Episode 1

2008 Words
"Kak Dev, aku menyukaimu, apa kau mau menjadi kekasihku?" Namanya Vanya Anastasia, perempuan dengan penampilan cupu, mempunyai rambut sebahu, dengan kacamata yang selalu bertengger di hidungnya, tak lupa behel yang menempel di giginya. Kini di depan teman sekelasnya, Vanya memberanikan diri menyatakan rasa sukanya pada kakak kelasnya. Dan di sana, laki-laki yang tengah berdiri kebingungan karena seorang perempuan tengah menembaknya secara langsung, namanya Devan Gunawan. Laki-laki yang selalu menjadi pujaan hati bagi setiap kaum perempuan di sekolah, termasuk Vanya sendiri. Devan termasuk murid yang pintar, baik akademik maupun non akademik, dan hal itu semakin menambahkan nilai sempurna untuknya. Devan terdiam cukup lama, dia tidak menyangka kalau perempuan itu begitu berani menembaknya di depan semua murid di kelas. Bukan hanya di kelas saja, di luar pun banyak murid-murid yang berkerumun menyaksikan mereka. Apa Vanya tidak malu jika Devan sampai menolaknya? Dengan nada pelan Devan menjawab, "Ve, aku tidak bisa." "Kenapa?" Nada bicara Vanya terlihat tidak bersemangat lagi, tidak seperti saat dia menyatakan cintanya tadi. "Devan tidak bisa menerimamu menjadi kekasihnya, karena dia tidak pernah menyukaimu Vanya." Tiba-tiba Gio -teman Devan- datang, dan berkata seperti itu. Gio memandang remeh Vanya lalu merangkul bahu Devan, "Aku dan Devan sudah sepakat untuk bertaruh. Aku menyuruh Devan untuk mendekatimu, membuatmu jatuh cinta sama dia. Dan kalau Devan berhasil, dia akan mendapatkan apapun yang dia mau." Vanya speechless, dia juga terkejut. Vanya menatap Devan dengan raut wajah kaget, "Jadi, kalian jadiin aku bahkan taruhan?" Vanya menggelengkan kepalanya, tidak menyangka kalau Devan bisa berbuat sejahat itu padanya. Apa salah Vanya? Kenapa Devan begitu melukai hatinya? Vanya berani menyatakan cintanya karena dia pikir, Devan benar-benar menyukainya. Devan selalu perhatian dengannya, Devan selalu ada untuknya, di saat semua teman-temannya menjauhinya. Vanya pikir, Devan melakukannya dengan tulus, tapi ternyata Vanya salah besar. Devan menjadikannya bahan taruhan, di saat Vanya memberikan kepercayaan penuh padanya. Tubuhnya lemas, air mata mengalir di pipinya. Vanya melihat sekelilingnya, ada banyak orang yang menyaksikannya, karena merasa malu Vanya langsung berlari keluar kelas. Sedangkan Devan juga tidak bisa berbuat apa-apa selain membiarkan Vanya pergi, karena yang di katakan Gio memang benar. Devan dan Gio bersekongkol untuk membuat taruhan konyol yang melibatkan Vanya. Bukan hanya itu, Gio menyuruh Devan untuk menantang Vanya, jika Vanya benar-benar menyukai Devan, apa Vanya berani menembaknya di depan semua teman sekelasnya. Kalau Devan berhasil, Gio akan percaya kalau Devan benar-benar sudah memenangkan pertaruhan. Dan ternyata terbukti, Vanya berani melakukan itu. Dan Devan juga tidak menyangka kalau Vanya bisa seberani itu menerima tantangannya. And now, game over! ****** Vanya terbangun dari tidurnya, dia menghembuskan nafasnya kasar. Mimpi itu? Vanya sudah tidak ingin mengingat hal itu, tapi kenapa setelah bertahun-tahun mimpi itu datang lagi? Membuat Vanya semakin membencinya, semakin membenci laki-laki yang hanya memandang perempuan dari fisiknya saja. Dan juga semakin membenci laki-laki yang senang menjadikan perempuan menjadi bahan taruhan. Vanya mengusap wajahnya lalu beranjak dari tempat tidur. Pukul 06.00, sudah waktunya dia mandi dan berangkat kerja. Selesai mandi dan berpakaian lengkap, Vanya duduk di kursi rias, dia melihat pantulan wajahnya di sebuah cermin berukuran sedang. Vanya tersenyum melihat penampilannya yang sekarang, dia sangat percaya diri dengan apa yang ia miliki sekarang, tidak seperti dulu saat dia masih duduk di bangku SMA. Vanya kemudian memakai mascara, eyeliner, dan terakhir memoles bibirnya dengan lipstik berwarna merah muda yang membuat wajahnya semakin terlihat cantik dan tidak pucat. Selesai merias wajahnya, perempuan itu merapikan rambut panjangnya yang sengaja ia gerai. Lalu memakai sepatu heelsnya, dan merapikan rok span pendek selutut nya. Vanya Anastasia, teman dekatnya atau keluarganya biasa memangilnya dengan sebutan Ve, sedangkan orang lain selain teman dekat dan keluarganya biasa memanggilnya Vanya. Mempunyai paras yang cantik, serta postur tubuh yang membuat semua perempuan iri padanya karena memiliki postur tubuh layaknya seorang model. Banyak pria di luar sana yang meliriknya, dengan sengaja menggodanya. Tapi Vanya tidak pernah menganggap serius, Vanya pikir itu hanya sebuah hiburan untuknya. Jika orang mengira dari dulu Vanya sudah cantik dan mempunyai tubuh ideal, mereka semua salah. Sekitar 5 tahun yang lalu, saat Vanya masih sekolah menengah atas, dia hanya perempuan cupu yang setiap harinya asik membaca buku di perpustakaan, terkadang juga belajar saat jam istirahat. Vanya bahkan mempunyai badan yang kurus, selalu mengepang rambut di sebelah kanan dan kirinya, tak lupa kacamata tebal yang selalu ia pakai ke sekolah. Vanya selalu di pandang sebelah mata oleh teman-temannya. Vanya hanya mempunyai satu orang teman yang benar-benar tulus mau menjadi temannya. Vanya sering di bully kakak kelasnya, terutama murid laki-laki. Vanya bahkan pernah menjadi bahan taruhan kakak kelasnya. Semenjak itu, Vanya bertekad untuk mengubah penampilannya. Setelah Vanya lulus sekolah, dia merantau ke Jakarta bersama sahabatnya, dan Vanya benar-benar merubah semuanya. Dia rajin diet, sering olahraga, sering perawatan juga. Sampai akhirnya, Vanya menjadi perempuan cantik, dan banyak di kagumi kaum lelaki. Tidak ada lagi yang bisa menghinanya. Dan karena masa lalunya itu, Vanya tidak pernah menjalin hubungan dengan laki-laki. Vanya tidak percaya dengan yang namanya cinta. Dia menganggap bahwa cinta laki-laki itu tidak pernah tulus, karena laki-laki hanya  memandang perempuan dari fisiknya saja, bukan hatinya. Buktinya, dulu waktu Vanya masih jelek, tidak ada laki-laki yang tulus menyukainya. Tapi ketika dia sudah cantik, banyak laki-laki yang mengemis-ngemis padanya. Cinta itu bulshit! Setidaknya itu yang Vanya Anastasia tau. "Ve! Sudah siap belum? Aku udah menunggumu lama ini!" Vanya membersihkan bajunya yang sedikit terkena bedak lalu keluar kamar. Vanya membawa tas selempang nya berjalan keluar kamar, "Iya iya... Apa kau tidak bisa sabar sedikit?" Felicia - sahabat Vanya - menatap kesal Vanya yang baru keluar dari kamar, dia melirik jam tangannya, "Hampir satu jam aku menunggumu disini, dan kau masih menyuruhku sabar Ve? Harus sabar bagaimana lagi hah!" Vanya mengangkat kedua sudut bibirnya, dia mengusap lengan Feli agar tidak marah-marah lagi, "Aku minta maaf, kau tau sendiri, aku kalau berdandan memang lama." Feli menghela nafas, jika mereka ingin pergi bersenang-senang Feli tidak masalah Vanya mau dandan berapa lama, tapi ini mereka mau kerja. Feli tidak mau mereka sampai terlambat masuk kerja, "Apa kau lupa kalau hari ini CEO baru kita sudah mulai masuk kerja? Hah?" Vanya menepuk jidatnya sendiri, dia lupa akan hal itu. Vanya menarik tangan Feli agar cepat-cepat berangkat kerja. Feli hanya bisa geleng-geleng kepala melihat Vanya yang sering lupa jika ada sesuatu yang penting. Mereka kemudian masuk ke dalam taksi yang sudah ia pesan. Taksi itu melaju meninggalkan kontrakan. Ya. Vanya dan Feli memang mengontrak, karena mereka memang tengah merantau ke Jakarta. Sudah hampir 2 tahun mereka merantau dan bekerja sebagai karyawan di salah satu perusahaan di Jakarta. Vanya memutuskan untuk merantau ke Jakarta karena dia ingin mendapatkan pekerjaan yang dapat menghasilkan uang lebih sehingga bisa membayar hutang kedua orang tuanya di kampung. Gunawan Group. Dengan langkah cepat, Vanya dan Feli memasuki gedung tersebut. Sudah hampir 2 tahun mereka bekerja di sana. Di karenakan gaji yang lumayan, mereka sudah nyaman dan betah bekerja di sana, setidaknya mereka tidak luntang-lantung hidup di kota orang. Setelah sampai di ruang kerjanya yang terbagi menjadi beberapa kubikel, mereka duduk di tempat kerja masing-masing. Vanya menghela nafas berat, "Beruntung kita tidak telat." Begitupun dengan Feli, dia bersyukur karena mereka masih di berikan keberuntungan hari ini. Kalau mereka sampai terlambat satu menit saja, gaji mereka sudah di potong per satu menit tersebut. Gaji yang di potong pun lumayan karena mereka juga mempunyai gaji yang cukup besar selama satu bulan. "Lain kali kalau kau ingin berdandan liat-liat jam. Kau tau, kita hampir terlambat kalau saja, aku tidak cepat-cepat menyuruhmu keluar dari kamar." Feli menggerutu pada Vanya yang duduk tepat di sampingnya. "Oke, aku minta maaf. Lain kali aku tidak akan mengulanginya. Jangan marah-marah lagi, oke?." "Hm." Mereka mulai dengan pekerjaan mereka masing-masing. Gunawan Group merupakan perusahaan di bidang perhotelan. Gunawan Group juga termasuk perusahaan yang maju karena mendirikan banyak hotel-hotel dengan banyak pengunjung juga. Itulah alasan kenapa Vanya dan Feli senang bekerja di sana. Hidup mereka terjamin karena bekerja disana, gajinya lumayan banyak, uang lemburan juga lumayan, belum lagi mereka sering mendapatkan bonus jika bekerja dengan sangat baik. Di perusahaan tersebut, Vanya bekerja sebagai Finance Manager, sedangkan Feli sebagai Accounting supervisor. Vanya menutup map berwarna birunya, dia beranjak dari duduknya, "Fel, aku ke ruangan pak Reza dulu ya." "Oke!" Vanya melangkahkan kakinya menuju ruangan bosnya yang tidak jauh dari tempat kerjanya. Dia mengetuk pintu, lalu masuk ke dalam sana. Vanya melihat seorang laki-laki dengan badan tegap tengah duduk menghadap ke arah jendela, posisinya membelakangi Vanya. "Permisi pak, ini laporan dua bulan lalu yang bapak minta." Ucap Vanya yang masih berdiri dengan membawa map biru di tangannya. Kursi itu berbalik, begitupun dengan laki-laki yang duduk di sana. Vanya yang terkejut, tidak sengaja menjatuhkan map nya. Vanya terdiam di tempat, tercengang melihat seseorang yang duduk di depannya. Dia bukan Pak Reza, dia---- Devan Gunawan. Tubuh Vanya terasa kaku saat melihat laki-laki yang setelah sekian lama Vanya tidak melihatnya, lebih tepatnya tidak ingin melihatnya lagi. Vanya masih sangat ingat setiap inchi wajah Devan. Alisnya yang tebal, bulu mata yang lentik. Mata besar itu, mata yang membuat Vanya terpana saat pertama kali melihat Devan 5 tahun yang lalu. Bibir tipis itu, bibirnya yang selalu mengucapkan kata-kata indah untuknya, namun sayangnya semua itu palsu. Setiap kata yang terlontar dari bibir Devan adalah kepalsuan untuk Vanya. Diam-diam Vanya mengepalkan tangannya, dia kembali teringat saat kejadian 5 tahun yang lalu. Ingin sekali Vanya memaki habis-habisan laki-laki yang berada di depannya sekarang. Perlahan kepalan tangannya mengendur, dia mengambil map-nya yang terjatuh, lalu memberikannya pada Devan, "Maaf pak, saya tidak sengaja." Setelah menyerahkan map-nya, Vanya berbalik segera bergegas keluar dari sana. Vanya tidak ingin melihat wajah laki-laki itu lebih lama lagi, karena akan membuat emosinya naik. "Siapa namamu?" Deg. Jantung Vanya seakan berhenti saat itu juga, Devan pasti tidak mengenalinya karena penampilan Vanya banyak berubah. Penampilan Vanya saat Devan menjadikannya bahan taruhan berbanding balik dengan penampilannya yang sangat anggun seperti sekarang. Tapi kalau Devan mengetahui namanya, itu beda cerita. Devan mungkin masih mengingat nama itu, dan Vanya tidak tau apa yang harus ia lakukan jika Devan sampai tau siapa dia sebenarnya. Vanya memutuskan untuk melanjutkan langkahnya dan tidak menjawab pertanyaan Devan. Vanya tidak ingin Devan mengetahuinya sekarang. Sedangkan Devan mengerutkan dahinya kebingungan, perempuan itu tidak menjawabnya malah justru keluar dari ruangannya. Aneh. Vanya kembali ke ruang kerjanya, jantungnya masih saja berdebar-debar. Kenapa Devan bisa ada di ruangan Pak Reza? Atau jangan-jangan CEO baru yang menggantikan posisi Pak Reza itu Devan? Feli mengernyit melihat Vanya yang terlihat aneh saat kembali dari ruangan bosnya, "Ve, lo kenapa aneh gitu? Tadi pagi lo biasa aja." "Fel, apa Pak Reza benar-benar sudah tidak bekerja disini lagi?" "Ck, bukankah kau sudah tau itu Ve. Kenapa kau bertanya seperti itu lagi? Memangnya kenapa? CEO baru kita tidak setampan Pak Reza?" Vanya menggeleng, dia tidak masalah jika CEO yang baru tidak tampan, atau berperut buncit atau sudah punya istri pun Vanya tidak akan mempermasalahkan itu. Tapi jika benar-benar Devan itu CEO baru yang menggantikan Pak Reza, itu yang membuat masalah besar untuknya, "Kau masih ingat Devan atau tidak?" "Devan siapa?" "Devan Gunawan, kakak kelas kita waktu SMA." Feli berpikir untuk bisa mengingatnya, "Devan Gunawan, laki-laki yang kau tembak di depan semua murid itu?" Vanya mengangguk lemah, Devan yang mematahkan hatinya sekaligus mempermalukannya di depan semua teman-temannya saat itu, "Dia CEO yang menggantikan Pak Reza." "Hah! Benarkah?" Feli pun ikut terkejut. Dia juga tidak menyangka kalau Devan yang menggantikan Pak Reza sebagai CEO. Vanya mengangguk sekali lagi. Reza Gunawan dan Devan Gunawan. Itu berarti mereka berdua kakak beradik. Vanya tidak berpikir sampai situ, dia pikir tidak hanya Devan yang mempunyai nama belakang Gunawan, itu kenapa Vanya mau bekerja disini. Tapi ternyata Gunawan Group ada hubungannya dengan Devan Gunawan. Laki-laki yang sangat Vanya benci. Kalau Vanya tau dari awal, sejak dulu Vanya tidak akan mau bekerja di perusahaan orang yang sudah membuat hidupnya trauma menjalin hubungan dengan laki-laki. Feli turut bersedih, dia tau bagiamana perjuangan Vanya untuk melupakan Devan. Vanya bahkan berusaha keras untuk mengubah penampilannya agar tidak seperti dulu. Perlahan-lahan Vanya juga ingin menghapus traumanya dengan laki-laki, tapi saat Vanya melihat Devan lagi, Feli tidak tau apa Vanya akan berhasil atau tidak. Mungkin saja tidak. "Terus apa yang akan kau lakukan selanjutnya?" "Aku akan mengundurkan diri, mungkin" *******  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD