Menjual harga diri

1100 Words
Kai memperhatikan wajah wanita yang duduk di depannya. Sangat cantik dan terlihat sangat cakap. Sungguh tidak pernah terpikirkan olehnya akan terjebak dalam situasi canggung seperti itu. "Kau bisa bersiap lebih dulu. Tidak harus malam ini!" Anima melihat kegugupan pegawainya itu, sebenarnya dia juga gugup, tapi Anima sudah yakin dengan apa yang dia inginkan. "Baik, bos!" jawab Kai yang benar-benar gugup. "Panggil aku dengan namaku saat di luar kantor. Agar mengurangi kecanggunganmu!" Anima memperhatikan kalau Kai sampai terlihat pucat. "Itu akan tidak sopan. Saya hanya pegawai anda, bagaimana jika saya memanggil nona?" Kai belum pernah berurusan dengan wanita kaya, dia tidak tahu apa mereka suka dan tidak suka. Anima menyetujuinya. Dia kemudian mengambil laptopnya. Mengetikkan sesuatu, mengabaikan keberadaan laki-laki di ruangan itu. Kaelan masih asik dengan pengamatannya. Dia tidak mengerti kenapa seorang wanita ingin memiliki anak tanpa pernikahan. Apalagi jika itu adalah wanita dari keluarga terpandang. Bukankah itu akan jadi masalah jika dia benar-benar hamil tanpa suami? "Kau bisa melaporkan semua biaya rumah sakit ibumu secara berkala. Aku akan langsung mentransfer ke rekeningmu!" Anima berbicara masih tanpa mengangkat pandangannya dari layar laptop. "Terimakasih, itu akan merepotkanmu!" Kai sebenarnya malu, ini adalah titik terendah dalam hidupnya, hingga dia harus menjual harga dirinya pada seorang wanita. "Kenapa berterimakasih, kita hanya saling memanfaatkan! Ini, baca dulu kesepakatannya. Kau bisa menambahkan, jika ada yang kurang!" Anima menunjukkan lembar kerja pada laptopnya, di sana tertulis perjanjian dan kesepakatan yang akan mengikat mereka dari tindakan ingkar. Kaelan tahu itu dengan jelas, karena dia juga paham hukum. "Bisakah kalau aku menambahkan, tentang mengunjunginya sebagai seorang ayah kelak?" Kai berpikir kalau akan menyedihkan, jika dia tidak bisa melihat anaknya sendiri. "Kau bisa menambahkan, anak itu bisa mengakuimu sebagai ayahnya, tapi kau tidak bisa mengakuinya pada orang lain!" Anima tidak terlalu kejam, dia membiarkan Kaelan untuk mencantumkan namanya dalam akte, juga bisa menemuinya, tapi dia tidak bisa menunjukkan pada orang lain, kalau itu adalah anaknya. Agaknya itu tidak masalah untuk Kai, asal dia masih bisa melihat anaknya. Setelah kesepakatan dibuat, Anima mencetaknya, ada satu ditangan Kai dan satu lagi di tangan Anima. Mereka menandatangi kesepakatan tersebut. "Kau akan tetap jadi pegawai di kantor, aku akan memindahkan posisimu jadi karyawan di sana, dan mulai besok kau akan tinggal di sini bersamaku hingga usahanya berhasil!" Anima mengatakannya tanpa beban, sedangkan Kai menahan nafas saat mendengarnya. Dia senang karena bisa menjadi karyawan. Tapi mendengar tentang tinggal bersama, dia benar-benar takut hingga berkeringat. Padahal ruangan itu ber-AC. Kaelan tahu kalau wanita dan pria yang belum menikah seharusnya tidak bisa tinggal bersama. Dia merasa pusing dengan itu, melanggar hati nuraninya sendiri. "Nona, apakah anda benar-benar ingin saya tinggal di sini. Bukankah akan tidak nyaman kalau kita tinggal satu atap?" Kai mengungkapkan pendapatnya, tapi melihat Anima tidak terlalu senang dengan ucapannya, dia segera menjelaskan lagi. "Maksud saya, bagaimana jika saya hanya datang saat-saat tertentu?" Kai menggaruk belakang kepalanya, melihat Anima kembali menatap laptopnya tanpa menjawab. Kai bingung harus bereaksi seperti apa, wanita di depannya terlalu nampak kuat. Tidak bisa diganggu dan tidak banyak bicara. Dia tidak akan berani untuk mengganggunya. Setelah cukup lama mereka hanya diam, Anima melirik ke arah laki-laki yang sedang memainkan ponselnya. Saat dia melihatnya, laki-laki di depannya itu tahu dan juga salah tingkah. Anima tidak tahu, kenapa seorang sarjana hukum bisa memiliki mental seperti itu. Dia terlalu malu-malu menurutnya. Juga, tidak ada ketegasan yang menunjukkan kalau dia seorang yang tahu hukum. Dia jadi berpikir, mungkin itu yang membuatnya kesulitan mendapatkan pekerjaan. Sehingga hanya bisa menjadi cleaning servis. "Kau memiliki nilai yang tinggi. Dan kau juga berprestasi sejak masa sekolah dasar, kenapa kau tidak terlihat seperti itu?" tanya Anima kejam. Kai kesulitan menjawab, dia tidak menyangka wanita di depannya itu tahu tentang prestasinya. Hanya saja, meskipun pertanyaan itu terdengar kejam, Kai tidak melihat ada raut wajah penghinaan di wajahnya. Yang dilihatnya adalah murni rasa penasaran. Dalam pembelajarannya, Kai juga diajarkan untuk mengamati ekspresi seseorang, dan menurutnya wanita itu benar-benar penasaran. "Di dunia ini, ada yang tidak bisa di ganggu gugat. Yang kuat akan menang, sedangkan yang lemah akan terinjak. Mungkin itu juga terjadi padaku. Saya tidak cukup kuat untuk bisa berdiri mengalahkan yang lain!" Kai menjawab lugas, dia mengalami sendiri dimana kecerdasannya tidak berguna sama sekali tanpa adanya kekuatan. "Kau berpikir begitu?" Anima mengangguk, dia tidak setuju tapi juga tidak membantah. Ada beberapa yang seperti itu, tapi yang dia lakukan selama ini hanya ingin berdiri tanpa kekuatan orangtuanya. Apa yang diraihnya selama ini hasil dari kerja keras. Tapi orang-orang hanya akan melihatnya sebagai orang yang memanfaatkan kekayaan orang tua. Dan tidak ada yang salah tentang itu, toh dia anak dari orangtuanya. Terserah dia mau menggunakan kekuasaan itu atau tidak. "Kau tahu kenapa aku memilihmu?" Anima menyipitkan matanya, dia masih menilai karakter laki-laki itu. "Saya tidak tahu. Bahkan, saya juga bingung setengah mati. Kenapa wanita cantik dan hebat seperti anda akan melirik saya? Dan saat saya tidak menemukan jawabannya, saya hanya ingin bersyukur karena bisa memberikan pengobatan pada ibu saya!" Setelah pengamatan, Kai melihat wanita di depannya itu selalu berkata terus terang. Untuk itu, dia juga tidak akan menutupi apapun. "Yah, aku tidak benar-benar memiliki alasan untuk memilihmu. Tapi aku punya alasan untuk melakukan ini. Aku punya standar sendiri, dan percayalah kau sangat cocok!" Anima tidak mengungkapkan alasannya untuk memiliki anak, karena hubungan mereka hanya sebatas rekan membuat bayi. Kai tidak bisa merasa sedikit senang mendengarnya. Artinya dia layak dan masuk standarnya. Tapi kenapa? Bukankah mereka baru kenal, dan dia juga bisa mendapatkan laki-laki yang lebih layak di luar sana. "Kau bingung? Aku punya kebutuhan yang mendesak untuk segera memiliki anak. Aku tidak akan secara acak memilih ayah dari calon anakku. Aku tidak butuh pria kaya, karena itu akan merepotkan untuk kedepannya nanti. Dan kau tidak kaya! Aku butuh otak pintar, agar anakku punya intelektual tinggi nantinya. Kau pintar, tapi kau lemah!" Anima acuh tak acuh mengungkapkan alasannya. Kai yang tadinya senang kini jadi agak sedih. Jadi itu alasannya? Secara tidak langsung, wanita itu hanya melihat kekurangannya sebagai kesempatannya. Pantas saja, mana mungkin wanita kaya mau memimilik anak dengannya. Mengakhiri obrolan, Kai memilih pamit pulang dengan alasan ingin menunggui ibunya. Dia keluar dengan perasaan yang anehnya agak terluka. Dia berpikir terlalu tinggi, sehingga saat harga dirinya jatuh, dia jadi terluka. Tersenyum masam, dia meratapi nasibnya. Sarjana hukum yang butuh uang cepat, berakhir dengan menjadi cleaning servis, kemudian lebih parah lagi dia menjual harga dirinya. Kai berjanji, setelah dia melihatnya ibunya sembuh. Dia akan bangkit, karena dia yakin tidak ada yang akan berakhir sia-sia. Termasuk pendidikannya. Dia bahkan tidak memiliki uang untuk naik ojek, dia berjalan kaki dari apartemen Anima ke rumah sakit. Karena semua yang dia miliki untuk biaya rumah sakit ibunya sejak beberapa waktu lalu. ___ Bersambung…
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD