EPISODE 2 "BOCAH TENGIL"

1991 Words
Cukup sulit mencari makanan yang dipesan oleh Seno di area sekitar kantor. Kebanyakan restoran bintang lima di sekitar area kantor tidak menjual makanan seperti itu, sehingga Bella harus mengendarai mobilnya bersama Gita keluar dari area kantor, yang memakan waktu sekitar 20 menit. Waktu istirahat kantor hanya satu jam, sehingga mereka harus berburu makanan dengan cepat. "Kalau bukan karena calon suami, gue males nyari makan jauh-jauh," gerutu Bella sembari menyeka keringat di sela langkahnya menyusuri jalan mencari penjual seblak gerobakan. Mereka terpaksa memarkirkan mobil di area yang berbeda dan berjalan kaki di bawah terik matahari yang cukup menyengat. Pukul 12 siang, memang cuaca apa yang bisa diharapkan selain panas? "Waduh, baru disuruh cari makanan aja udah ngomel-ngomel. Kalau gini ceritanya, gue yang bakal dapatin hati Pak Seno. Hahaha--Mppphh! b*****t tangan lo bau terasi!" omel Gita saat Bella membekap mulutnya dengan telapak tangan. "Enak aja bau terasi!" Bella mengelap telapak tangannya karena basah oleh air liur Gita. "Saingan lo berat, Bos! Gue setiap hari satu ruangan sama Pak Seno. Sementara lo? Jadi, jangan ngarep!" "Dih, percaya diri banget, lo! Yang sering ketemu itu belum tentu bisa jodoh! Lagian, kayak Pak Seno nggak mungkin tertarik sama ikan kering kek lo, hahaha!" Bella melirik kesal ke arah Gita. Ia tidak menjawab bukan karena kalah, melainkan malas untuk menanggapi lagi. Apalagi jika sudah menyangkut berat badan. Padahal, berat badan Bella sudah cukup ideal. Bella dan Gita memang bersahabat sejak SMA tapi, soal urusan Seno mereka berdua adalah saingan berat. Namun, Bella menjadi lebih agresif daripada Gita. Mungkin juga, Gita hanya menggodanya dan Bella tahu soal itu. Tidak benar-benar ada perasaan antara Gita dan Seno. "Eh, itu tukang seblak!" Gita berseru sembari menunjuk gerobak dengan tenda di sebelahnya. Selain tukang seblak, ada banyak penjual di sana. Kawasan ini memang cukup ramai, meskipun lokasi jualan mereka berada di area pinggir jalan yang mungkin sedikit mengganggu pejalan kaki. Selain itu, tempat makan seperti itu mungkin tidak cukup higienis karena banyaknya debu dan asap kendaraan. “Buset, itu penjual tulisan di gerobaknya bisa santai nggak, sih?” komentar Gita sambil cekikikan saat mereka berada di jarak lima meter dari gerobak itu. Gerobak tukang seblak itu bertuliskan “Seblak Ahh Pedassshh”. Gita mengucapkan kalimat itu dengan lafaz yang dibuat-buat. Bella meliriknya geli. "Tapi, Bell." Gita menahan langkah Bella. "Kalau dilihat-lihat tempatnya nggak higenis. Banyak debu dan pasti Pak Seno nggak akan mau. Mau cari di tempat lain aja?" Seketika Bella teringat apa yang Seno katakan. Dia menginginkan makanan yang higenis. Sementara makanan di gerobak tersebut belum tentu higenis. “Bener juga, sih. Tapi, Pak Seno nggak lihat kan? Emangnya lo mau menghabiskan jam makan siang cuma untuk nyari seblak yang udah ada di depan mata?" Gita tampak berpikir, lalu mengangguk mantap dan mereka bergandengan mendekat ke gerobak seblak itu. Sesampainya di sana, Bella menarik sebuah bangku plastik dan memesan pada abang tukang seblak, “Bang, mau pesan dua seblak untuk dimakan di sini. Dan satu lagi dibungkus ya?" Gita menambahkan, “Jangan lupa Bang, air minumnya es the manis!" “Baik Neng yang cantik-cantik,” jawab abang tukang seblak dengan senyum lebar dan dua ibu jari teracung. Terlihat bahagia sekali. Tidak ada pembeli lain selain mereka berdua. Sementara itu, pedagang lain cukup ramai. Tiba-tiba, seseorang berseru, "Bang, saya juga mau pesan satu seblak untuk dimakan di sini." Orang itu membaca tulisan yang ada di gerobak. “Tambahin p****l--eh, pentol maksudnya, Bang. Hahaha!" katanya menambahkan. Bella dan Gita refleks melirik cowok yang mengenakan almamater bewarna kuning khas salah satu universitas di Jakarta. Cowok itu nyengir tanpa rasa malu, ditambah dengan lirikan mata yang terlihat aneh. “Dih, apaan sih tuh Bocah. Sok, lucu padahal garing!” komentar Gita masih menatap cowok tersebut dengan tatapan tak suka. “Gita, nggak usah mencibir. Otak kalian berdua sama," sahut Bella berusaha menenangkan suasana. Dia juga tidak suka melihat cowok itu, tapi tidak ingin membuat suasana menjadi semakin tidak menyenangkan. “Halo mbak-mbak yang cantik.” Dengan tiba-tiba cowok itu mendekati mereka dan memberikan tatapan genitnya. Bella dan Gita sama-sama memalingkan muka dengan sedikit bergidik ngeri. "Mbak berdua ini pasti orang kantoran, ya? Kelihatan dari pakaiannya. Tapi, kok bisa terlantar sampai ke sini?" Cowok tersebut duduk di seberang meja menghadap ke arah Gita. "Bukan urusan lo," jawab Gita dengan nada ketus. Bella cukup terkejut melihat Gita menanggapi cowok itu. Sementara itu, Bella hanya menampilkan senyum tipis selama cowok tersebut tidak macam-macam atau membuatnya marah. "Mbak berdua kenapa makan di pinggir jalan? Ayo, biar Adek yang ganteng dan manis ini ajak Mbak ke restoran. Mau yok?" tanya cowok itu dengan nada suara yang coba-coba memikat mereka. “Idih, buat apa kita pergi sama lo?” Gita memberi plototan gratis pada cowok itu. Benar, cowok itu agak menakutkan. Bukan dari tampangnya tapi sikapnya sangat tidak menarik. Cowok itu terlihat agak tersinggung dengan penolakan Bella. “Astaga canttik-cantik kok galak banget.” Dia terkekeh, kemudian. “Masalah buat lo kalau kita galak?” Gita mulai tidak nyaman dengan situasi tersebut, sehingga mengalihkan pembicaraan. “Lo anak mana?” Tiba-tiba cowok itu memutari meja lantas berdiri di samping Gita. “Oh kenalin, gue Arseno Salvador. Gue dari Universitas Negeri Jakarta. Kuliah di jurusan bisnis. Sekarang lagi nggak ada kelas, jadi cari angin deh. Eh, taunya ketemu sama bidadari, hehe.” Cowok itu mengulurkan tangan dengan percaya diri. “Kalau mbak cantik siapa namanya?” “Nama gue Gita,” jawab Gita memaksakan senyumnya. Tapi, ia tak menjabat tangan cowok itu. “Mbak Gita cantik beneran nggak mau jabat tangan saya? Nanti nyesel loh nolak cowok seganteng ini.” Cowok dengan wajah tirus segaris dan dagu agak lancip itu memainkan alisnya dengan percaya diri. Gita melirik tajam. Tiba-tiba, cowok itu melewati Gita dan berdiri di samping Bella. “Gue Arseno Salvador. Kalau mbak yang dari tadi diam kayak orang bisu ini siapa namanya?” “Mulut lo?!” tegur Gita memelototi cowok itu. "Gue tampol ya kalau lo nggak mau diem?” ancam Gita karena merasa cowok itu tidak sopan. Dia sudah mengangkat kepalan tangannya. "Bocah ingusan mending belajar yang bener, deh. Kenapa malah keluyuran sampai di sini?” Tidak memberi komentar apapun atau ikut menyahuti. Bella hanya memberi tatapan tak suka pada cowok berambut ala-ala Oppa Korea itu. Dia memiliki rambut belah tengah tapi bukan rambut belah tengah tempo dulu. Bella memeriksa penampilan cowok itu. juga menilai penampilannya dari atas hingga bawah. Meski terlihat seperti gaya rambut Oppa Korea, rambut cowok itu sedikit berantakan. Penampilannya juga tidak rapi. Entah mengapa kebanyakan cowok menyukai celana jins robek di bagian lutut dan kaos hitam? Cowok itu memakai pakaian seperti itu. “Waduh, mbak ini punya hubungan saudara sama bebek, ya? Dari tadi nyerocos aja padahal temennya diem aja lo.” Cowok itu menunjuk Bella dengan alisnya. Bella lantas membuang muka dengan ekspresi datar. Gita baru akan membuka suara lagi, namun Bella segera mengajaknya pindah ke meja yang lain yakni yang agak berjauhan dari cowok tersebut agar tidak terjadi keributan. “Emang dasar tuh cowok sableng!" gerutu Gita masih memerhatikan anak cowok yang pada akhirnya tidak mengganggu mereka lagi. “Sabar Git, kalau lo nggak sabar, gue malah ikut-ikutan ngamuk ntar.” Bella mencoba menenangkan. Ia bisa jauh lebih kasar daripada Gita kalau Bella ingin mengamuk saat itu juga. Tak lama kemudian pesanan mereka datang. Waktu makan siang hanya sedikit dan mereka segera menyantap makanan tersebut di tengah cuaca yang cukup terik. “Omong-omong, gimana soal kutukan?" Gita membuka obrolan sembari meniup makanannya karena masih panas. Bella terdiam seketika mengingat momen tadi pagi. Ia kembali mengingat tatapan penuh harap dari para sepupunya. Ia akan menjadi sepupu paling jahat kalau sampai tidak menikah dan mempertaruhkan masa depan mereka. Tapi, apakah benar kutukan di keluarganya itu ada? Masalahnya, sampai keturunan sekarang belum pernah ada yang melanggar kutukan itu dan jika Bella tidak berhasil maka ia akan menjadi orang pertama. Bella masih berpikir bahwa kutukan itu terdengar sangat konyol. "Mereka pasti semakin maksa lo, ya? Belum lagi, lo nggak pernah bawa cowok ke rumah." Gita menatapnya penuh prihatin. Gita tahu kisah percintaan Bella seperti apa. "Udah mending lo terima aja kalau dijodohin." “Enak aja!” Dulu, Bella masih bisa santai karena usianya masih jauh dari 28 tahun. Tapi tahun ini, sebentar lagi dia akan berusia 28 tahun. Ia tak masalah belum menikah, tak masalah dengan cibiran orang-orang, tak masalah dengan kesendiriannya. Tapi, kutukan aneh itu sangat membebaninya. "Gue nggak mau dijodoh-jodohkan, Git. Untuk apa coba kita menjalin hubungan sama orang yang nggak kita suka? Lo selalu tahu prinsip gue." Gita menatap Bella dengan mulut penuh. “Pakai saran gue yang waktu itu, Bell. Cari pasangan di aplikasi kencan. Setidaknya lo udah berusaha," sarannya setelah menelan makanan dalam mulutnya. Bella menghela napas pelan, mengaduk seblak yang rasanya agak asin. "Lo pikir gue punya waktu untuk cari pasangan di aplikasi gituan? Walaupun tinggal swipe-swipe tapi tingkat kepercayaan gue sama aplikasi gituan agak kurang bagus." Terlebih lagi, terakhir kali Bella pernah mendengar seseorang menjadi korban penipuan karena mengencani orang yang salah. Menguras uang orang itu dengan cara yang mungkin sudah direncanakan. “Udah lakuin saran gue yang waktu itu? Cari cowok di f******k, ** atau mungkin aplikasi lain." Bella menggeleng lemas. Ia hampir tak punya waktu untuk mencari pasangan. Setiap malam, satu-satunya teman chattingan Bella adalah Seno. Itu sampai membuatnya heran, kenapa Seno mau membalas chatnya setiap malam? Tentu saja itu juga membuatnya berharap lebih. Mereka memang karyawan dan atasan saat berada di kantor. Tetapi, di luar kantor mereka seperti teman. "Lo nggak mau dijodohkan, nggak mau cari di media sosial. Satu-satunya cara ya, lo harus terima cowok yang pernah nyatain cinta ke lo." Lagi-lagi Bella menghela napas lemas. Dia menopang dagunya dengan kedua tangan. Memang banyak pria yang sudah menyatakan cinta padanya. Masalahnya adalah hanya Seno yang Bella mau. "Ayolah... Ngapain coba nunggu Pak Seno? Dia belum tentu suka sama lo!" Anehnya mendengar fakta itu Bella tidak marah sama sekali. Karena memang benar, tidak ada kemungkinan Seno menyukainya juga. "Udah deh, mending cari di media sosial atau aplikasi kencan." “Lo pikir, nyari cowok itu gampang, ya?" tukas Bella menatap Gita kecewa. "Lagi pula, kalau kenal di media sosial nanti yang ada nggak sesuai dengan aslinya. Toh, ini gue mau nyari suami bukan pacar.” Gita menatap Bella dengan mencoba memahami sahabatnya itu meski ia sama sekali tidak paham apa yang Bella inginkan. “Gimana kalau Galih aja?” saran Gita tiba-tiba. Bella membulatkan bola matanya. “Gila lo ya? Dia kan lagi berusaha deketin Ratna." "Eh, bener juga! Hahaha!" "Lagi pula, gue nggak ada rasa sama Galih. Maaf-maaf nih ya, selera gue bukan yang kayak modelan Galih.” "Ya gimana ya, Bell. Lo jadi orang juga pemilih banget, sih. Standar lo itu terlalu tinggi dan satu-satunya orang yang bisa mencapai standar lo cuma Pak Seno. Aduuh! Pusing gue!" Gita mengacak-acak rambutnya. Mengapa Gita ikut frustasi? Bicara soal Galih, di adalah sahabat Bella sejak SMA dan bekerja sebagai asisten penulis. Galih sedikit kutu buku dan punya penampilan yang nerd. Tapi, laki-laki 29 tahun itu memang baik, kalem dan penurut. Apapun yang Bella dan Gita minta pasti akan dituruti olehnya. Sementara itu, Ratna adalah teman mereka saat SMA. Dia bekerja sebagai editor di salah satu perusahan penerbitan buku. Galih sedang berusaha mendapatkan hati perempuan itu, dari curhatannya kemarin malam. BRAK! "Git!" tegur Bella saat Gita dengan entengnya memukul meja membuat orang-orang yang memesan seblak menatap mereka aneh. “Gue punya ide!" "Ah, ide lo nggak pernah bener!" "Janji, kali ini ide gue nggak ngasal dan gue rasa lo bakal mempertimbangkan ide gue ini." Bella memfokuskan tatapannya pada Gita. Ia penasaran, ide apa yang ada di kepala Gita sampai membuatnya antusias. "Lo cuma mau sama Pak Seno kan?" tanyanya tiba-tiba. Bella mengangguk polos. "Nah, kalian juga lumayan dekat di luar kantor udah kayak sahabatan. Lo tinggal minta tolong aja sama Pak Seno untuk nikah bohongan sama lo. Gampang, kan?" Bella terdiam dan memikirkan apa yang Gita katakan. "Gimana? Keren kan ide gue?" katanya dengan senyum bangga. Mungkinkah ia harus mencoba ide Gita? Tapi pertanyaannya, apakah Seno mau?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD