingin membuang waktu bercakap bersama bawahan paling konyol ini. Baiknya aku menunggu singkronisasi emailku berjalan. “Saya yang punya rasa sama ibu jadi saya berusaha traktir ibu.” “Hah?” Dengan bodohnya aku bersuara demikian menanggapi ocehan tanpa manfaat si Peterpan sindrom. “Malam ini ya, Bu. Saya tunggu di vertical garden lobi. Kopi traktiran saya rasanya nggak kalah kualitas kopi kesukaan ibu.” “Hah?” Lagi, suara bodoh itu keluar dari mulutku. “Saya anggap itu persetujuan.” Si bocah konyol pengidap Peterpan sindrom tersenyum lebar. Seketika bulu sepanjang badanku berdiri. Ini bencana! *** Rencana menjadi sponsor pembangunan taman kota yang digarap pemerintah harus segera di-follow up sampai meja Raihan akhir pekan ini dan di-ACC sebelum akhir bulan. Sehingga nama perusahaan sudah dapat di-sounding sebagai salah satu perusahaan yang mempunyai concern tinggi dalam pembangunan kota. Leherku terasa kram dan mataku sudah lelah menatap layar laptop mengerjakan proyek ini. Aku melirik jam digital di sisi bawah layar. Jam setengah sepuluh. Kepalaku berputar ke sekeliling. Sepi. Tidak ada satupun kepala yang menyembul dari balik dinding kubikel. Entah bagaimana mataku melirik kubikel bocah pengidap Peterpan sindrom. Kosong. Aku menghela napas lega. Aku rasa cukup kerja malam ini. Aku akan meneruskan pekerjaanku esok hari. Jumat masih dua hari lagi dan aku masih punya cukup waktu menyusun presentasi yang akan disetujui Raihan tanpa perdebatan. I'm sure about that. Lift yang aku tumpangi berhenti di lantai dasar. Malam ini aku sengaja meninggalkan mobil di parkiran. Lelah sekali jika harus menyetir mobil dari Setiabudi sampai Cawang. Walau sudah malam, jalanan Jakarta susah diprediksi terutama arus lalu lintas di sepanjang Jalan Gatot Subroto yang mengalami penyempitan jalan. Sebaiknya aku memilih transportasi taksi konvensional. Kakiku berhenti melangkah bertepatan pintu lift di depan lift yang aku tumpangi terbuka. Ini bencana lain! Aku segera beranjak keluar. Berharap pria yang berada di lift seberang tidak menyadari sosokku. Stiletto yang aku kenakan memperlambat langkahku. Setengah berlari dengan langkah yang gontai menyeimbangkan berat badan pada pijakan heels lancip, aku men-tapping ID card pada gate keluar koridor lift. “Jossy!” Pria itu menyadari kehadiranku. Tidak. Aku tidak ingin bertemu dengannya malam ini. Siapapun bantu aku dan aku akan membalas bantuanmu menjauhkan aku dari pria yang tidak ingin aku temui itu. Aku mohon, bantu aku! Kepalaku berputar sedikit memeriksa ke belakang. Pria itu berjalan mengejarku. Oh no! Dengan kaki panjangnya, dia akan mudah menyamai langkahku. Lobi gedung sudah sepi. Sekelompok sekuriti berdiri di dekat meja resepsionis. Sebaiknya aku ke sana. Semoga mereka bisa membantuku menjauhi pria itu. Tepat aku berjalan menuju meja resepsionis, mataku menangkap sosok familiar tidak jauh dari situ. Berdiri sambil menjambak rambutnya tepat di sebelah fountain yang menghadap vertical garden. “Arvel!!” Aku berseru tanpa memperdulikan pandangan beberapa orang yang berseliweran. Terserah mereka mau menganggapku norak. Aku punya urusanku sendiri dan belum tentu mereka bisa membantu. “Bu,” lirih Arvel setelah aku mendekat. Tangannya yang semula menjambak rambutnya turun ke sisi badannya. Wajahnya menggambarkan kekagetan. “Jadi kan minum kopi?” Tanyaku tergesa-gesa. “Ya?” Wajahnya semakin jelas menggambarkan kekagetan. Dia kenapa sih? Tadi siang dia yang menawarkan kopi, sekarang bertingkah seolah aku mencetuskan tawaran paling aneh di depannya. “Jossy.” Oh no! Pria itu sungguh-sungguh menyusulku. Tidakkah dia melihatku sedang bersama seseorang di sini dan mungkin tidak mengharapkan seorang pengganggu. Aku menatap pria yang baru datang itu dengan raut kesal yang tidak aku sembunyikan. Biar dia paham betapa aku menolak kehadirannya. “Ada perlu apa?” “Tadi aku meeting di atas, kebetulan sekali ketemu kamu. Baru tadi aku mikir mau ajak kamu dinner,” kata pria itu. Cara bicaranya masih sama seperti dalam ingatanku, lembut dan ramah. Namun hatiku sudah mati untuk terenyuh betapa perhatian dan manisnya pria ini. “Aku sudah ada janji,” kataku tegas. Ayo paham dan hush sana pergi, jangan muncul lagi di depan mukaku. Pria itu melihat si bocah konyol. Tangannya terentang dan bocah pengidap Peterpan sindrom itu menjabat tangannya ragu-ragu. Eurgh, aku ingin cekik leher Arvel. Bagaimana bisa dia menampakkan wajah d***u di depan pria itu? “Hai, saya Wicak,” kata pria itu. Si bocah konyol melirikku sejangka lalu membalas, “Arvel.” “Kalau boleh, aku mungkin bisa join acara kalian,” kata Wicak. Mulut Arvel sudah siap membuka. Refleks aku mengaitkan kedua tanganku pada lengan Arvel. Si bocah konyol segera melotot menatapku dan kaitan lenganku bergantian. Aku tidak menanggapi kebingungan bocah konyol, senyumku mengembang untuk menanggapi perkataan Wicak. “Sorry, maybe next time. Malam ini anniv kami kebetulan. Nggak apa-apa ya?” Kuku jariku menancap pada lengan bawah telanjang bocah konyol. Dia meringis kecil. Untungnya dia paham kodeku. “Kebetulan...dia sudah merengek seminggu ini minta perayaan berdua. Maaf,” kata bocah konyol. Wow, bungsu Bu Yulia pintar berbohong dan good actor!! You save me, boy.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD