Pertanyaan Keramat

2164 Words
Nasib anak laki-laki pertama adalah ditinggal menikah oleh adik perempuannya. Namun memang hal tersebut sudah tidak asing lagi di Indonesia. Bahkan, rata-rata memang adik perempuan akan dipersilahkan atau bahkan diminta untuk menikah lebih dahulu. Alasannya, karena kakak laki-laki lebih memilih memastikan adiknya bahagia terlebih dahulu dengan pasangan mereka. Barulah mereka akan mengejar jodoh mereka dengan perasaan yang tenang. Mengapa bisa demikian? Karena ketika kakak laki-laki si adik perempuan itu lebih dahulu menikah, belum tentu ia mendapatkan seorang istri yang sepenuhnya pengertian dan membebaskan suaminya untuk memikirkan nasib sang adiknya. Ketika menikah pun, tanggungan utama sang kakak adalah istri dan anak-anaknya. Yaaa..kurang lebih begitulah kurang lebihnya. Sudah satu tahun ini Leta—adik satu-satunya Lian Natan Baskara menjalani hari-harinya dengan status seorang istri. Ya, Leta melangkahi sang kakak laki-laki untuk menikah lebih dulu diusianya yang menginjak dua puluh tiga tahun kala itu. Kini, hingga satu tahun pernikahan Leta berlalu, sang kakak tak kunjung menemukan tambatan hatinya. Kerap kali, Lian lebih memilih sibuk sendiri di ruang kerjanya dari pada berkumpul dengan keluarganya saat weekend. Entahlah..ia hanya bosan menjawabi segala pertanyaan tentang menikah. Menginjak usia dua puluh sembilan tahun tak lantas membuat Lian buru-buru untuk mencari pendamping hidup. Ia masih senang mengejar karier meski pun bisnisnya di bidang pangan sudah sangat pesat sejak usianya dua puluh lima tahun kala itu. Mungkin karena kesibukannya itu, Lian seakan lupa dengan dunia percintaan yang selama ini rasanya belum pernah sama sekali ia rasakan. Namun, tanpa sepengetahuan siapa pun—dalam artian hanya dirinya dan Tuhan yang tahu, Lian memang pernah mencintai seseorang saat ia berusia dua puluh lima itu kala itu. Sayang seribu sayang, wanita yang dicintainya itu justru sudah lebih dulu dipinang oleh orang lain karena dirinya tidak bergerak cepat. Mengingat saat itu bisnisnya sedang melejit. Lian seakan dituntut oleh dunia untuk memilih salah satu diantara cinta atau karier. Dan, pilihan Lian jatuh pada karier. Lian merupakan seorang pria yang taat beribadah, bisa dibilang ia cukup religius. Ia juga setiap harinya selalu meluangkan waktu untuk membaca kitab suci Al-Qur’an, hingga mendengarkan kajian singkat. Apa yang melekat dalam diri Lian kerap menjadi nilai yang paling menonjol sehingga banyak sekali anak teman-teman mamanya yang mendambakan Lian untuk bisa menjadi menantu mereka. Akan tetapi, sejak ditinggal menikah oleh wanita yang dicintainya empat tahun yang lalu, hingga kini belum ada lagi seorang wanita yang berhasil membuat Lian jatuh cinta kembali. Tentang wanita empat tahun yang lalu itu—Lian sungguh sudah menghapusnya dari dalam hati –tempat ia menaruh nama-nama orang yang dicintainya. Dalam artinya, sudah move on jauh-jauh hari. Tidak ada akan ia gunakan hatinya untuk bertahan mencintai wanita yang kini sudah SAH menjadi istri orang itu. Tokkk…tokkk..tokkk “Mas..Mas Lian!” “Masuk, Leta!” “Mas Lian, Leta bawain kopi s**u kesukaan Mas Lian,” ucap Leta dengan senyum mengembang. Ia meletakkan nampan yang di atasnya terdapat secangkir kopi s**u itu di meja kerja Lian. “Waalaikumsallam. Kapan kamu datang, Leta?” “Ehh iya lupa salam. Maaf, Mas. Leta baru datang kok.” Tatapan Lian menyelidik. “Yang buatin kopi—“ “Si mbok..ehee,” potong Leta dengan menyengir kuda. Wanita itu kemudian mendudukkan dirinya di kursi yang berhadapan langsung dengan sang kakak. Posisi mereka kini hanya terhalang meja kerja Lian. Lian melirik sekilas sang adik, Leta sepertinya masih terus mengamati dirinya yang tengah fokus dengan laptop di hadapannya. Ah, Lian tahu. Leta menunggu Lian untuk meminum kopi s**u yang dibawakannya. Lian yang paham dengan situasi saat ini pun kemudian meraih cangkir tersebut lalu perlahan menyesapnya. Dapat Lian lihat dengan lirikan matanya, detik itu juga senyum Leta merekah sempurna. Manis sekali adiknya itu. “Enak, Mas?” “Iya.” Lian kemudian menyudahi seruputannya. Kini ia menatap sang adik. Mungkin inilah waktu bagi keduanya kembali mengobrol setelah jarang sekali bertemu kecuali seperti saat ini—ketika weekend Leta dan suaminya memang kerap menyempatkan waktu untuk mendatangi kediaman orang tuanya. Dengan perlahan tanpa bermaksud menyinggung perasaan sang adik, Lian bertanya, “Gimana kabar kamu? Sudah bisa masak?” “Ih, nggak Mama, nggak Papa, nggak Mas Lian, semua kompak nanyanya begitu!” “Seorang wanita—apalagi yang statusnya sudah menjadi seorang istri, otomatis ia juga menjadi seorang ibu rumah tangga. Kamu tentu tahu bukan apa saja yang harus dikerjakan oleh ibu rumah tangga? Wajib bisa masak, Leta. Minimal, kalau nggak bisa masak, kamu bisa mengerjakan pekerjaan rumah lainnya—“ “Ya tapi ‘kan Mas Lian tahu sendiri. Sejak kecil sampai besar pun, Leta nggak pernah—“ “Pertanyaan Mas, kamu sudah mencoba untuk belajar?” Leta mengangguk, “Iya..mama mertua Leta yang ngajarin.” Lian tersenyum. Ia geleng-geleng kepala dengan kehidupan unik yang dijalani sang adik. Ya, setidaknya..melihat adiknya masih seceria sekarang ini. Lian rasa mama mertua Leta masih bisa dikategorikan mama mertua yang super baik. “Syukurlah..Mas ikut senang. Mama mertua kamu baik sekali.” “Woahh jelas. Mama Ajeng itu mama mertua ter-the best, Mas Lian! Leta do’akan, nanti Mas Lian juga dapat mama mertua seperti Mama Ajeng. Aaamiin..” Tanpa sadar Lian pun tersenyum dan turut mengaamiinkan do’a tulus Leta barusan. “Tapi, kapan Mas Lian punya mama mertua? Leta udah nggak sabar pengen lihat Mas Lian menikah..” ucap Leta dengan nada lirih yang sarat dengan penuh harapan. Tidak bisa dipungkiri memang. Seluruh anggota keluarga Baskara menginginkan putra pertama mereka itu menikah dengan wanita pilihannya sendiri. Akan tetapi, hingga usianya hampir menginjak angka tiga puluh tahun, Lian belum juga mengenalkan teman perempuannya. Jangankan mengenalkan, mendengar kabar tentang kedekatan Lian dengan seorang wanita saja—kedua orang tua dan adik Lian itu tidak pernah mendengar. Sampai-sampai mereka semua heran. Sebenarnya, Lian ini normal..atau.. “Do’akan saja, secepatnya. Bila Allah Swt. sudah memperlihatkan jodoh Mas.” Begitulah jawab Lian sebelum kembali memfokuskan dirinya kembali pada laptop di hadapannya. *** Berhasil mendirikan sebuah perusahaan yang menggeluti bidang pangan tak lantas membuat sosok Lian berleha-leha. Meski ia selaku pemilik usaha tersebut, nyatanya hingga detik ini, Lian sendirilah yang masih sering meninjau pabrik biskuit miliknya. Ya, beranekan macam biskuit dengan berbagai varian mulai dari cokelat hingga keju berhasil Lian modifikasi semenarik mungkin. Rasa, bentuk, hingga pengemasannya selalu memiliki ciri khasnya sendiri. Dan yang paling penting adalah menjamin kehalalan produk makanan berupa biskuit yang diproduksi pabriknya. Syukurlah, mulai dari kalangan anak-anak, remaja, dewasa hingga orang tua, masih mau menikmati produk biskuit yang produksi Lian. “Selamat pagi, Pak Lian! Kenapa Bapak sampai repot-repot bertandang kemari?” “Selamat pagi, Kavin. Saya hanya ingin meninjau pabrik biskuit saya, takutnya kamu bosan bekerja di sini.” “Oww, oww, penghinaan yang dikemas halus sekali Bapak Lian!” “Kavin, bagaimana sedekah untuk kegiatan ‘jumat berkah’?” “Siap, beres Pak Lian!” Lian mengernyitkan dahinya. Ia sudah lama mengenal sosok pria di hadapannya ini. Hari ini, menurut Lian—Kavin begitu bersemangat. Ada apakah gerangan? “Kamu bersemangat sekali, Kavin.” Bukan sebuah pujian, hanya celetukan tentang kejujuran dari apa yang dirasakan dan dilihat langsung oleh Lian. Kavin mengulum senyumnya. Ia kemudian mendekatkan dirinya pada sang bos. Ditepuknya bahu Lian, “nanti sore, kamu mau nggak ikut dengan saya? Setelah, kegiatan jumat berkah.” “Kemana?” “Menemui seorang wanita yang saya dapati dari sebuah aplikasi chat,“ bisik Kavin masih berusaha memposisikan dirinya sedang berbincang dengan sahabatnya, bukan bos di tempat kerjanya. Yaa, beginilah Kavin dan Lian. Tak jarang keduanya bersikap sebagai bos dan bawahan, pun juga kerap kali menunjukkan persahabatan keduanya. “Astaghfirullah, Kavin. Kamu—“ “Saya jamin seratus persen kalau kejadian tempo hari tidak akan terulang lagi, Lian. Saya sudah menyeleksi sebelumnya.” Kavin masih berusaha meyakinkan Lian. Berharap Lian goyah dan mau menemaninya menemui Shafa—wanita yang Kavin kenal melalui aplikasi chat. Pikiran Lian langsung mengingat sebuah momen di mana dirinya mengantarkan Kavin untuk pertama kalinya bertemu dengan teman yang dikenalnya melalui media sosial. Kala itu Lian benar-benar tidak habis pikir saat seorang wanita mengenakan pakaian yang sangat minim menghampirinya dan Kavin. Ternyata, Kavin salah mengenali seorang wanita. Kavin justru dianggap sedang memesan jasa wanita tersebut yang ternyata merupakan wanita pekerja seks komersial (PSK). Dari situlah, Lian mulai menceramahi Kavin tiada henti sepanjang perjalanan pulang mereka. Kavin benar-benar keterlaluan, apa dirinya tidak bisa membedakan wanita baik-baik dengan wanita yang menjajakan tubuhnya? “Sudahlah, Lian. Jangan banyak berpikir! Pokoknya, nanti kamu antar saya! Oke?” “…….” Lian belum menjawabi ucapan Kavin karena ia merasa malas. Malas mengetahui jika nanti pilihan sahabatnya itu buruk seperti tempo hari. Memang Kavin ini sebaiknya dimasukkan ke dalam grup mencari jodoh atau grup taaruf! “Kamu tidak ingin ‘kan kalau saya mendapatkan seorang pekerja—“ “Iya! Sudah tidak usah dilanjutkan lagi. Kamu kembali bekerja, Kavin.” “Siap, Pak Lian!” Sore harinya, acara jumat berkah berlangsung dengan lancar tanpa kendala satu pun. Semua sudah dipersiapkan sebaik mungkin oleh Kavin—selaku orang kepercayaan Lian yang ditunjuk sebagai ketua panitia jumat berkah. Kegiatan jumat berkah kali ini meliputi, sebuah permainan yang sangat seru yang sudah pasti akan membuat anak-anak aktif dan bahagia tentunya, kemudian dilanjut makan-makan, dan diakhiri dengan membagi-bagikan bingkisan atas nama perusahaan biskuit Lian. Sejauh ini, kegiatan positif yang Lian lakukan selalu mendapatkan dukungan dari keluarga. Terutama papa dan mamanya. Tak jarang juga Mama Yunita kerap menitipkan makanan hasil olahannya untuk ikut dibagikan dengan bingkisan dari perusahaan sang putra. Meninggalkan kegiatan jumat berkah yang telah usai dengan sesuai harapan Lian. Kini saatnya Lian mengantarkan Kavin untuk bertemu dengan wanita yang diketahuinya bernama Shafa. Baiklah, sejauh ini dari nama wanita yang hendak ditemui oleh Kavin, hati kecil Lian seakan berseru mendukung aksi Kavin. Hm, mungkinkah kali ini wanita itu benar-benar wanita yang berbeda dari tempo hari? Semoga saja kali ini Kavin tidak lagi salah dalam memilih seorang wanita. “Kamu serius menunggu di sini saja, Lian?” Lian mengangguk. Ia memang lebih memilih menunggu di mobil, sementara Kavin menemui gadis yang dikenalnya melalui media sosial itu. Akan tetapi, perkataan Kavin seketika membuat Lian mengelus dadanya. Begini kata Kavin sebelum pria itu berjalan meninggalkan mobil Lian, “Nanti jika Shafa sama saja seperti wanita tempo hari, saya akan mengiyakan tawarannya! Lumayan, Lian. Hitung-hitung belajar sebelum melalui malam pertama pernikahan saya nantinya!” Tanpa menyahuti perkataan dari sang sahabat, Lian segera turun dari mobilnya. Kemudian berjalan mengikuti langkah Kavin yang tersenyum penuh dengan kemenangan. Keduanya pun duduk manis di sebuah kursi meja bernomor 22. Sepertinya semua ini sudah direncanakan oleh Kavin dan Shafa. Tentang meja yang sudah dipesan, makanan yang hangat baru saja datang. Rasanya, Lian seperti dijadikan obat nyamuk. Helaan napas Lian membuat Kavin menoleh padanya. Namun kemudian sebuah suara membuat Kavin mengangkat kepalanya. “Assalamu’alaikum. Maaf saya terlambat, toko sedang ramai..” ucap seorang gadis yang baru saja tiba dan masih berdiri di hadapan dua orang pria yang kini menatapinya dengan tatapan terkejut. Kembali menyadarkan diri masing-masing. Baik Kavin maupun Lian sama-sama menjawab salam dari gadis tersebut. Dengan ramah Kavin bertanya, “S—shafa ya?” Tentu saja kegugupan Kavin tidak bisa disembunyikan. Hingga akhirnya gadis itu mendudukkan dirinya setelah mengangguk dan tersenyum manis. “Kavin?” “Iya, Shafa. Aku Kavin.” Aku!? Seketika dahi Lian mengkerut. Semanis ini sahabatnya itu bila sudah berhadapan dengan seorang wanita cantik. Ya, cantik. Shafa mengenakan gamis dan jilbab yang cukup rapih. Memang tidak syar’i akan tetapi cukup menutup aurat saja sudah nyaman untuk dilihat. Bukan hanya dilihat oleh mereka berdua saja, namun orang lain di luaran sana. Ini kali pertama bagi seorang Lian memuji dan membenarkan pilihan sahabatnya itu. Lian tersenyum. Ia memposisikan dirinya sebagai pihak ketiga yang membatasi interaksi keduanya agar tidak menimbulkan fitnah dan juga tindakan yang berlebihan, mengingat keduanya belum SAH. Dapat dilihat oleh kedua mata Lian, Kavin tampak sangat bahagia dan nyaman berbincang ke sana dan kemari dengan sosok Shafa ini. Ternyata, Shafa merupakan seorang wanita karier yang memiliki sebuah toko baju muslimah. Ia juga membuka ladang pekerjaan untuk orang-orang yang membutuhkan. Hal tersebut membuat Lian semakin yakin, ia mendukung bila Kavin nantinya akan benar-benar memilih Shafa untuk menjadi pendamping hidupnya. Karena dari tutur kata, sikap, hingga latar belakang Shafa yang baru diketahui secuil ini, sudah membuat dua orang pria itu terkesan dengannya. Satunya terkesan karena mungkin sudah memiliki rasa di masa pengenalan mereka sebelum pada akhirnya bertemu. Sedangkan yang satunya karena sang sahabat pada akhirnya menemukan sosok wanita yang menurutnya terbaik dan mampu membawa sahabatnya itu pada jalan-Nya yang lebih lurus. Pertemuan mereka tidak berlangsung lama. Shafa pamit terlebih dulu karena harus kembali membantu menghandle tokonya yang begitu ramai mengingat menjelang weekend ini. Setelah kepergian Shafa. Barulah suara Kavin terdengar kembali. “Sudah, Lian. Jangan dilihatin terus! Dia milik saya.” “Iya, segera halalkan Kavin.” “Jadi, bagaimana menurutmu tentang pilihan saya kali ini?” Lian mengangkat jemari tangan kanannya membentuk huruf O dengan tiga jari lainnya di posisi tegak, “perfect!” Seketika senyum Kavin semakin melebar. Ia merangkul bahu Lian dari samping. Sembari menepuk lengan kekar Lian, Kavin akhirnya memberanikan dirinya untuk menanyakan sebuah kalimat tanya yang mungkin saja bagi Lian—ini kalimat tanya keramat. “Kamu kapan Lian?” ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD