Talking to the Dim Moon

2375 Words
2022 “Saya minta untuk pengiriman dokumen itu dipercepat, Pak. Itu dokumen penting untuk pembukaan cabang di Jakarta.” Meja persegi panjang dengan dua belas kursi di masing-masing sisi tampak sepi karena hanya diisi dengan empat orang yang duduk saling berhadapan, membungkam mulut, hanya satu orang yang duduk di kursi paling ujung yang suaranya menggelegar mengisi ruangan. Pria muda yang bahkan belum mencapai tiga puluh sedang mengatur napas yang berebut masuk ke lubang hidung tingginya. d**a bidangnya kembang-kempis, tak ingin terlalu jauh melontarkan kalimat tidak menyenangkan mengingat lawan bicaranya rata-rata pria yang nyaris berumur setengah abad. “Opening cabang jadi terlambat. Tahu gini sekalian aja dokumennya saya bawa sendiri. Rencana saya jadi ngaret.” Nada bicaranya semakin meninggi walau susah payah ia mengatur intonasinya. “Maaf, Pak.” Sahut pria rambut hitam yang berminyak sambil menunduk, tak berani mengangkat kepala, menyadari kesalahannya. Ia mengulum bibir membuat kumis tipis hitam bercampur putih sedikit menurun. Ia pria yang paling tua di dalam ruangan, namun menjadi orang yang paling tidak berdaya. “Mulia sekali hati saya selalu menerima permintaan maaf kalian. Ini sudah yang kesekian kali.” Jari telunjuk panjang diayun di udara. “Ini yang terakhir saya pakai jasa ekspedisi Anda, Pak Fajar,” ancam pria beralis hitam tebal yang mengerut. Pemilik nama yang disebut dengan cara yang tidak enak akhirnya mengangkat kepala lonjongnya dengan dagu bebulu halus yang belum dicukur. “Tolong, Pak Tian. Saya akan menyempitkan SLA pengantaran paket milik Bapak.” Tian berdiri dengan kasar sampai lutut kanannya terbentur ujung meja kayu jati. Suara yang keras membuat keempat pendengar mengangkat bahu, terkejut. Tian berdiri membelakangi semua orang sambil mengacak pinggang. Sakit sebenarnya, namun gengsi menahan kata ‘Aduh’ keluar dari mulutnya. “Saya pikirkan nanti. Tolong keluar dari ruangan saya,” pinta Tian menuding kusen pintu kayu yang berukir dengan telunjuk. “Baik,” ucap Fajar sambil berdiri, meminta ketiga rekan pria paruh baya yang ia bawa ikut pergi mengikutinya. Tertinggal seorang wania berkemeja biru tua sebagai atasan dan rok span di bawah lutut yang membentuk tubuh rampingnya masih duduk menatap Tian yang gelisah. Rambut panjang sebahunya yang daritadi terurai ia gulung, lalu melepas kacamata minus dua dengan frame cokelat tebal. Ia ikut berdiri, suara ketukan ujung heels sepatu miliknya mendengung di telinga Tian yang merasakan wanita itu jalan mendekat. Tian merasa pundak kanannya dipaksa untuk memutar agar sang wanita bisa menatap Tian dengan jelas. Tian mengusap wajah blasteran miliknya yang penuh keringat. Merasa dua AC yang menyala tidak berfungsi. Lengan kemeja navy ia gulung sampai lengan. Senyum bulan sabit terukir dari wajah bulat wanita yang membenarkan tali ID card miliknya dan tertulis Carissa F. Glorya dengan huruf kapital di bawah foto wajah yang sama persis dengan wanita yang kini tengah mengeratkan pucuk dasi Tian berwarna senada dengan kemeja miliknya dengan loreng putih yang longgar. “You know that’s too much, right?” suara lembut sedikit menenangkan amarah Tian. Tian mengangguk sambil menatap mata sipit akibat senyum yang dimiliki wanita di hadapannya, ia menghembuskan napas kasar. “Glo, aku bakal pergi besok.” Glo menepuk d**a bidang Tian perlahan beberapa kali sebelum ia berbalik dan kembali ke kursi yang ia duduki tadi. “I know. Kan, aku yang beli tiket kamu, atur jadwal meeting kamu,” ucapnya sambil memeluk map berwarna cerah yang ia pikir akan berguna. Kenyataannya, meeting dadakan yang Tian minta dengan jasa ekspedisi selama dua jam isinya hanya omelan Tian. Tak ada yang patut dicatat, batin Glo yang menutup layar laptop. “Are you sure you don’t want to come?” tanya Tian setelah hampir dua belas kali ia bertanya dalam sehari. “Kamu kan Sekretaris aku.” “Tian! Profesional, dong.” Glo tertawa kecil, geli melihat wajah memelas Tian. “Toh, ada yang harus aku kerjakan besok. Kerjaan dari kamu juga.” “Oke,” ucap Tian yang mulai menerima kenyataan walau pada akhirnya ia akan bertanya hal yang sama. “Besok pagi sebelum aku pergi, kamu—“ Ddrrtt... Kalimat Tian dipotong getaran ponsel Glo yang bergeser di atas meja berlapis kaca. Tulisan Mr. Mr memenuhi layar benda pipih berwarna putih. “Sorry,” ucap Glo sambil menampakkan telapak tangan kepada Tian yang masih belum mengatup mulutnya. “Iya?” jawab Glo pelan sambil berjalan cepat keluar ruangan. “Glo! Glorya!” panggil Tian yang tak digubris. Penasaran, panggilan siapa yang lebih menarik perhatian Glo. --- Glo menurunkan kaca jendela mobil agar bisa melihat cerahnya langit dengan awan putih berbentuk abstrak. Mobil Civic hitam milik sang pengemudi, Tian berjalan mulus di jalan ramai pengendara yang sama terburu-burunya dengan Tian. Walau sudah dilengkapi dengan perlengkapan yang canggih, jiwa jadul Tian tetap ingin mendengarkan siaran radio pagi yang sering mereka berdua dulu dengarkan ketika masih SMA. Walau sudah terlalu sering berganti penyiar, 117.5 FM menjadi chanel favorit mereka. Tidak terlalu mengikuti perkembangan jaman, bahkan playlist lagu di aplikasi musik berbayar milik Tian dan Glo hanya berisi tentang podcast motivasi, atau lagu-lagu jadul milik Westlife atau yang satu-satunya lagu terbaru yang mereka milki adalah lagu yang ia request di radio pagi ini. “Memoriku seperti berhenti di masa itu.” Jawaban Tian ketika selalu ditanya oleh wanita yang diajaknya kencan buta. “...kali ini request lagu dari Sebastian Branwain yang akan berangkat pagi ini menuju Jakarta. Save flight, ya Sebastian. Tiffany Jung, Remember Me.” “Branwyn. Bren-win. Mereka selalu aja salah,” keluh Tian tanpa mengalihkan pandangan ke jalan. Glo tak bisa berhenti tertawa. “Kamu yang buat ribet. Cukup Tian... Ti-an.” “Nama Tian itu banyak. Nanti kamu nggak tahu.” “Tian mana yang selalu request lagu Remember Me setiap mau pergi keluar kota, dan selalu request lagu Talking to the Moon setiap malamnya selain Sebastian Albus Branwyn?” sindir Glo yang menekan nada bicaranya ketika menyebut nama lengkap Tian. Tian hanya menatap Glo sesaat dengan tatapan sinis, merasa apa yang Glo katakan memang benar. Selera lagunya memang sudah kuno. “Oh, iya. Kamu mau aku bawain oleh-oleh apa?” tanya Tian mengalihkan. Glo sumringah, bersemangat mengeluarkan sebuah buku tebal dari tas besarnya yang gembung. “Kebetulan banget, Seventeen lagi konser di Jakarta!” ucap Glo setengah berteriak. “Nggak mau tahu, kamu harus minta tanda tangan mereka, titik!” Glo meraih tas ransel Tian yang ada di kursi belakang, meletakkan dengan aman agar tidak ada halaman yang terlipat. Lalu, dengan tersenyum lebar ia mengeluarkan lightstick dengan bagian atas yang berbentuk bulat. “Kamu juga harus bawa ini!” “Apa itu?” tanya Tian, mengernyit. “Lightstick. Kamu harus nonton ini waktu nonton konser mereka. Dan bawa ini waktu Fanmeet,” ucap Glo menunjuk Lightstick dan album foto bergantian. “Ribet banget permintaan kamu.” “Permintaan satu kali seumur hidup, nih. Andai aja aku nggak ada kerjaan, aku yang bakal nonton konser mereka sendiri.” Glo memegang kedua pipinya yang memerah ketika membayangkan wajah idolanya. Tian hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat Glo yang bergumam menyanyikan lagu bahasa asing yang tak dimengerti Tian sambil mengayun-ayunkan lightstick. “Remember me....” balas Tian dengan suara sumbang mengalahkan suara Glo. Terganggu, Glo menyumpal mulut Tian yang terbuka lebar dengan pucuk lightstick.   Hilir-mudik penumpang yang ramai ditambah suara dari pengeras suara membuat Tian gugup. Beberapa kali ia menyeka keringat di wajah hingga leher dengan sapu tangan yang lembab. “People,” gumamnya dengan suara bergetar, seperti telapak tanganya yang tremor. Tian mengepalkan lalu membuka jemari tangannya beberapa kali. Ia melangkah lebar bukan karena kaki jenjangnya, tapi agar ia cepat sampaidi ruang tunggu, duduk paling pojok, bermain ponsel atau membuka laporan di laptop atau apapun yang membuatnya terlihat sibuk sambil menunggu pesawat yang delay agar tak ada yang menegurnya apalagi mengajaknya mengobrol. Itu bukan keahlian Tian. “It’s okey.” Dengan susah payah Glo menyamakan langkahnya sambil merekatkan jemarinya ke jemari milik Tian yang berkeringat. Ia tahu, pria jakung dengan tinggi 188 senti itu tampak gelisah terlihat dari mata cokelat terang yang liar menatap setiap isi ruangan. Tian terpaksa melambatkan langkahnya membuat Glo lega karena ia tak harus merasa pegal berlari kecil dengan heels lima sentinya. Ia dua puluh senti lebih pendek dari Tian. Glo merasakan jemari Tian mencengkram semakin kuat ketika ia melihat sekelompok orang yang kelihatannya hendak melakukan touring. Terlihat dari setiap tulisan kapital nama perusahaan travel di tas koper  masing-masing pemilik yang kira-kira ada lima belas orang ditambah satu tour guide yang sibuk menghitung member agar tidak ada yang tertinggal. “Lima belas? Kurang satu orang, ya? Jumlah di list ada enam belas termasuk panitia. Siapa yang belum datang?” tanya pemuda rambut dicat pirang yang telunjuknya sibuk menujuk jumlah kepala orang yang hadir. “Mas sendiri sudah dihitung?” sahut wanita gemuk berumur sekitar empat puluhan sambil menggandeng bocah laki-laki yang terus melompat di tempat, tak sabar untuk penerbangan pertamanya. “Belum,” ucap pemuda itu lagi meringis sambil menggaruk tengkuk yang tak gatal akibat malu. “Oke, sudah lengkap.” “Kamu pesankan aku kursi bisnis, kan?” tanya Tian menatap Glo yang diam-diam tertawa. “Always.” Tak lama, mereka sampai di bawah papan reklame yang bertuliskan ‘Keberangkatan’ dalam berbagai bahasa asing, tempat dimana mereka harus berpisah. “Cuma sebulan. Don’t miss me,” tukas Tian sambil memeluk Glo erat. Briefcase hitam mengkilap ia letakkan dekat kaki kanannya. Satu-satunya tas yang ia bawa untuk menampung seluruh dokumen penting milik kantor atau milik pribadi seperti kartu identitas atau kartu ATM dan kartu kredit, dan laptop. Tian memang tak pernah membawa banyak barang ketika ia harus bepergian keluar kota untuk urusan bisnis. Ia akan membeli beberapa pakaian sesampainya di sana, lalu meninggalkan semuanya di kamar hotel. Bukan ia bingung bagaimana harus menghamburkan uang karena ia CEO muda perusahaan industri, ia hanya tak suka merasakan ribetnya membawa banyak barang bawaan ketika ia tak punya waktu untuk packing barang bawaannya. Namun, khusus untuk kota Jakarta, Tian mengaku pada Glo bahwa ia membeli apartemen di kawasan elit yang sudah ia isi dengan barang-barang yang dibutuhkan. “Save flight, Mr. Sebastian Branwain,” ucap Glo mengejek sambil melepaskan pelukan. Mereka tampak seperti pasangan sempurna. Pria tampan nan mapan dengan wanita manis bertutur kata lembut. Pasangan Tian dan Glo memang sudah terkenal sejak mereka SMA. Seperti dua sejoli yang tak pernah bertengkar, menghindari pemicu perdebatan, dan memilih mengalah ketika si wanita sedang marah. Ya, itu karena Tian memang benar-benar mencintai Glo. Tatapan yang berbeda ketika Tian berbicara dengan petugas bandara dan ketika ia kembali berbalik untuk melambaikan tangan perpisahan kepada Glo sambil tersenyum membuat orang-orang yang tak sengaja melihat mereka merasa iri. Tapi, pada akhirnya itu hanya dugaan orang-orang yang belum mengenal seperti apa pasangan Tian dan Glo. Si cowok introvert dan di cewek ekstrovert, yang jago berakting di depan publik. “Glo!!!” pekik Tian yang menggertakkan gigi dan mengepal kedua tangannya geram setelah melihat bahwa penerbangannya pukul 11:50 WITA. Sedangkan saat ini, Tian harus menunggu di ruang tunggu selama tiga jam. Itu bahkan belum kalau maskapai penerbangan berlambang binatang buas harus delay. Sedangkan Glo, ia buru-buru keluar meninggalkan Bandara sambil menutup mulut dengan tangan kanannya, menahan agar tidak tertawa keras. Beberapa kali ia menengok ke belakang, jaga-jaga jika Tian tiba-tiba mengejarnya dan menariknya untuk ikut menunggu bersamanya. Di tempat parkir, Glo menekan tombol alarm dan mobil Tian berbunyi. Glo dengan segera menuju tempat paling pojok yang remang tak terkena cahaya matahari dan membuka pintu perlahan. “Hai. Kenapa lama?” sapa pria berkulit putih membuat kantung mata hitam tampak sangat jelas walau tak telalu pekat. Kerut di bawah mata tak memudarkan ketampanannya. Maklum, umurnya sudah lima puluh dua tahun, dua puluh lima tahun lebih tua dari Glo dan Tian. Kepala lonjongnya ia miringkan agar bisa melihat wajah cantik Glo yang duduk di kursi pengemudi. Glo tersenyum, walau tak selebar ketika ia bersama Tian. “Maaf, Pak. Udah nunggu lama, ya?” tanya Glo sambil menghidupkan mesin. Pria itu mengulum bibir, sampai kumis berwarna ombre hitam-putih miliknya turun. Menghela napas pelas sambil menyandarkan kepala. “Saya cemburu, lho kalau kamu ngobrol lama sama Tian.” Glo tersenyum, menggenggam tangan kasar yang besar walau tubuh pria itu tidak gemuk atau tinggi. Ia bahkan lebih pendek lima senti dar Glo. “I’m sorry, Sweethart. Kamu tahu sendiri Tian itu gimana.” “Dia sudah besar, bisa urus diri sendiri. Kenapa kalau ada apa-apa harus selalu kamu yang urus,” gumamnya panjang lebar. Glo tertawa. “Kamu nggak ada bedanya,” sindir Glo. “Aku harus lakukan supaya Tian dan semua orang nggak curiga dengan hubungan kita.” Pria itu tertunduk lesu. “Semua orang,” gumamnya. “Tapi kamu nolak ajakan dia untuk ikut ke Jakarta, kan?” “No. Buktinya aku ada di sini.” Akhirnya pria itu bisa tersenyum. “Siapa tahu kamu tiba-tiba nyusul.” Glo menghidupkan radio. Seperti biasa, penyiar perempuan yang sama kembali membacakan pesan dari para pendengar yang meminta diputarkan lagu sesuai permintaan. “...the Moonlight Boy. Hmmm... nama samaran, ya. Menarik. Beliau request lagu dari Bruno Mars, Talking to the Moon.” Glo tak mendengar kalimat penyiar secara keseluruhan saat ia baru menyalakan radio. Menyipitkan mata menatap lurus ke depan penuh selidik ketika sang penyiar menyebutkan nama the Moonlight Boy. “Jaman sekarang masih request lagu di radio?” Suara bass pria di samping Glo memecah fokusnya. “Bagiku itu masih sweet banget. Lagi pula, itu lebih murah. Waktu Pak Fajar masih muda juga pernah merasakan, kan?” sahut Glo. “Hahaha! Jangan bilang begitu. Saya merasa tua sekali.” “...tidak lupa saya akan bacakan pesan  dari Mas Moonlight Boy untuk the Sunshine Girl. Pesannya singkat sekali.” Glo mengeraskan suara. “From the Moonlight Boy. I’m stop talking to the Moon, ‘cause the moon has started to dim. Saya ngomongnya benar nggak, sih?” “Tunggu apa lagi? Ayo pergi. Nanti kita terlambat.” Patuh, Glo menginjak gas hingga ban berdecit di semen yang mengkilap.   Tian menatap layar laptop. Ia sering memutar kembali rekaman dashboard mobil miliknya ketika ia merasa rindu dengan Glo. Walau kamera hanya merekam jalan aspal yang mereka lalui, setidaknya ia bisa mendengar suara Glo. Tapi baru enam bulan lalu ia temukan, ada satu rekaman yang merekam suara laki-laki lain yang bukan miliknya sedang berbicara dengan Glo. Tanggal ketika Tian berada di luar kota. “How dare you in my car,” gumam Tian yang masih menerka-nerka siapa pemilik suara yang tak asing ia dengar.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD