Part 2

1439 Words
“Kirana, Mas Dinar pulang nih!” Dinar pulang kerja di sore hari. Jadwalnya kerjanya sudah diperbaharui sejak awal tahun. Ia hanya bekerja di pagi hingga sore hari demi bisa menikmati kehidupan mesra dengan Kirana lebih lama. Dua buah cangkir yang belum dibereskan di atas meja ruang tamu membuat Dinar mendelik. Kirana tak ada di sana. Panggilannya juga tak disahut. Otak curigaan Dinar mulai bekerja. Kakinya pun tak kalah cepat berlarian dalam rumah, mengecek tiap ruangan. “Huaaa!” “Dinar, apaan sih!” Mereka bertemu tepat di depan kamar mandi. Kirana baru keluar, Dinar mau menerobos masuk. Langsung kena marahlah Dinar. Berlarian di dalam rumah kayak anak kecil. Sudah tahu itu pintu kamar mandi tertutup, masih juga mau dibukanya. “Kamu ngapain mandi sore-sore? Siapa yang datang?” Pertanyaannya, minta ditabok sama Kirana. “Ngapain tanya kayak gitu! Kamu mau tuduh aku!” Kirana yang sensian mulai marah. Ia berkacak pinggang, mengintimidasi Dinar dengan kegalakannya. “Nggak kok.” Nyali Dinar langsung ciut. Diam memainkan jemarinya sambil lirik-lirik leher Kirana yang basah terkena tetesan air di rambutnya. Terlalu menggiurkan minta dicicipi. “Cangkir teh di ruang tamu buat siapa?” Katanya nggak mau menuduh, tapi masih juga bertanya penuh kecurigaan. Sebenarnya Kirana bisa saja langsung menjawab. Dia cuma kesal, cara Dinar memperlakukannya seakan dia niat selingkuh dengan seseorang. Akhir-akhir ini mereka selalu saja berdebat tak penting karena hal yang sama. Semua ini disebabkan oleh program kehamilan yang gagal berkali-kali sejak mereka mencobanya tahun lalu. Tak ada masalah pada tubuh Kirana. Dia juga masih muda dan sehat. Masalahnya ada pada Dinar. Makanya cowok menyebalkan satu ini jadi waswas terus. Takut Kirana lari ke laki-laki lain saking maunya punya anak. Begitulah kalau banyak dosa, takut dikerja karma sampai hidup pun tak tenang. “Entah! Sana mandi, ganti baju. Aku mau masak dulu!” Kirana membuang mukanya, berjalan ke dapur dengan handuk masih di kepala. Dinar menunduk sedih, gelisah gegana tak bisa melawan istri. Tingkahnya mirip anak terlantar, membuat Kirana agak kasihan. Namun, dia tak akan kembali membujuk Dinar. Karena suaminya yang salah, sama sekali tidak bisa percaya kepadanya. Dinar masuk ke kamar mandi, tapi tak langsung mandi. Dia duduk di depan meja wastafel. Main HP, kirim pesan ke Seira mau curhat. “Seira, om sedih nih. Kirana marah-marah terus. Entah siapa yang datang tadi. Kirana nggak mau kasih tahu.” “Om banyak salah sih. Tadi aku tuh yang datang sama Olivia. Terus nanti bawakan botol s**u Olivia yang tertinggal di sofa, kasih ke Elard besok.” Muka Dinar cerah seketika, lega yang datang hanya cewek b**o rakus yang senang bergosip tak jelas dengannya. Setelah otak sudah jalan lagi, Dinar baru melihat baju Kirana di keranjang baju kotor, penuh tumpahan s**u dan biskuit. Terlihat sekali siapa pelakunya. “Memangnya Kirana bilang salah om apa?” Hanya itu saja Dinar belum puas sih, dia mau tahu semuanya. Sampai sahabat istrinya pun dijadikan sekutu. “Rahasia cewek!” “Ada toko brownies lumer baru buka. Rasanya enak banget, kalau nggak dipesan langsung nggak bakal dapat. Yang buka teman kuliah Om Dinar. Yakin nggak mau cerita?” “Seira mau dua kotak, Om. Topping keju dan stroberi.” “Apa sih yang nggak buat kamu. Terus apa dong keluhan Kirana?” “Om banyak tanyanya. Mulut lebih cerewet dari tante-tante girang. Jadi Kirana kesal.” Laporan Seira menusuk sekali, tepat sasaran apa yang selalu membuat Kirana marah padanya. Kalau Dinar peka, sebenarnya dia tak perlu tanya Seira segala. Memang dasar orang lagi cemas ya begitu. Selalu butuh orang lain mengingatkan. Dinar menurunkan HP-nya, berkaca di cermin belakang punggungnya. Sedang introspeksi diri. “Dinar, mandi atau bertelur! Lama banget! Pastanya nanti dingin!” Ia terkaget mendengar suara gedoran pintu. Kirana yang menggedor. Sambil teriak-teriak dari luar. “Sebentar Kirana sayang!” sahut Dinar. Secepatnya Dinar bangun, mandi bebek biar nggak tambah kena marah. Biasanya Kirana masak super lama. Kena dia butuh waktu sendiri, malah masak yang cepat. Memang deh, timing mereka tak pernah pas. *** Setelah makan, waktunya bermanja-manja mesra. Ruang keluarga selalu menjadi tempat bersantai buat mereka. Kirana duduk di sofa, baca buku dengan tenang, membiarkan Dinar menjadikan pangkuannya sebagai bantal. Mereka tak banyak berbicara belakangan ini. Selama masih menghabiskan waktu bersama, mereka percaya bila hubungan mereka masih berjalan dengan baik. Hanya kecemasan Dinar yang tak pernah berakhir, seperti tak pernah bisa percaya sekalipun ia tak pernah menemukan alasan untuk meragukan Kirana. “Kirana, apa kamu – ” “Hem?” “Nggak jadi.” Dinar tak bisa melanjutkan pertanyaannya. Dia takut menerima jawaban menyakitkan dari Kirana. “Apaan sih, plin-plan banget!” Buku Kirana telah ia singkirkan. Kini tangannya sibuk mengacak rambut Dinar. Hasilnya malah tambah ganteng, bikin jengkel ingin menghancurkan pesona berlebihan mantan playboy cap ayam satu ini. Dinar membalas dengan menarik leher Kirana ke bawah. Dia menyatukan bibir mereka, bertukar saliva dengan agresif. Semakin lama ciuman mereka semakin dalam, mengosongkan pikiran dengan nafsu yang tak terkontrol. Kirana mengenakan dress piyama sepanjang lutut. Hanya dengan melepaskan beberapa kancing, tangan Dinar sudah bisa leluasa menyelip masuk meraba kulitnya yang lembut. Mereka bahkan tak menunggu lama untuk saling menggoda. Usai berciuman, Dinar mengangkat Kirana ke kamar. Kemudian ia meletakkan istrinya ke atas tempat tidur, asyik melepaskan semua kancing yang tersisa. Kirana tak mau kalah. Ia menarik ujung baju Dinar, mengangkatnya ke atas dan melepaskan baju kaus itu dengan satu tarikan. Kemudian Kirana memajukan tubuhnya. Setengah terduduk melingkarkan tangannya pada d**a bidang Dinar. Dinar menyambut Kirana dengan memeluk pinggang ramping istrinya. Bibirnya sibuk menciumi leher Kirana, turun ke bawah meninggalkan bercak basah yang menggoda. Kirana sendiri telah memindahkan tangannya ke bawah, menarik lepas celana Dinar beserta dalamannya sekalian. Ketika Dinar menatap wajah Kirana, wanita itu menyeringai nakal. Dia menjilat bibir Dinar, memaksanya terbuka agar bisa menyelinapkan lidahnya masuk ke dalam. Menari bersama permainan lidah Dinar yang ahli. Setelah ciuman penuh gairah, libido meningkat tak terkendali. Dinar membuka kaki Kirana, memasukkan miliknya dalam satu dorongan. Rasanya selalu saja menyegarkan dan nikmat. Suara desahan rancu Kirana dan jemari nakal istrinya yang suka menggoda saat digagahi membuat permainan mereka selalu menyenangkan. Sayangnya semua kesenangan ini membuat dirinya seperti mendapatkan sebuah karma. Dia yang hanya tahu bersenang-senang, mungkin tak akan pernah diberi kepercayaan untuk menimang anaknya sendiri. *** “Jadi gagal lagi,” ujar Kirana lelah. Saat ini dia dan Dinar berada di rumah sakit. Sedang konsultasi untuk program kehamilan mereka yang sudah dilakukan entah ke berapa kalinya. Awalnya mereka hanya konsultasi, mencoba mengubah pola hidup dan kemudian dengan dibantu beberapa obat. Setelah semua itu gagal, Dinar mulai berpikir untuk mencoba cara lain. “Bagaimana kalau inseminasi?” Spermanya yang bermasalah, mencoba teknik ini mungkin pilihan terbaik untuk saat ini. Risikonya lebih rendah dan tak akan terlalu sulit dijalani. “Apa maksudmu?” Kirana tak mengerti. Dia menyenggol tangan Dinar ingin tahu ide apa yang coba Dinar konsultasikan pada dokter kandungan mereka. “Kirana sayang, percaya deh sama Mas Dinar.” Dinar tak memberinya penjelasan, hanya senyum sok kegantengan mengucapkan omong kosong. Curigalah Kirana. Dia mengalihkan pandangan pada rekan kerja Dinar itu. “Tolong jelaskan, Dok,” pinta Kirana. “Kirana nggak percaya sama Mas Dinar!” “Kamu kira aku mau coba apa yang nggak kuketahui! Egois juga ada batasnya!” “Istri Bapak benar, kita tidak bisa melanjutkan bila Ibu tidak mengerti betul prosesnya.” Dinar misuh-misuh, mengalihkan pandangan curiga Kirana bakal menolak. Prosesnya memang tergolong mudah dan rendah risiko. Namun sebagai cewek, pasti ada yang namanya malu, tak nyaman dan takut terutama bila dokter kandungannya seorang laki-laki. “Dengar tuh! Kamu diam saja, kan udah tahu banget!” Kirana kambuh galaknya, membungkam mulut Dinar agar ia bisa mendengar penjelasan detail tentang apa itu teknik inseminasi. Singkat cerita, ternyata itu adalah salah satu teknik di mana dokter memasukkan s****a yang telah dipilah dan diperbaiki kualitasnya ke dalam rahim dengan menggunakan selang khusus di masa ovulasi. Cara ini masih tergolong proses kehamilan alami dan hanya dibantu dengan obat keseburuan jangka pendek, tapi bagi Kirana cara ini masih agak tak nyaman untuknya. Ia pun jadi paham kenapa Dinar tak mau kasih tahu yang jelas. “Cara ini cocok untuk kalian karena kualitas s****a Bapak yang kurang baik. Untuk Ibu sendiri, tak pernah ada masalah di tiap pemeriksaan. Bila Bapak tidak menyarankan lebih dulu, saya juga akan menyarankan nantinya.” Kirana menimbang dengan serius saran dokternya. Dia tak masalah menjalani hanya dengan konsultasi dan obat, tapi Dinar sudah mulai tak sabaran dan tertekan pada persentase keberhasilan yang rendah. Suaminya selain jauh lebih tua, juga punya banyak masalah lain di hidupnya yang tak bisa Kirana sembuhkan hanya dengan cinta. “Aku mengerti, kami akan mencoba.” Biarpun agak memalukan dan enggan, Kirana rasa mencoba satu atau dua kali adalah upaya terbaik yang bisa dia lakukan demi Dinar. Lagian cara ini adalah saran suaminya sendiri. “Kalau begitu akan saya jelaskan detail prosedurnya.” “Iya.” Kirana mengangguk, mendengarkan dengan serius. Dinar yang di sampingnya agak diam. Dia toh sudah paham dan untungnya terlihat sedikit lega saat Kirana menyetui. Entah apa hasilnya, Kirana hanya berharap beban pikiran Dinar bisa lebih mendingan setelah ini. Sesuka apa pun Kirana pada anak-anak, ia tahu bila Dinar lebih menyukai anak kecil. Makanya suaminya memilih menjadi dokter anak.    
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD