BAB 9

4530 Words
Sangat tak terduga, Emilia yang sebelumnya sangat baik dan ramah tiba-tiba berubah menjadi kejam dan licik, tentu saja, Arga tidak percaya pada perubahan sifat dari gadis bermata sipit itu karena awalnya, dia mengira kalau perempuan itu berbeda dari adik-adiknya, tapi siapa sangka, kalau kakak mau pun adik, sama saja. Sekarang, karena Arga telah terperangkap dalam jebakan yang dibuat Emilia, dia sudah tak bisa berkutik lagi, terlebih, murid-murid dari putri bergaun putih itu pun siap menyerangnya kapan saja menggunakan sebuah palu, membuat Arga semakin tak tahu harus bagaimana. Dan dia yakin, kalau ruangan balet sudah dikunci rapat-rapat dari segala penjuru agar dia tak bisa kabur. Apa boleh buat, Arga akhirnya hanya bisa pasrah dengan keadaan ini. Namun, mendadak, Emilia memberikan sebuah tantangan pada Arga, yaitu menari melawannya, jika lelaki itu menang, dia boleh membalas perlakuan Emilia sesukanya, tapi, jika dia kalah, sebuah hukuman akan menunggunya, yaitu digantung di tempat ramai dengan tubuh telanjang bulat. Siapa pun pasti merasa tertekan dengan hukuman berat yang memalukan itu, bukan? Beruntungnya, Arga bisa mengatur emosinya agar tidak merasa cemas dan kemudian dia menerima tantangan itu dengan senang hati, lantas, apakah dia bisa memenangkan kompetisi itu? Dimana dirinya lah yang paling dirugikan di sini karena menari bukan keahliannya, sementara Emilia kelihatannya sudah profesional dalam tarian balet. "Mari kita mulai! Arga!" Musik yang mengiringi mereka sudah berbunyi merdu entah dari mana asalnya, mungkin saja ada salon-salon mungil yang ada di ruangan ini. Emilia langsung melemaskan tubuhnya, berputar di atas lantai licin itu dan melakukan berbagai variasi-variasi yang indah, seperti melompat dengan mengikuti alunan musik. Sementara Arga, yang notabanenya adalah seorang pemula di sini hanya bisa melongo melihat tarian yang dilakoni oleh Emilia, gestur tubuh gadis itu benar-benar seimbang, dan gerakan lembut namun lincah itu cukup membuat para penonton tercengang. "Sialan, semakin aku takut kalah, semakin tinggilah rasa penasaranku untuk menang." Pelan-pelan, Arga mencoba menggerakkan kedua kakinya, rasanya dia seperti berjalan di atas permukaan es yang licin, saking licinnya, dia hampir jatuh berkali-kali hingga gelak tawa terdengar dari murid-murid Emilia yang mengamatinya. Mencoba untuk fokus, Arga kembali bangkit dari posisi hampir jatuhnya, kemudian, dia ingin meninggikan kakinya sedikit dan hanya beberapa jari kaki saja yang menyentuh lantai, seperti penari balet profesional, tapi, BRUG! Dia tersungkur ke lantai dengan bantingan yang sangat kuat, lagi-lagi suara gelak tawa terdengar ditambah dengan ejekan-ejekan yang memuakkan dari para murid Emilia. "Sial sekali." Arga juga tak habis pikir kalau ternyata sulit sekali untuk bisa menari lepas dengan kaki yang berjinjit, rasanya dia mual jika terus melakukan itu. "Tapi, ayolah! Tinggal sedikit lagi aku bisa menyusulnya!" Padahal kenyataannya, Arga sama sekali belum menari, yang barusan dia lakukan hanyalah mencoba melakukan posisi dasar sebelum menari, tapi dia sudah tumbang karenanya. Sementara di sampingnya, Emilia telah berkali-kali menampilkan tarian-tarian indah yang dapat membuat semua orang terpesona akan gerakannya. Didukung dengan tubuh rampingnya, Emilia sangat luwes menyajikan berbagai gerakan yang berbeda di tiap ritmenya. Arga terlihat sedikit kesal dengan perbedaan yang menyakitkan ini, bahkan, dia berpikir kalau semua ini sudah diatur sedemikian rupa agar kekalahan menimpanya. "Jangan bodoh, aku juga pasti akan mengalahkanmu! Emilia!" SET! Karena kesal, Arga langsung menegakkan badannya, kedua tangannya dilebarkan dan dibengkokan sedikit seperti kepiting, lalu, dadanya ditarik agar lebih tegak lagi, dan bumbu terakhir dalam tampilannya adalah senyuman menawan. TAK! Sepatunya berdetak, memukul lantai, membuat para murid Emilia mengalihkan perhatiannya pada Arga. Kemudian, dengan gerakan yang sangat tegas, Arga mulai menggoyangkan pantatnya dan menggerakkan kakinya untuk berputar-putar seperti mesin blender, hingga akhirnya, dia meloncat sambil menyunggingkan senyuman tampan. Reflek, murid-murid Emilia menjerit histeris saking senangnya melihat tarian asal-asalan yang dibuat oleh Arga. Walaupun gerakannya berantakan, Arga menutupi kekurangannya dengan senyuman percaya diri, yang bisa menghipnotis siapa saja. Sadar ada yang berbeda, Emilia melirik ke tempatnya Arga, dan dia terkejut, karena kelihatannya, lawannya kali ini sudah dapat menari dengan lincah, walau tidak selincah dirinya. Karena merasa tersaingi, Emilia pun tak ingin kalah, dia langsung menunjukkan variasi hebat miliknya, berputar kencang, menghempaskan rambut hitamnya ke segala arah, dan membanting kakinya berkali-kali sambil menari, menandakkan kalau kali ini, dia sedang sangat serius. Sebagian murid memalingkan kepala mereka untuk menonton Emilia, sementara sebagiannya lagi tetap melihat tarian Arga dengan penuh jeritan semangat. Musik terus bergemuruh di ruangan itu, hingga terciptalah, detik-detik terakhir yang memukau dari penampilan Emilia mau pun Arga di hadapan penonton, membuat gadis-gadis itu menjerit-jerit untuk mendukung dua kubu yang berbeda. Alhasil, karena musik telah selesai dan tarian pun telah usai, sekarang adalah saatnya untuk penilaian. Arga sedikit khawatir pada hasilnya, karena dia sadar kalau tariannya tidak sebagus Emilia. Sementara Emilia memberengutkan wajahnya karena kesal pada kemampuan Arga yang mengejutkan. Yang menentukan siapa pemenang dan pencundang di pertarungan ini adalah mereka, para penonton yang telah mengamati dari awal hingga akhir. "Melelahkan sekali, ya? Aku bahkan sampai lupa untuk bernapas saat sedang menari, huh." ucap Arga dengan ngos-ngosan. Dadanya kembang kempis, kondisi Emilia pun sama buruknya dengan Arga karena lelah akibat menari. Namun, jiwa mereka masih membara layaknya api dalam menunggu hasil penilaian dari para penonton. "Aku pikir, semuanya sudah tahu, kalau pemenang di pertarungan ini adalah ak--" Kata-kata Emilia langsung tertahan saat matanya melihat hasil sesungguhnya dari penonton. Cara menilainya yaitu para penonton diberikan masing-masing dua papan berwarna merah dan biru, jika mereka suka terhadap penampilan Emilia, maka mereka harus mengangkat papan berwarna merah, dan sebaliknya, jika mereka tertarik dengan penampilan Arga, papan birulah yang harus diangkat. Dan siapa sangka kalau dua puluh muridnya mengangkat papan berwarna biru, ini tidak mungkin, seharusnya Emilia lah yang memenangkan pertandingan ini. Ah, cobalah berpikir positif, mungkin saja mereka salah mengangkat papan, Emilia langsung tersenyum ramah. "Anak-anak, papan yang kalian angkat itu salah, lho? Seharusnya, yang warna merah diangkat. Ayo, simpan saja papan biru itu, sayang." rayu Emilia untuk menyadarkan murid-muridnya yang dia kira ceroboh. "Ma-Maafkan kami, Guru! Tapi, kali ini, kami tidak mengangkat papan yang salah, karena kami memang suka pada penampilan ... Tuan Arga." Jantung Emilia serasa diremukkan untuk sesaat setelah mendengar jawaban dari salah satu muridnya, matanya melotot hingga urat-urat merahnya muncul, dan dia menggigit bibirnya hingga terluka. Sementara Arga terbelalak dengan hasil yang diperolehnya, tak disangka kalau penampilannya dapat membuat anak-anak itu menyukainya. "Wow! Luar biasa, Anak-anak! Kalian benar-benar hebat!" Arga tersenyum lebar sambil berlari menghampiri anak-anak lalu memeluk mereka sekaligus dengan lengan kekarnya saking bahagianya. Palu-palu yang sebelumnya mereka genggam sudah tergantikan dengan papan biru yang ada di tangan mereka. Entah mengapa, anak-anak juga membalas pelukan Arga dengan senyuman imut di wajah mereka. Melihat semua itu membuat tubuh Emilia bergetar saking jengkelnya, bahkan, seluruh tubuhnya menjadi merah akibat kemarahan yang telah memuncak. Sadar akan hal itu, Arga melepaskan pelukannya ke anak-anak dan berdiri menatap Emilia yang terlihat gondok akan kekalahannya. "Jadi, apakah kau ingat tentang aturan mainnya? Emilia? Kau sendiri yang membuatnya, 'kan? Bahwa jika aku kalah, maka aku akan digantung di tempat ramai dengan kondisi telanjang bulat, tapi jika aku menang," Arga tersenyum hangat. "Aku boleh membalas perbuatanmu dengan cara sesukaku, 'kan?" "Katakan saja apa maumu." jawab Emilia dengan menggeram seperti banteng. "Hmm? Apa mauku? Kalau kau bertanya begitu, aku jadi bingung, soalnya, banyak sekali yang ingin kulakukan padamu, tapi biar kusingkatkan saja," kata Arga dengan mengangkat sebelah alisnya. "Bagaimana kalau kau sekarang menjadi ... temanku." Emilia kaget dengan pernyataan itu, padahal masih banyak hal yang lebih kejam untuk membalas perbuatannya, tapi mengapa Arga hanya memilih itu sebagai balasannya? "Teman? Apa maksudmu?" Arga tersenyum dan melipatkan tangannya dengan gagah. "Kalau kau tidak mau, tidak apa-apa, kok. Aku juga tidak terlalu menginginkannya." "BAIKLAH!" Tiba-tiba, Emilia berteriak dengan kencang. "Mu-Mulai sekarang ... aku akan berusaha untuk menjadi ... TEMANMU!" Arga terkejut mendengarnya, dia kira Emilia bakal menolak permintaannya mentah-mentah, tapi apa ini? Dia ternyata mau? "Namun, ada satu hal yang ingin kukatakan padamu, Emilia," Gadis itu langsung tertegun mendengar kata-kata Arga. "Selama kau menjadi temanku, aku ingin kau hancurkan topengmu itu. Aku tidak suka pada wajah palsumu yang pandai menipu itu." Emilia menundukkan kepalanya, dia merasa menyesal pada sifatnya yang suka menampilkan kepalsuan pada setiap orang, setelah mendengar itu, hatinya sedikit tergerak untuk mengubah sifatnya. "Baiklah, aku mengerti. Terima kasih karena kau tidak membalas perbuatanku dengan kejahatan, aku benar-benar berterima kasih padamu, Arga." Kemudian, Arga pun keluar dari ruangan balet, meninggalkan Emilia beserta murid-muridnya yang terdiam karena perkataannya. *** "Ya ampun, tak kusangka ternyata hari ini pun aku mendapatkan kejutan lagi dari putrinya Raja William, tapi kali ini, aku benar-benar dibuat lelah oleh Emilia." Arga kini sudah pulang ke kamar tercintanya, setelah mandi, dia langsung menyantap sosis bakar yang dibawakan oleh pelayan, dia memakannya dari balkon kamarnya, untuk menikmati pemandangan langit sore. "Kupikir, dibandingkan dengan Charlotte yang sadis dan Victoria yang kejam, sifat Emilia terlihat lebih berbahaya dari mereka berdua, karena gadis itu pandai memainkan peran malaikat, padahal sebenarnya, dia sama buruknya seperti Charlotte dan Victoria. Ayolah! Apakah tidak ada satu pun Putri di sini yang hatinya baik dan perilakunya bak bidadari? Kurasa, seharusnya Putri kerajaan memiliki sifat seperti itu, tapi mengapa gadis-gadis yang kutemui semuanya punya sikap yang buruk. Haaaah~ aku lelah." Walaupun Arga berkata begitu, tapi sejujurnya, dia juga punya rasa ketertarikan pada Charlotte, Victoria, juga Emilia. Puk! Tiba-tiba, sebuah benda terjatuh entah dari mana ke kepalanya, setelah dia lihat, ternyata itu adalah sebuah pensil yang ditubuhnya tertulis nama 'Laila'. "Oh, sepertinya pensil ini milik Putri Laila, kebetulan sekali aku belum pernah bertemu dengannya, kalau begitu, nanti malam aku akan menanyai para pelayan mengenai kamarnya Putri Laila, aku akan mengembalikan pensil miliknya dan juga, berkenalan dengannya." Arga bersiul-siul santai, padahal sebenarnya, dia masih trauma pada sikap para putri di sini, dia berharap semoga Putri Laila berbeda dari tiga putri yang telah ditemuinya. Pada pukul delapan pagi, ketika orang lain sudah sibuk dengan pekerjaannya, Arga masih terlelap di ranjangnya tanpa merespon dering alarm yang sedari tadi menjerit-jerit di samping kepalanya. Pria itu benar-benar lambat jika berurusan dengan bangun tidur, bahkan dia sering terkena omelan orang karena keteledorannya dalam mengatur waktu. Beruntungnya, selama dia tinggal di istana ini, tidak ada satu pun yang dapat mengganggu tidur nyenyaknya, dia bahkan bebas bangun pada pukul berapa pun, karena notabanenya dia adalah seorang tamu kerajaan, jadi sudah sewajarnya tuan rumah tidak boleh mengganggu tamunya yang sedang tidur. Itu merupakan keuntungan besar bagi Arga Gelisto. Walaupun di hari pertamanya, dia pernah dibangunkan oleh seorang pelayan wanita dengan memakai terompet, untungnya, pelayan sialan itu sudah tak datang lagi ke kamarnya, mungkin ia kaget karena melihat Arga tidur tanpa mengenakan apa-apa. "Sudah pagi lagi, ya?" Akhirnya, pangeran bertanduk itu membuka matanya. Memandangi pantulan dirinya yang berantakan di cermin, lalu, dia langsung bergegas ke kamar mandi. Seorang Arga, seumur hidupnya tidak pernah menguras waktu dalam membersihkan tubuhnya di kamar mandi, dia selalu menghabiskan paling tidak dua menit untuk sekedar mandi pagi. Karena itulah, walaupun bangunnya lambat, kalau berurusan mandi, dialah yang paling unggul. Hanya butuh sepuluh menit untuk Arga merapikan diri seperti mengenakan baju dan celana atau pun yang lainnya, karena baginya, seorang pria harus menghargai waktunya. Dan yeah, kini dia sudah meninggalkan kamar pribadinya dan berjalan menuju kamar Laila untuk mengembalikan pensil putri itu yang jatuh ke kepalanya kemarin sore. Dua ketukan di pintu, sang penghuni kamar, Putri Laila, langsung membuka pintu untuk Arga yang tengah berdiri gagah di depan kamarnya. Sekarang, Arga mengenakan kemeja putih mengkilap disertai celana putih bersih, dia tak memakai jaket berbulunya untuk hari ini, karena dia pikir, bosan jika terus-terusan dipakai tiap saat. Melihat penampilan Arga yang tampak rapi, Laila, gadis berambut merah itu terkejut. Dari ekspresinya, Putri Laila terlihat terpesona dengan ketampanan Arga. "Maaf, tapi ada urusan apa Anda mengetuk pintu kamarku, Tuan?" tanya Laila dengan suara yang begitu lembut. Arga berdehem sebelum menjawabnya. "Aku hanya ingin mengembalikan ini padamu." Tanpa basa-basi, Arga lekas memberikan pensil indah itu pada Laila. Laila lagi-lagi terkejut. "Ya ampun, ini pensilku, di mana kau menemukannya? Aku sangat berterima kasih karena kau mengembalikan pensil kesayanganku yang kemarin jatuh karena kecerobohanku menulis di dekat jendela." Laila menerima pensil miliknya dengan senang hati, dia kelihatannya sangat gembira karena benda kesayangannya kembali pulang. "Pensil ini kebetulan jatuh ke kepalaku kemarin sore saat aku sedang bersantai di balkon, karena ada nama 'Laila' di tubuh benda itu, jadi kupikir ini adalah pensilmu, makanya aku ingin segera mengembalikan pensil ini padamu." Mendengar ucapan Arga membuat Laila mengangguk paham. Kemudian, gadis itu mengajak Arga untuk sarapan di ruang makan istana, karena dipaksa, apa boleh buat. Sesampainya di ruang makan yang megah dan luas itu, Arga diperintahkan untuk duduk di kursi makan oleh Laila, sementara gadis itu mengambil beberapa makanan yang tersedia di dapur, padahal para pelayan menasehati Laila untuk tidak mengambil makanan sendiri, sebab itu tugasnya mereka, tapi kelihatannya gadis itu tidak mau merepotkan orang lain. "Nah, sebagai ucapan terima kasihku, aku harap kau menyantap semua makanan ini sesukamu, Tuan." kata Laila setelah dia meletakkan beberapa piring berisi makanan di meja makan yang panjang itu. Arga hanya bisa menelan ludah, tak tahan dengan aroma makanan yang menggodanya. "Padahal kau tidak perlu melakukan ini, tapi baiklah, aku akan menghabiskannya untukmu, Putri Laila." Arga pun mengambil lauk pauk yang tersedia di meja dan mengunyahnya dengan nikmat, sementara Laila tersenyum senang memandanginya dari kursi yang saling berhadapan. "Kau tidak sarapan juga, Putri?" tanya Arga pada Laila karena heran mengapa gadis itu tidak ikut makan bersamanya. "Oh, aku sudah sarapan, kok." jawab Laila dengan senyuman cantik. "Ngomong-ngomong, siapa namamu, Tuan? Baru kali ini aku melihatmu, apakah kau tamunya Ayah?" Mendengar pertanyaan itu, Arga menghentikkan makannya dan menatap mata Laila dengan canggung. "Namaku Arga Gelisto, ya, aku adalah tamu Ayahmu." Telapak tangan Laila reflek menutup mulutnya saking kagetnya mendengar jawaban Arga, matanya terbelalak. "Jadi, Arga Gelisto yang sedang dibicarakan banyak orang itu kau, ya?" Arga sendiri kaget mendengar dirinya dibicarakan banyak orang. "Eh? Benarkah? Apa yang mereka bicarakan tentangku?" "Sesuatu seperti kau pria b******k, m***m, jahat, dan semacamnya, apa itu semua benar?" Arga mendadak tertawa, membuat Laila kebingungan. "Ada-ada saja, hahaha!" "Kutanya, apakah kau itu memang seperti itu? Maksudku, aku tidak terlalu percaya pada gosip, karena itulah, aku tanya padamu, apa kau orangnya memang begitu, Tuan Arga?" "Menurutmu, setelah bertemu denganku, apakah aku sama seperti yang dibicarakan banyak orang?" Karena Arga bertanya begitu, Laila langsung tersenyum. "Tentu saja, tidak." "Mengapa kau yakin aku tidak seperti yang dibicarakan orang?" Laila menghela napasnya, kemudian dia beranjak dari kursinya dan mendekati Arga lalu membisikikan sesuatu ke telinga lelaki bertanduk itu. "Karena ... aromamu." Arga geli mendengarnya. "Aromaku? Ada apa dengan aromaku?" Laila kembali ke kursinya dan merespon pertanyaan Arga dengan mata yang terkesan serius. "Aku mencium aroma yang berbeda dari kebanyakan orang katakan tentangmu. Sudah kukatakan, aku tidak suka pada gosip, aku lebih suka jika bertemu dengan orangnya langsung. Karena menurutku, terkadang semua orang melebih-lebihkan fakta yang ada." Setelah melihat sosok Putri Laila dari dekat, Arga berpikir kalau gadis itu sedang menipunya dengan sifat ramahnya, seperti yang dilakukan Emilia padanya. "Apakah kau selalu mengenakan topeng, Putri Laila?" Tiba-tiba, Arga melontarkan pertanyaan tajam pada Laila. Gadis berambut merah itu tersentak mendengarnya. "Topeng? Apa maksudmu?" "Semacam kau menyembunyikan dirimu yang sebenarnya pada banyak orang, dan kau menutupinya dengan sifat ramah yang hangat." "Apa kau berpikir aku begitu, Tuan Arga?" Laila tersenyum tipis. "Ataukah, kau sudah bertemu dengan Kakakku, Putri Emilia?" Gawat, mengapa Putri Laila tahu kalau dibalik Arga menanyakan itu, karena dia trauma pada sifat Emilia. Arga tidak merespon dan Laila kembali melanjutkan ucapannya. "Kau tahu, dari dulu, aku tidak suka pada sifat Kakakku, Putri Emilia, karena dia selalu menyembunyikan dirinya yang asli pada semua orang. Dan apa juga kau tahu, kalau Kakakku pun sebenarnya tersiksa pada perilakunya sendiri. Jadi, saat kau menyebut kata topeng, aku jadi teringat pada Kakakku. "Aku sudah beberapa kali membujuk Kakakku untuk menunjukkan dirinya sendiri pada orang lain, tetapi dia tetap tidak mendengarku. Aku sedih melihat Kakakku terus-terusan menderita karena sikapnya sendiri. Aku harap, sangat berharap, ada lelaki yang mau menerima dia apa adanya. "Tapi kau tidak perlu khawatir, Tuan Arga, seumur hidupku, aku tidak pernah menyembunyikan apa pun pada semua orang. Aku bersikap seperti ini karena kepribadianku memang begini." Arga tercengang mendengar Laila menjelaskan sifat Emilia dengan detail, dia pun berpikir kalau gadis itu sangat perhatian pada saudara-saudaranya, tidak, mungkin pada semua orang. "Ehem!" Arga berdehem. "Terima kasih atas makanannya, Putri Laila. Aku senang kau memberikanku penjelasan yang begitu rinci terhadap sifat Kakakmu, tapi apakah kau tahu, sifat perhatianmu itu bisa saja menjadi hal yang berbahaya bagi kerajaan ini." Laila tersentak. "Eh?" Arga mulai menjelaskan. "Sebelum aku bertemu denganmu, aku telah bertemu dengan Putri Charlotte, Putri Victoria, lalu Putri Emilia. Mereka semua memiliki sifat buruk yang benar-benar kubenci, tapi apakah kau tahu, sifat buruk mereka pun dapat digunakan di kerajaan ini. Apakah kau pernah dengar kalau banyak peperangan terjadi karena betapa baiknya seorang tuan rumah terhadap tamunya hingga ia tak segan-segan memberitahu rahasia-rahasia yang ada di kerajaannya pada sang tamu. "Dan apa yang terjadi setelahnya? Yaitu Peperangan. Penyebabnya adalah orang yang bertamu itu tidak lain adalah prajurit dari musuh bebuyutan kerajaannya yang menyamar masuk ke istana. Dan kebetulan sekali, kau juga memiliki sifat baik itu, Putri Laila." Laila terdiam, lalu dengan nada terbata-bata, dia menjawab, "Ja-Jadi, yang Tuan Arga maksudkan adalah, kau menasehatiku untuk tidak terlalu baik pada tamu kerajaaan, begitu?" Arga mengangguk. "Lalu, apakah aku juga harus berlaku kejam seperti saudara-saudaraku yang lain pada seorang tamu?" Arga nyengir mendengarnya. "Walau aku benci mengatakannya, tapi kau memang harus begitu. Maaf, Putri Laila, tapi, apakah kau pernah kehilangan sesuatu yang besar setelah menjamu tamu?" Laila mencoba mengingat-ingat dan matanya langsung membelalak. "Ah, aku ingat. Dua bulan yang lalu, perhiasanku hilang semua setelah aku menjamu seorang tamu wanita." Laila berpikir sebentar dan berkata "Mungkinkah orang yang mencuri perhiasanku adalah tamu itu?" "Benar! Walau belum ada bukti, tapi faktanya sudah jelas kalau dialah pelakunya. Putri Laila, aku ingin kau juga menjaga jarak dari tamu sepertiku, bisa saja orang yang sekarang kau ajak ngobrol pun adalah seorang penjahat, kan?" Arga tersenyum menyindir dirinya sendiri. "Tapi aromamu tidak tercium seperti seorang penjahat, Tuan Arga," kata Laila dengan yakin. "Tapi, apa kau tahu," Atmosfir ruang makan menjadi dingin, membuat Arga memiringkan kepalanya menyadari ada keanehan di sini. Dan tiba-tiba, kepala Arga pusing tujuh keliling, rasanya seperti ada benda yang hinggap di tengkoraknya. Arga bahkan jatuh dari kursinya karena lehernya serasa seperti dicekik. Penyiksaan apa lagi ini? "Aku sudah menaruh racun di makananmu." ucap Laila dengan tersenyum memandangi Arga yang kejang-kejang di lantai. "Jangan khawatir, aku tidak memakai topeng, kok. Aku hanya ingin menjaga-jaga saja dari seorang tamu, seperti yang kau katakan padaku, Tuan Arga." BRUG! Sampai akhirnya, Arga tumbang di lantai dengan mulut berbusa-busa dan mata melotot kesakitan. "Racun itu telah menyebar ke seluruh tubuhmu, kau akan merasa kesakitan sampai kau kuberi obat penenang, Tuan Arga." Kemudian, Putri Laila beranjak dari kursinya, berjalan meninggalkan ruang makan dengan anggun. "Pelayan, tolong bawa lelaki bertanduk itu ke laboratoriumku." Terdengar suara bip-bip-bip yang meraung-raung di tempat Arga terbaring, ranjang kecil dengan tiang-tiang penyangga serta kelambu di atasnya melingkupi tubuh lelaki bertanduk itu yang masih terlelap. Rasa sakit dari racun yang dicampur dengan makanannya kini telah menghilang, Laila sudah memasukkan obat penenang ke mulut Arga, obat tersebut bentuknya cair seperti minuman berwarna merah marun. Suara yang tadi terdengar rupanya merupakan mesin yang mendeteksi jantung Arga, artinya, lelaki pirang itu masih dikatakan hidup jika mesin tersebut bersuara. Tempat ini tidak lain adalah laboratorium milik Laila, terlihat banyak sekali lemari-lemari kaca yang di dalamnya tersimpan puluhan atau bahkan ratusan botol-botol obat, gadis itu kelihatannya punya bakat untuk menjadi seorang ilmuwan atau pun dokter, tapi sayangnya, karena hidupnya sudah ditakdirkan sebagai tuan putri, Laila pun tidak bisa berpaling dari hal-hal selain kepemimpinan kerajaan walaupun dia kurang menyukainya. Tembok berwarna biru cerah disertai aroma obat-obatan menjadi ciri khas dari sebuah laboratorium, dilengkapi juga meja-meja yang di atasnya terdapat toples-toples kaca yang bentuknya unik, ada yang seperti ular, permata, bahkan boneka, isi dari toples-toples tersebut merupakan cairan hasil percobaan Laila dalam meneliti berbagai reaksi-reaksi kimia. "Tuan Putri Laila, apakah racun yang Anda berikan kepada Tuan Arga sudah sepenuhnya hilang di seluruh tubuhnya? Maaf jika saya bertanya dan mengganggu Anda, tapi saya hanya cemas jika Anda membunuhnya, maka Raja William pasti akan menghukum Anda, karena Tuan Arga merupakan tamu spesial beliau." Laila yang sedang berdiri di dekat ranjang Arga untuk memantau sejauh mana perkembangan lelaki itu dalam bertahan hidup langsung menoleh pada pelayan yang barusan menanyainya, lalu, Laila tersenyum dan menjawabnya dengan pelan, "Jangan khawatir, aku tidak pernah memiliki niat buruk dalam memperlakukan seorang tamu, jadi, kau tidak perlu mencemaskan hal itu." Kemudian, gadis berambut merah itu mengambil sebuah benang di meja dan menjahit luka-luka di tubuh Arga, entah di kaki, perut, punggung, atau pun wajah. Laila bergumam lembut, "Sepertinya pria ini telah terluka akibat pertemuannya dengan saudara-saudaraku, aku rutin melakukan hal ini pada seorang tamu agar dia bisa kembali pulih seperti semula. Terkadang, perawatan yang diberikan dokter yang disewa Ayah tidak membuahkan hasil yang maksimal dalam mengobati luka-luka yang diterima oleh pasiennya sehingga aku harus turun tangan melakukan ini." Pelayan wanita yang mendengar gumaman Laila sedikit kaget, "Ap-Apakah racun yang Anda berikan pada Tuan Arga di makanannya sesungguhnya bukanlah sebuah racun melainkan obat tidur tingkat tinggi?" Laila lagi-lagi tersenyum mendengar omongan pelayan wanita yang memandanginya dari kejauhan, "Kau layak mendapatkan hadiah karena berhasil menebak rahasiaku." "Tapi, mengapa obat tidur yang Anda berikan bisa membuat Tuan Arga kesakitan hingga jatuh dari kursi dan mulutnya mengeluarkan busa? Apakah reaksinya sampai semenyakitkan itu, Yang Mulia?" Laila langsung meresponnya, "Aku sengaja memberikan rasa sakit pada obat tersebut karena aku ingin membuat lelaki itu merasa dirinya sedang diracuni dan terancam mati, karena jika tidak, maka Tuan Arga pasti akan meremehkan hal ini." "Begitu rupanya, kedengarannya, Anda sangat berniat melindungi Tuan Arga dengan cara Anda sendiri, saya bersyukur." kata Pelayan wanita dengan senyuman bangga pada Laila, sementara Laila terlihat fokus menjahit luka yang ada di tubuh Arga. "Pelayan, tolong, tinggalkan aku dengan lelaki ini sendiri, ada hal yang harus kulakukan dan aku tidak bisa melakukannya jika ada seseorang memperhatikanku." Dengan anggukan kepala, pelayan itu segera pergi dari laboratorium milik Laila. Setelah pelayan itu menghilang, Laila langsung memakai masker serta sarung tangan, kemudian dia mengambil gunting, pisau, dan alat-alat tajam lainnya untuk digunakan di sesi akhir. "Saatnya pengoperasian, semoga berjalan dengan lancar." kata Laila dengan kening yang berkeringat. Dan Laila pun memulai operasinya pada tubuh Arga yang menurutnya harus disembuhkan. *** Dua jam telah berlalu, langit sore telah berganti menjadi malam, suara lolongan serigala terdengar nyaring disertai dengan bunyi serangga yang terus menghiasi nuansa malam yang menyeramkan. Kerajaan Vanterlock adalah wilayah yang dipimpin oleh Raja William, kerajaan tersebut dikenal sebagai tempat yang sangat damai dan sejahtera, namun berbeda jika kau masuk ke dalam istananya. Semua orang sudah tahu, walaupun Vanterlock merupakan kerajaan yang sangat damai, tetapi para putri yang menghuni istana terkenal kejam dan angkuh, banyak wisatawan yang enggan untuk masuk ke dalam istana karena takut bertemu dengan para putri, begitu juga para bangsawan, mungkin hanya beberapa orang yang berani untuk berkunjung ke dalam istana, itu pun pulang dengan keadaan yang teramat mengenaskan. Namun, ada seorang lelaki asing yang tidak dikenal dari mana dia berasal, sangat berani bahkan percaya diri ketika dirinya masuk ke dalam istana dan menawarkan diri untuk menikahi salah satu putri di kerajaan Vanterlock. Lantas, karena kedatangan Arga Gelisto yang mengejutkan, semua pihak, dari rakyat jelata hingga para bangsawan terkejut akan hal itu. Sampai hari ini pun, Arga sudah bertemu setidaknya empat dari lima putri kerajaan Vanterlock. Arga sudah merasakan siksaan dari Putri Charlotte, Putri Victoria, Putri Emilia, hingga Putri Laila, satu putri lagi yang belum dia temui, yaitu, seorang putri yang sangat suka dengan hal-hal mistis dan sihir gelap, yaitu Putri Agnes. Dari kesekian putri yang sudah ditemui Arga, hanya Putri Laila lah yang menurutnya sangat baik dalam menyambut kedatangannya, walau dia juga terkena racun yang diracik Laila di makanan yang dia makan, padahal sebenarnya, racun itu bukanlah sembarang racun. "Ak-Aku di mana?" Arga telah mengumpulkan kesadarannya dan terkejut karena matanya terkena cahaya silau dari lampu operasi yang besar dan menggantung tepat di dekat wajahnya. Tunggu dulu? Kenapa dia bisa di tempat operasi seperti ini? Siapa yang mengoperasi tubuhnya? Pikiran Arga langsung menerjang ke mana-mana. Samar-samar, dia melihat ada seseorang yang berdiri memandanginya dari pinggir ranjang, wajah orang itu tertutup karena mengenakan masker dan yang dia tahu hanya warna biru dari matanya dan rambut panjangnya yang merah pekat. "Syukurlah, kau sudah siuman, Tuan Arga." Suara itu? Bukankah itu suaranya Laila? batin Arga mulai penasaran, dia terlihat tidak paham pada situasi yang terjadi saat ini. Jika itu memang Laila, mengapa gadis itu mengenakan masker dan juga memakai pakaian bak seorang dokter yang melakukan operasi, yaitu baju serta celana berwarna hijau, di mana gaunnya yang indah itu? "Apa yang kulakukan di sini denganmu?" Pertanyaan itu secara tidak sengaja terlempar begitu saja dari mulut Arga, padahal dia lebih ingin bertanya hal yang lebih spesifik. "Lukamu. Aku mengobati lukamu yang terdapat di punggung, lalu di telapak kaki serta di organ dalam tubuhmu. Apa yang terjadi sehingga kau mendapatkan banyak luka seperti itu, Tuan Arga?" Arga masih terbaring lemas di ranjang, suasana hening yang menyelimuti laboratorium membuatnya canggung untuk berbicara dengan Putri Laila. "Aku terluka akibat peperangan yang kuikuti tiga bulan yang lalu." Arga tahu kalau saat ini Laila sedang tersenyum dibalik maskernya. "Kau sedang berbohong, 'kan?" "Eh?" Arga kaget karena kebohongannya dengan mudah diketahui oleh Laila, apakah gadis itu dapat membaca pikirannya, ya? Atau mungkin bisa membaca gerak-gerik orang yang sedang berbohong? "Kenapa kau bertanya begitu?" tanya Arga dengan wajah pucat. "Aku bisa melihatnya dari caramu berbicara, Tuan. Matamu memandang ke arah yang lain saat menjawab pertanyaanku, lalu keluar keringat dari pelipismu, serta bibirmu sedikit bergetar, itu adalah tanda seseorang sedang berbohong padamu." Lelaki itu mendengus. "Baiklah-baiklah, aku akan menjelaskan kebenarannya." Kemudian, Arga menceritakan segala yang telah dia alami sampai mendapatkan luka-luka tersebut hingga Laila memahaminya. "Jadi luka yang ada di punggungmu itu akibat cabikan anjing peliharaan Charlotte? Lalu, luka yang ada di telapak kakimu karena paksaan dari Emilia untuk menari balet dan karena kau belum mahir, kakimu pun kurang terbiasa sampai terluka begitu. Tapi, mengapa kau tidak memberontak saja pada mereka agar kau dihargai, Tuan Arga. Jika begini terus, kau hanya menjadi umpan untuk rasa benci mereka padamu." Iris mata Arga membesar mendengar ucapan Laila. "Lalu, bagaimana denganmu?" Alisnya mengkerut, Laila terlihat heran. "Kenapa kau bertanya padaku?" "Maksudku," Arga menyanggah pertanyaannya. "Bagaimana denganmu, bukankah kau juga melampiaskan kebencianmu padaku dengan mencampurkan racun pada makananku, bukan?" Senyuman tipis langsung terukir dibalik masker yang dikenakan Laila. "Apa kau marah padaku, Tuan?" Tatapan Arga langsung tertuju pada mata Laila. "Menurutmu, bagaimana?" "Kau marah padaku," jawab Laila dengan singkat. "Mengapa kau bisa berpikir demikian?" "Tentu saja," kata Laila. "Karena aku telah meracunimu." "Sebenarnya, kau tidak berniat begitu, kan? Sesuatu yang kau sebut sebagai racun sebenarnya sebuah obat penidur, kan? Soalnya, aku dulu pernah mengalaminya." "Hmm? Mengalaminya?" Keheningan kembali tercipta diantara keduanya, mereka saling memandang. Arga dan Laila terlihat menyimpan sesuatu yang besar namun enggan untuk dikatakan secara langsung. Sekilas, tampaknya Arga bisa memahami perbuatan Laila yang diam-diam melindunginya, seperti yang sekarang gadis itu lakukan, menyembuhkan semua luka yang Arga dapatkan dari saudara-saudara Laila. "Laila." panggil Arga dengan pelan. Gadis itu terlonjak namanya dipanggil, padahal mereka sedang saling memandang. "Ada apa, Tuan?" "Terima kasih." Perlahan-lahan, muka Laila merona merah mendengar ucapan terima kasih yang mendadak Arga ucapkan padanya. Gadis itu langsung menundukkan kepalanya karena malu. Laila tidak menduga kalau Arga bisa berpikir demikian, padahal yang dia lakukan hanyalah mengobati kesehatannya, tidak lebih. Tapi, entah mengapa, mendengar kata terima kasih yang kedengarannya sepele malah membuatnya malu sekali.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD