Prolog

2947 Words
Kupersembahkan ini untuk para wanita dimanapun kalian berada.   Gemuruh petir membutakan sang langit, kala itu awan hitam menutup pergerakan mentari senja. Rintikan air hujan berderik menyentuh pucuk dedaunan. Namun tak ada yang lebih menyenangkan ketika dua insan manusia b******u ria di tengah hutan. Kain jarik sang wanita terurai berantakan, diiringin dengan desahan nafas tak tertahankan. Wanita itu merengkuh nikmat dipangkuan sang pria. Pinggulnya bergoyang merasakan tusukan di daerah kewanitaannya. Sungguh, rasa itu menghiraukan setiap gerakan yang terasa di dalam hutan Batara. Hutan yang lebat dengan pepohonan petanang yang keras.   Desahan sang wanita diiringi rengsekan dedaunan kering yang mulai melembab karena curahan ringan air hujan. Buah d**a mengkal snag wanita bergoyang mengikuti setiap hentakan tubuh yang menggema. Buah d**a yang mengkal dihiasi dengan kedua p****g s**u yang ranum menawan, tak henti-hentinya menjadi santapan liar lidah sang pria. Sang pria semakin menggila ketika tangan sang gadis membenamkan wajahnya ke buah dadanya. Tak ada yang menyangka ketika perbuatan zina mereka terlihat oleh sekumpulan burung kecil menatap dari sela ranting pepohonan. Burung itu berkicau lirih sembari melompat menghindari rintikan hujan.   Lalu, derap langkah merangsek dari kejauhan. Pasangan yang sedang bahagia itu tak mengetahui bahwa sesuatu sedang mendekat ke arah mereka.   Ternyata,   “Disini kalian rupanya?” ujar seorang prajurit tua berwajah muram dengan wajah penuh luka. Tak lama berselang, dua orang berpakaian prajurit mendekat dan berdiri di belakang prajurit tua tersebut. Dua orang prajurit di belakangnya begitu muda, walau muda mereka tak sanggup berlari mengikuti langkah cepat sang prajurit tua.   Pasangan yang sedang menikmati kebahagiannya itu terperangah dan berdiri menatap ketiga prajurit yang kebetulan lewat, atau entah alasan apa mereka dapat kemari. Sang wanita menutupi buah d**a kembarnya sembari menarik kain jarik yang seharusnya ia kenakan. Rambutnya kusut dengan peluh membasahi dahi. Pipinya memerah karena nafsunya teredam. Sama juga dengan sang pria, ia berusaha keras untuk menutupi batang kejantanannya yang keras. Ia menarik sarungnya yang berjarak beberapa meter darinya, lalu mengikatnya di bagian pinggangnya. Walau demikian kain sarung itu tipis dan mencetak batang kejantannya yang menatang ke arah tiga orang prajurit gagah itu.   Sejenak ketika prajurit itu memberi waktu kepada pasangan yang usai ber-zina ini. Wajah mereka melengkungkan senyum kepuasaan, entah kepuasan apa. Hanya mereka bertiga yang tahu.   Lalu sang prajurit tertua mulai berseru kepada sang wanita, “siapa namamu, nduk?”   “Laksmi, den.”   “Laksmi, nama yang bagus,” puji prajurit tertua sembari menatap teman prajurit disamping kanannya. “Benarkan, Yodi?”   Sang prajurit muda bernama Yodi itu hanya menyeringai geli saja. Ia menatap sinis ke arah kedua pasangan yang berbusana berantakan itu.   Sang prajurit tua menatap kearah samping kirinya. Di samping kirinya, berdiri seorang prajurit muda dengan busur panah digenggamannya, anak panahnya tersampir di punggungnya dengan ikatan melalui dadanya. Mata prajurit muda itu terlihat tipis namun ia adalah seorang pemanah handal di kesatuan prajurit Ardaka. Lalu dengan seringai senyum sinisnya, sang prajurit tua berkata, “bunuh yang pria!”   Dengan cekatan, prajurit muda itu menarik salah satu anak panahnya. Busurnya terlihat lebar dengan temali karet paling lentur di seluruh Jawadwipa. Bidikannya sesaat tepat, namun sang pria yang menjadi bidikannya bergerak menghindar. Sang pria berlari ke arah semak meninggalkan sang wanita yang ketakutan diantara tiga prajurit garang ini. Melihat bidikannya berlari, sang pemanah mengarahkan bidikannya agak condong keatas lalu ia melepaskan anak panahnya. Seketika, anak panah itu meluncur melompati semak belukar, menembus rapatnya pepohonan. Lalu menancap tepat di bagian tengkuk pria yang melarikan diri. Ujung anak panah yang tajam menembus leher sang pria.   Sang pria tergeletak tak berdaya. Leher dan mulutnya bersimpah darah segar. Sehingga mengundang binatang buas untuk mendekatinya. Ia berlutut dan tangannya bertumpu di atas tanah. Sesaat ia menikmati kepedihan yang teramat sangat menjalar di tubuhnya, lalu tubuhnya terasa lemas karena lehernya tercekat oleh anak panah yang keras. Sekejap, cahaya menghilang dari pandangannya dan ia tertidur selamanya.   “Tidak!” teriakan Laksmi sang gadis membahana menyeruak di segala penjuru. Air matanya tak terbendung sembari melangkah menuju mayat kekasihnya. Lalu di balik semak itu, terlihat tubuh sang pria yang tak bernyawa, tengkurap dengan anak panah yang menancap di lehernya. Mata pria itu enggan tertutup, bibirnya terbuka dengan darah segar mengalir membasahi tanah disekitarnya.   Melihat hal itu, ketiga prajurit sialan itu mendatangi sang wanita yang sudah berlutut meratapi kepergian kekasihnya.   “Bawa dia ke perkemahan!” seru prajurit tua dengan wajah garang. Lalu prajurit muda bernama Yodi melangkah mendahului sang prajurit tua. Kemudian meraih kedua lengan sang wanita.   Sejenak sang wanita meronta karena enggan untuk dibawa. Namun kekuatannya tak sebesar nyalinya. Ia tetap dalam rengkuhan sang prajurit muda bernama Yodi Aswara itu.   Lalu sejenak, tangan sang prajurit tua menangkap rahang sang wanita. Jemari kekarnya menekan bagian rahang untuk meyakin bahwa wanita itu menatap matanya.   “Hey, p*****r!” Bisik prajurit tua seraya menatap keji kepada Laksmi, “kau lihat! Pria itu berlari meninggalkanmu, sehingga tak salah jika aku membunuhnya!”   Mata Laksmi menatap tajam kearah sang prajurit tua. Ingin rasanya ia mengumpat, namun bibirnya tak mampu menggetarkan sepatah katapun. Alhasil, ia hanya mampu terisak tanpa suara.   ••• "b*****t kau!" ujar Bajra yang sedang menindih gadis belia bermana laksmie itu. Wajahnya memerah seiring dengan hentakan pinggul yang seakan tiada ampun baginya. Laksmi tak mampu mengimbangi permainan sang Prajurit tua, walau sudah tua, Ia tetap nomor satu dalam bercinta.   “Arrrgggghhhh!” Teriakan Laksmi memekakan telinga. Namun tak ada siapapun yang akan mendengarnya. Ia sedang dalam bahaya besar ketika sang prajurit tua  menyetubuhinya. Tangannya terlentang tertahan oleh telapak kekar sang prajurit tua. Kepalanya bergerak kesamping untuk menghindari bibir prajurit tua yang berbau tembakau. Di usianya yang telah berkepala 6, ia masih sangat bugar untuk menggumuli wanita. Batang kejantanannya kekar dengan dua buah zakar ditumbuhi bulu halus yang tercukur rapi. Batang itu menghujam kearah liang kewanitaan Laksmi.   Laksmi hanya bisa pasrah, tangannya terlentang dan kakinya mengangkang menyambut setiap hentakan sang prajurit tua. Hari ini begitu naas, ketika kekasihnya yang bernama Rajiv terbunuh sia-sia. Mereka berdua adalah seorang rakyat biasa. Laksmi adalah seorang anak petani yang tinggal di pinggiran kota Ardaka, lalu Rajiv adalah putra pedagang Tambi dari India. Bagaimana cara Laksmi menjelaskan kematian Rajiv kepada orang tuanya!? Namun, ia sendiri tak tahu akan jadi apa dirinya sekarang. Prajurit tua itu begitu hebat permainannya, belum lagi dua prajurit muda yang siap mengantri di luar tenda.   Diluar kebiadaban moral sang prajurit-prajurit itu. Laksmi sedikit banyak menikmati permainan sengitnya ini. Tak terasa, lendir membasahi daerah kewanitaannya. Cairan pelicin itu berbuah rasa kehangatan yang terasa di kejantanan sang prajurit tua. Sehingga sang prajurit yang sudah berpengalaman itu tahu bahwa gadisnya sedang dilanda birahi.   “Kau suka!” Bentak sang prajurit tua tepat di hadapan wajah Laksmi. Plaakkk!, tamparan terasa panas ketika tangan kekar sang prajurit menghujam tangan pipi Laksmi.   Tangis Laksmi terdengar lirih dari dalam tenda, “ampun, ndoro. Ampun!”   “Aku sedang mengampunimu sekarang!” Seru prajurit tua itu seraya meremas kedua buah d**a Laksmi yang mulai mekar. Kedua jarinya memilin p****g yang coklat mencuat itu. Hal itu membuat Laksmi menghentikan tangisnya dan meresapi sentuhan tuannya.   Di luar tenda, kedua prajurit muda sedang berjaga di sekeliling api unggun temaram yang mereka buat. Mereka bertiga seharusnya mengejar kelompok berandalan yang melarikan diri dari Ardaka, namun mereka tak sengaja menemukan kedua insan yang sedang b******u ria itu. Entah, apa yang dipikirkan kedua pasangan ini. Mereka memilih melakukannya di hutan yang jaraknya seperempat hari dari kota.   Prajurit tertua bernama Bajragini dengan gelar Ksatria Tumenggung Bajragini ing Pabelan. Pabelan adalah nama daerah di timur Kedaton Ardaka dan Bajragini adalah salah satu prajurit yang menaklukannya. Tubuhnya kekar di usia 63 dan senjatanya adalah godam besi yang siap menghantam kepala musuh-musuhnya. Disamping itu, ia juga kerisnya juga dapat melesat seperti petir. Banyak yang menyebut Bajragini sebagai Bajra si keris petir.   Kedua prajurit lainnya adalah Yodi dan Paing. Usianya mereka masih belasan tahun dan mereka seumuran. Yodi pandai menggunakan tombak dan Paing dalam panah memanah. Sifat mereka sama kejamnya dengan Bajra tua. Mereka sering bertindak semena-mena kepada rakyat jelata. Seharusnya, prajurit Kedaton bertugas melindungi rakyatnya, namun kekuasaan menenggelamkan sumpah setia mereka. Sekarang, penindasan, perkelahian, dan pemerkosaan kebanyakan dilakukan oleh para prajurit tak bermoral ini~~bahkan lebih buruk dari para berandal dari Batara sekalipun.   Hutan Batara begitu dingin di malam seperti ini, namun udara dingin hanya terasa di tubuh Paing dan Yodi yang setia menunggu pemimpinnya menuntaskan hasratnya. Api unggun berkobar tersentuh tiupan angin yang menerjang, dan dedaunan bergemirisik tak tertahankan.   “Siapa giliran selanjutnya!?” Celetuk Paing memecah kebisuan malam, walau dari dalam tenda erangan-erangan menyedihkan santer terdengar.   “Hmn, kau saja, tak sudi aku bercinta dengan p*****r seperti itu.” Jawab Yodi dengan kecut. “Apalagi di hutan seperti ini!”   Paing terkekeh perlahan menatap rekannya yang selalu serius dalam segala hal. Namun ia tahu bahwa sebenarnya Yodi sudah tak tahan ingin membuang maninya.   “Kau kalah sama Ki Tumenggung Bajra?” bisik paing meledek Yodi yang enggan menanggapi. “Ia sudah tua, tapi tetap kuat.”   “Eh, biarkan saja, aku sedang tak bernafsu.” Sergah Yodi yang langsung berdiri. Paing menanggapi jawaban rekannya itu dengan gelak tawa sembari menahan perutnya.   Yodi muda berdiri, menatap gelapnya pucuk pepohonan. Angin berserak pelan menuntun pergerakan dedauan. Namun bukan daun-daun jati itu yang menjadi pemikirannya. Ia teringat seseorang di Kota Ardaka sana. Ketika ia sedang tak bertugas, Yodi selalu berusaha mendatanginya~~memandang wajahnya dan membayangkan berada dipelukannya. Ya... yang dipikirkan Yodi adalah seorang gadis di kota Ardaka sana. Wajah gadis itu selalu terbayang di benaknya, walau sebenarnya ia sendiri belum pernah berbicara sepatah katapun dengan gadis itu. Usianya masih sangat produktif di tingkat keprajuritan, sehingga menikah adalah hal pamali yang jika dilaksanakan terlalu muda. Tumenggung berpesan, wanita hanya akan membuatmu lemah. Sempat terpikir olehnya bahwa kata-kata itu salah, justru senyum gadis itu yang membuatnya tetap hidup sampai sekarang.   Renungan Yodi terpecah ketika Bajra, si prajurit tua keluar dari tenda. Wajahnya memerah padam dan peluh membasahi dahinya. Rona senyum kemenangan terpahat di bibirnya ketika ia sedang merapikan celananya. d**a kekarnya bergetar menghembuskan nafas penuh keperkasaan. Yodi dan Paing memandang sang Tumenggung dengan pandangan berbeda. Yodi merasa biasa saja, tetapi Paing menatap penuh dengan kebahagiaan. Tentu saja, sekarang adalah giliran Paing menyetubuhi gadis yang baru saja mereka tangkap. Dengan tergesa, Paing berdiri dan memasuki tenda, setelah sesaat ia melontarkan senyum kepada sang prajurit tua.   “Haahh,,, longgar sekali lubang p*****r itu.” Keluh Bajra yang mendudukan pantatnya di akar pohon tempat Paing dudu tadi. “Untung saja! Batangku cukup besar untuk merangsek masuk kedalamnya!”   Bajra tertawa terkekeh keras diikuti teriakan histeris dari dalam tenda. Yodi berpikir bahwa di dalam tenda itu, Paing sudah membenamkan kejantanannya ke dalam liang senggama wanita malang itu.   Pelacur, Kau barusaja tidur dengan p*****r! Jika wanita itu hamil, berarti kau punya anak dari seorang p*****r! Batin Yodi, namun ia tak sanggup untuk melisankannya. Jika ia mengatakannya, tak khayal godam besi milik Tumenggung dapat menghancurkan tempurung kepalanya. Yodi hanya terdiam tak menanggapi kelakar ketuanya itu. Ia duduk kembali di sekitaran api unggun sembari memandang kobaran apinya yang menghilang membentuk letupan bara.   “Bagaimana nasib wanita itu selanjutnya?” kata-kata itu terlontar dari bibir Yodi.   “Kau sudah tahu setelahnya.”   “Tetapi, ia tak membuat kesalahan sedikitpun.”   “Hmn,” Bajra tua memberi jeda sejenak karena harus menghidupkan tembakau dari cangklongnya. Lalu ia menghisap cangklong itu dalam, dan menghembuskan asap putihnya ke udara. “Kesalahan pertama; ia adalah seorang wanita, dan yang kedua; ia bertemu dengan kita, yang lebih parahnya, ia sedang bercinta saat bertemu kita.”   Yodi menggelengkan kepala tanda tak setuju dengan keputusan seniornya. Ia tetap memandang keji kearah api unggun itu. Tak ada daya atau upaya sedikitpun bagi Yodi untuk menunjukan ketidaksetujuannya terhadap Bajra.   “Hei nak! tatap mataku jika ingin berbicara!” Ujar Bajra dengan nada tinggi. “Jika kita membiarkannya tetap hidup dan kembali ke kota. Ia akan berbicara dengan semua orang bahwa kekasihnya di bunuh oleh prajurit Kedaton. Lebih parah lagi, para prajurit m***m itu memperkosanya. Kau tahu siapa pria kekasih pria itu?”   Yodi menggeleng sembari menatap Bajra yang menghembuskan asap putihnya untuk yang kedua kali.   “Setahuku ia seorang tambi, mereka berasal dari Gujarat dan kaya. Kau tahu aturannya, nak. Si Tambi itu kaya dan Prabu akan mendengar perkataan siapa saja yang kaya. Lalu kita akan digantung di depan umum atau lebih buruk lagi jika kita dipasung selamanya.” Bajra menghisap canglongnya lalu berbicara kembali, ia sedikit tersedak karena berbicara terlalu banyak saat ini. “Aku tak ingin mati dengan cara seperti itu! Mengerti!?”   Yodi menundukan kepalanya. Dilema mendera hatinya, namun perkataan Bajra benar. Ia sudah berpengalaman di dalam Kedaton. Menurut cerita Prabu adalah seorang yang korup. Namun itu bukan urusannya, urusannya sekarang hanyalah bagaimana cara mengusir derita hati yang menderanya. Ia sempat berpikir berada dalam kelompok yang salah, namun Tumenggung memilihnya sendiri sebagai pasukan pribadinya. Ia tak dapat menolak jika tak ingin dipasung selamanya.   Cukup lama berselang, Paing keluar dengan getaran kakinya. Wajahnya juga merah padam dan matanya sayu terasa hangat.   “Giliranmu, nak!” Ujar Bajra sembari menarik keris berikut sarung dari pinggangnya. “Setelah itu, tusuk tepat di p****l kirinya!”   Mata Yodi muda terbelalak menatap kerlingan emas sarung keris yang terukir itu. Namun bukan keris dengan gagang indah itu yang ia pikirkan, melainkan bagaimana caranya membunuh orang yang tak berdosa. Tetapi ia disumpah untuk mengikuti perintah Sang Ksatria Tumenggung biadab itu. Melawan berarti melanggar sumpah. Jika melanggar sumpah maka ia tahu sendiri akibatnya.   Sesaat raut wajah Bajra sang Tumenggung berubah. Matanya tajam menatap Yodi yang dipenuhi keraguan. Tangan kekarnya tetap terulur, seakan mencoba mempertanyakan kesetian Yodi anak buahnya.   Tak ada pilihan lain bagi Yodi. Dengan enggan, ia menyaut keris milik Tumenggung dan memasuki tenda. Sejenak ia memandang wanita muda yang seumuran dengannya itu. Ia terduduk lesu sembari menghapus sisa-sisa cairan neraka dari tubuhnya. Isakan terdengar seperti suara orang yang tercekik. Yodi menyelipkan keris milik atasannya itu pinggangnya sebelum Laksmi melihatnya. Namun Laksmi tak akan mampu menatap pria yang akan memperkosanya itu.   Perlahan ia mendekati Laksmi dan berjongkok di sampingnya. Dengan lembut ia membelai rambut kusut milik wanita muda itu. Kulitnya terasa lembab karena peluh Laksmi telah mengering. Yodi teringat nama wanita muda yang malang ini adalah Laksmi.   “Namamu, Laksmi bukan?” tanya Yodi. Namun Laksmi tak harus menjawab pertanyaan dari Yodi yang akan memperkosa dirinya setelah teman-teman biadapnya.   Laksmi terkejut ketika pelukan hangat Yodi menyentuh tubuhnya. Bahu kekar Yodi menyentuh leher serta pundaknya dan kepalanya dipaksa untuk bersandar di d**a bidang milik Yodi. Lalu dengan lembut Yodi berkata, “tenanglah, aku tak akan menyakitimu.”   Seketika, tangisan lirih terurai dari bibir Laksmi. Kesedihannya begitu mendalam sehingga wajahnya terbenam di d**a bidang Yodi.   Yodi tak tahu harus berbuat apa, sejenak ia merasakan kesedihan mendalam dari wanita malang ini. Jika sudah situasi dan suasana seperti ini, bukan nafsu yang berbicara, melainkan rasa iba untuk mengakhiri setiap penderitaannya. Lalu entah setan atau demit mana yang menyambar akal sehat Yodi. Perlahan ia menarik keris yang terselip di pinggangnya. Yodi merasakan genggaman jemarinya begitu kaku diiringi dengan nuansa sembab kedua matanya. Yodi berusaha untuk menahan rebakan air mata dengan menarik nafasnya.   Aku akan mengakhiri penderitaanmu. Batin Yodi yang dengan kasat mata mengalungkan keris di leher Laksmi. Tangan Yodi satunya menahan kepala Laksmi untuk tetap di pelukannya.   Arrrkkkkhhhh. Uuhhhhuuuukkkk! Tangisan Laksmi terhenti ketika sayatan bergelombang keris tajam membelah leher Laksmi. Tubuhnya bergetar diiringi dengan simpahan darah yang membasahi d**a Yodi. Aroma anyir tercium, namun tatapan Yodi mengarah lurus kedepan. Sorot matanya kosong tak berani menatap Laksmi yang kelojotan di pelukannya. Lalu air mata Yodi tumpah setetes ketika tubuh Laksmi lemas dan menyerah. Tak ada lagi teriakan, erangan, bahkan hembusan nafas dari tubuh Laksmi. Hanya simpahan darah yang membasahi d**a Yodi berikut celananya yang berlurik batik.   Yodi terisak menyesali perbuatannya, namun ia tak punya pilihan lain selain mengakhiri penderitaan Laksmi. Tangisnya teredam tanpa suara ketika ia menatap Laksmi dipelukannya. Bekas sayatan keris membelah lehernya dan darah membasahi setiap jengkal bagian dadanya. Namun Yodi gusar ketika menatap mata Laksmi yang memandang sayu kearahnya. Bibirnya tertutup sempurna, namun menyiratkan senyuman kebahagian diantara sela rahangnya. Air mata Laksmi telah mengering karena derita tercabutnya nyawa.   Yodi meletakan keris yang baru saja membianasakan kehidupan Laksmi itu. Tangannya yang tak bersimpah darah menutup mata Laksmi yang terbuka hingga tertutup sempurna. Alangkah bahagianya wajah Laksmi saat ini, walau darah membasahi tubuhnya. Yodi menghela nafasnya sejenak untuk menyeimbangkan kondisi tubuh dan pikirannya. Ia melangkah keluar tenda sembari memikirkan cara untuk menjelaskan semuanya.   Ternyata...   Yodi terperanggah ketika menatap dua rekannya itu tanpa kepala. Tubuhnya tetap tegap namun kepalanya menghilang. Darah mengucur pelan di balik rongga yang seharusnya di tempati oleh kepala manusia. Seluruh tubuhnya bergetar berikut dengan bibir tebalnya. Ketika ia ingin melangkah, tiba-tiba.   Srek...! Suara semak yang bergerak tak wajar. Lalu Yodi terdiam karena sebilah arit yang tajam menyentuh lehernya. Suara bisikan seseorang terdengar dari balik punggungnya.   “Kembalilah ke Kedaton dan bawalah kepala dua temanmu itu.” Bisik suara itu, lalu dua buah benda terjatuh dari puncak pepohonan. Benda itu bagai buah kelapa yang jatuh dari pohonnya, tetapi tak ada pohon kelapa di sekeliling Yodi. Betapa terkejutnya Yodi ketika mendapati kepala kedua rekannya itu tergeletak di tanah. Bajra sang Ksatria Tumenggung, sang keris petir tertebas kepalanya sebelum sempat ia menutup matanya. Yodi berpikir betapa sakti dan kuatnya kelompok ini. Ia juga berpikir tajam sekali pasti clurit ini karena dapat memutuskan kepala sang ksatria pemberani.   Lalu, suara itu berbisik kembali. Suara yang terdengar bisu karena mungkin ia menutup mulutnya dengan kain. “Kabarkan pada pihak Kedaton jika kita akan berlayar ke Borneo dan menggalang kekuatan disana, mengerti!”   Yodi hanya terdiam, matanya memandang ke dua buah kepala yang tergeletak di tanah. Lalu, sang pembunuh menekan cluritnya kearah leher Yodi yang begitu terpukul. Sehingga kulit lehernya sedikit terkoyak oleh lengkungan tajam clurit itu.   “Jawab!?” bisik suara itu dengan tak sabar.   “Baik, aku akan kabarkan!?” Jawab Yodi.   Mendadak, clurit terlepas di lehernya. Suara gemrisik semak bergoyang kembali. Lalu Yodi diliputi kesunyian. Tak ada siapapun kecuali dirinya sekarang ini. Ia memberanikan diri untuk menatap sekeliling. Tak ada siapapun kecuali dirinya dan tiga mayat yang berada disekitarnya. Suasana mendadak sunyi diiringi suara jangkrik dan suara letupan ringan api unggun.   Lalu, Yodi tertawa lepas tak terkendali. Sepertinya ia mendadak gila dengan kejadian ini. Wajahnya berseringai lugu menatap kepala kedua temannya yang tergeletak di tanah. Lehernya mengejang ringan seperti orang gila ketika ia membawa dua buah kepala manusia itu. Fajar yang mulai menyingsing membirukan langit malam dan Yodi yang menggila melangkah menembus semak belukar.        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD